BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
“Indonesia
adalah Negara hukum” demikian bunyi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat 3.
Sebagai Negara hukum (Rechtsstaat) yang menjunjung tinggi nilai-nilai
norma hukum berdasarkan Undang-undang dan bukan merupakan Negara berdasarkan
kekuasaan semata (Machtsstaat) Indonesia memiliki norma hukum tertinggi
yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
induk peraturan-peraturan perundang-undangan. Untuk itu adanya kebijakan yang
tertuang dalam bentuk perundang-undangan tidak boleh menyalahi norma hukum
tersebut.[1]
Pada saat ini,
paham demokrasi dalam penyelenggaraan negara menjadi “primadona” dalam
setiap perbincangan mengenai paham kenegaraan. Sehingga tidak aneh apabila
setiap bangsa berlomba-lomba guna mendapatkan pengakuan sebagai negara
demokrasi oleh negara lainnya. Pada prinsipnya paham demokrasi menghendaki
adanya keikutsertaan rakyat atau warga negara dalam aktivitas penyelenggaraan
kehidupan kenegaraan. Hal ini sudah terjadi sejak zaman Yunani Kuno (abad VI
s/d XIII SM). Pada waktu itu paham demokrasi dilaksanakan secara langsung,
dimana rakyat menentukan keputusan-keputusan politik secara langsung.[2]
Indonesia adalah
Negara yang menganut
sistem pemerintahan Demokrasi. Demokrasi dipahami
sebagai suatu sistem
pemerintahan yang menjunjung
tinggi kesejahteraan rakyat. Dalam arti lain, demokrasi sering disebut
sebagaipemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebagai suatu
sistem politik, demokrasi telah menempati posisi teratas yang
diterima oleh banyak Negara, karena dianggap mampu
mengatur dan menyelesaikan
hubungan sosial dan
politik dalam sebuah
Negara.
Demokrasi memiliki
makna yang luas
dan kompleks, salah
satunya Warga Negara yang di beri
kesempatan untuk memilih salah satu diantara pemimpin-pemimpin politik yang
bersaing meraih suara. Kemampuan rakyat
untuk memilih di antara pemimpin-pemimpin politik pada masa pemilihan
inilah yang disebut demokrasi.[3]
Di berbagai negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolok
ukur, dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam
suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat,
dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat.
Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum tidak merupakan satu-satunya
tolok ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang
lebih bersifat kesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying,
dan sebagainya.[4]
Pemilu adalah kenduri
demokrasi yang menjadi landasan politik, bangsa, dan Negara dalam membangun
masa depan yang lebih baik. Pemilu sebagai pilar demokrasi mengantarkan bangsa
dan negara dalam meraih demokrasi dan membangun peradabannya. Selain itu,
pemilu juga sebagai momentum evaluatif yang sangat penting bagi sebuah rezim
kekuasaan dalam mewujudkan cita- cita negara kemerdekaan.[5]
Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sejatinya merupakan bagian penting kehidupan
bernegara Indonesia di era Reformasi. Penyelenggaraan Pemilu termasuk Pilkada
merupakan wujud pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Pada sistem
demokrasi tidak langsung (indirect
democracy) atau demokrasi perwakilan (representative
democracy), dilaksanakannya Pilkada bertujuan agar Kepala Daerah
benar-benar bertindak atas nama rakyat sehingga pemilihannya harus dilakukan
sendiri oleh rakyat melalui Pilkada. Penyelenggaraan Pilkada merupakan
mekanisme demokratis agar rakyat dapat menentukan Kepala Daerah yang dapat
memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyatnya.
Sejatinya,
penyelenggaraan Pilkada sebagai mekanisme pemilihan haruslah dilandasi semangat
kedaulatan rakyat dan dilaksanakan secara demokratis. Salah satu prasyarat
utama untuk mewujudkan Pemilu yang demokratis adalah adanya partisipasi
politik. Keberadaan partispasi masyarakat dalam Pilkada merupakan sesuatu yang
krusial keberadaannya, sebab Pilkada akan melahirkan pemimpin daerah yang
kesuksesan Pilkada tersebut menjadi cerminan dari kualitas demokrasi. Oleh
karena itu, partisipasi warga negara ketika memilih pemimpin harus ada meskipun
keterlibatan warga negara lebih banyak berhenti pada proses pemilihan.[6]
Dari sisi normatif penyelenggaraan pilkada telah diatur
melalui UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 56 ayat
(1) menyebutkan, “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu
pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis, langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil”. Dengan adanya Undang-Undang tersebut, wajib hukumnya
bagi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah untuk mematuhi aturan tersebut
sebagaimana mestinya guna menjadi acuan dalam pelaksanaan Pilkada ditingkat
Provinsi dan Kabupaten atau Kota. Memang sangat penting dibentuk dan dibuatnya
berfungsi sebagai mata angin. Karena di semua penyelenggaraan kegiatan apapun
itu termasuk penyelenggaraan pemilu, tidak adanya rule of game atau
istilah peraturan dalam permainan maka sama seperti berjalan tanpa adanya arah
dan tujuan.
Membicarakan pilkada, Menteri
Dalam Negeri (Mendagri) Tito
Karnavian, mengatakan bahwa pemerintah akan
menggelar Pilkada
Serentak 2024. Tito mengatakan jadwal
itu sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. "Pilkada merupakan amanat Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang
ditetapkan 1 Juli 2016, di mana nanti pilkada akan dilaksanakan serentak di
November 2024," kata Tito dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR, di
Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/3/2021).[7]
Mayoritas fraksi di Dewan
Perwakilan Rakyat 'balik badan' dari rencana revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilu atau revisi UU Pemilu. Kini, mayoritas fraksi di parlemen
sepakat menolak untuk melanjutkan pembahasan RUU Pemilu yang sudah disepakati
masuk dalam Program Legislasi Nasional 2021 itu. Hanya tersisa Partai Demokrat
dan PKS yang tetap ingin revisi. Salah satu isu krusial yang menjadi perdebatan
dalam revisi UU Pemilu ini adalah normalisasi pemilihan kepala daerah pada 2022
dan 2023. Awalnya hanya PDI Perjuangan yang menyatakan menolak normalisasi
Pilkada pada 2022 dan 2023. Belakangan, mayoritas fraksi partai pendukung
pemerintah menyusul sikap PDIP. Dengan demikian, hampir dipastikan Pilkada
Serentak tetap digelar pada 2024 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun
2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).[8]
Awalnya, yang setuju dengan
dilanjutkannya pembahasan RUU Pemilu adalah Partai NasDem, Partai Golkar,
Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Yang
tidak setuju adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Persatuan
pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Gerindra. Dengan adanya RUU
Pemilu yang menggabungkan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 10
Tahun 2016 tentang Pilkada, bisa jadi Pilkada serentak beralih menjadi tahun
2022 dan 2023. Jika tanpa aturan baru, maka seluruh pemilu, baik pemilu
legislatif DPR, DPRD, DPD, pemilihan presiden, dan pemilu kepala daerah akan
berlangsung serentak pada 2024.[9]
Berbeda dengan suara mayoritas,
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini, menilai bahwa
revisi Undang-Undang Pemilu harus terus jalan untuk memperbaiki kualitas
demokrasi melalui penyelenggaraan pemilu. "Kami melihat ada kebutuhan dan
kepentingan revisi UU Pemilu, yaitu untuk perbaikan kualitas demokrasi hasil
evaluasi kita atas penyelenggaraan pemilu lalu," ujar Jazuli dalam
keterangannya di Jakarta. Fraksi PKS juga menginginkan agar pilkada serentak
dinormalisasi pada tahun 2022/2023 agar kepemimpinan daerah di masa pandemi
oleh pejabat definitif.[10]
Menurutnya, jika digelar pada 2024 beban dan ongkos ekonomi, sosial, dan
politik menjadi sangat berat.
Adapun jadwal pelaksanaan Pilkada
hingga saat ini masih jadi perdebatan seiring dengan rencana revisi
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sembilan fraksi di DPR
terbelah. Sebagian fraksi ingin Pilkada dilaksanakan sesuai amanat Pasal 201
Ayat (8) UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, yakni November 2024, berbarengan
dengan Pilpres dan Pileg. Sementara, sebagian fraksi lainnya mendorong agar
pelaksanaan Pilkada sesuai ketentuan dalam draf revisi UU Pemilu Pasal 731 Ayat
(2) dan (3), yaitu pada 2022 dan 2023.[11]
Oleh
karena itu, kajian ini membahas mengenai polemik pelaksanaan pilkada secara
serentak pada tahun 2024 yang banyak menuai pro dan kontra di masyarakat dari
berbagai aspek, mulai dari masa jabatan para pemimpin daerah maupun keefektivan
pelaksanaan pemilu secara umum di Indonesia. Maka penulis melakukan penelitian
yang berjudul “PENOLAKKAN PILKADA
SERENTAK TAHUN 2024 (PERBANDINGAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DAN PARTAI
DEMOKRAT)”
B.
Identifikasi,
Pembatasan, dan Rumusan Masalah
1.
Identifikasi
Masalah
Pelaksanaan pilkada serentak
tahun 2024 menjadi polemik. Pasalnya, dalam draf revisi UU Pemilu yang baru,
salah satu poinnya mengatur tentang pilkada berikutnya pada 2022 dan 2023
mendatang, bukan 2024 seperti yang diatur dalam UU 10/2016. Sejumlah fraksi di
DPR terbelah mengenai ketentuan tersebut. Fraksi yang mendukung agar pilkada
serentak 2024 tetap digelar di antaranya PDIP, PKB, dan Gerindra.[12]
Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis paparkan, dapat ditarik
kesimpulan bahwa terdapat beberapa permasalahan terkait dengan Penolakan pilkada serentak tahun 2024
perbandingan PKS dan Partai Demokrat.
Adapun identifikasi
masalah yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah sebagai berikut:
a.
Polemik
mengenai pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) yang digelar secara
serentak pada Tahun 2024
b.
Pendapat
Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) dan Partai Demokrat mengenai Pilkada serentak
2024
c.
Kelebihan dan kekurangan (keefektifan) pelaksanaan
Pilkada serentak yang digelar pada tahun 2024
d.
Terjadinya
salah satu kasus saat pemilu 2019, yakni banyak memakan korban pada anggota
KPPS sehingga menjadi evaluasi bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk
menyelenggarakan pemilihan berikutnya.
2.
Pembatasan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
dan identifikasi masalah yang telah dipaparkan, banyak permasalahan-permasalahan
penting yang perlu diteliti untuk dapat menjawab. Akan tetapi, untuk
mempermudah pembahasan dan penelitian skripsi ini, penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga
pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis,
maka perlu kiranya penulis memberikan batasan agar tidak melebar dan terarah.
Maka penelitian ini difokuskan pembahasannya pada pelaksanaan Pilkada serentak
yang di gelar pada tahun 2024 dan perbandingan pandangan Partai PKS dan Partai
Demokrat.
3.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik beberapa
substansi rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana pandangan partai politik terhadap
Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2024, khususnya partai PKS dan partai
Demokrat?
2.
Bagaimana agar pilkada serentak 2024 berjalan dengan
efektif di Indonesia?
C.
Tujuan
Dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan
Penelitian
Tujuan penelitian ini
adalah untuk memberikan tambahan literatur bagi ilmu pengetahuan khususnya
hukum tata negara dalam penanganan masalah Penolakan Pilkada Serentak Tahun 2024 (perbandingan partai PKS dan
Partai Demokrat). Selain itu penelitian skripsi ini juga bertujuan:
a.
Untuk
mengetahui bagaimana pandangan dari
berbagai partai politik mengenai pilkada serentak tahun 2024
b.
Untuk mengetahui polemik yang terjadi dikalangan
masyarakat maupun aktivis mengenai pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024.
2.
Manfaat
Penelitian
Didalam setiap penelitian,
disamping memiliki tujuan tentunya penulis juga mengharapkan penelitian ini
dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya
penulis pribadi, adapun manfaatnya adalah sebagai berikut:
a.
Bagi
Akademis
Penelitian ini dapat
digunakan sebagai bahan penelitian lebih lanjut guna untuk menambah wawasan dan
pengetahuan tentang penolakan pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 dari
pandangan Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) dan Partai Demokrat.
b.
Bagi
Peneliti
Penelitian ini bermanfaat
sebagai tolok ukur dari wacana keilmuan yang selama ini penulis terima dan
pelajari dari institusi pendidikan tempat penulis belajar, khususnya mengenai
pro kontra pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 dari partai politik yang ada
di Indonesia.
D.
Tinjauan
(Review) Studi Terdahulu
Untuk
membuktikan originalitas dari penelitian ini, penulis perlu untuk melakukan
tinjauan kajian studi terdahulu. Berikut ini beberapa penelitian dan perbedaan
dari penelitian sebelumnya.
- Angga Natalia, dalam Jurnal
TAPIS dengan judul Peran Partai Politik Dalam Mensukseskan Pilkada
Serentak Di Indonesia Tahun 2015. Dalam karyanya, penulis
menjelaskan bahwa munculnya permasalahan kandidat tunggal pada proses
pilkada pada tahun 2015, menunjukkan bahwa partai politik belum
benar-benar serius menjalankan fungsinya terutama untuk melahirkan
calon-calon pemimpin muda yang kompeten dan mampu survive dengan
kondisi Indonesia saat ini. Ini disebabkan oleh mundurnya pengawalan
kaderisasi di partai politik sehingga partai-partai lebih banyak
mengandalkan kader-kader pragmatis untuk mempercepat image building
dan perolehan suara di grass root. Yan pada akhirnya, menenggelamkan
mental calon-calon pemimpin muda yang sebenarnya memiliki kompetensi yang
baik tapi kurang mendapat dukungan dari partai politik.[13]
- Siti Witianti dan Hendra, dalam jurnal Wacana
Politik dengan judul Peran Ketua Umum Partai Politik Dalam
Pencalonan Kepala Daerah pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak Di
Indonesia. Dalam karyanya, penulis menjelaskan bahwa dalam pilkada
serentak di Indonesia yang diselenggarakan sejak tahun 2015, terdapat
kencenderungan semakin menguatnya pengaruh ketua umum partai politik dalam
pencalonan kepala daerah. Pengambilan keputusan partai politik pada
akhirnya ditentukan oleh pertimbangan ketua umum partai politik,sudah
menjadi tugas Parpol seharusnya menjadi salah satu sumber utama
kepemimpinan bangsa yang dituntut dapat menyiapkan dan menghasilkan
kader-kader bangsa yang profesional, jujur, berintegritas tinggi dan
berwawasan luas dan dilakukan secara demokratis.[14]
- Hendri Putra Faridana dengan judul skripsi
Persepsi Mahasiswa Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam UIN Antasari
Terhadap Pelaksanaan Pilkada Serentak. Dalam karyanya, menjelaskan
bahwa para mahsiswa menilai pelaksanaan pilkada tahun 2015 di Banjarmasin
berhasil menarik partisipasi warga sehingga peserta pemilih lebih banyak.
Selain itu, Persepsi mahasiswa Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam terhadap
pilkada serentak pun beragam, sebagian besar menilai pilkada serentak
lebih efektif karena selain dapat menghemat dana, juga dapat menghemat
waktu bagi pelaksanaan pilkada di Indonesia. Persepsi mahasiswa ini
ternyata berbeda dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
pelaksanaan pilkada serentak di Banjarmasin memiliki tingkat partisipasi
pemilih cukup rendah.[15]
- Egi Prayogi, dengan judul skripsi
Sistem Pemilihan Kepala Daerah Perspektif Fiqih Siyasah (Studi Pasal 24
Undang-Undnag No 32 Tahun 2004). Dalam karyanya, penulis menyimpulkan
bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung dalam Undang-Undang No 32
Tahun 2004 dari segi substansi sudah sesuai dengan fiqih siyasah dan tidak
bertentangan dengannya, dan telah memenuhi prinsip pemilihan dalam Islam
yaitu syura yang bertumpu pada persamaan, keadilan, kebebasan
transparansi, dan kebersamaan. Dan menurut penulis, perbedaannya terdapat
pada tataran tekis, kerena harus disesuaikan dengan kondisi sosial
masyarakat demi tercapai kemaslahatan umat.[16]
- Firdaus Ayu Palestina, dengan judul tesis Analisis
Penataan Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan Umum Ditinjau Dari Fiqh
Siyasah Dusturiyah Dan Sadd Al-Dzari’ah. Dalam karyanya, penulis
menjelaskan bahwa Penataan Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan Umum
Ditinjau dari Fiqh Siyasah Dusturiyah (Konsep Wewenang Arkoun) dan Sadd
Al- Dzari’ah diketahui bahwa Penyelenggara Pemilu (sebagai seorang “dusturi”,
yang memiliki otoritas dalam artian pejabat publik) telah melakukan
wewenang, yakni “siyasah” dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya
dengan patuh dan melaksanakan Undang-Undang, meskipun dalam praktknya
masih terjadi over lapping (tumpang tindih). Sedangkan dalam konsep Saad
Al-Dzari’ah, Penyelenggara Pemilu, yaitu KPU berusaha untuk menutup
kemungkunan-kemungkinan yang tidak baik guna terciptanya regulasi yang
revolusioner, sedangkan Bawaslu bertindak sebaliknya (Fath Al-Dzari’ah)
dengan mempertimbangkan persamaan hak, namun mengesampingkan langkah
kedepannya.[17]
E.
Metodologi
Penelitian
1.
Jenis
Penelitian
Metode penelitian dapat
diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah
yang dihadapi dalam melakukan penelitian.[18] Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah berpijak dari realita atas peristiwa yang
berlangsung di lapangan. Apa yang dihadapi dalam penelitian adalah sosial
kehidupan sehari-hari. Penelitian seperti berupaya memandang apa yang sedang
terjadi dalam dunia tersebut dan meletakkan temuan-temuan yang diperoleh
didalamnya. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh peneliti selama dilapangan
termaksud dalam suatu posisi yang berdasarkan kasus, yang mengarah perhatian
dalam spesifikasi kasus-kasus tetentu.[19]
2.
Pendekatan
Penelitian
Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif yang menjadikan penulis harus mengumpulkan data dan informasi
mengenai pendapat dari Fraksi PKS dan Demokrat yang menolak adanya pelaksanaan
pilkada serenetak tahun 2024. Metode kualitatif diartikan sebagai metode yang
meneliti subjek penelitian atau informan dalam lingkup kesehariannya.[20]
Metode kualitatif menggunakan sumber berupa narasi, penuturan informan,
dokumen-dokumen dan bukan menggunakan data berupa angka-angka seperti yang
dilakukan dalam penelitian kuantitatif.[21]
Penyajian data dalam
penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan data yang berasal
dari buku yang berkaitan dengan tema dan masalah yang diangkat oleh penulis,
jurnal ilmiah, dan artikel serta berita yang berasal dari media internet. Hal
tersebut digunakan untuk memudahkan dalam memahami segala macam konteks yang
terkandung di dalamnya.[22]
3.
Sumber
Data
Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder sebagai data utama yang
terdiri dari:
a.
Bahan Hukum Primer
Sumber
data primer diperoleh melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan.
Sumber data primer merupakan data yang diambil langsung oleh peneliti kepada
sumbernya tanpa ada perantara dengan cara menggali sumber asli secara langsung
melalui responden. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah Anggota
DPR RI Fraksi Partai Demokrat, dan Anggota
DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
b.
Bahan Hukum Sekunder
Sumber
Hukum Sekunder dalam penelitian ini, penulis menggunakan buku-buku teks (Teksbook)
yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (deherseende leer),
jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan
bahan-bahan hukum lainnya yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan
dapat membantu dalam memahami dan menganalisis bahan hukum primer.
c.
Bahan Hukum Tersier
Bahan
hukum tersier merupakan bahan hukum yang mendukung bahan yang mendukung bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan
pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang digunakan oleh penulis
adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus-kamus Hukum dan Kamus Bahasa Inggris
baik dalam bentuk cetak maupun elektronik.
4.
Teknik
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah sebagai berikut:
a)
Studi
literatur dan dokumentasi, yaitu mengumpulkan data yang berkaitan dengan
masalah yang diangkat dalam penelitian ini melalui literatur buku, surat kabar,
jurnal ilmiah, serta artikel dan berita yang berasal dari media internet.
Teknik pengumpulan data yang digunakan melalui dokumentasi, untuk memperoleh
data sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan dari bahan primer.
b)
Wawancara
dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan informasi melalui tanya jawab
dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada pihak yang berkompeten dengan
masalah dalam penelitian ini.
5.
Metode
Analisis Data
Data yang diperoleh
kemudian diklasifikasikan menurut pokok bahasan masing-masing, maka selanjutnya
dilakukan analisis data. Analisis data bertujuan untuk menginterpretasikan data
yang sudah disusun secara sistematis yaitu dengan memberikan penjelasan. Dalam
menyusun dan menganalisis data, penulis menggunakan penalaran deduktif.[23]
Penalaran deduktif merupakan langkah berpikir dengan mengumpulkan pernyataan
yang bersifat umum untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan yang bersifat
khusus.
6.
Pedoman
Penulisan Skripsi
Dalam
penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.
F.
Sistematika
Penulisan
Dalam
pembahasan Skripsi ini peneliti membuat sistematika pembahasan sebagai berikut:
BAB
I Pendahuluan.
Pada bab ini menjelaskan tentang Latar Belakang Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat Penelitian, Kerangka Pemikiran, Landasan Teori, Tinjauan Pustaka (Review)
Kajian Terdahulu, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II Kajian
Teori yang membahas mengenai teori
demokrasi, teori kedaulata rakyat, dan teori umum mengenai partai politik.
BAB III Profil
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Profil Partai Demokrat Dan Partai Keadilan
Kesejahteraan Sosial (PKS); dalam bab ini
akan menjelaskan tentang Profil Komisi Pemilihan Umum (KPU), sejarah dan Perkembangan pilkada di Indonesia, Profil dari Partai
Demokrat dan Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) mengenai sejarah
terbentuknya partai tersebut berikut dengan visi dan misi Partai.
BAB
IV Penolakan Pelaksanaan Pilkada
Serentak Tahun 2024 Dari Perspektif Partai PKS Dan Partai Demokrat; yang
membahas tentang analisis dari pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 dan
penolakan partai PKS dan Partai Demokrat; Efektivitas dan Efisiensi pilkada
serentak 2024 menurut pendapat fraksi Partai Politik Indonesia.
BAB V Penutup. Pada
bab ini terdapat kesimpulan analisis penulis mengenai pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 dan
saran untuk peneliti berikutnya yang mengkaji penelitian ini.
BAB II
KONSEP UMUM PARTAI POLITIK
A. Definisi Partai Politik
Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa
Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu
diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik
telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat di
satu pihak dan pemerintah di pihak lain. Pada awal perkembangannya, akhir
dekade 18-an di negara-negara Barat seperti Inggris dan Prancis, kegiatan
politik dipusatkan pada kelompok-kelompok politik dalam parlemen. Kegiatan ini mula-mula bersifatelitis dan aristokratis,
mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap
tuntutan-tuntutan raja. Semakin meluasnya hak pilih, kegiatan politik
juga berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia pemilihan
yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang
masa pemilihan umum (kadang-kadang dinamakan caucus party). Oleh
karena dirasa perlu memperoleh dukungan dari berbagai golongan masyarakat,
kelompok-kelompok politik di parlemen lambat laun juga berusaha
mengembangkan organisasi massa. Maka pada akhir abad ke-19 lahirlah
partai politik, yang pada masa
selanjutnya berkembang menjadi penghubung
(link) antara rakyat di satu
pihak dan pemerintah di pihak lain.[24] Partai
politik merupakan instrumen yang tak terpisahkan dari sistem
demokrasi di negara manapun di dunia ini. Tidak dapat dikatakan demokratis
sebuah negara jika tidak ada partai politik di negara tersebut karena
pada hakikatnya partai politik merupakan manifestasi dari kebebasan masyarakat
untuk membentuk kelompok sesuai dengan kepentingannya.[25]
Cikal bakal dari terbentuknya partai politik di Indonesia adalah lahirnya
Budi utomo yang merupakan perkumpulan kaum terperajar. Perkumpulan
ini merupakan bentuk dari studie club,
perkumpulan social ekonomi, dan
organisasi pendidikan.[26]
setelah Budi utomo lahir, muncullah dua
organisasi yang disebut-sebut sebagai partai politik pertama di Indonesia,
yaitu Sarekat Islam dan Indiche partij. Munculnya kedua organisasi
tersebut merupakan ancaman bagi Budi Utomo,
karena banyak anggotanya yang
pindah kedua organisasi tersebut. semenjak itulah Budi Utomo
mulai mengarah kepada kegiatan politik. Menyusul di belakang tiga
organisasi tersebut muncul organisasi ISDV yang lahir pada tahun 1914
didirikan oleh orang Belanda di Semarang. Pendirian ISDV adalah usaha
untuk memasukkan paham Marxisme ke Indonesia. Pada tanggal 23 Mei
1920 ISDV mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia. Semaun
dan Darsono yang dulunya merupakan tokoh partai Sarekat Islam menjabat
sebagai ketua dan wakil ketua PKI. Perpecahan terjadi di tubuh Sarekat
Islam yang memecah partai tersebut menjadi dua golongan yaitu Sarekat
Islam Putih dan Sarekat Islam Merah. Sarekat Islam gerakanya lebih dititik beratkan
dalam bidang memajukan gerakan perekonomian rakyat
dan keislaman sesuai dengan nama Sarekat Islam. Berbeda dengan Budi
Utomo, Sarekat Islam
gerakannya lebih bersifat
revolusioner dan nasionalistis. Selain itu juga
lahir Muhammadiyah, Partai Nasional Indonesia,Partai Indonesia
dan lain-lain. Muhammadiyah mengikrarkan diri bukan sebagai partai
politik walaupun ada kaitannya dengan organisasi politik Islam.[27]
Di Indonesia, kemunculan partai-partai politik tak terlepas dari terciptanya
iklim kebebasan yang luas bagi masyarakat pasca-runtuhnya pemerintahan
kolonial Belanda. Kebebasan tersebut memberikan ruang dan kesempatan
kepada masyarakat untuk membentuk organisasi, termasuk partai
politik. sebenarnya, cikal-bakal dari munculnya partai politik sudah ada
sebelum kemerdekaan Indonesia. partai politik yang
lahir selama masa penjajahan
tidak terlepas dari peranan gerakan-gerakan yang tidak hanya dimaksudkan
untuk mendapatkan kebebasan yang lebih luas dari penjajah, juga
menuntut adanya kemerdekaan. Hal ini bisa kita lihat dengan lahirnya partai-partai
sebelum kemerdekaan. selain didorong
oleh adanya iklim demokrasi yang diberikan oleh pemerintah
kolonial Belanda, kemunculan partai-partai politik di indonesiajuga tidak lepas
dari karakteristik masyarakat Indonesia yang
majemuk.sebagaimana dikatakan oleh John Furnival bahwa masyarakat Indonesia atau
Hindia Belanda ketika itu merupakan masyarakat yang plural
(pluralsociety), yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih
elemenatau tatanan sosial yang hidup berdampingan satu sama lain. Hanya
saja,sambung Furnival, di antara mereka itu tidak pernah bertemu di dalam suatu
unit politik. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat
yang majemuk itu pada akhirnya bergabung dalam suaru unit politik
besar yang dinamakan partai politik.[28]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), Partai adalah perkumpulan
(segolongan orang) yang seasas, sehaluan, dan setujuan (terutama di bidang
politik).[29]
Dari sisi etimologis, Maurice
Duverger menyebutkan bahwa kata Partai berasal
dari bahasa Latin pars, yang berarti "bagian". Dengan pengertian
tersebut, kita dapat memahami bahwa karena ia merupakan suatu
bagian maka konsekuensinya pasti ada bagian-bagian lain. Oleh karena
itu, untuk memenuhi pengertian tersebut maka idealnya tidak mungkin
di dalam suatu negara jika hanya terdapat satu partai.[30]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Politik adalah (pengetahuan)
mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan,
dasar pemerintahan): bersekolah di akademi, segala
urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan
negara atau terhadap negara lain: dalam dan luar negeri; kedua negara itu
bekerja sama dalam bidang, ekonomi, dan kebudayaan; partai,organisasi,
cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah) kebijaksanaan.[31]
Secara etimologis, kata politik
berasal dari bahasa yunani, yaitu polis yang
berarti kota atau komunitas secara keseluruhan. Konsep tentang polis
adalah proyek idealis Plato (428-328 S.M) dan Aristoteles (384- 322
S.M).14 Dalam bukunya yang berjudul “The
Republic”, plato
bertujuan untuk membuat
sebuah pemahaman bahwa konseppolis ialah terciptanya masyarakat
yang ideal. Hal ini berarti politik ialah segala usaha dan aktivitas
untuk membangun dan mewujudkan masyarakat yang ideal atau lebih
baik. sedangkan Aristoteles dalam bukunya yang berjudul “The politics” mengungkapkan bahwa manusia adalah binatang politik (political
Animal). Maksudnya
adalah bahwa aktivitas politik tidak diciptakan oleh manusia, melainkan
ditemukan sEcara alamiah dalam diri setiap manusia.[32]
Partai politik merupakan bagian dari infrastruktur[33] politik dalam Negara. Partai
politik berangkat dari anggapan bahwa dengan membentuk wadah organisasi
mereka bisa menyatukan orang-orang yang mempunyai pikiran serupa
sehingga pikiran dan orientasi mereka bisa dikonsolidasikan. Dengan begitu
pengaruh mereka bisa lebih besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan.[34] Secara
umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelom- pok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai, dan cita-cita
yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik
dan merebut kedudukan politik (biasanya)
dengan cara konstitusional untuk
melaksanakan programnya. Banyak
sekali deinisi mengenai partai politik yang dibuat oleh para sarjana.
Di bagian ini dipaparkan beberapa contoh definisi
yang dibuat para ahli ilmu
klasik dan kontemporer.
Carl J. Friedrich menuliskannya sebagai berikut:
“Partai
politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan
ini, memberikan
kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat adil serta
materiil (A political, party is a group of human beings, stably organized with the objective of securing or maintaining for its leaders the
control of a government,
with the further objective of giving to members of the party, through such control ideal and material beneits and advantages).’’
Sigmund Neumann dalam buku karyanya, Modern Political Parties,
mengemukakan definisi
sebagai berikut:
“Partai
politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain
yang mempunyai pandangan yang berbeda (A political party is the articulate organization of society’s active political
agents; those who are
concerned with the control of governmental polity power, and who compete for popular support with other group or groups holding
divergent views)”.[35]
Partai politik merupakan salah satu bentuk perwujudan kebebasan
berserikat sebagai salah satu prasyarat berjalannya demokrasi. Kebebasan
berserikat lahir dari kecenderungan dasar manusia untuk hidup bermasyarakat dan
berorganisasi baik secara formal maupun informal. Kecenderungan demikian itu
merupakan suatu keniscayaan. Kecenderungan bermasyarakat yang pada perinsipnya
adalah kehidupan berorganisasi timbul untuk memenuhi kebutuhan dan
kepentingan-kepentingan yang sama dari individu-individu serta untuk mencapai
tujuan bersama berdasarkan persamaan pikiran dan hati nurani.[36]
Sejalan dengan itu, pengertian partai politik menurut Undang-Undang
Nomer 2 Tahun 2008 adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok WNI secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat,bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI
berdasarkan pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembentukan
partai politik setidaknya paling sedikit terdiri dari 50 orang WNI yang telah
berusia 21 tahun dengan akta notaris. Pendirian dan pembentukannya menyertakan
30% keterwakilan perempuan.[37]
B. Tujuan Partai Politik
Tujuan partai politik berdasarkan Undang-Undang Partai Politik di
Indonesia yaitu, Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Pasal 10 menyatakan bahwa:
(1) Tujuan umum Partai Politik adalah:
a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksuddalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945;
b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila denganmenjunjung
tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan RepublikIndonesia; dan
d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
(2) Tujuan khusus Partai Politik adalah:
a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam
rangkapenyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;
b. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan
bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara; danc. membangun etika dan budaya
politik dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara.
(3) Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan
secara konstitusional.[38]
C. Fungsi Partai Politik
Partai politik telah menjadi ciri penting dalam sebuah politik modern
karena memiliki fungsi yang strategis. Para ahli pun banyak yang
merumuskan fungsi-fungsi dari Partai Politik. Fungsi utama dari Partai
Politik ialah mencari kekuasaan, mendapatkan kekuasaan dan mempertahankannya.
Cara partai politik untuk memperoleh kekuasaan tersebut
ialah dengan berpartisipasi dalam pemilihan umum. Untuk melaksanakan
fungsi tersebut partai politik melakukan tiga hal yang umumnya
dilakukan oleh Partai Politik yaitu menyeleksi calon-calon, setelah
calon-calon mereka terpilih selanjutnya ialah melakukan kampanye, setelah
kampanye dilaksanakan dan calon terpilih dalam pemilihan umum selanjutnya
yang dilakukan oleh Partai Politik ialah melaksanakan fungsi pemerintahan
(legistlatif ataupun eksekutif).[39] Partai politik tidak hanya bertugas sebagai merebut kursi
dan mengumpulkan suara pada saat pemilihan umum, tetapi partaipolitik juga berfungsi sebagai
solusi untuk kepentingan bersama. Artinya, partai politik juga berfungsi
sebagaimana di sampaikan oleh para pemikir.
Fungsi
Partai Politik berdasarkan Undang-Undang Partai Politik di Indonesia yaitu,
Undang-Undang
No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Pasal 11 ayat 1
menyatakan bahwa partai politik adalah sebagai sarana:
a. Pendidikan politik bagi anggotanya dan
masyarakat luas agar menjadi warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan
kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
b. Penciptaan
iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa
untuk mensejahterakan masyarakat.
c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi
politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan
kebijakan negara
d. Partisipasi
politik warga negara Indonesia; dan
e. Rekrutmen
politik dalam proses pengisisan jabatan politik melalui mekanisme demokrasi
dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.[40]
Secara garis besar, Firmanzah menyebutkan bahwa peran dan fungsi partai
politik dibedakan
menjadi dua, yairu fungsi internal dan fungsi eksternal.
Dalam fungsi internal, partai politik berperan dalam pembinaan, pendidikan,
pembekalan, dan pengkaderan bagi anggota partai politik demi langgengnya
ideologi politik yang menjadi latar belakang pendirian partai politik
tersebut. Sedangkan dalam fungsi eksternal peranan partai politik terkait
dengan ruang lingkup yang lebih luas yakni masyarakat, bangsa, dan
negara. Hal ini karena partai politik juga mempunyai tanggung jawab konstitusional,
moral, dan etika untuk membawa kondisi, dan situasi masyarakat
menjadi lebih baik.[41]
Secara lebih rinci Miriam Budiarjo menyebutkan bahwa Fungsi Partai
Politik di Negara Demokrasi adalah:
1)
Sebagai Sarana Komunikasi Politik.
Di masyarakat modern yang luas dan kompleks, banyak ragam pendapat dan
aspirasi yang
berkembang. Pendapat atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok
akan hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir, apabila tidak
ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang
senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (interest aggregation). Sesudah
digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi diolah dan dirumuskan
dalam bentuk yang lebih teratur. Proses ini dinamakan perumusan kepentingan
(interest articulation).[42] Di
sisi lain, partai politik juga berfungsi memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana
dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan demikian
terjadi arus informasi dan dialog dua arah, dari atas ke bawah dan dari
bawah ke atas. Dalam pada itu partai politik memainkan peran sebagai penghubung
antara yang memerintah dan yang diperintah. Peran partai sebagai jembatan
sangat penting, karena di satu pihak kebijakan pemerintah perlu
dijelaskan kepada semua kelompok masyarakat, dan di pihak lain pemerintah harus
tanggap terhadap tuntutan masyarakat. Dalam
menjalankan fungsi inilah partai politik sering disebut sebagai perantara
(broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas). Kadang-kadang
juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah bertindak sebagai
alat pendengar, sedangkan bagi warga masyarakat sebagai “pengeras
suara”.[43]
2)
Sebagai Sarana Sosialisasi Politik.
Dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai
suatu proses yang melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap
fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Ia
adalah bagian dari proses yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa,
ideologi, hak dan kewajiban. Dimensi
lain dari sosialisasi politik adalah sebagai proses yang melaluinya
masyarakat menyampaikan “budaya politik” yaitu norma-norma dan
nilai-nilai, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi
politik merupakan faktor penting dalam terbentuknya budaya politik
(political culture) suatu bangsa. Proses
sosialisasi berjalan seumur hidup, terutama dalam masa kanak kanak. Ia
berkembang melalui keluarga, sekolah, peer group, tempat kerja, pengalaman
sebagai orang dewasa, organisasi keagamaan, dan partai politik.
Ia juga menjadi
penghubung yang mensosialisasikan nilai-nilai politik generasi
yang satu ke generasi yang lain. Di sinilah letaknya partai dalam memainkan
peran sebagai sarana sosialisasi politik. Pelaksanaan fungsi sosialisasinya dilakukan
melalui berbagai cara yaitu media massa, ceramah-ceramah, penerangan,
kursus kader, penataran, dan sebagainya.[44]
3) Sebagai Sarana Rekrutmen Politik.
Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik
kepemimpinan internal partai
maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas.
Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas,
karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai
yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri.
Dengan mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit menentukan
pemimpinnya sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan
calon untuk masuk ke bursa kepemimpinan nasional.
Selain untuk tingkatan seperti itu partai politik juga
berkepentingan memperluas atau memperbanyak
keanggotaan. Maka ia pun berusaha menarik sebanyak-banyaknya
orang untuk menjadi anggotanya. Dengan didirikannya organisasi-organisasi
massa (sebagai onderbouw) yang melibatkan golongan-golongan
buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita dan sebagainya, kesempatan
untuk berpartisipasi diperluas. Rekrutmen politik menjamin kontinuitas
dan kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk Partai Politik untuk
menjaring dan melatih calon-calon pemimpin. Ada berbagai cara untuk melakukan
rekrutmen politik, yaitu melalui kontak pribadi, persuasi, ataupun cara-cara
lain.[45]
4)
Sebagai Sarana Pengatur Konlik (Conlict Management).
Potensi konlik selalu ada di setiap masyarakat, apalagi
di masyarakat yang bersifat heterogen, apakah dari segi etnis (suku bangsa),
sosial-ekonomi, ataupun agama. Setiap
perbedaan tersebut menyimpan potensi konlik. Apabila keanekaragaman
itu terjadi di negara yang menganut paham demokrasi, persaingan
dan perbedaan pendapat dianggap hal yang wajar dan mendapat tempat.
Akan tetapi di dalam negara yang heterogen sifatnya, potensi pertentangan
lebih besar dan dengan mudah mengundang konlik. Di
sini peran partai politik diperlukan untuk membantu mengatasinya, atau
sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatifnya
dapat ditekan seminimal mungkin. Elite partai dapat menumbuhkan pengertian
di antara mereka dan bersamaan dengan itu juga meyakinkan pendukungnya. Secara
ringkas dapat dikatakan bahwa partai politik dapat menjadi penghubung
psikologis dan organisasional antara warga negara dengan pemerintahnya.
Selain itu partai juga melakukan konsolidasi dan artikulasi tuntutan-tuntutan
yang beragam yang berkembang di berbagai kelompok masyarakat.
Partai juga merekrut orang-orang untuk diikutsertakan dalam kontes
pemilihan wakil-wakil rakyat dan menemukan orang-orang yang cakap untuk
menduduki posisi-posisi eksekutif. Pelaksanaan fungsi-fungsi ini dapat
dijadikan instrumen untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan partai politik
di negara demokrasi.[46]
D. Teori Partai Politik
Terdapat tiga teori asal mula
terbentuknya partai politik yang dikemukakan oleh Lapalombara dan Weiner, yaitu:
(1) teori kelembagaan, yang melihat adanya hubungan antara parlemen awal dengan
timbulnya partai politik, (2) teori situasi historik yang melihat timbulnya
partai politik sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang
ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara luas, dan (3) teori pembangunan yang
melihat partai politik sebagai produk modernisasi sosial ekonomi.[47]
a)
Teori Kelembagaan
Menurut teori ini, partai politik pertama kari
terbentuk pada lembaga legislatif dan eksekutif, karena adanya kebutuhan
anggota legislatif (yang ditentukan dengan pengangkatan) untuk berhubungan
dengan masyarakat dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Terbentuknya partai politik seperti
ini sering juga disebut sebagai partai politik Intra-Parlemen. Setelah partai politik Intra-Parlemen
terbentuk dan menjalankan fungsinya maka kemudian muncul partai politik lain
yang dibentuk oleh kelompok masyarakat lain karena mereka menganggap bahwa
partai politik yang lama tidak mampu menampung dan memperjuangkan kepentingan
mereka. Partai yang
tebentuk ini disebut sebagai partai Ekstra-Parlemen.[48]
Kita bisa memahami kemunculan partai[49]
pertama kali dengan memahami
kronologis sejarah munculnya ide pembentukan partai politik
yang bermula pada abad ke-18. Latar belakang terbentuknya sebuah
partai intra-parlemen pada masa ini dikarenakan kebutuhan untuk
mengakomodasi kepentingan tiap-tiap daerah. Pada tahun 1789 di Versailles,
perwakilan-perwakilan provinsi pada General State mengadakan pertemuan.
Sekelompok anggota legislatif dari daerah yang sama tersebut berkumpul
untuk memperjuangkan kepentingan daerah mereka masing-masing. Kegiatan
ini pertama kali dilakukan oleh para wakil dari Breton. Mereka
secara reguler melakukan pertemuan dengan menyewa sebuah kafe. Di
sana mereka berbagi pendapat terkait masalah-masalah daerah mereka dan
terbentuklah apa yang mereka sebut dengan "Breton CIub". Dalam perkembangannyaanggota
klub ini tidak hanya beranggotakan para wakil rakyat
dari Breton saja. Mereka juga membuka kesempatan kepada para wakil
daerah lain untuk bertukar pendapat sehingga topik pembahasan mereka
sampai kepada isu-isu nasional. Dengan perkembangan inilah mereka
menjelma menjadi kelompok ideologis. Selain Breton CIub, perkembangan
awal seperti ini juga dialami oleh Girondin CIub.[50]
Setelah partai politik yang diinisiatif oleh
pemerintah tersebut terbentuk dan menjalankan fungsinya, barulah mulai muncul
partai politik lain yang dibentuk oleh masyarakat dengan skala yang lebih
kecil. Munculnya partai politik dari luar parlemen ini disebut Ekstra-parlemen.
pemimpin kelompok masyarakat membuat partai ini dengan tujuan untuk
memperjuangkan kepentingan mereka yang tidak dapat sepenuhnya ditampung arau diperhatikan
oleh partai yang dibentuk oleh pemerintah tersebut. Sebagai contoh pada negara
yang dijajah, masyarakar membenruk partai politik untuk memperjuangkan
kemerdekaan bagi negaranya. sedangkan pada negara maju, kelompok masyarakat
yang minoritas membentuk partainya sendiri untuk memperjuangkan kepentingan
kelompoknya yang tidak terwakili dalam sistem kepartaian yang ada. contohnya
serikat buruh di Inggris dan Australia membentuk partai Buruh, kelompok
keagamaan di Belanda
membentuk Partai Kristen Historis, dan sebagainya.[51]
b)
Teori Situasi Historik
Menurut Teori situasi Historik, partai politik terbentuk
ketika suatu sistem politik mengalami masa transisi karena adanya perubahan-perubahan
yang terjadi pada masyarakat, misalnya dari masyarakat tradisional yang
berstruktur sederhana menjadi masyarakat yang lebih modern yang berstruktur
kompleks. Teori ini
berangkat dari adanya kebutuhan
untuk menampung kompleksitas struktur masyarakat yang semakin
meningkat. Peningkatan rersebut seperti pertambahan penduduk karena
peningkatan kesehatan, perluasan pendidikan, mobilitas okupasi (penduduk),
perubahan pola pertanian dan industri, partisipasi media, urbanisasi,
ekonomi berorientasi pasar, peningkatan aspirasi dan harapan-harapan baru,
dan munculnya gerakan-gerakan populis. Perubahan-perubahan tersebut
menyebabkan timbulnya riga macam krisis, yaitu: (1) krisis
legitimasi, (2) krisis integrasi, dan (3) krisis partisipasi.[52]
a. Krisis legitimasi yaitu perubahan yang menyebabkan masyarakat mempertanyakan legitimasi
kewenangan pemerintah. Partai politik yang
didukung oleh masyarakat secara penuh diharapkan dapat membentuk
suatu hubungan yang terlegitimasi antara pemerintah dan
masyarakat.
b. Krisis integrasi yaitu perubahan yang menimbulkan masalah dalam identitas
yang menyatukan masyarakat sebagai suatu bangsa. Partai politik
yang terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat berfungsi sebagai sarana
integrasi berbagai latar belakang masyarakat.
c. Krisis partisipasi yaitu perubahan yang mengakibatkan tuntutan
yang semakin besar
untuk ikut serta dalam proses politik. Partai politik juga diharapkan
mampu untuk menyalurkan aspirasi masyarakat.
Dalam
upaya mengatasi tiga krisis yang terjadi tersebut maka dibentuklah
partai politik. Dengan terbentuknya partai politik yang berakar kuat di masyarakat maka diharapkan pemerintahan yang terbentuk kemudian
mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat. Partai politik juga
diharapkan dapat berperan sebagai integrator bangsa dengan cara lebih
bersifat terbuka bagi berbagai golongan. Selain itu, partai politik juga
harus mampu untuk menyalurkan keinginan masyarakat yang ingin menyampaikan
aspirasi politiknya melalui mekanisme pemilu.[53]
c)
Teori Pembangunan
Modernisasi
sosial ekonomi ditandai dengan meningkatnya pembangunan
di sektor sosial dan ekonomi seperti pembangunan teknologi komunikasi,
peningkatan kualitas pendidikan, industrialisasi, pembentukan berbagai
kelompok kepentingan dan organisasi profesi, dan segala aktivitas yang
menimbulkan kebutuhan untuk membentuk suatu organisasi politik yang
mampu menyalurkan aspirasi mereka. Dapat
disimpulkan bahwa teori pembangunan
menyatakan bahwa partai politik merupakan konsekuensi logis
dari modernisasi sosial ekonomi.[54]
BAB III
PROFIL KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU) PARTAI
KEADILAN SEJAHTERA DAN PARTAI DEMOKRAT
A.
Profil Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Komisi Pemilihan Umum (KPU)
adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah Penyelenggara Pemilu di Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Wilayah kerja KPU meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. KPU menjalankan tugasnya secara berkesinambungan dan dalam
menyelenggarakan Pemilu, KPU bebas dari pengaruh pihak manapun berkaitan dengan
pelaksanaan tugas dan wewenangnya. KPU berkedudukan di ibu kota negara Republik
Indonesia, KPU Provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota. Dalam menjalankan
tugasnya, KPU dibantu oleh Sekretariat Jenderal; KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota masing-masing dibantu oleh sekretariat. Jumlah anggota KPU
sebanyak 7 (tujuh) orang; KPU Provinsi sebanyak 5 (lima) orang; dan KPU
Kabupaten/Kota sebanyak 5 (lima) orang. Keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota terdiri atas seorang ketua merangkap anggota dan anggota. Ketua
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dipilih dari dan oleh anggota. Setiap
anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mempunyai hak suara yang
sama. Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus). Masa
keanggotaaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota 5 (lima) tahun terhitung
sejak pengucapan sumpah/janji. KPU pertama pasca reformasi dibentuk pada tahun
1999-2001 dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang
anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh
Presiden BJ Habibie.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) kedua
(2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001 yang berisikan 11 orang
anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001. KPU ketiga (2007-2012)
dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota yang
berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat dilantik
tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung dilantik Presiden karena
masalah hukum. Untuk menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, image KPU
harus diubah sehingga KPU dapat berfungsi secara efektif dan mampu
memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu yang
jujur dan adil tersebut merupakan faktor penting bagi terpilihnya wakil rakyat
yang lebih berkualitas, dan mampu menyuarakan aspirasi rakyat. Sebagai anggota
KPU, integritas moral sebagai pelaksana pemilu sangat penting, selain menjadi
motor penggerak KPU juga membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat karena
didukung oleh personal yang jujur dan adil. Tepat 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya
penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR
untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah satunya kualitas
penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dituntut independen dan
non-partisan. Untuk itu atas usul insiatif DPR-RI menyusun dan bersama
pemerintah mensyahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara
Pemilu. Sebelumnya keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal 22-E
Undang-undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang
Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilu diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan
oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU
sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Sifat tetap menunjukkan KPU
sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun
dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam
menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun. Perubahan
penting dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu,
meliputi pengaturan mengenai lembaga penyelenggara Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; serta Pemilihan Umum Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan kemudian disempurnakan dalam 1 (satu) undang-undang secara
lebih komprehensif. Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilu diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai
lembaga pengawas Pemilu.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab
sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan
seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya. KPU memberikan laporan
Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007
Tentang Penyelenggara Pemilu juga mengatur kedudukan panitia pemilihan yang
meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara
Pemilihan Umum yang bersifat ad hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting
dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka
mengawal terwujudnya Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki
integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan
Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
Agar Kode Etik Penyelenggara
Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan
Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu. Di dalam Undang-undang Nomor 12
Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, jumlah anggota KPU adalah 11
orang. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilu, jumlah anggota KPU berkurang menjadi 7 orang. Pengurangan
jumlah anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang tidak mengubah secara mendasar
pembagian tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan
melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu
Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu,
komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU 5 (lima) tahun
terhitung sejak pengucapan sumpah/janji. Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada
asas : mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib penyelenggara Pemilu;
kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas;
akuntabilitas; efisiensi dan efektivitas.[55]
1)
Visi Komisi Pemilihan Umum
(KPU)
Menjadi
Penyelenggara Pemilihan Umum yang Mandiri, Professional, dan Berintegritas
untuk Terwujudnya Pemilu yang LUBER dan JURDIL.
2)
Misi Komisi Pemilihan Umum
(KPU)
a.
meningkatkan kualitas
penyelenggaraan Pemilu yang efektif dan efisien, transparan, akuntabel, serta
aksesibel;
b.
meningkatkan integritas,
kemandirian, kompetensi dan profesionalisme penyelenggara Pemilu dengan
mengukuhkan code of conduct penyelenggara Pemilu;
c.
menyusun regulasi di bidang
Pemilu yang memberikan kepastian hukum, progesif, dan partisipatif;
d.
meningkatkan kualitas pelayanan
Pemilu untuk seluruh pemangku kepentingan;
e.
meningkatkan partisipasi dan
kualitas pemilih dalam Pemilu, Pemilih berdaulat Negara kuat; dan
f.
mengoptimalkan pemanfaatan
kemajuan teknologi informasi dalam penyelenggaraan Pemilu.[56]
B.
Sejarah dan Perkembangan Pilkada di Indonesia
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di daerah. Ini merupakan perkembangan
dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Dalam pemerintahan
Indonesia, salah satu prinsip yang dikenal adalah prinsip otonomi, yang artinya
adanya keleluasaan bagi Pemerintah Daerah untuk mengatur daerahnya sendiri.
Pilkada meru-pakan sarana untuk memilih kepala daerah dan wakil-wakil rakyat di
DPRD, dimana mereka dipilih langsung oleh masyarakat di daerahnya. Dengan
demikian, legitimasi kedudukan Kepala Daerah dan Anggota DPRD menjadilebih
representatif, bila Pilkada ini dilaksanakan secara demokratis dan sesuai
dengan prosedur yang berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan.[57]
Pemilihan sistem pilkada merupakan perjalanan
politik panjang yang diwarnai tarik-menarik antara kepentingan elit politik dan
kehendak publik, kepentingan pusat dan daerah atau bahkan antara kepentingan
nasional dan internasional.
Di Indonesia, sejarah politik lokal hampir setua umur penjajahan kolonial,
desentralisasi kekuasaan, dan administrasi pemerintahan itu sendiri. Bahkan
apabila kita menelusuri jauh ke belakang, ke jaman kerajaan yang pernah berdiri
dengan megahnya di seantero nusantara, para bangsawan mempergunakan politik
lokal untuk memperluas wilayah dan kekuasaannya. Sehingga politik lokal dapat
dikatakan bukanlah barang baru dalam sejarah pembentukan karakter bangsa dan
negara hingga saat ini. Sejarah politik lokal terbagi dalam beberapa tahapan
masa, yaitu:.[58]
a) Masa Pemerintahan Belanda dan Jepang
Di awal masa penjajahan sebelum tahun 1903, pemerintah kolonial Belanda
menerapkan aturan hukum berupa Reglement op het Beleid der Regering van
Nederlandsch Indie (Stb 1855/2) yang sangat konservatif. Aturan tersebut
menjelaskan tentang sentralisasi kekuasaan di Hindia Belanda bukan sebaliknya.
Di samping menjalankan sentralisasi, dekonsentrasi memberikan kekuasaan kepada
wilayah-wilayah administratif secara hirarkhis, namun hanya terbatas di pulau
Jawa saja. Lahirnya istilah seperti Gewest kemudan berubah menjadi Residentie,
Afdeeling, District, dan Onder-district, merupakan pertanda adanya bentuk
perwakilan kewenangan pemerintah Belanda pada wilayah-wilayah di daerah jajahannya.
Sehingga, desentralisasi sesungguhnya bukanlah hal baru di bumi Indonesia,
karena pada masa penjajahan kolonial Belanda di tahun 1903 para elit Eropa di
Hindia Belanda diberikan wewenang mendirikan pemerintahan sendiri, namun secara
terbatas. Kerajaan Belanda menerbitkan Wethoundende Decentralisatie van het
Bestuur in Nederlandsch Indie (Stb. 1903/329), lebih dikenal sebagai Decentralisatiewet
1903. Menurut Harry J. Benda, undang-undang ciptaan bangsa penjajah
tersebut tidak memberikan landasan apapun dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Hanya daerah-daerah besar sajalah mendapat perhatian dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah di Hindia Belanda. Selanjutnya, dapat ditebak bahwa titik
berat penyelenggaraan otonomi daerah hanya fokus pada provinsi dan kabupaten
besar saja. Pada tahun 1922, terbit Undang-undang tentang desentralisasi,
menjadi dasar lahirnya provinsi-provinsi baru dengan otonomi administratif
cukup besar. Namun demikian Sutherland mengatakanbahwa pemberian otonomi
tersebut bukanlah ditujukan memberikan jalan bagi pertumbuhan demokratisasi
lokal, namun sebagai benteng penangkal nasionalisme saja. Pemberian kewenangan
otonomi administratif hanya menimbulkan kekacauan belaka akibat semakin tajam
perbedaan antara kaum aristokrat kolonial dengan pribumi dalam mengatur
pemerintahan. Pada tahun 1931, pemberontakan kekuatan komunis di Jawa Barat dan
Sumatera Barat memaksa penjajah kolonial menarik kembali kewenangan otonomi
lokal ke sentral (sentralisasi). Ciri dari sistem pemerintah kolonial sebelum
kemerdekaan adalah sebagai berikut: Pemerintahan tidak langsung, Pemberlakukan
aturan double standart, Hukum eropa konservatif bagi elit Eropa dan hukum adat
bagi pribumi, berkembangnya elit pribumi berdasarkan garis keturunan kerajaan
sebagai waki pemerintah kolonial di luar pulau Jawa, Isolasi gerakan nasionalis
dan Pengendalian ketat daerah-daerah pedesaan dan daerah luar Jawa oleh elit
pribumi tradisional patuh pada kekuasaan kolonial.[59]
Rezim pemerintahan Belanda berganti oleh
pemerintahan Jepang. Pada Pemerintahan Jepang di Indonesia telah dikeluarkan 3
(tiga) undang-undang yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan yang
disebut dengan 3 (tiga) osamu sirei 1942/27 yaitu Undang-Undang Nomor 27
tentang perubahan sistem pemerintahan (tertanggal 6-8-2602), Undang-Undang
Nomor 28 tentang perubahan syuu (tertanggal 7-8-2602) dan Undang-Undang Nomor
30 tentang mengubah nama negeri dan nama daerah (tertanggal 1-9-2602).
Pemerintahan Jepang membagi daerah menjadi karesidenan yang disebut syuu dan
residennya disebut syuutyoo. Setelah karedisidenan terdapat dua pembagian
daerah yang disebut ken dan si yang dikepalai oleh Kentyoo dan Sityoo. Di
tingkat kawedana, keasistenan dan desa dikenal dengan nama Gunson dan
Kosedangkan kepala daerahnya disebut Guntyoo, Sotyoo dan Kutyoo dimana
pengangkatannya ditunjuk oleh Pemerintah Jepang.[60]
b) Masa Era Kemerdekaan
Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya
pada tahun 1945, Belanda yang terusir dari bumi Hindia Belanda karena
kekalahannya melawan Jepang berusaha merebut kembali kekuasaannya di Indonesia.
Segala dalih politikpun direncanakan demi merebut ambisi menduduki kembali bumi
Indonesia, karena kerajaan Belanda masih memandang bahwa Indonesia sebagai
koloninya.Di bawah tekanan dunia internasional, Belanda dipaksa menunaikan
tanggung jawab moralnya sebagai eks-penjajah dengan membantu merancang tata
administrasi pemerintahan negara Indonesia yang masih sangat belia. Pada saat
itu, di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa serangkaian misi
perundingan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah kerajaan Belanda
dijalankan. Negara-negara kuat, seperti Inggris, memantau perkembangan
perundingan dengan seksama. Di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia, negosiasi diplomatik terjadi antara pemerintah Indonesia dan
pemerintahan kerajaan Belanda. Di bulan September 1946 perwakilan Indonesia
memulai pertemuan dengan perwakilan pemerintah kerajaan Belanda di Linggarjati
dengan difasilitasi oleh pemerintah Inggris. Pemerintah Belanda memaksa
berlakunya sistem negara federal di Indoenesia.[61]
Sejak kemerdekaan, ketentuan mengenai
pemerintahan daerah diatur dalam sejumlah undang-undang yaitu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan aturan-aturan Pokok
mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.[62]
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, pemilihan kepala
daerah dilakukan oleh pemerintah pusat.[63]
Sementara menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan
aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Kepala Daerah Propinsi diangkat
oleh Presiden dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD.[64]
DPRD berhak mengusulkan pemberhentian seorang kepala daerah kepada pemerintah
pusat. Namun sejak Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 hingga Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974, ketentuan pilkada tidak mengalami perubahan, yaitu mengikuti
ketentuan sebagai berikut:
(1)
Kepala Daerah dipilih oleh DPRD;
(2)
Kepala Daerah tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden;
(3) Kepala Daerah tingkat II diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri Dalam Negeri dan otonomi daerah, dari calon-calon yang diajukan
oleh DPRD yang bersangkutan.[65]
c) Masa Orde Baru (Era Reformasi)
Terhitung sejak itu, pada tahun 1999,
Indonesia mencatatkan sejarah dalam memasuki era desentralisasi sesungguhnya.
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
desentralisasi membuka peluang politik lokal mencari jalan keluar menuju
kemandirian daerah. Dapat dibayangkan semangat euphoria putra-putra daerah
memindahkan kekuasaan dari pusat ke daerah berarti juga memberikan kesempatan
mereka untuk menjadi “Raja-raja” baru daerah. Langkah-langkah strategis
Presiden Habibie saat itu selain memberikan kebebasan pers, kebebasan
mendirikan partai-partai politik, pemilu bebas, dan pemberian referendum bagi
masyarakat Timor Timur yang berujung lepasnya provinsi termuda Indonesia
tersebut menjadi merdeka sepenuhnya. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 telah memberikan dasar-dasar pemerintahan desentralisasi administratif
yang sangat banyak kelemahannya.[66]
Setelah reformasi bergulir, berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pilkada dilakukan dengan menggunakan sistem
demokrasi tidak langsung dimana Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilih
oleh DPRD dengan penegasan asas desentralisasi yang kuat. Dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar
dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah. Rekrutmen Kepala Daerah sepenuhnya
berada pada kekuasaan DPRD. Sementara pemerintah pusat hanya menetapkan dan
melantik Kepala Daerah berdasarkan hasil pemilihan yang dilakukan oleh DPRD
setempat. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pemerintah daerah terdiri
dari kepala daerah dan perangkat daerah. DPRD berada di luar pemerintah daerah,
yang berfungsi sebagai badan legislatif pemerintah daerah untuk mengawasi
jalannya pemerintahan. Di masa ini, kepala daerah dipilih sepenuhnya oleh DPRD,
tak lagi ada campur tangan Pemerintah Pusat. Berbeda dengan sistem sebelumnya,
yaitu kepala daerah diangkat oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri, yang
diajukan atau diusulkan oleh DPRD. Jika
kita lihat perbandingan pilkada pada masa reformasi dan zaman orde baru, dapat
dikatakan pemilihan kepala daerah di era reformasi lebih demokratis. Namun
fakta menunjukkan bahwa kewenangan DPRD dan Fraksi-fraksi sangat kuat dan
mengakibatkan penyalahgunaan wewenang seperti maraknya politik uang di tingkat
DPRD.[67]
Pada prinsipnya, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
berusaha mendekatkan pemerintahan daerah agar lebih responsif kepada rakyatnya
dan memberikan ruang transparansi lebih besar demi mencapai devolusi kekuasaan.
Peran pemerintah pusat hanyalah terbatas sebagai penjaga malam saja karena sisa
tanggung jawab setelah menjadi urusan daerah adalah meliputi: pertahanan
keamanan nasional, kebijaksanaan luar negeri, masalah-masalah fiskal dan
moneter, perencanaan ekonomi makro, sumber-sumber alam, kehakiman, dan eagama.
Daerah memiliki kewenangan mengurus pekerjaan umum, pendidikan dan kebudayaan,
pemeliharaan kesehatan, pertanian, perhubungan, industri, perdagangan,
investasi, masalah-masalah lingkungan, koperasi, tenaga kerja, dan tanah. Di
masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, masalah desentralisasi semakin
mencuat ke permukaan dengan bantuan liputan berbagai media. Masalah-masalah
seperti korupsi, kepala daerah yang memainkan politik uang ketimbang
melaksanakan pada konstituennya, kemudian wakil rakyat yang hanya mementingkan
“perut” sendiri, memaksa pemerintahannya melahirkan Undang-Undang “penangkal”
baru, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, masing-masing tentang
Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Menurut Malley, pemerintahan Megawati bukanlah mengamandemen Undang-Undang
yang ada, tetapi malah menggantinya sama sekali. Sekalipun demikian, perubahan
tidak banyak memunculkan gejolak berarti, bahkan terbilang tidak mengalami
hambatan berarti karena pemilu Bupati pertama di bulan juni 2005 berlangsung
lancar. Pilkada memilih pemimpin daerah secara langsung bukan simbol-simbol
partai seperti masa lalu mendorong masyarakat secara aktif berpartisipasi dalam
kampanye dan datang berduyun-duyun mencoblos calon pilihannnya di bilik-bilik pemilihan.
Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono diwarnai dengan kebijakan-kebijakan
desentralisasi bernama pemekaran. Pemekaran adalah nama yang dipergunakan dalam
proses desentralisasi yang menciptakan unit-unit administratif baru di dalam
provinsi-provinsi dan distrik-distrik yang telah ada sebelumnya. Istilah
tersebut mungkin meniru sistem redistricting di Amerika Serikat yang berarti
pembentukan kembali distrik-distrik. Proses redistricting di Amerika Serikat
sama sekali bukan hal yang spesifik karena setiap tahun pemilihan hampir dapat
dipastikan karena perubahan laju pertumbuhan penduduk, urbanisasi, imigrasi,
dan emigrasi, sehingga peta wilayah pemilihan harus selalu disesuaikan. Lain
halnya dengan proses serupa di negara-negara Afrika terutama Nigeria, pemekaran
hampir selalu dikaitkan dengan maksud-maksud politis tertentu seperti
penguasaan sumber-sumber daya alam, kekuasaan segelintir elit daerah, dan
peluang mendapatkan alokasi bantuan dana dari pusat.Ketika Mahkaman Konstitusi
menyetujui tinjauan yuridis (judicial review) terhadap Undang-Undang 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di tahun 2008 yang memperbolehkan calon
independen berkompetisi dalam ajang pemilihan kepala daerah dengan calon-calon
kader partai politik, politik lokal seperti tidak terpisahkan dari proses
politik dan demokrasi di Indonesia. Selama ini, menurut ketentuan perundangan
dalam Undang-Undang tersebut, calon kepala daerah hanya boleh diajukan oleh partai politik sehingga
calon-calon lain di luar partai politik tidak diberikankesempatan sama sekali
maju dalam pilkada. Momen bersejarah ini sangat penting bagi terbukanya ruang
partisipasi masyarakat lokal dalam memilih pemimpin dambaannya. Figur-figur
partai politik akan dipaksa lebih memperhatikan aspirasi masyarakat ketimbang
ambisi pribadi dan partai pengusungnya. Walaupun demikian, jalan panjang masih
harus dibenahi guna menggolkan calon-calon independen kepala daerah dalam
pilkada masing-masing daerah. Aturan main dan batasan-batasan etika pengajuan
calon masih terbentur dengan pola pemilihan lama yang mengandalkan kekuatan
mesin-mesin politik partai dan uang sebagai jaminan kemenangan calon. Alhasil,
calon independen sangatlah sulit memenangkan pilkada tanpa kehadiran partai
politik pendukung. Padahal, terbukanya ruang bagi calon independen merupakan
ajang pembelajaran masyarakat lokal menjalankan demokrasi sesungguhnya. Sejalan
dengan fitrahnya berdemokrasi akan kembali kepada rakyatnya juga. Masyarakat
berpartisipasi aktif dalam proses kehidupan sosial dan politik negaranya
begitupun di tiap daerah tempat mereka tinggal. Keadaan seperti itu akan
mendorong demokrasi ke level lokal. Tarik ulur antara proses demokratisasi
pusat dan lokal serta interaksinya dengan sistem demokrasi di luar Indonesia,
menghasilkan dinamika. Selain itu, desentralisasi terjadi di seluruh pelosok
kabupaten dan kota di Indonesia turut menghasilkan dinamika politik lokal.
Menguatnya politik lokal dapat dilihat dari gegap gempita pelaksanaan pilkada
yang di tahun 2008 serentak terjadi di hampir 300-an lebih Kabupaten dan Kota
termasuk ke-33 Provinsi di Indonesia. Dapat dibayangkan berapa energi, waktu,
dan uang bermain dalam kontes demokrasi lokal tersebut. Pertanyaan selanjutnya
adalah seberapa jauh kemanfaatan proses demokratisasi lokal tersebut bagi
pembelajaran politik bagi masyarakat lokal yang bukan hanya sebatas menyuarakan
kepentingannya saja. Namun lebih jauh, terlibat dalam setiap pengambilan
keputusan yang akan berdampak pada kehidupan mereka.[68]
C.
Profil Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
adalah nama sebuah partai Islam di Indonesia. Sebelum mentransformasikan diri
menjadi PKS, PK adalah nama partai yang dibentuk tahun 1998. Nama PK berubah
menjadi PKS, karena tidak memenuhi electroral threshold. PKS ini
didirikan di Jakarta pada hari Sabtu, tanggal 9 Jumadil Awwal yang bertepatan
dengan tanggal 20 April 2002. Partai ini berasaskan Islam. PKS adalah partai
dakwah Islam.Dikatakan partai dakwah karena pembentukan partai ini memang
berangkat dari niat untuk melakukan tugas dakwah di bidang politik. Partai ini
mengusung ciri yaitu sebagai partai yang bersih, peduli dan profesional. Kantor
pusat partai ini berkedudukan di Jakarta. Sebagai partai yang didirikan di
Indonesia, PKS memiliki visi menjadi partai pelopor dalam mewujudkan cita-cita
nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun misi partai ini adalah
menjadikan Partai sebagai sarana perwujudan masyarakat madani yang adil,
sejahtera, dan bermartabat yang diridhai Allah subhanahu wata’ala, dalam
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[69]
Tujuan didirikannya PK
Sejahtera, sebagaimana tertuang dalam AD/ART, adalah “Terwujudnya masyarakat
madani yang adil dan sejahtera yang diridhoi Allah SWT dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia”. PK Sejahtera menyadari pluralitas, etnik dan
agama masyarakat Indonesia yang mengisi wilayah beribu pulau dan beratus suku
yang membentang dari Sabang hingga Merauke, yang dilalui garis khatulistiwa di
dalamnya.[70]
Partai Keadilan Sejahtera
pada awalnya adalah Partai Keadilan (PK), yang didirikan pada tanggal 20 Juli
1998. PK lahir dari momentum euphoria reformasi setelah lengsernya Soeharto
tahun 1998. Basis Partai ini adalah gerakan Tarbiyah model Ikhwanul Muslimin di
Mesir. Tokoh utamanya adalah Hasan Al-Banna. Gerakan Tarbiyah ini menurut Norma
Permata, seperti dikutip oleh Muslihudin, adalah gerakan yang mengadopsi konsep
Islamisasi secara gradual (gradual Islamisation), yaitu berawal dari individu ke dalam keluarga, ke dalam masyarakat, dan
kemudian ke dalam politik. Seperti halnya Ikhwanul Muslimin, doktrin politik
PKS berkembang dalam proses pengembangan sistem masyarakat Islam melalui
tahapan-tahapan (gradual), sebagai berikut: pertama, ta’sisi (the
formation stage), yaitu mengawali
pembentukan gerakan dakwah. Kedua, tandzimi (the
foundation stage), yaitu pengembangan organisasi melalui rekruitmen kader untuk
mengembangkan jaringan organisasi, ketiga, sya’bi (the
socialization stage), yaitu mengawali gerakan dakwah dengan memperkenalkan
aktifitas dakwah kepada publik yang lebih luas dan melakukan rekruitmen anggota
secara terbuka. Keempat, muassasi (the penetration
stage), yaitu kegiatan partisipasi gerakan dakwah melalui
proses pelembagaan politik seperti pemilu. Kelima, dauly (the government phase), yaitu di mana aktor
dakwah menduduki posisi pemerintah.[71]
Dalam kancah perpolitikan,
setidaknya ada tujuh peranan yang PKS dermakan untuk Indonesia. Hal ini
sebagaimana diungkapkan dalam Platform Kebijakan Partai Keadilan Sejahtera.
Sebagai berikut:
1. Berkaitan dengan bentuk negara. Sebagai wujud dari rasa tanggung jawab kaum
Muslimin terhadap rumah besarnya yang bernama Indonesia, dan panggilan dakwah
yang menjadi rahmat bagi semesta alam, PK Sejahtera bahu-membahu bersama
entitas politik lainnya untuk mengisi pembangunan menuju Indonesia yang maju,
kuat, aman, adil, sejahtera dan bermartabat sesuai dengan cita-cita universal,
yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang adil dan makmur di bawah
lindungan Allah.
2. Berkaitan dengan dinamika politik nasional, PK Sejahtera mendorong agar
Indonesia Baru ke depan berada pada kondisi politik yang sehat dan dinamis,
dimana terjadi pematangan dari kondisi transisi menuju konsolidasi demokrasi
yang mantap, yang ditandai dengan terbuka lebarnya ruang berekspresi masyarakat
dalam koridor hukum dan tertib sosial.
3. Berkaitan dengan model demokrasi. Eksperimentasi politik di masa transisi
saat ini ditandai dengan terbuka lebarnya ruang ekspresi dan ledakan partisipasi
politik dalam bentuk munculnya banyak partai politik, namun tetap dalam format
sistem presidensial. Sejarah perpolitikan Tanah Air sejak era Demokrasi
Parlementer, Demokrasi Terpimpin di zaman Orde Lama, serta Demokrasi
Presidensial di zaman Orde Baru, sampai hari ini di era Reformasi dengan
praktek ”Demokrasi Parlemen Multi Partai” memperlihatkan pergerakan bandul
sejarah dari sistem liberal.
4. Berkaitan dengan sistem ketatanegaraan PK Sejahtera berkeyakinan, bahwa
pemerintah mestilah efisien dan efektif dalam mengelola negara.Secara bertahap
bersama tumbuhnya kekuatan negara, maka pemerintah mengambil posisi pada
pengelolaan fungsi minimal negara, dan menyerahkan fungsi lainnya bagi
partisipasi masyarakat.
5. Berkaitan dengan tata hubungan pemerintahan secara vertikal serta otonomi
daerah, maka PK Sejahtera berkeyakinan, bahwa hubungan ini dilaksanakan dengan
menjalankan kewenangan pusat secara lebih efektif sekaligus dengan meningkatkan
kualitas pelaksanaan kewenangan daerah melalui penguatan kelembagaan, pembinaan
SDM, dan peningkatan kapasitas.
6. Berkaitan dengan birokrasi, birokrasi yang bersih, peduli, dan profesional
merupakan cermin akan “tubuh” bangsa ini sehari-hari yang merefleksikan ruh
pengelolaan negara.
7. Partai Keadilan Sejahtera berkeyakinan, bahwa strategi penegakan hukum
harus diawali dengan membersihkan aparat penegaknya dari perilaku bermasalah
dan koruptif, sesuai dengan pepatah, “hanya sapu bersih yang dapat membersihkan
lantai kotor”. Sebab, penegakan hukum sangat bergantung pada aparat yang
bersih, baik di kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan seluruh jajaran birokrasi
yang menjalankan fungsi-fungsi penegakan hukum tersebut.[72]
Terkait dengan bahasan
teologi PKS ini, PKS tidak berbeda dengan Ikhwanul Muslimin, yang memiliki lima
slogan organisasi yaitu: Allah adalah tujuan kami, Al-Quran adalah konstitusi
kami, Rasulullah adalah pimpinan kami, jihad adalah jalan kami, dan syahid
adalah cita-cita kami.[73]
D.
Profil Partai Demokrat
Partai Demokrat didirikan atas inisiatif saudara Susilo Bambang Yudhoyono
yang terilhami oleh kekalahan terhormat saudara Susilo Bambang Yudhoyono pada
pemilihan Calon wakil Presiden dalam Sidang MPR tahun 2001. Dari perolehan
suara dalam pemilihan cawapres dan hasil pooling publik yang menunjukkan
popularitas yang ada pada diri Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya disebut
SBY), beberapa orang terpanggil nuraninya untuk memikirkan bagaimana sosok
SBY bisa dibawa menjadi Pemimpin Bangsa danbukan direncanakan untuk menjadi
Wakil Presiden RI tetapi menjadi Presiden RI untuk masa mendatang. Hasilnya
adalah beberapa orang diantaranya saudara Vence Rumangkang menyatakan
dukungannya untuk mengusung SBY ke kursi Presiden, dan bahwa agar cita-cita
tersebut bisa terlaksana, jalan satu-satunyaadalah mendirikan partai politik.
Perumusan konsep dasar dan platform partaisebagaimana yang diinginkan SBY
dilakukan oleh Tim Krisna Bambu Apus danselanjutnya teknis administrasi
dirampungkan oleh Tim yang dipimpin oleh saudara Vence Rumangkang. Juga
terdapat diskusi-diskusi tentang perlunya berdiri sebuah partai untuk
mempromosikan SBY menjadi Presiden, antara lain: Pada tanggal 12 Agustus 2001
pukul 17.00 diadakan rapat yang dipimpin langsung oleh SBY di apartemen Hilton.
Rapat tersebut membentuk tim pelaksana yang mengadakan pertemuan secara
marathon setiap hari. Tim itu terdiri dari : Vence Rumangkang, Drs. A. Yani
Wahid (Alm), Achmad Kurnia, Adhiyaksa Dault, SH, Baharuddin Tonti, dan Shirato
Syafei. Di lingkungan kantor Menkopolkam pun diadakan diskusi-diskusi untuk
pendirian sebuah partai bagi kendaraan politik SBY dipimpin oleh Drs. A. Yani
Wachid (Almarhum). Pada tanggal 19 Agustus 2001, SBY memimpin langsung
pertemuan yang merupakan cikal bakal pendirian dari Partai Demokrat. Dalam
pertemuan tersebut, saudara Vence Rumangkang menyatakan bahwa rencana pendirian
partai akan tetap dilaksanakan dan hasilnya akan dilaporkan kepada SBY. Tanggal
20 Agustus 2001, saudara Vence Rumangkang yang dibantu oleh saudara Drs. Sutan
Bhatoegana berupaya mengumpulkan orang-orang untuk merealisasikan pembentukan
sebuah partai politik. Pada akhirya, terbentuklah Tim 9 yang beranggotakan 10
(sepuluh) orang yang bertugas untuk mematangkan konsep-konsep pendirian sebuah
partai politik yakni: Vence Rumangkang, Dr. Ahmad Mubarok, MA., Drs. A. Yani
Wachid (almarhum), Prof. Dr.Subur Budhisantoso, Prof. Dr. Irzan Tanjung, RMH.
Heroe Syswanto Ns., Prof. Dr. RF. Saragjh, SH., MH., Prof. Dardji
Darmodihardjo, Prof. Dr.Ir. Rizald Max Rompas dan Prof. Dr. T Rusli Ramli, MS.
Disamping nama-nama tersebut, ada juga beberapa orang yang sekali atau dua kali
ikut berdiskusi. Diskusi Finalisasi konsep partai dipimpin oleh Bapak SBY.
Untuk menjadi sebuah Partai yang disahkan oleh Undang-Undang Kepartaian
dibutuhkan minimal 50 (limapuluh) orang sebagai pendirinya, tetapi muncul
pemikiran agar jangan hanya 50 orang saja, tetapi dilengkapi saja menjadi 99
(sembilan puluh sembilan) orang agar ada sambungan makna dengan SBY sebagai
penggagas, yakni SBY lahir tanggal 9 bulan 9. Pada tanggal 9 September 2001,
bertempat di Gedung Graha Pratama Lantai XI, Jakarta Selatan dihadapan Notaris
Aswendi Kamuli, SH., 46 dari 99 orang menyatakan bersedia menjadi Pendiri
Partai Demokrat dan hadir menandatangani Akte Pendirian Partai Demokrat. 53
(lima puluh tiga) orang selebihnya tidak hadir tetapi memberikan surat kuasa
kepada saudara Vence Rumangkang. Kepengurusan pun disusun dan disepakati bahwa
Kriteria Calon Ketua Umum adalah Putra Indonesia asli, kelahiran Jawa dan
beragama Islam, sedangkan Calon Sekretaris Jenderal adalah dari luar pulau jawa
dan beragama Kristen. Setelah diadakan penelitian, maka saudara Vence
Rumangkang meminta saudara Prof. Dr. Subur Budhi Santoso sebagai Pejabat Ketua
Umum dan saudara Prof. Dr. Irsan Tandjung sebagai Pejabat Sekretaris Jenderal
sementara Bendahara Umum dijabat oleh saudara Vence Rumangkang. Pada malam hari
nya pukul 20.30, saudara Vence Rumangkang melaporkan segala sesuatu mengenai
pembentukan Partai kepada SBY di kediaman beliau yang saat itu sedang merayakan
hari ulang tahun ke 52 selaku koordinator penggagas, pencetus dan Pendiri
Partai Demokrat. Dalam laporannya, saudara Vence melaporkan bahwa Partai
Demokrat akan didaftarkan kepada Departemen Kehakiman dan HAM pada besok hari
yakni pada tanggal 10 September 2001. Pada tanggal 10 September
2001 jam 10.00 WIB Partai Demokrat didaftarkan ke Departemen Kehakiman dan HAM
RI oleh saudara Vence Rumangkang, saudara Prof. Dr. Subur Budhi Santoso,
saudara Prof. Dr. Irsan Tandjung, saudara Drs. Sutan Bhatogana MBA, saudara
Prof. Dr. Rusli Ramli dan saudara Prof. Dr. RF. Saragih, SH, MH dan diterima
oleh Ka SUBDIT Pendaftaran Departemen Kehakiman dan HAM. Kemudian pada tanggal
25 September 2001 terbitlah Surat Keputusan Menkehakiman & HAM Nomor
M.MU.06.08.-138 tentang pendaftaran dan pengesahan Partai Demokrat. Dengan
Surat Keputusan tersebut Partai Demokrat telah resmi menjadi salah satu partai
politik di Indonesia dan pada tanggal 9 Oktober 2001 Departemen Kehakiman dan
HAM RI mengeluarkan Lembaran Berita Negara Nomor : 81 Tahun 2001 Tentang
Pengesahan. Partai Demokrat dan Lambang Partai Demokrat. Selanjutnya pada
tanggal 17 Oktober 2002 di Jakarta Hilton Convention Center (JHCC), Partai
Demokrat di deklarasikan dan dilanjutkan dengan Rapat Kerja Nasional (Rakernas)
Pertama pada tanggal18-19 Oktober 2002 di Hotel Indonesia yang dihadiri Dewan
Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) seluruh Indonesia.
Sejalan dengan deklarasi berdirinya Partai Demokrat, sebagai perangkat
organisasi dibuatlah Anggaran Dasar dan Anggaran RumahTangga (AD/ART). Sebagai
langkah awal maka pada tahun 2001 diterbitkan AD/ART yang pertama sebagai
peraturan sementara organisasi. Pada tahun. 2003 diadakan koreksi dan revisi
sekaligus didaftarkan ke Departemen Kehakiman dan HAM RI sebagai Persyaratan
berdirinya Partai Demokrat. Sejak pendaftaran tersebut, AD/ART Partai Demokrat
sudah bersifat tetap dan mengikat hingga ada perubahan oleh forum Kongres.[74]
1)
Visi Partai Demokrat
Partai Demokrat bersama masyarakat luas berperan
mewujudkan keinginan luhur rakyat Indonesia agar mencapai pencerahan
dalamkehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur,
menjunjung tinggi semangat Nasionalisme, Humanisme dan Internasionalisme, atas
dasar ketakwaan kepada Tuhan yang maha Esa dalam tatanan dunia baru yang damai,
demokratis dan sejahtera. Indonesia
menjadi Negara Maju di Abad 21. Indonesia menjadi Negara Kuat di tahun 2045.
Indonesia menjadi Emerging Economy di tahun 2030. Menjadi partai politik
masa depan yang: Kuat, berintegritas dan berkapasitas. Relevan dan adaptif
dengan perkembangan zaman, Konsisten pada nilai, idealisme dan platform
perjuangan partai yang menjunjung tinggi perdamaian, keadilan, kesejahteraan, demokrasi
dan kelestarian lingkungan, Menyatu dengan rakyat dan terus memperjuangkan
kepentingan dan aspirasi rakyat dan Mempertahankan jati diri sebagai partai
Nasionalis-Religius, Partai Terbuka, Partai Tengah, Partai Pluralis dan Partai
Pro Rakyat Kecil.
2)
Misi Partai Demokrat
a. Memberikan garis yang jelas agar partai berfungsi secara optimal dengan
peranan yang signifikan didalam seluruh proses pembangunan Indonesia baru yang
dijiwai oleh semangat reformasi serta pembaharuan dalam semua bidang kehidupan
kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan kedalam formasi semula sebagaimana
telah diikrarkan oleh para pejuang, pendiripencetus Proklamasi kemerdekaan
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan titik berat kepada upaya
mewujudkan perdamaian, demokrasi (Kedaulatan rakyat) dan kesejahteraaa;
b. Meneruskan perjuangan bangsa dengan semangat kebangsaan barudalam
melanjutkan dan merevisi strategi pembangunan Nasional sebagai tumpuan sejarah
bahwa kehadiran partai Demokrat adalah melanjutkan perjuangan generasi-generasi
sebelumnya yang telah aktif sepanjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia,
sejak melawan penjajah merebut Kemerdekaan, merumuskan Pancasila dan UUD 1945,
mengisi kemerdekaan secara berkesinambungan hingga memasuki era reformasi;
c. Memperjuangkan tegaknya persamaan hak dan kewajibanWarganegara tanpa
membedakan ras, agama, suku dan golongandalam rangka menciptakan masyarakat
sipil (civil society) yang kuat, otonomi daerah yang luas serta
terwujudnya representasi kedaulatan rakyat pada struktur lebaga perwakilan dan
permusyawaratan;
d. Sebagai salah satu kekuatan politik nasional, Partai Demokrat
berpartisipasi dan berkontribusi dalam kehidupan bernegara dan pembangunan
nasional, menuju terwujudnya Indonesia yang makin maju, makin damai, makin
adil, makin sejahtera dan makin demokratis; dan
e. Sebagai partai politik, Partai Demokrat mengemban misi sebagai berikut:
Memenangkan pemilihan umum pada tingkat nasional, baik pemilu legislatif maupun
pemilu presiden dan wakil presiden, Memenangkan pemilihan umum tingkat daerah,
baik pemilu legislatif maupun pemilu kepala daerah, Mempersiapkan kader-kader
Demokrat untuk maju sebagai peserta pemilihan umum, baik pusat maupun daerah,
baik legislatif maupun eksekutif, Menjalin komunikasi secara berkelanjutan
dengan rakyat guna mengetahui persoalan, harapan dan aspirasi mereka, untuk
selanjutnya diperjuangkan di berbagai medan pengabdian dan penugasan partai,
dan Menjalankan kehidupan internal partai sesuai dengan undang-undang dan
anggaran dasar serta anggaran rumah tangga, menuju masa depan Partai Demokrat
yang makin kuat, makin modern, makin dicintai rakyat dan makin kontributif bagi
pembangunan bangsa.[75]
BAB IV
PENOLAKAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DAN PARTAI
DEMOKRAT TERHADAP PEMILU SERENTAK 2024
A.
Latar Belakang Pilkada Serentak 2024
Proses panjang sistem ketatanegaraan dan
politik Indonesia telah mengalami suatu pergeseran atau transformasi yang lebih
demokratis ditandai dengan perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia
melalui Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Amandmen Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 telah meletakan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dengan
meletakan kedaulatan berada ditangan rakyat.[76]
Agenda politik
nasional strategis dan memiliki aspek pemerintahan dan kemasyarakatan yang luas
dengan segala konsekuensinya bagi masa depan sistem politik Indonesia adalah
Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Bukan hanya mengejar
target keserentakan pencalonan, dinamika kampanye, dan pelantikannya, tetapi juga
kesejalanannya dinamika di daerah dengan agenda pembangunan yang dicanangkan
Pusat agar dapat mencapai sasaran dengan hasil maksimal. Konstruksi politik
beroperasinya sistem presidensial yang tidak terpencar masing-masing
kegiatannya di tingkat lokal sebagai akibat latar belakang politik kepala
daerahnya yang beragam dengan pemerintah koalisi di Pusat, adalah sintesa besar
dari pembahasan substansi penting dari demokrasi pilkada sebagai agenda
nasional.[77]
Pemilihan Umum (pemilu) merupakan konsekuensi logis dari negara
demokrasi, dan demokrasi adalah cara aman untuk mempertahankan kontrol atas
negara hukum.[78]
Pada Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menjelaskan bahwa
Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. Demokratis berarti kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Demokrasi,
negara hukum, dan negara kesejahteraan menjadi dasar filosofis dari
penyelenggaraan pemilu.[79] Menurut Satjipto Rahardjo, Pemilu yang demokratis
ialah lembaga yang mereproduksi kontrak sosial baru antara rakyat dengan
pemimpin pemerintahan.[80] Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie, pemilu
selain sebagai perwujudan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM), juga bertujuan
untuk mengisi dan melaksanakan suksesi kepemimpinan secara tertib.[81] Dalam melaksanakan pemilihan umum yang
demokratis, dapat dijalankan secara langsung maupun tidak langsung.[82]
Penyelenggaraan pilkada serentak yang
dilaksanakan secara bertahap dimulai pada 2015, kemudian tahap kedua akan
dilaksanakan pada 15 Februari 2017 untuk kepala daerah yang masa jabatannya
berakhir pada semester kedua 2016 dan yang berakhir pada 2017. Selanjutnya, secara bertahap gelombang ketiga
direncanakan Juni 2018, berikutnya tahun 2020, 2022, dan 2023 hingga pilkada
serentak nasional pada tahun 2027 yang meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Namun, draf Revisi Undang-undang Pemilu dan Pilkada terkait pelaksanaan
pilkada serentak yang dinormalisasi dan diadakan pada 2022 atau 2023,
menuai pro dan kontra di tengah masyarakat dan elite partai politik, yang mana
draf tersebut berisi tentang aturan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Pilkada, Pilkada 2022 dan 2023 akan dilakukan serentak pada 2024 sudah
masuk dalam program Legislasi Nasional (prolegnas).[83]
Di tahun 2020 ini Indonesia memang akan melaksanakan pesta
demokrasi yaitu dengan pemilihan umum kepala daerah secara serentak. Pemilihan
Umum Kepala Daerah Serentak artinya Pemilihan kepala daerah yang dilakukan
secara langsung oleh penduduk daerah administrative setempat yang memenuhi
syarat, yang dilakukan secara bersamaan di daerahdaerah yang ada di Indonesia.
Pemilihan kepala daerah dilakukan sekaligus bersama wakil kepala daerahnya,
yang mana mencakup Gubernur dan Wakil Gubernur untuk provinsi, Bupati dan Wakil
Bupati untuk kabupaten, dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota untuk kota. Ada 270
wilayah di Indonesia akan menggelar Pilkada 2020. Pilkada serentak 2020 ini
merupakan Pilkada serentak gelombang keempat yang dilakukan untuk kepala daerah
hasil pemilihan Desember 2015.
Ada 270 daerah yang melaksanakan pilkada serentak 2020, rinciannya adalah 9
provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Pilkada Serentak 2020 seharusnya diikuti
269 daerah, namun menjadi 270 karena Pilkada Kota Makassar diulang
pelaksanaannya.[84]
Pilkada serentak merupakan upaya untuk menciptakan
local accountability, political equity dan local
responsiveness. Dengan begitu, demokratisasi di tingkat lokal terkait erat
dengan tingkat partisipasi, dan relasi kuasa yang dibangun atas dasar
pelaksanaan azas kedaulatan rakyat. Selain itu, hasil pilkada juga harus mampu
menghantarkan masyarakat pada kondisi sosial, politik dan ekonomi yang lebih
baik. Pilkada yang baik akan melahirkan pemerintahan yang baik. Pilkada yang
diselenggarakan secara lebih profesional, demokratis, akan memberikan dampak
nyata terhadap perubahan politik. Meskipun demikian, dalam praktiknya Pilkada
melahirkan berbagai konflik yang di antaranya dipicu oleh masalah administrasi
data pemilih, netralitas penyelenggara Pemilu, serta kurangnya kepatuhan
peserta pilkada dan partai politik terhadap peraturan yang berlaku. Pilkada
serentak sebagai agenda politik nasional menuju demokratisasi dapat berjalan
secara substansi dan tidak sekedar ritual prosedur semata.[85]
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Menteri Hukum
dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Laoly sepakat untuk mencabut revisi Undang-Undang
(RUU) Pemilu dari Prolegnas Prioritas 2021. Dengan pencabutan RUU tersebut,
maka Pilkada 2022 dan 2023 akan tetap dilakukan serentak pada 2024. Berbarengan
dengan Pileg dan Pilpres. 7 Fraksi (PDIP, Partai Golkar,
Nasdem, PKB, PAN, PPP) setuju UU Pemilu dikeluarkan dari prolegnas 2021. Satu Fraksi (PKS) sikapnya meminta RUU Pemilu masuk
prolegnas prioritas, tapi memahami sikap mayoritas fraksi dan menghormati surat
dari komisi II. Dan satu Fraksi (Demokrat) meminta RUU Pemilu masuk prolegnas
prioritas 2021.
Anggota Baleg dari
Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan
menyampaikan pandangan fraksinya. Dia menyebut sejak reformasi Indonesia
merubah sistem pemilu setiap lima tahun sekali. Hal tersebut membuat pola
pemilihan umum sulit untuk dievaluasi. Ditambah situasi pandemi Covid-19 yang
mengharuskan semua pihak fokus pada pemulihan ekonomi dan kesehatan.[86]
Komisi II
DPR RI bersama pemerintah, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) telah
menyepakati jadwal Pemilu
2024, baik itu pilpres, pileg
maupun pilkada. Setidaknya ada empat poin penting dari kesepakatan sejumlah
lembaga tersebut. Perihal jadwal Pemilu 2024 disepakati dalam Konsinyering[87] antara
Komisi II DPR, pemerintah, KPU, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP)
kemarin, Kamis (3/6/2021). Adalah Wakil Ketua Komisi II DPR Luqman Hakim yang
mengungkapkan kesepakatan dalam konsinyering tersebut. Sejumlah hasil konsinyering,
yakni tahapan pilpres dan pileg mulai digelar pada awal 2022. Sedangkan
pencoblosan pilpres dan pileg diselenggarakan pada awal 2024.
Berikut empat poin penting yang
disepakati dalam konsinyering antara komisi II DPR, Pemerintah, KPU, Bawaslu,
dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengenai pemilu tahun 2024:[88]
1.
Tahapan pilpres-pileg dimulai maret
2022, yakni tahapan akan dimulai 25 bulan sebelum pemungutan suara.
2.
Pencoblosan pilpres-pileg digelar 28
Februari 2024.
3.
Pencalonan di Pilkada berdasarkan hasil
pileg.
4.
Pencoblosan pilkada 2024 digelar 27 November.
B.
Muatan Aturan Umum Pilkada Serentak 2024
Menurut Ketua KPU Ilham Saputra, usulan mengenai pilkada serentak
2024 didasari sejumlah hal mendasar, terutama UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. KPU menjelaskan mengenai wacana revisi
UU nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang
pemilihan bahwa Pemilu akan diselenggrakan sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017
serentak pada tahun 2024. Selanjutnya, KPU meneaskan bahwa sebagai lembaga
penyelenggara pemilu, mereka taat dan patuh pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku, dalam hal ini adalah Pasal 167 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 dan
pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 tahun 2016. Pada pasal tersebut pada prinsipnya
mengatur bahwa pemilu dan pemeilihan serentak nasional akan diselenggarakan
pada tahun 2024.[89]
Pilkada
serentak nasional tahun 2024 yang diamanatkan dalam pasal 201 ayat (8) UU Nomor
10 Tahun 2016 perubahan kedua UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang pilkada yang akan
diikuti 33 Provinsi, 415 Kabupaten, dan 93 Kota sehingga berjumlah 541 daerah
otonom atau daerah secara serentak akan melaksanakan pilkada di tahun 2024.[90]
KPU menambahkan bahwa kewenangan dalam hal pembentukan dan perubahan
Undang-Undang (UU) ada pada pembentuk UU, dalam hal ini adalah DPR bersama
Pemerintah. Sementara itu, KPU selaku penyelenggara pemilu fokus pada tugas,
wewenang, dan kewajibannya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan berlaku. Sesuai aturan, KPU juga hanya dapat memberikan masukan dan
pengalaman menjalankan Pemilu dan Pemilihan kepada Kementerian Dalam Negeri
selaku perwakilan Pemerintah dan DPR selaku perwakilan legislative. Terakhir,
KPU menjelaskan bahwa dalam prosesnya, semua dilaksanakan dengan berkoordinasi
dalam bentuk Tim Kerja yang terdiri dari DPR, Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan
DKPP. Kesepakatan Tim Kerja Bersama menetapkan bahwa Pemilu dan Pemilihan tetap
diselenggarakan pada tahun 2024 sebagaimana UU Nomor 7 Tahun 2017 dan UU 10
Tahun 2016.[91]
C.
Penolakan Partai Keadilan Sejahtera Dan Partai
Demokrat Terhadap Pemilu Serentak 2024
Sesuai dengan UU Pilkada, pemilihan kepala daerah
akan digelar serentak dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan
Legislatif (Pileg) tahun 2024. Namun, beberapa partai mengusulkan perubahan ini
lewat revisi UU Pemilu. Dalam draf revisi UU Pemilu, Pilkada akan tetap
digelar pada 2022 dan 2023, mengikuti siklus lima tahunan setelah Pilkada 2017
dan 2018. Kemudian, Pilkada serentak baru akan digelar pada 2027.
Namun, banyak elite politik
saling bersilang pendapat mengenai beberapa poin yang terkandung dalam subtansi
draf RUU Pemilu, yang mana salah satunya adalah pelaksanaan pilkada itu
dinormalisasikan dan diadakan pada 2022 atau 2023. Aturan tersebut tidak ada
dalam UU Pemilu dan Pilkada sebelumnya. Karena dalam UU No.10 Tahun 2016
pilkada tahun 2022 dan 2023 akan dilakukan serentak pada tahun 2024. Dan
beberapa fraksi yang menolak usulan bahwa pilkada dilaksanakan pada tahun 2022
dan 2023. Mereka sepakat agar pilkada tetap digelar serentak pada tahun 2024.
Ada beberapa fraksi yang
menolak pelaksanaan pilkada serentak 2024, yakni Partai Kesejahteraan Sosial
dan Partai Demokrat yang menginginkan RUU Pemilu tetap dilaksanakan, yang
kemudian pilkada serentak akan digelar pada tahun 2027. Menurut Peneliti Forum
Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), penolakan dan dukungan
terhadap revisi Undang-undang Pemilu itu dilatarbelakangi hitung-hitungan
partai politik dalam menerapkan strategi Pemilu 2024. Dan ini merupakan suatu
hal yang wajar terjadi karena parpol akan berhitung agar kepentingan politiknya
bisa diakomodasi.[92]
Fraksi Partai Demokrat mendorong
agar pembahasan revisi UU Pemilu diselesaikan secara komprehensif dan holistik.
Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat, Santoso menilai Pilkada serentak 2024 hanya
akan membuat beban teknis di lapangan sangat tinggi yang berpotensi memakan
banyak korban jiwa seperti pemilu 2019 lalu.
Pandemi Covid-19 menjadi alasan pelaksaan
penundaan pilkada 2022. Dengan
tetap diselenggarakannya Pilkada 2022, memang tidak dapat dipungkiri sangat berpotensi
memunculkan kerumunan-kerumunan massa yang mana potensi penularan sangat
tinggi. Alasan kedua adalah anggaran kita yang di alokasikan dulu unuk
mendanai bantuan korban virus covid dan untuk pencegahan Covid-19 dan dana-dana
yang di belanjakan untuk membeli vaksin dan sebagainya serta bantuan-bantuan
sosial sehingga pilkada di undur terlebih dahulu karena dananya di pakai untuk
kepentingan masyarakat.[93]
Ada dua alasan untuk tidak
melaksanakan Pilkada Serentak 2024. Pertama, secara filosofis
pelaksanaan pilkada 2024 itu menghilangkan kesempatan rakyat untuk berfikir
secara proporsional, kerena waktunya barengan dengan pillpres, sehingga boleh
jadi adanya bias ketika memilih pemimpin. Kedua, secara teknis
pelaksanaan berpeluang adanya komplikasi dilapangan seperti contoh pemilu
kemarin, pileg dan pilpres disatukan, menyebabkan korban.[94]
Dari
penjelasan pendapat kedua Fraksi Partai tersebut, menurut penulis pelaksanaan
Pilkada Serentak 2024 setuju untuk tidak dilaksanakan karena ada beberapa hal
yang harus diperhatikan. Mengingat kejadian pada Pemilu Tahun 2019, banyaknya
beban kerja terhadap para petugas KPPS hingga menyebabkan kematian kemudian
situasi keadaan sekarang masih dalam pandemi Virus Covid-19 yang belum
jelas kapan berakhirnya dan pemerintah juga belum mengumumkan kehidupan yang
akan berdampingan dengan Virus Covid-19 atau disebut juga dengan
endemi.
Ide Pilkada
Serentak ini adalah ide efisiensi namun esensi dari demokrasi adalah bagaimana
bisa menangkap secara utuh aspirasi masyarakat. Menurut beliau, pilkada yang
diselenggarakan serentak bersama Pileg dan Piplres mempunyai beberapa
kekurangan. Pertama, tidak memberikan porsi kepada setiap jenis pemilu
yang ada, contoh; ketika pilpres disatukan bersama pileg maka pileg akan
terabaikan, masyarakat lebih fokus pada pilpresnya. Ketika pilkada disatukan
pileg dan pilpres bisa jadi efek pilpres akan sangat mempengaruhi kualitas dari
pilkada. Lalu teorinya ada coat-tail effect,[95] jadi peluang capres
menang secara lebih banyak meraih banyak dukungan di pilkada 2024.
Kedua,
harusnya setiap pemilu diberikan haknya, pilpres terlebih dahulu karena kita
menganut sistem presidensial, kemudian pileg, kemudian pilkada ditahun yang
berbeda. Alasan beliau diadakan setiap pemilu ditahun berbeda karena masing
masing memiliki hak, seperti ketika pilpres membicarakan tantangan dan peluang
bangsa secara nasional dari sudut eksekutif, ketika pileg bicara tentang
kualitas legislator, ketika pilkada bicara tentang masalah lokal baik provinsi
maupun kabupaten/kota. Terakhir, pilkada serentak membuat interaksi partai
politik atau calon pemimpin dengan rakyatnya itu terjadi sekali saja dalam lima
tahun saat pilkada, padahal dalam pileg dan pilpres di tahun yang berbeda.[96]
Pelaksanaan
pilkada seretak 2024 itu pilkada yang nuasanya lebih kepada nuansa politik
nasional. Di 2022 ketika masa berakhirnya kepimpinan daerah, kekosongan
tersebut dapat di isi oleh Pelaksana Tugas (PLT) yang diturunkan dari pusat
sehingga penguatan jaringan kekuatan kelompok tertentu bisa lebih dominan.
Pengalaman itu di ambil ketika pilkada 2020, banyak sekali kader berhasil
menjadi pepimpin daerah yang di usung oleh partai Demokrat. Di tahun 2022, tingkat
keberhasilan bisa mencapai 90% dan kegagalan hanya 10% yang menjadi pimpinan
daerah, karena Partai Demokrat mempunyai kader yang berhasil disaat
elektabilitas dan favoritas partai demokrat sedang bagus-bagusnya.
Dan beliau menambahkan, Pilkada itu bukan hanya figur orang
yang maju dia mengeluarkan uang, Pilkada Indonesia harus belajar dari pilkada yang ada di Eropa
dan Amerika, yang mana jika ingin mencalonkan menjadi presiden tidak perlu
menyiapkan uang sampai triliyunan, karena negara memfasilitasi dan titik-titik
kampanye pun sudah di tentukan oleh negara dan orangnya itu-itu saja
masyarakatnya di undang 1.000 orang, calon presidennya dan calon wakil presidennya berkampanye
di hadapan masyarakat tentang visi misi mereka. Begitu juga calon yang lain,
pun berkampanye di hadapan masyarakat yang di undang, dan mana yang di sukai
oleh masyarakat itu yang di pilih. Maka ketika Donald Trump berkampanye melawan
Joe Biden, Donald Trump berkampaye tidak percaya terhadap Covid-19 sementara
Joe Biden percaya covid, dan Donald Trump tidak punya visi bagaimana cara
mematikan Covid-19 di Amerika supaya tidak berkembang, sementara Joe Biden
punya program bagaimana cara memartikan Covid-19 di Amerika supaya tidak
berkembang.[97]
D.
Efektivitas Dan Efisiensi Pilkada Serentak 2024
Menurut Pendapat Fraksi Partai Politik Indonesia
Menurut mantan ketua Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu), Bambang Eka Cahya Widodo juga tidak setuju apabila
pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan. Menurutnya, hal itu akan berdampak buruk bagi
indikator pemilu. Dan peniadaan pilkada 2022 dan 2023 adalah sesuatu yang tidak
baik. Karena pemilu yang teratur, yang sesuai jadwal adalah salah satu yang
menjadi indikator pemilu yang bagus, integritas pemilu yang baik, dan
dilaksanakan tepat waktu.[98]
Dalam
pendapat Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, akan menjadi pekerjaan yang besar
bagi KPU, dan beliau tidak yakin akan berjalan secara ideal, namun KPU dan
Bawaslu harus menyiapkan perangkatnya
agar pilkada 2024 dapat berjalan dengan optimal dengan catatan bukan hanya
sekedar pilkada, lebih dari itu pemimpinnya adalah mereka yang mempunyai
kapasitas, integritas, bukan hanya isi tas, dan ini yang menjadi tantangan bagaimana
mewujudkan pilkada serentak 2024 yang berkualitas.[99]
Kemudian menurut Fraksi
Partai Demokrat, berjalan dengan efektif dan efisiennya atau tidak tergantung keadaan kita
mau diadakan kapanpun Pilkada itu tergantung keadaan kita saat ini, pada tahun
2024 Pilkada yang kita lakukan sudah menjadi keputusan artinya suka atau tidak
suka kita harus terima keadaan ini, adapun itu efektif atau tidak kita lihat
keadaan Pilpres di tahun 2024 karena Pilpres dan Pileg 2024 menentukan situasi
dan kondisi Pilkada di tahun 2024 kalau pada saat Pilpres dan Pileg situasinya
kurang aman bisa saja Pilkada itu di adakan bukan tahun 2024. Jadi kurng
efektif jika diadakan pada tahun 2024 misal situasi kondisi masih dalam keadaan
covid-19. Dan saya tidak yakin Pilkada serentak diadakan 2024 bisa saja diundur
juga. Dalam politik itu tidak mungkin ada yang terjadi, semuanya juga akan bisa
pasti terjadi.[100]
Dalam pandangan penulis, pelaksanaan Pilkada
Serentak 2024 terdapat beberapa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya ialah; Yang pertama, hak konstitusional peserta pilkada dan masyarakat
tetap terpenuhi. Implementasi dari kedaulatan rakyat salah satunya ialah dengan
diselenggarakannya pemilihan umum. Pilkada serentak ini merupakan salah satu
sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat principal, maka
dari itu dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi warga negara sudah seharusnya
pemerintah menjamin terlaksananya Pilkada Serentak Tahun 2024 apalagi sudah seharusnya pula. Karena, momentum
politik seperti pilkada merupakan suatu pengimplementasian hak konstitusional
seluruh warga negara. Baik mereka sebagai calon peserta pemilu maupun siapa
saja yang hendak menyalurkan hak politiknya untuk memilih dan dipilih. Kedua, Kewenangan yang dimiliki oleh Pejabat sementara atau pelaksana
tugas (Plt) sangat
terbatas. Hal tersebut karena tidak
memungkinkan mereka dapat mengambil kebijakan yang
strategis. Artinya bagi para pejabat
sementara tidak dapat mempunyai wewenang untuk
membuat aturan yang mana sangat penting sekali diberlakukannya aturan yang dapat
menyelesaikan persoalan di masa pandemi Covid-19 ini dan juga dianggap kurang
efektif karena kewenangan yang dimiliki oleh Pejabat sementara sangat terbatas,
sehingga akan memperlambat kinerjanya. Ketiga, mencegahnya meningkatnya anggaran. Artinya jika Pilkada
Serentak 2024 dilaksanakan bersama Pilpres dan Pileg, maka Komisi Pemilihan
Umum (KPU) maupun Pasangan Calon tentunya akan mengeluarkan anggaran yang
meningkat dibanding pada sebelumnya sehingga bagi pemerintah akan sangat
berpengaruh terhadap hutang negara yang sudah bengkak.
Kemudian dampak negatifnya ialah; Pertama, jika
Pilkada Serentak 2024 akan terlaksana masih dalam keadaan Covid-19 maka akan
menimbulkan resiko besar terhadap penularan Virus Covid-19. Banyak pasangan calon di berbagai daerah memancing
kerumunan dengan melakukan konvoi yang kebanyakan tidak memperhatikan protokol
Kesehatan Covid-19. Terlebih lagi, kini sejumlah bakal calon juga terinfeksi virus
Corona. Hal tersebut tentunya sangat membuat semakin resah apalagi nanti pada saat
menjelang pilkada dilaksanakan, yang ditakutkan terhadap lonjakan kasus Covid-19 bisa menciptakan krisis yang semakin meresahkan semua masyarakat. Hal tersebut tentu
sangat berpotensi menciptakan klaster besar apalagi di daerah-daerah yang sebelumnya
masih berkategori zona hijau bisa jadi dengan diselenggarakannya pilkada bisa berpotensi menjadikan daerah tersebut zona merah jika semua orang tidak
memiliki kesadaran untuk tetap melaksanakan protokol Kesehatan Covid-19. Dan agar tidak terjadi klaster baru diharapkan calon
pemilih dalam Pilkada sudah melakukan vaksinasi dan menunjukan sertifikat
vaksin ketika ingin masuk ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kedua, menyebabkan Golput (Golongan Putih) meningkat.
Karena dengan Golput (Golongan Putih) bisa jadi pilihan masyarakat yang paling
rasional mengingat kesehatan dan
keselamatan publik tengah terancam di tengah situasi wabah Covid-19 yang
sangat membuat resah.
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Setelah memaparkan mengenai pendapat dari fraksi PKS dan
Demokrat tentang pelaksanaan pilkada serentak 2024, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Menteri Hukum
dan HAM (Menkum HAM) sepakat untuk mencabut Rancangan
Undang-Undang (RUU) Pemilu dari Prolegnas Prioritas 2021. Dengan pencabutan RUU
tersebut, maka Pilkada 2022 dan 2023 akan tetap dilakukan serentak pada 2024.
Berbarengan dengan Pileg dan Pilpres. 7 Fraksi yakni PDIP, Partai Golkar, Nasdem, PKB, PAN, PPP setuju UU Pemilu
dikeluarkan dari prolegnas 2021. Namun, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera meminta Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu masuk
prolegnas prioritas, tapi memahami sikap mayoritas fraksi dan menghormati surat
dari komisi II. Ada dua alasan mengapa Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) menolak adanya pilkada serentak 2024, yang pertama
secara filosofis pelaksanaan Pilkada 2024 itu menghilangkan kesempatan rakyat
untuk berfikir secara proporsional, kerena waktunya barengan dengan pillpres,
sehingga boleh jadi adanya bias ketika memilih pemimpin. Kedua, secara teknis
pelaksanaan berpeluang adanya komplikasi dilapangan seperti contoh pemilu
kemarin, pileg dan pilpres disatukan, menyebabkan korban.
Dan satu Fraksi yang menolak
adanya penyelenggaraan pilkada serentak 2024, yakni Partai Demokrat. Menurut fraksi ini,
pelaksaan pilkada serentak 2024 adalah suatu hal yang tidak masuk akal karena
nuasanya lebih kepada nuasa politik nasional. Ketika masa berakhirnya pimpinan
daerah di tahun 2022 dapat di isi oleh PLT yang diturunkan dari pusat sehingga
penguatan daripada jaringan kekuatan kelompok tertentu bisa lebih dominan.
2.
Penyelenggaraan pilkada
serentak ini akan menjadi pekerjaan yang besar bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Namun demikian, KPU dan Bawaslu harus menyiapkan seluruh perangkatnya agar
Pilkada Serentak 2024 dapat berjalan dengan optimal. Selain pengoptimalan
kinerja pelaksana pilkada, seluruh masyarakat pun harus tetap menjunjung
integritas dalam penyelenggaraan Pilkada, harus ada komitmen baik untuk peserta
Pilkada maupun pelaksana, kedisiplinan masyarakat.
B. Saran
Direkomendasikan
bagi Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan Pemilu yang
simpel, sistem yang efektif, dan proses yang matang rencananya agar tidak ada
lagi korban. Karena tidak boleh ada lagi pesta demokrasi itu menjadi petaka
demokrasi dan kejadian tidak yang dulu tidak boleh terulang kembali di masa
depan. Selain itu, Pilkada Serentak 2024 harus ditolak karena mempersempit
kepala daerah yang ingin jadi Calon Presiden (Capres) 2024 dan akan jadi
incumbent (Petahana) yang bisa menjadi modal politik untuk maju Calon
Presiden (Capres) 2024.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Amal, Ichlasul. Teori-Teori Mutakhir Partai
Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi 1,
Cetakan 6, Jakarta: Rajawali Pers,
2014.
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu
Politik, Cet ke-4, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2010.
Cipto, Handoyo Hestu. Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Cet. Ke-1, Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya, 2003.
Djazuli, Ahmad. Fiqh Siyasah‚ Implimentasi
Kemaslahatan Umat Dalam Rambu- rambu Syari’ah, Cet Ke-5, Jakarta: Kencana, 2013.
Duverger, Maurice. Partai Politik dan Kelompok-Kelompok Penekan, Judul
Asli: Party Politics and Pressure Groups A Cornparatfue Introduction, Penerjemah: Laila
Hasyim, Yogyakarta: Bina Aksara, 1984.
Firmanzah. Mengelola Partai Politik, Jakarta: Yayasan pustaka obor Indonesia, 2011.
GJ, Wollhoff. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Djakarta: Timun Mas NV, 1955
Hanitijo Soemitro, Ronny. Metode Penelitian Hukum
Jurimetri, Jakarta: Ghia Indonesia, 1998.
Hidayat, Arief. Bernegara Itu Tidak Mudah (Dalam Perspektif Politik
dan Hukum), Semarang:
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2010.
Johny, Ibrahim. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Surabaya:
Bayumedia Publishing, 2010.
Kaho, Joseph Riwu. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Karim, Muhammad Rusli, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut, Jakarta: Rajawali Press, 1983.
Labolo, Muhammad, Teguh Ilham. Partai Politik dan Sistem
Pemilihan Umum di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), Cet Ke-1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015.
Marijan, Kalung. Sistem Politik Indonesia:
Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Jakarta: Prenada Media
Group, 2010.
Muchamad, Ali Safa’at. Pembubaran
Partai Politik Pengaturan Dan Praktik Pembubaran
Partai Politik Dalam Pergulatan
Republik, Jakarta: Rajawali pers,
2011.
Prayudi, Ahmad Budiman &
Aryojati Ardipandanto, Dinamika PolitikPilkada Serentak, Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI
Sekretariat Jenderal DPR Republik
Indonesia, 2017.
Suharizal. Pemilukada : Regulasi, dinamika dan konsep mendatang, Jakarta;
Rajawali Pers, 2012.
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2001.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum,
Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1994.
Surbakti, Ramlan. Memahami IImu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia,
2007.
Thaib, Dahlan. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Yogyakarta: Liberty, 1989.
Yakin, Ayang Utriza. Islam Moderat dan Isu-Isu
Kontemporer Demokrasi, Pluralisme,
Kebebasan Beragama, non Muslim, Poligami, dan Jihad, Jakarta: Kencana, 2016.
JURNAL :
Arifulloh, Achmad. Pelaksanaan Pilkada Serentak Yang Demokratis, Damai Dan Bermartabat,” Jurnal
Pembaharuan Hukum, Volume II, No. 2, (Mei- Agustus, 2015).
Budhiati, Ida. “Quo Vadis Demokrasi Prosedural dan Pemilu:
Sebuah Refleksi Teoritis” Jurnal
Masalah-Masalah Hukum, Vol. 42, No. 2, (2013).
Chaniago, Pangi Syarwi. “Evaluasi Pilkada Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015”, Indonesian
Political Science Review, Vol.1 No.2, (2016).
Hutapea, Bungasan. Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia, (Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan
Hukum Nasional; Jurnal Rechtsvinding Volume 4 Nomor 1 (April,2015).
Muslihudin. Model Pesantren Kader; Relasi Ideologis PP Husnul
Khotimah dengan PKS, serta Artikulasinya dalam Kegiatan
Kepesantrenan, (IAIN Syekh Nurjati Cirebon: Jurnal Holistik
Vol. 14 No. 01, (2013).
Nugraha, Al-Fajar. “Pilkada Langsung Dan Pilkada
Tidak Langsung Dalam Perspektif Fikih
Siyasah, Mazahib”, Vol.XV, No. 2, (Desember, 2016).
Nugraha, Harry S. “Gagasan Amandemen Ulang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Jurnal
Lex Renaissance, Vol. 3, No. 1, (2018).
Nugroho, Heru.“Demokrasi Dan
Demokratisasi: sebuah kerangka konseptual untuk memahami dinamika sosial-politik di Indonesia”, Jurnal
Pemikiran Sosiologi, Vol.1 No.1,
(2012).
Sudirman. Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial), (FISIP Universitas Tadulako; Jurnal
Academica Vol. 04 No. 01, (Februari, 2012).
Sutrisno, Cucu. Partisipasi Warga Negara dalam Pilkada, Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan Vol. 2, No. 2,
2017).
W. Melfa, “Penataan Hukum Menuju Hukum Ideal Dalam Pengaturan
Pemilukada”, Jurnal Masalah-Masalah
Hukum, Vol. 42, (No. 2), 2013.
Yuniartin, Titin. Identitas Politik Partai Keadilan Sejahtera, (Institut
Agama Islam Darussalam Ciamis: Jurnal
Dakwah dan Komunikasi Vol. 12 No. 2, (Juli – Desember, 2018).
SKRIPSI & TESIS :
Faridana, Hendri Putra. “Persepsi Mahasiswa
Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam UIN Antasari
Terhadap Pelaksanaan Pilkada Serentak”, (Skripsi Universitas Islam Negeri Antasari,
Banjarmasin, 2017).
Firdaus Ayu Palestina, “Analisis Penataan
Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan Umum Ditinjau Dari Fiqh Siyasah
Dusturiyah Dan Sadd Al-Dzari’ah”, (Tesis Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2019)
Suheti, “Persepsi Masyarakat Terhadap Pelaksaan Pilkada
Serentak Tahun 2015 Ditinjau Dari UU
No.32 Tahun 2004 (Studi Pemilhan Walikota Cilegon di Kel. Karang Asem)”, (Skripsi Institut Agama Islam Negeri
(Iain) Sultan Maulana Hasanuddin, Banten).
WEBSITE
https://kpud-medankota.go.id/sejarah-pemilu/
https://www.kpu.go.id/page/read/4/visi-dan-misi
http://www.demokrat.or.id/sejarah/
https://www.demokrat.or.id/visi-misi/
https://news.detik.com/berita/d-4596501/ini-270-daerah-yang-gelar-pilkada-serentak-2020.
https://www.merdeka.com/politik/pro-kontra-ruu-pemilu-dicabut-dari-prolegnas-2021.html.
https://news.detik.com/berita/d-5594089/4-hal-tentang-jadwal-resmi-pemilu-2024/2,
UNDANG-UNDANG:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan
Komite Nasional Daerah
Undang-Undang No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
ANGGARAN DASAR PARTAI:
Anggaran Dasar (AD) dan
Anggaran Rumah Tangga (ART) Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Jakarta: 20 April
2002.
LAMPIRAN-LAMPIRAN:
Transkip
Wawancara Skripsi
Pendapat Fraksi Partai
Keadilan Sejahtera (PKS)
Dalam Pilkada
Serentak 2024
Informan I
Nama :
Dr. H. Mardani Ali Sera, M.Eng.
Jabatan : Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
Hari/Tanggal : Selasa, 07 September 2021
Waktu :
Pukul 16.00 WIB - Selesai
Tempat : Via Zoom Meeting
1) Menurut bapak
sebagai anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), bagaimana
pendapat mengenai pilkada serentak 2024?
Jawab: Ide Pilkada Serentak adalah ide efisiensi namun esensi dari demokrasi
adalah bagaimana bisa menangkap secara utuh aspirasi masyarakat. Menurut
beliau, pilkada yg diselenggarakan serentak bersama Pileg dan Piplres mempunyai
beberapa kekurangan. Yang pertama, tidak memberikan porsi kepada setiap jenis
pemilu yang ada, contoh; ketika pilpres disatukan bersama pileg maka pileg akan
terabaikan, masyarakat lebih fokus pada pilpresnya. Ketika pilkada disatukan
pileg dan pilpres bisa jadi efek pilpres akan sangat mempengaruhi kualitas dari
pilkada. Lalu teorinya ada coat-tail effect, jadi peluang capres menang secara
lebih banyak meraih banyak dukungan di pilkada 2024. Kedua, harusnya setiap
pemilu diberikan haknya, pilpres terlebih dahulu karena kita menganut sistem
presidensial, kemudian pileg, kemudian pilkada ditahun yang berbeda. Alasan
beliau diadakan setiap pemilu ditahun berbeda karena masing masing memiliki
hak, seperti ketika pilpres membicarakan tantangan dan peluang bangsa secara
nasional dari sudut eksekutif, ketika pileg bicara tentang kualitas legislator,
ketika pilkada bicara tentang masalah lokal baik provinsi maupun
kabupaten/kota. Terakhir, pilkada serentak membuat interaksi partai politik
atau calon pemimpin dengan rakyatnya itu terjadi sekali saja dalam lima tahun
saat pilkada, padahal dalam pileg dan pilpres di tahun yang berbeda.
2)
Apakah menurut bapak Pilkada serentak 2024 akan berjalan
dengan efektif dan Efisiensi?
Jawab: Akan menjadi pekerjaan yang besar bagi KPU, dan beliau tidak yakin akan
berjalan secara ideal, namun KPU dan Bawaslu harus menyiapkan perangkatnya agar pilkada 2024
dapat berjalan dengan optimal dengan catatan bukan hanya sekedar pilkada, lebih
dari itu pemimpinnya adalah meraka yang mempunyai kapasitas, integritas, bukan
hanya isi tas, dan ini yang menjadi tantanganbagaimana mewujudkan pilkada
serentak 2024 yang berkualitas.
3)
Apa Harapan Bapak untuk
pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 agar tidak lagi terjadi kecelakaan seperti
pada Pemilu Pilpres dan Pileg 2019?
Jawab: Banyaknya
penyelenggara pemilu, dan tugas KPU di tingkat desa. Kedua, menjadi tantangan
bagi KPU untuk menyiapkan seluruh perangkatnya menjadi lebih baik. Seperti
halnya kemarin, ternyata beerapa perangkat yang usianya rentan dan mempunyai
penyakit sehingga berpengaruh kepada beban kerja dan beban stres. Kedepannya,
pemilu yang simpel, sistem yang simpel, proses yang simpel, diperlukan agar
tidak ada lagi korban karena tidak bleh pesta demokrasi itu emnjadi petaka
demokrasi.
4) Apa alasan bapak jika menurut Fraksi partai
Keadilan Sejahtera (PKS) tidak setuju akan pelaksaan Pilkada Serentak 2024?
Jawab: Ada
dua alasan, yang pertama secara filosofis pelaksanaan pilkada 2024 itu
mnghilangkan kesempatan rakyat untuk berfikir secara proporsional, kerena
waktunya barengan dengan pillpres, sehingga boleh jadi adanya bias ketika
memilih pemimpin. Kedua, secara teknis pelaksanaan berpeluang adanya komplikasi
dilapangan seperti contoh pemilu kemarin, pileg dan pilpres disatukan,
menyebabkan korban
Transkip
Wawancara Skripsi
Pendapat Fraksi Partai
Demokrat
Dalam Pilkada
Serentak 2024
Informan II
Nama :
H. Zulfikar Hamonangan, S.H
Jabatan : Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat
Hari/Tanggal : Rabu, 28 Juli 2021
Waktu :
Pukul 14.00 WIB - Selesai
Tempat : Rumah Kediaman Pak H.
Zulfikar
1) Menurut bapak
sebagai anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, bagaimana pendapat mengenai
pilkada serentak 2024?
Jawab: menurut saya itu belum masuk akal karena nuasanya lebih kepada
nuasa politik nasional bagaimana supaya 2022 ketika masa berakhirnya pimpinan
daerah dapat di isi oleh PLT yang diturunkan dari pusat sehingga penguatan
daripada jaringan kekuatan kelompok tertentu bisa lebih dominan. Pengalaman itu
di ambil ketika pilkada 2020 banyak sekali pimpinan daerah yang berhasil menang
dari partai Demokrat banyak kader-kader partai Demokrat yang berhasil menjadi
pimpinan daerah yang di usung oleh partai Demokrat, kegagalan kita hanya 10%
oleh dari semua calon itu 90% berhasil menjadi pimpinan daerah kalo ini
tercipta di tahun 2022 dan kita punya kader berhasil disaat elektabilitas dan
favoritas partai demokrat lagi bagus-bagusnya saat ini itu menjadi sesuatu
ancaman bagi kepentingan nasional untuk pemimpin saat ini walaupun secara
politik beliau sudah tidak mungkin lagi bisa maju di 2024 tapi secara
kepentingan elit-elit tertentu memungkinkan hal itu terjadi analisa itu pasti
sudah melakui kajian di tahun 2020 , 2020 kita mengusung banyak pimpinan daerah
dari partai demokrat berhasil menjadi gubernur, wakil gubernur, walikota,
bupati dari partai demokrat pertanyaannya kalau 2017 Anies berlawanan dengan AHY
lalu 2024 baru diadakan pilkada, 2022 anis tidak lagi berlawanan dengan AHY
karena AHY tidak ada lagi ada target untuk maju di Pilgub bisa saja Anis di
rekomendasi oleh partai demokrat, karena demokrat di DKI punya 10 kursi sarat
kereta politik di DKI itu maju 2022 itu sebetulnya hanya membutuhkan 22 kursi
di DKI jadi kalau sisanya hanya 12 kursi (separo) itu mungkin bisa
diambil oleh wakilnya jadi ini ancaman besar karena Anis ini biar bagaimana
saat ini tidak punya catatan negatif dan masayarakat senang dengan gaya
kepempinan anis yang di DKI yang tidak terlalu otoriter dan dia bisa memimpin
dengan gaya seorang guru atau dosen dan dia bisa menenangkan situasi DKI yang
betul-betul menjadi barometernya Indonesia, di era Covid-19 seperti sekarang
ini kalo Anies bukan gubernurnya bisa rusuh DKI saat ini, berapa banyak yang
meninggal di DKI ini karena Covid dan Anis itu orang yang engga pernah bisa
diem. Pilkada itu bukan hanya figur orang yang maju dia mengeluarkan uang, di
Amerika orang kalau mau menjadi presiden tidak perlu mencari uang sampai 3
triliun karena pasti di fasilitasi oleh negara, jadi titik-titik kampanyenya
pun sudah di tentukakan oleh negara dan orangnya itu-itu saja masyarakatnya di
undang 1.000 orang calon presidennya si anu calon wakil presidennya si anu dia
kampanye di hadapan masyarakat tentang visi misi dia begitiu juga calon yang
lain pun berkampanye di hadapan masyarakat yang di undang dan mana yang di
sukai oleh masyarakat itu yag di pilih maka ketika Donald Trump berkampanye
melawan Joe Bidden, Donald Trump berkampaye tidak percaya terhadap covid
sementara Joe Bidden percaya covid, dan Donald Trump tidak punya visi bagaimana
cara mematikan Covid di Amerikan supaya tidak berkembang sementara Joe Bidden
punya program bagaimana cara memartikan covid di amerika supaya tidak
berkembang.
2)
Apakah menurut bapak Pilkada serentak 2024 akan berjalan
dengan efektif dan Efisiensi?
Jawab: Berjalan dengan efektif dan efisiennya atau tidak tergantung
keadaan kita mau di adakan kapanpun pilkada itu tergantung keadaan kita saat
ini, pada tahun 2024 pilkada yang kita lakukan sudah menjadi keputusan artinya
suka atau tidak suka kita harus terima keadaan ini ,adapun itu efektif atau
tidak kita lihat keadaan pilpres di tahun 2024 karena pilpres dan pileg 2024
menentukan situasi dan kondisi pilkada di tahun 2024 kalau pada saat pilres dan
pileg situasinya kurang aman bisa saja pilkada itu di adakan bukan tahun 2024.
Jadi kurng efektif jika diadakan pada tahun 2024 misal situasi kondisi masih
dalam keadaan covid-19. Dan saya tidak yakin pilkada serentak diadakan 2024
bisa saja diundur juga. Dalam politik itu tidak mungkin ada yang terjadi,
semuanya juga akan bisa pasti terjadi.
3)
Apa Harapan Bapak untuk
pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 agar tidak lagi terjadi kecelakaan seperti
pada Pemilu Pilpres dan Pileg 2019?
Jawab: Harapan saya yang pertama agar pihak kelurahan
membantu perhitungan suara dan tinggal kepada pelaksanaan KPU nya saja yang
harus di perbaiki sehingga apakah memungkinkan dalam masa covid sampai 2024
covid masih ada dan apakah memungkinkan dalam satu TPS itu ada 300 peserta yang
hadir. Yang kedua apakah memungkinkan petugas KPU nya hanya ada di tingkat
kecamatan tidak ada di tingkat desa dan tingkat kelurahan kalau menurut saya
kondisi yang kemarin adalah terjadi karena adanya perampingan stuktural
sehingga mengurangi banyaknya orang yang terlibat untuk pelaksaan KPU nya, jadi
petugas KPU dan petugas KPPS nya saja yang perlu di perbaiki strukturalnya yang
harus di perbanyak.
4) Apa alasan bapak jika menurut Fraksi Partai
Demokrat tidak setuju akan pelaksanaan Pilkada Serentak 2024?
Jawab: Alasannya
karena Covid-19, alasan ini akan di pakai 2024 juga, jadi alasannya Covid jadi
dengan adanya pilkada 2022 di masa covid akan menimbulkan banyaknya penularan
terhadap masyarakat yang membuat gerakan-gerakan perkumpulan-perkumpulan yang
akan menyebabkan penularan wabah penyakit. Alasan kedua adalah anggaran kita
yang di alokasikan dulu unuk mendanai bantuan korban virus covid dan untuk
pencegahan covid 19 dan dana-dana yang di belanjakan untuk membeli vaksi dan
sebagainnya serta bantuan-bantuan sosial sehingga pilkada di undur terlebih
dahulu karena dananya di pakai untuk kepentingan masyarakat.
[1] Firdaus Ayu Palestina, “Analisis Penataan
Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan Umum Ditinjau Dari Fiqh Siyasah
Dusturiyah Dan Sadd Al-Dzari’ah,”
(Tesis Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2019) h. 1.
[2] Handoyo
Hestu Cipto, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia,
Cet. Ke-1 (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya, 2003),
h. 99.
[3] Heru Nugroho, “Demokrasi Dan Demokratisasi: sebuah kerangka konseptual untuk
memahami dinamika sosial-politik di Indonesia”, Jurnal Pemikiran Sosiologi, Vol.1 No.1, (2012), h. 2
[4] Miriam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cet
ke-4 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 461.
[5] Pangi
Syarwi Chaniago, “Evaluasi Pilkada Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015”, Indonesian Political Science
Review, Vol.1
No.2, (2016), h. 197.
[6] Cucu Sutrisno, Partisipasi
Warga Negara dalam Pilkada, (Universitas Muhammadiyah Ponorogo: Jurnal
Pancasila dan Kewarganegaraan Vol. 2 No.
2, 2017), h. 36.
[7]
https://news.detik.com/berita/d-5494081/mendagri-di-2016-tak-ada-fraksi-tolak-pilkada-digelarserentak-2024. Diakses Pada Tanggal 31 Maret 2021 Pukul 12.08 WIB
[8] https://nasional.tempo.co/read/1431092/peta-dukungan-fraksi-di-dpr-soal-pilkada-2024-dan-kelanjutan-revisi-uu-pemilu. Di akses
pada tanggal 25 April 2021 pukul 21.03 WIB
[9] https://tirto.id/standar-ganda-kontradiksi-pemerintah-soal-pilkada-serentak-2024-gar2. Diakses pada Tanggal 25 April 2021 Pukul 12.48 WIB
[10] Pejabat
Definitif adalah pegawai yang menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, dan
Administrasi yang telah secara resmi dilantik dan diambil sumpah jabatan untuk
menduduki jabatan negeri.
[11] https://nasional.kompas.com/read/2021/02/08/09194631/kpu-sebut-pemilu-borongan-2024-munculkan-beban-anggaran-hingga-kpps?page=all#page2. Diakses
pada Tanggal 5 April 2021 Pukul 13.37 WIB.
[12] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210202034109-32-601100/kpu-tetap-berpatok-uu-10-2016-pilkada-digelar-serentak-2024 Diakses pada Tanggal 31
Maret 2021 Pukul 14.26 WIB
[13] Angga Natalia, “Peran Partai Politik Dalam Mensukseskan Pilkada Serentak Di
Indonesia Tahun 2015”, Jurnal TAPIS, Vol. 11, No.1, Januari-Juni 2015.
[14] Siti
Witianti dan Hendra, “Peran Ketua Umum Partai Politik Dalam Pencalonan Kepala
Daerah pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak Di Indonesia”, Jurnal Wacana Politik, Vol. 4, No. 1,
Maret 2019, h. 55.
[15] Hendri
Putra Faridana, “Persepsi Mahasiswa Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam Uin
Antasari Terhadap Pelaksanaan Pilkada Serentak”, (Skripsi UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI ANTASARI, Banjarmasin, 2017), h. v.
[16] Egi Prayogi,
“Sistem Pemilihan Kepala Daerah Perspektif Fiqih Siyasah (Studi Pasal 24
Undang-Undnag No 32 Tahun 2004”, (Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2005), h. iv
[17]
Firdaus Ayu Palestina, “Analisis Penataan Kewenangan Antar Penyelenggara
Pemilihan Umum Ditinjau Dari Fiqh Siyasah Dusturiyah Dan Sadd Al-Dzari’ah”,
(Tesis Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya,
2019), h. v
[18]
Soerjono Soekanto, 1994. Pengantar Penelitian Hukum, (Universitas
Indonesia Press, Jakarta), h.13.
[19]
Burhan Bugin, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Cet. III. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 82.
[20]
Usman dan Abdi, Metode Penelitian Sosial dan Ekonomi: Teori dan Aplikasi,
(Bandung: Alfabeta, 2008), h. 6
[21]
Usman dan Abdi, Metode Penelitian Sosial dan Ekonomi, h. 11.
[22] Lisa
Harrison, Metodologi Penelitian Politik, (Jakarta: Kencana, 2009), h.
126.
[23]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2001), h.49.
[24] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum
di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), Cet Ke-1, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2015), h.1
[25] Di Indonesia, hal ini juga diatur melalui Perubahan Kedua UUD 1945 pada
tahun 2000, bahwa jaminan konstitusional dimaksud tegas ditentukan dalam pasal
2E ayat (3) UUD 1945 yang menyarakan, "setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
[26] GJ Wollhoff, Pengantar Ilmu
Hukum Tata Negara Republik Indonesia,
(Djakarta: Timun Mas NV,
1955), h.54.
[27] Muhammad Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret
Pasang Surut, (Jakarta:
Rajawali Press, 1983), h.19-20.
[28]
Kalung Marijan, Sistem Politik Indonesia:
Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2010), h.60
[29] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[30]
Maurice Duverger, Partai Politik dan Kelompok-Kelompok Penekan, Judul Asli: Party Politics and Pressure Groups A Cornparatfue Introduction,
Penerjemah: Laila Hasyim, (Yogyakarta: Bina Aksara, 1984),
h.4.
[31] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[32] Firmanzah,
Mengelola Partai Politik, (Jakarta:
Yayasan pustaka obor Indonesia, 2011),
h.49.
[33] Selain partai politik, infrastruktur politik terdiri dari
organisasi kemasyarakatan, kelompok
kepentingan, kelompok penekan, kelompok tokoh masyarakat, dan media (pers).
[34] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2008), h.403
[35] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.404
[36] Ali
Safa’at Muchamad, Pembubaran
Partai Politik Pengaturan Dan Praktik Pembubaran Partai Politik Dalam
Pergulatan Republik,( Jakarta: Rajawali pers, 2011), h.4-5
[37] Lihat Undang-Undang No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
[38] Lihat Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
[39] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum
di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), h.15
[40] Lihat Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
[41]
Firmanzah, Mengelola Partai Politik, h.70
[42] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.405
[43] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.406
[44] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.407
[45] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.408
[46] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.409
[47] Ramlan Surbakti, Memahami IImu Politik, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007), h.113.
[48] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum
di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), h.4-5
[49]
Kita jangan sampai disesatkan oleh istilah "partai" pada masa
awal-awal ini. Hal ini kaiena pada masa ini partai
dalam arti yang sesungguhnya belum ada. Kata partai digunakan untuk menggambarkan faksi-faksi dalam
republik-republik masa ialu, pasukan-pasukan yang terbentuk
di sekitar condottiei pada masa Renesans Itali, klub Jclub tempat berkumpulnya anggota dewan-dewan revolusi, komite-komite
yang mempersiapkan pemilihan umum dalam
monarki konstitusional, dan organisasiorganisasi sosial
yang membentuk opini publik dalam negara demokrasi modern. Penggunaan kata yang sama ini dapat dibenarkan karena semua lembaga
tersebut berpiran memenangkan kekuasaan
politik dan menerapkannya
[50] Ichlasul Amal, Teori-Teori Mutakhir
Partai Politik, (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1996), h.1
[51] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum
di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), h.6
[52]
Ramlan Surbakti, Memahami IImu Politik, h.145.
[53]
Ramlan Surbakti, Memahami IImu Politik, h.146.
[54] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum
di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), h.7
[55] https://kpud-medankota.go.id/sejarah-pemilu/ Diakses pada Tanggal 25 Juni 2021
Pukul 19.24 WIB
[56] https://www.kpu.go.id/page/read/4/visi-dan-misi Diakses pada Tanggal 25 Juni 2021 Pukul 19.32 WIB
[57]
Prayudi, Ahmad Budiman & Aryojati Ardipandanto, Dinamika PolitikPilkada Serentak, (Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia, 2017), h.2
[58]
Sudirman, Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial), (FISIP Universitas Tadulako; Jurnal Academica Vol. 04 No. 01 Februari Tahun 2012), h.743
[59]
Sudirman, Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial), h.744
[60]
Bungasan Hutapea, Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di
Indonesia, (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem
Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional; Jurnal Rechtsvinding Volume 4 Nomor 1 April Tahun 2015), h.4-5
[61] Joseph Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik
Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001), h.26-27
[62]
Suharizal, Pemilukada : Regulasi, dinamika dan konsep mendatang, (Jakarta; Rajawali Pers, 2012), h.15
[63] Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite
Nasional Daerah
[64] Lihat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah
yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
[65]
Suharizal, Pemilukada : Regulasi, dinamika dan konsep mendatang, h.16
[66]
Sudirman, Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial), h.750
[67]
Bungasan Hutapea, Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di
Indonesia, h.6
[68]
Sudirman, Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial), h.751-753
[69] Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga
(ART) Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Jakarta: 20 April 2002.
[70] Titin
Yuniartin, Identitas
Politik Partai Keadilan Sejahtera, (Institut Agama Islam Darussalam
Ciamis: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 12 No. 2, Juli - Desember Tahun 2018), h.261
[71]
Muslihudin, Model Pesantren Kader; Relasi
Ideologis PP Husnul Khotimah dengan PKS,serta Artikulasinya dalam Kegiatan Kepesantrenan, (IAIN Syekh Nurjati Cirebon: Jurnal Holistik Vol. 14 No. 01 Tahun 2013), h.9-10
[72]
Titin Yuniartin, Identitas
Politik Partai Keadilan Sejahtera, h.264-265
[73] Yakin, Ayang Utriza, Islam Moderat dan Isu-Isu Kontemporer Demokrasi, Pluralisme, Kebebasan Beragama, non
Muslim, Poligami, dan
Jihad, (Jakarta:
Kencana, 2016), h.226
[74] http://www.demokrat.or.id/sejarah/ Diakses pada Tanggal 25 Juni 2021 Pukul 08.22 WIB
[75] https://www.demokrat.or.id/visi-misi/ Diakses pada Tanggal 25 Juni 2021 Pukul 08.47
[76] Lihat Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 1 Ayat (2)
[77] Dahlan Thaib, Implementasi Sistem
Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, (Yogyakarta : Liberty, 1989), h.37.
[78] Arief Hidayat, Bernegara Itu Tidak Mudah (Dalam
Perspektif Politik dan Hukum), (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2010), h. 32
[79] Harry S Nugraha, “Gagasan Amandemen Ulang Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Jurnal Lex Renaissance,
Vol. 3, No. 1, (2018), h. 61.
[80] Ida Budhiati, “Quo Vadis Demokrasi Prosedural dan Pemilu:
Sebuah Refleksi Teoritis” Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol. 42, No. 2,
(2013, h. 268.
[81] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,
Edisi 1, Cetakan 6, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 17
[82] W. Melfa, “Penataan Hukum Menuju Hukum Ideal Dalam
Pengaturan Pemilukada”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol. 42, (No. 2), 2013, h. 211.
[83] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210128080822-32-599342/pro-kontra-ruu-pemilu-dan-polemik-pilkada-serentak-2024. Diakses pada 10 Juli 2021 Pukul 15.19 WIB
[84] https://news.detik.com/berita/d-4596501/ini-270-daerah-yang-gelar-pilkada-serentak-2020. Diakses pada Tanggal 12 Juli 2021 Pukul 09.22 WIB.
[85] Achmad Arifulloh,
“Pelaksanaan Pilkada Serentak Yang Demokratis, Damai Dan Bermartabat,” Jurnal Pembaharuan
Hukum, Volume II, No. 2, (Mei - Agustus 2015), h.302.
[86] https://www.merdeka.com/politik/pro-kontra-ruu-pemilu-dicabut-dari-prolegnas-2021.html. Diakses pada tanggal 20 September 2021 pukul 20:11 WIB.
[87] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Konsyinasi (Konsinyering) adalah berkumpulnya
sejumlah petugas di suatu tempat untuk menggarap pekerjaan secara intensif
serta tidak dibenarkan meninggalkan tempat kerja selama kegiatan berlangsung.
[88] https://news.detik.com/berita/d-5594089/4-hal-tentang-jadwal-resmi-pemilu-2024/2, diakses pada Tanggal 18 september 2021 Pukul 14:00 WIB
[89] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210817125916-32-681446/kpu-tegaskan-pemilu-dan-pilkada-serentak-digelar-2024. Diakses pada Tanggal 16 september 2021 Pukul 12:30 WIB
[90] Lihat UU No.16 Tahun 2016 pasal 201 ayat (7) Pemungutan suara serentak
nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, Bupati dan wakil bupati,
serta walikota dan wakil walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dilaksanakan pada anggal dn bulan yang sama pada tahun 2027.
[91] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210817125916-32-681446/kpu-tegaskan-pemilu-dan-pilkada-serentak-digelar-2024. Diakses pada tanggal 16 september 2021 pukul 13:20.
[92] https://nasional.kompas.com/read/2021/02/13/16074531/pro-kontra-ruu-pemilu-dinilai-terkait-strategi-parpol-untuk-2024. Diakses pada tanggal 20 September 2021 pukul 12:21 WIB
[93] Zulfikar Hamonangan, Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Interview
Pribadi, Rumah Kediaman Zulfikar, 28 Juli 2021.
[94] Mardani Ali Sera, Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Interview Pribadi, Via Zoom Meeting, 07 September 2021.
[95] Coattail Effect adalah istilah yang merujuk pada suatu tindakan yang menimbulkan pengaruh
pada tindakan lain (pengaruh ikutan). Dalam terjemahan bebas diartikan sebagai
efek kibasan buntut jas. Calon pemimpin yang diusung memiliki efek buntut jas
terhadap elektabilitas suara pada partai pengusung nantinya.
[96] Mardani Ali Sera, Anggota DPR RI Fraksi PKS, Interview
Pribadi, Via Zoom Meeting, 07 September 2021.
[97] Zulfikar Hamonangan, Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Interview
Pribadi, Rumah Kediaman Zulfikar, 28 Juli 2021.
[98] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210201061148-32-600651/pakar-ragukan-kesiapan-penyelenggara-pilkada-serentak-2024. Diakses pada tanggal 16 September 2021 pukul 11:30 WIB.
[99] Mardani Ali Sera, Anggota DPR RI Fraksi PKS, Interview
Pribadi, Via Zoom Meeting, 07 September 2021.
[100] Zulfikar Hamonangan, Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Interview
Pribadi, Rumah Kediaman Zulfikar, 28 Juli 2021.
PENOLAKAN
PARTAI POLITIK TERHADAP PILKADA SERENTAK TAHUN 2024 (PERBANDINGAN PARTAI
KEADILAN SEJAHTERA
DAN PARTAI DEMOKRAT)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
“Indonesia
adalah Negara hukum” demikian bunyi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat 3.
Sebagai Negara hukum (Rechtsstaat) yang menjunjung tinggi nilai-nilai
norma hukum berdasarkan Undang-undang dan bukan merupakan Negara berdasarkan
kekuasaan semata (Machtsstaat) Indonesia memiliki norma hukum tertinggi
yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
induk peraturan-peraturan perundang-undangan. Untuk itu adanya kebijakan yang
tertuang dalam bentuk perundang-undangan tidak boleh menyalahi norma hukum
tersebut.[1]
Pada saat ini,
paham demokrasi dalam penyelenggaraan negara menjadi “primadona” dalam
setiap perbincangan mengenai paham kenegaraan. Sehingga tidak aneh apabila
setiap bangsa berlomba-lomba guna mendapatkan pengakuan sebagai negara
demokrasi oleh negara lainnya. Pada prinsipnya paham demokrasi menghendaki
adanya keikutsertaan rakyat atau warga negara dalam aktivitas penyelenggaraan
kehidupan kenegaraan. Hal ini sudah terjadi sejak zaman Yunani Kuno (abad VI
s/d XIII SM). Pada waktu itu paham demokrasi dilaksanakan secara langsung,
dimana rakyat menentukan keputusan-keputusan politik secara langsung.[2]
Indonesia adalah
Negara yang menganut
sistem pemerintahan Demokrasi. Demokrasi dipahami
sebagai suatu sistem
pemerintahan yang menjunjung
tinggi kesejahteraan rakyat. Dalam arti lain, demokrasi sering disebut
sebagaipemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebagai suatu
sistem politik, demokrasi telah menempati posisi teratas yang
diterima oleh banyak Negara, karena dianggap mampu
mengatur dan menyelesaikan
hubungan sosial dan
politik dalam sebuah
Negara.
Demokrasi memiliki
makna yang luas
dan kompleks, salah
satunya Warga Negara yang di beri
kesempatan untuk memilih salah satu diantara pemimpin-pemimpin politik yang
bersaing meraih suara. Kemampuan rakyat
untuk memilih di antara pemimpin-pemimpin politik pada masa pemilihan
inilah yang disebut demokrasi.[3]
Di berbagai negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolok
ukur, dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam
suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat,
dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat.
Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum tidak merupakan satu-satunya
tolok ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang
lebih bersifat kesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying,
dan sebagainya.[4]
Pemilu adalah kenduri
demokrasi yang menjadi landasan politik, bangsa, dan Negara dalam membangun
masa depan yang lebih baik. Pemilu sebagai pilar demokrasi mengantarkan bangsa
dan negara dalam meraih demokrasi dan membangun peradabannya. Selain itu,
pemilu juga sebagai momentum evaluatif yang sangat penting bagi sebuah rezim
kekuasaan dalam mewujudkan cita- cita negara kemerdekaan.[5]
Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sejatinya merupakan bagian penting kehidupan
bernegara Indonesia di era Reformasi. Penyelenggaraan Pemilu termasuk Pilkada
merupakan wujud pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Pada sistem
demokrasi tidak langsung (indirect
democracy) atau demokrasi perwakilan (representative
democracy), dilaksanakannya Pilkada bertujuan agar Kepala Daerah
benar-benar bertindak atas nama rakyat sehingga pemilihannya harus dilakukan
sendiri oleh rakyat melalui Pilkada. Penyelenggaraan Pilkada merupakan
mekanisme demokratis agar rakyat dapat menentukan Kepala Daerah yang dapat
memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyatnya.
Sejatinya,
penyelenggaraan Pilkada sebagai mekanisme pemilihan haruslah dilandasi semangat
kedaulatan rakyat dan dilaksanakan secara demokratis. Salah satu prasyarat
utama untuk mewujudkan Pemilu yang demokratis adalah adanya partisipasi
politik. Keberadaan partispasi masyarakat dalam Pilkada merupakan sesuatu yang
krusial keberadaannya, sebab Pilkada akan melahirkan pemimpin daerah yang
kesuksesan Pilkada tersebut menjadi cerminan dari kualitas demokrasi. Oleh
karena itu, partisipasi warga negara ketika memilih pemimpin harus ada meskipun
keterlibatan warga negara lebih banyak berhenti pada proses pemilihan.[6]
Dari sisi normatif penyelenggaraan pilkada telah diatur
melalui UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 56 ayat
(1) menyebutkan, “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu
pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis, langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil”. Dengan adanya Undang-Undang tersebut, wajib hukumnya
bagi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah untuk mematuhi aturan tersebut
sebagaimana mestinya guna menjadi acuan dalam pelaksanaan Pilkada ditingkat
Provinsi dan Kabupaten atau Kota. Memang sangat penting dibentuk dan dibuatnya
berfungsi sebagai mata angin. Karena di semua penyelenggaraan kegiatan apapun
itu termasuk penyelenggaraan pemilu, tidak adanya rule of game atau
istilah peraturan dalam permainan maka sama seperti berjalan tanpa adanya arah
dan tujuan.
Membicarakan pilkada, Menteri
Dalam Negeri (Mendagri) Tito
Karnavian, mengatakan bahwa pemerintah akan
menggelar Pilkada
Serentak 2024. Tito mengatakan jadwal
itu sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. "Pilkada merupakan amanat Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang
ditetapkan 1 Juli 2016, di mana nanti pilkada akan dilaksanakan serentak di
November 2024," kata Tito dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR, di
Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/3/2021).[7]
Mayoritas fraksi di Dewan
Perwakilan Rakyat 'balik badan' dari rencana revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilu atau revisi UU Pemilu. Kini, mayoritas fraksi di parlemen
sepakat menolak untuk melanjutkan pembahasan RUU Pemilu yang sudah disepakati
masuk dalam Program Legislasi Nasional 2021 itu. Hanya tersisa Partai Demokrat
dan PKS yang tetap ingin revisi. Salah satu isu krusial yang menjadi perdebatan
dalam revisi UU Pemilu ini adalah normalisasi pemilihan kepala daerah pada 2022
dan 2023. Awalnya hanya PDI Perjuangan yang menyatakan menolak normalisasi
Pilkada pada 2022 dan 2023. Belakangan, mayoritas fraksi partai pendukung
pemerintah menyusul sikap PDIP. Dengan demikian, hampir dipastikan Pilkada
Serentak tetap digelar pada 2024 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun
2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).[8]
Awalnya, yang setuju dengan
dilanjutkannya pembahasan RUU Pemilu adalah Partai NasDem, Partai Golkar,
Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Yang
tidak setuju adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Persatuan
pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Gerindra. Dengan adanya RUU
Pemilu yang menggabungkan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 10
Tahun 2016 tentang Pilkada, bisa jadi Pilkada serentak beralih menjadi tahun
2022 dan 2023. Jika tanpa aturan baru, maka seluruh pemilu, baik pemilu
legislatif DPR, DPRD, DPD, pemilihan presiden, dan pemilu kepala daerah akan
berlangsung serentak pada 2024.[9]
Berbeda dengan suara mayoritas,
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini, menilai bahwa
revisi Undang-Undang Pemilu harus terus jalan untuk memperbaiki kualitas
demokrasi melalui penyelenggaraan pemilu. "Kami melihat ada kebutuhan dan
kepentingan revisi UU Pemilu, yaitu untuk perbaikan kualitas demokrasi hasil
evaluasi kita atas penyelenggaraan pemilu lalu," ujar Jazuli dalam
keterangannya di Jakarta. Fraksi PKS juga menginginkan agar pilkada serentak
dinormalisasi pada tahun 2022/2023 agar kepemimpinan daerah di masa pandemi
oleh pejabat definitif.[10]
Menurutnya, jika digelar pada 2024 beban dan ongkos ekonomi, sosial, dan
politik menjadi sangat berat.
Adapun jadwal pelaksanaan Pilkada
hingga saat ini masih jadi perdebatan seiring dengan rencana revisi
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sembilan fraksi di DPR
terbelah. Sebagian fraksi ingin Pilkada dilaksanakan sesuai amanat Pasal 201
Ayat (8) UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, yakni November 2024, berbarengan
dengan Pilpres dan Pileg. Sementara, sebagian fraksi lainnya mendorong agar
pelaksanaan Pilkada sesuai ketentuan dalam draf revisi UU Pemilu Pasal 731 Ayat
(2) dan (3), yaitu pada 2022 dan 2023.[11]
Oleh
karena itu, kajian ini membahas mengenai polemik pelaksanaan pilkada secara
serentak pada tahun 2024 yang banyak menuai pro dan kontra di masyarakat dari
berbagai aspek, mulai dari masa jabatan para pemimpin daerah maupun keefektivan
pelaksanaan pemilu secara umum di Indonesia. Maka penulis melakukan penelitian
yang berjudul “PENOLAKKAN PILKADA
SERENTAK TAHUN 2024 (PERBANDINGAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DAN PARTAI
DEMOKRAT)”
B.
Identifikasi,
Pembatasan, dan Rumusan Masalah
1.
Identifikasi
Masalah
Pelaksanaan pilkada serentak
tahun 2024 menjadi polemik. Pasalnya, dalam draf revisi UU Pemilu yang baru,
salah satu poinnya mengatur tentang pilkada berikutnya pada 2022 dan 2023
mendatang, bukan 2024 seperti yang diatur dalam UU 10/2016. Sejumlah fraksi di
DPR terbelah mengenai ketentuan tersebut. Fraksi yang mendukung agar pilkada
serentak 2024 tetap digelar di antaranya PDIP, PKB, dan Gerindra.[12]
Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis paparkan, dapat ditarik
kesimpulan bahwa terdapat beberapa permasalahan terkait dengan Penolakan pilkada serentak tahun 2024
perbandingan PKS dan Partai Demokrat.
Adapun identifikasi
masalah yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah sebagai berikut:
a.
Polemik
mengenai pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) yang digelar secara
serentak pada Tahun 2024
b.
Pendapat
Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) dan Partai Demokrat mengenai Pilkada serentak
2024
c.
Kelebihan dan kekurangan (keefektifan) pelaksanaan
Pilkada serentak yang digelar pada tahun 2024
d.
Terjadinya
salah satu kasus saat pemilu 2019, yakni banyak memakan korban pada anggota
KPPS sehingga menjadi evaluasi bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk
menyelenggarakan pemilihan berikutnya.
2.
Pembatasan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
dan identifikasi masalah yang telah dipaparkan, banyak permasalahan-permasalahan
penting yang perlu diteliti untuk dapat menjawab. Akan tetapi, untuk
mempermudah pembahasan dan penelitian skripsi ini, penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga
pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis,
maka perlu kiranya penulis memberikan batasan agar tidak melebar dan terarah.
Maka penelitian ini difokuskan pembahasannya pada pelaksanaan Pilkada serentak
yang di gelar pada tahun 2024 dan perbandingan pandangan Partai PKS dan Partai
Demokrat.
3.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik beberapa
substansi rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana pandangan partai politik terhadap
Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2024, khususnya partai PKS dan partai
Demokrat?
2.
Bagaimana agar pilkada serentak 2024 berjalan dengan
efektif di Indonesia?
C.
Tujuan
Dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan
Penelitian
Tujuan penelitian ini
adalah untuk memberikan tambahan literatur bagi ilmu pengetahuan khususnya
hukum tata negara dalam penanganan masalah Penolakan Pilkada Serentak Tahun 2024 (perbandingan partai PKS dan
Partai Demokrat). Selain itu penelitian skripsi ini juga bertujuan:
a.
Untuk
mengetahui bagaimana pandangan dari
berbagai partai politik mengenai pilkada serentak tahun 2024
b.
Untuk mengetahui polemik yang terjadi dikalangan
masyarakat maupun aktivis mengenai pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024.
2.
Manfaat
Penelitian
Didalam setiap penelitian,
disamping memiliki tujuan tentunya penulis juga mengharapkan penelitian ini
dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya
penulis pribadi, adapun manfaatnya adalah sebagai berikut:
a.
Bagi
Akademis
Penelitian ini dapat
digunakan sebagai bahan penelitian lebih lanjut guna untuk menambah wawasan dan
pengetahuan tentang penolakan pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 dari
pandangan Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) dan Partai Demokrat.
b.
Bagi
Peneliti
Penelitian ini bermanfaat
sebagai tolok ukur dari wacana keilmuan yang selama ini penulis terima dan
pelajari dari institusi pendidikan tempat penulis belajar, khususnya mengenai
pro kontra pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 dari partai politik yang ada
di Indonesia.
D.
Tinjauan
(Review) Studi Terdahulu
Untuk
membuktikan originalitas dari penelitian ini, penulis perlu untuk melakukan
tinjauan kajian studi terdahulu. Berikut ini beberapa penelitian dan perbedaan
dari penelitian sebelumnya.
- Angga Natalia, dalam Jurnal
TAPIS dengan judul Peran Partai Politik Dalam Mensukseskan Pilkada
Serentak Di Indonesia Tahun 2015. Dalam karyanya, penulis
menjelaskan bahwa munculnya permasalahan kandidat tunggal pada proses
pilkada pada tahun 2015, menunjukkan bahwa partai politik belum
benar-benar serius menjalankan fungsinya terutama untuk melahirkan
calon-calon pemimpin muda yang kompeten dan mampu survive dengan
kondisi Indonesia saat ini. Ini disebabkan oleh mundurnya pengawalan
kaderisasi di partai politik sehingga partai-partai lebih banyak
mengandalkan kader-kader pragmatis untuk mempercepat image building
dan perolehan suara di grass root. Yan pada akhirnya, menenggelamkan
mental calon-calon pemimpin muda yang sebenarnya memiliki kompetensi yang
baik tapi kurang mendapat dukungan dari partai politik.[13]
- Siti Witianti dan Hendra, dalam jurnal Wacana
Politik dengan judul Peran Ketua Umum Partai Politik Dalam
Pencalonan Kepala Daerah pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak Di
Indonesia. Dalam karyanya, penulis menjelaskan bahwa dalam pilkada
serentak di Indonesia yang diselenggarakan sejak tahun 2015, terdapat
kencenderungan semakin menguatnya pengaruh ketua umum partai politik dalam
pencalonan kepala daerah. Pengambilan keputusan partai politik pada
akhirnya ditentukan oleh pertimbangan ketua umum partai politik,sudah
menjadi tugas Parpol seharusnya menjadi salah satu sumber utama
kepemimpinan bangsa yang dituntut dapat menyiapkan dan menghasilkan
kader-kader bangsa yang profesional, jujur, berintegritas tinggi dan
berwawasan luas dan dilakukan secara demokratis.[14]
- Hendri Putra Faridana dengan judul skripsi
Persepsi Mahasiswa Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam UIN Antasari
Terhadap Pelaksanaan Pilkada Serentak. Dalam karyanya, menjelaskan
bahwa para mahsiswa menilai pelaksanaan pilkada tahun 2015 di Banjarmasin
berhasil menarik partisipasi warga sehingga peserta pemilih lebih banyak.
Selain itu, Persepsi mahasiswa Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam terhadap
pilkada serentak pun beragam, sebagian besar menilai pilkada serentak
lebih efektif karena selain dapat menghemat dana, juga dapat menghemat
waktu bagi pelaksanaan pilkada di Indonesia. Persepsi mahasiswa ini
ternyata berbeda dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
pelaksanaan pilkada serentak di Banjarmasin memiliki tingkat partisipasi
pemilih cukup rendah.[15]
- Egi Prayogi, dengan judul skripsi
Sistem Pemilihan Kepala Daerah Perspektif Fiqih Siyasah (Studi Pasal 24
Undang-Undnag No 32 Tahun 2004). Dalam karyanya, penulis menyimpulkan
bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung dalam Undang-Undang No 32
Tahun 2004 dari segi substansi sudah sesuai dengan fiqih siyasah dan tidak
bertentangan dengannya, dan telah memenuhi prinsip pemilihan dalam Islam
yaitu syura yang bertumpu pada persamaan, keadilan, kebebasan
transparansi, dan kebersamaan. Dan menurut penulis, perbedaannya terdapat
pada tataran tekis, kerena harus disesuaikan dengan kondisi sosial
masyarakat demi tercapai kemaslahatan umat.[16]
- Firdaus Ayu Palestina, dengan judul tesis Analisis
Penataan Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan Umum Ditinjau Dari Fiqh
Siyasah Dusturiyah Dan Sadd Al-Dzari’ah. Dalam karyanya, penulis
menjelaskan bahwa Penataan Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan Umum
Ditinjau dari Fiqh Siyasah Dusturiyah (Konsep Wewenang Arkoun) dan Sadd
Al- Dzari’ah diketahui bahwa Penyelenggara Pemilu (sebagai seorang “dusturi”,
yang memiliki otoritas dalam artian pejabat publik) telah melakukan
wewenang, yakni “siyasah” dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya
dengan patuh dan melaksanakan Undang-Undang, meskipun dalam praktknya
masih terjadi over lapping (tumpang tindih). Sedangkan dalam konsep Saad
Al-Dzari’ah, Penyelenggara Pemilu, yaitu KPU berusaha untuk menutup
kemungkunan-kemungkinan yang tidak baik guna terciptanya regulasi yang
revolusioner, sedangkan Bawaslu bertindak sebaliknya (Fath Al-Dzari’ah)
dengan mempertimbangkan persamaan hak, namun mengesampingkan langkah
kedepannya.[17]
E.
Metodologi
Penelitian
1.
Jenis
Penelitian
Metode penelitian dapat
diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah
yang dihadapi dalam melakukan penelitian.[18] Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah berpijak dari realita atas peristiwa yang
berlangsung di lapangan. Apa yang dihadapi dalam penelitian adalah sosial
kehidupan sehari-hari. Penelitian seperti berupaya memandang apa yang sedang
terjadi dalam dunia tersebut dan meletakkan temuan-temuan yang diperoleh
didalamnya. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh peneliti selama dilapangan
termaksud dalam suatu posisi yang berdasarkan kasus, yang mengarah perhatian
dalam spesifikasi kasus-kasus tetentu.[19]
2.
Pendekatan
Penelitian
Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif yang menjadikan penulis harus mengumpulkan data dan informasi
mengenai pendapat dari Fraksi PKS dan Demokrat yang menolak adanya pelaksanaan
pilkada serenetak tahun 2024. Metode kualitatif diartikan sebagai metode yang
meneliti subjek penelitian atau informan dalam lingkup kesehariannya.[20]
Metode kualitatif menggunakan sumber berupa narasi, penuturan informan,
dokumen-dokumen dan bukan menggunakan data berupa angka-angka seperti yang
dilakukan dalam penelitian kuantitatif.[21]
Penyajian data dalam
penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan data yang berasal
dari buku yang berkaitan dengan tema dan masalah yang diangkat oleh penulis,
jurnal ilmiah, dan artikel serta berita yang berasal dari media internet. Hal
tersebut digunakan untuk memudahkan dalam memahami segala macam konteks yang
terkandung di dalamnya.[22]
3.
Sumber
Data
Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder sebagai data utama yang
terdiri dari:
a.
Bahan Hukum Primer
Sumber
data primer diperoleh melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan.
Sumber data primer merupakan data yang diambil langsung oleh peneliti kepada
sumbernya tanpa ada perantara dengan cara menggali sumber asli secara langsung
melalui responden. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah Anggota
DPR RI Fraksi Partai Demokrat, dan Anggota
DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
b.
Bahan Hukum Sekunder
Sumber
Hukum Sekunder dalam penelitian ini, penulis menggunakan buku-buku teks (Teksbook)
yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (deherseende leer),
jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan
bahan-bahan hukum lainnya yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan
dapat membantu dalam memahami dan menganalisis bahan hukum primer.
c.
Bahan Hukum Tersier
Bahan
hukum tersier merupakan bahan hukum yang mendukung bahan yang mendukung bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan
pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang digunakan oleh penulis
adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus-kamus Hukum dan Kamus Bahasa Inggris
baik dalam bentuk cetak maupun elektronik.
4.
Teknik
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah sebagai berikut:
a)
Studi
literatur dan dokumentasi, yaitu mengumpulkan data yang berkaitan dengan
masalah yang diangkat dalam penelitian ini melalui literatur buku, surat kabar,
jurnal ilmiah, serta artikel dan berita yang berasal dari media internet.
Teknik pengumpulan data yang digunakan melalui dokumentasi, untuk memperoleh
data sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan dari bahan primer.
b)
Wawancara
dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan informasi melalui tanya jawab
dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada pihak yang berkompeten dengan
masalah dalam penelitian ini.
5.
Metode
Analisis Data
Data yang diperoleh
kemudian diklasifikasikan menurut pokok bahasan masing-masing, maka selanjutnya
dilakukan analisis data. Analisis data bertujuan untuk menginterpretasikan data
yang sudah disusun secara sistematis yaitu dengan memberikan penjelasan. Dalam
menyusun dan menganalisis data, penulis menggunakan penalaran deduktif.[23]
Penalaran deduktif merupakan langkah berpikir dengan mengumpulkan pernyataan
yang bersifat umum untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan yang bersifat
khusus.
6.
Pedoman
Penulisan Skripsi
Dalam
penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.
F.
Sistematika
Penulisan
Dalam
pembahasan Skripsi ini peneliti membuat sistematika pembahasan sebagai berikut:
BAB
I Pendahuluan.
Pada bab ini menjelaskan tentang Latar Belakang Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat Penelitian, Kerangka Pemikiran, Landasan Teori, Tinjauan Pustaka (Review)
Kajian Terdahulu, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II Kajian
Teori yang membahas mengenai teori
demokrasi, teori kedaulata rakyat, dan teori umum mengenai partai politik.
BAB III Profil
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Profil Partai Demokrat Dan Partai Keadilan
Kesejahteraan Sosial (PKS); dalam bab ini
akan menjelaskan tentang Profil Komisi Pemilihan Umum (KPU), sejarah dan Perkembangan pilkada di Indonesia, Profil dari Partai
Demokrat dan Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) mengenai sejarah
terbentuknya partai tersebut berikut dengan visi dan misi Partai.
BAB
IV Penolakan Pelaksanaan Pilkada
Serentak Tahun 2024 Dari Perspektif Partai PKS Dan Partai Demokrat; yang
membahas tentang analisis dari pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 dan
penolakan partai PKS dan Partai Demokrat; Efektivitas dan Efisiensi pilkada
serentak 2024 menurut pendapat fraksi Partai Politik Indonesia.
BAB V Penutup. Pada
bab ini terdapat kesimpulan analisis penulis mengenai pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 dan
saran untuk peneliti berikutnya yang mengkaji penelitian ini.
BAB II
KONSEP UMUM PARTAI POLITIK
A. Definisi Partai Politik
Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa
Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu
diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik
telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat di
satu pihak dan pemerintah di pihak lain. Pada awal perkembangannya, akhir
dekade 18-an di negara-negara Barat seperti Inggris dan Prancis, kegiatan
politik dipusatkan pada kelompok-kelompok politik dalam parlemen. Kegiatan ini mula-mula bersifatelitis dan aristokratis,
mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap
tuntutan-tuntutan raja. Semakin meluasnya hak pilih, kegiatan politik
juga berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia pemilihan
yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang
masa pemilihan umum (kadang-kadang dinamakan caucus party). Oleh
karena dirasa perlu memperoleh dukungan dari berbagai golongan masyarakat,
kelompok-kelompok politik di parlemen lambat laun juga berusaha
mengembangkan organisasi massa. Maka pada akhir abad ke-19 lahirlah
partai politik, yang pada masa
selanjutnya berkembang menjadi penghubung
(link) antara rakyat di satu
pihak dan pemerintah di pihak lain.[24] Partai
politik merupakan instrumen yang tak terpisahkan dari sistem
demokrasi di negara manapun di dunia ini. Tidak dapat dikatakan demokratis
sebuah negara jika tidak ada partai politik di negara tersebut karena
pada hakikatnya partai politik merupakan manifestasi dari kebebasan masyarakat
untuk membentuk kelompok sesuai dengan kepentingannya.[25]
Cikal bakal dari terbentuknya partai politik di Indonesia adalah lahirnya
Budi utomo yang merupakan perkumpulan kaum terperajar. Perkumpulan
ini merupakan bentuk dari studie club,
perkumpulan social ekonomi, dan
organisasi pendidikan.[26]
setelah Budi utomo lahir, muncullah dua
organisasi yang disebut-sebut sebagai partai politik pertama di Indonesia,
yaitu Sarekat Islam dan Indiche partij. Munculnya kedua organisasi
tersebut merupakan ancaman bagi Budi Utomo,
karena banyak anggotanya yang
pindah kedua organisasi tersebut. semenjak itulah Budi Utomo
mulai mengarah kepada kegiatan politik. Menyusul di belakang tiga
organisasi tersebut muncul organisasi ISDV yang lahir pada tahun 1914
didirikan oleh orang Belanda di Semarang. Pendirian ISDV adalah usaha
untuk memasukkan paham Marxisme ke Indonesia. Pada tanggal 23 Mei
1920 ISDV mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia. Semaun
dan Darsono yang dulunya merupakan tokoh partai Sarekat Islam menjabat
sebagai ketua dan wakil ketua PKI. Perpecahan terjadi di tubuh Sarekat
Islam yang memecah partai tersebut menjadi dua golongan yaitu Sarekat
Islam Putih dan Sarekat Islam Merah. Sarekat Islam gerakanya lebih dititik beratkan
dalam bidang memajukan gerakan perekonomian rakyat
dan keislaman sesuai dengan nama Sarekat Islam. Berbeda dengan Budi
Utomo, Sarekat Islam
gerakannya lebih bersifat
revolusioner dan nasionalistis. Selain itu juga
lahir Muhammadiyah, Partai Nasional Indonesia,Partai Indonesia
dan lain-lain. Muhammadiyah mengikrarkan diri bukan sebagai partai
politik walaupun ada kaitannya dengan organisasi politik Islam.[27]
Di Indonesia, kemunculan partai-partai politik tak terlepas dari terciptanya
iklim kebebasan yang luas bagi masyarakat pasca-runtuhnya pemerintahan
kolonial Belanda. Kebebasan tersebut memberikan ruang dan kesempatan
kepada masyarakat untuk membentuk organisasi, termasuk partai
politik. sebenarnya, cikal-bakal dari munculnya partai politik sudah ada
sebelum kemerdekaan Indonesia. partai politik yang
lahir selama masa penjajahan
tidak terlepas dari peranan gerakan-gerakan yang tidak hanya dimaksudkan
untuk mendapatkan kebebasan yang lebih luas dari penjajah, juga
menuntut adanya kemerdekaan. Hal ini bisa kita lihat dengan lahirnya partai-partai
sebelum kemerdekaan. selain didorong
oleh adanya iklim demokrasi yang diberikan oleh pemerintah
kolonial Belanda, kemunculan partai-partai politik di indonesiajuga tidak lepas
dari karakteristik masyarakat Indonesia yang
majemuk.sebagaimana dikatakan oleh John Furnival bahwa masyarakat Indonesia atau
Hindia Belanda ketika itu merupakan masyarakat yang plural
(pluralsociety), yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih
elemenatau tatanan sosial yang hidup berdampingan satu sama lain. Hanya
saja,sambung Furnival, di antara mereka itu tidak pernah bertemu di dalam suatu
unit politik. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat
yang majemuk itu pada akhirnya bergabung dalam suaru unit politik
besar yang dinamakan partai politik.[28]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), Partai adalah perkumpulan
(segolongan orang) yang seasas, sehaluan, dan setujuan (terutama di bidang
politik).[29]
Dari sisi etimologis, Maurice
Duverger menyebutkan bahwa kata Partai berasal
dari bahasa Latin pars, yang berarti "bagian". Dengan pengertian
tersebut, kita dapat memahami bahwa karena ia merupakan suatu
bagian maka konsekuensinya pasti ada bagian-bagian lain. Oleh karena
itu, untuk memenuhi pengertian tersebut maka idealnya tidak mungkin
di dalam suatu negara jika hanya terdapat satu partai.[30]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Politik adalah (pengetahuan)
mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan,
dasar pemerintahan): bersekolah di akademi, segala
urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan
negara atau terhadap negara lain: dalam dan luar negeri; kedua negara itu
bekerja sama dalam bidang, ekonomi, dan kebudayaan; partai,organisasi,
cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah) kebijaksanaan.[31]
Secara etimologis, kata politik
berasal dari bahasa yunani, yaitu polis yang
berarti kota atau komunitas secara keseluruhan. Konsep tentang polis
adalah proyek idealis Plato (428-328 S.M) dan Aristoteles (384- 322
S.M).14 Dalam bukunya yang berjudul “The
Republic”, plato
bertujuan untuk membuat
sebuah pemahaman bahwa konseppolis ialah terciptanya masyarakat
yang ideal. Hal ini berarti politik ialah segala usaha dan aktivitas
untuk membangun dan mewujudkan masyarakat yang ideal atau lebih
baik. sedangkan Aristoteles dalam bukunya yang berjudul “The politics” mengungkapkan bahwa manusia adalah binatang politik (political
Animal). Maksudnya
adalah bahwa aktivitas politik tidak diciptakan oleh manusia, melainkan
ditemukan sEcara alamiah dalam diri setiap manusia.[32]
Partai politik merupakan bagian dari infrastruktur[33] politik dalam Negara. Partai
politik berangkat dari anggapan bahwa dengan membentuk wadah organisasi
mereka bisa menyatukan orang-orang yang mempunyai pikiran serupa
sehingga pikiran dan orientasi mereka bisa dikonsolidasikan. Dengan begitu
pengaruh mereka bisa lebih besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan.[34] Secara
umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelom- pok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai, dan cita-cita
yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik
dan merebut kedudukan politik (biasanya)
dengan cara konstitusional untuk
melaksanakan programnya. Banyak
sekali deinisi mengenai partai politik yang dibuat oleh para sarjana.
Di bagian ini dipaparkan beberapa contoh definisi
yang dibuat para ahli ilmu
klasik dan kontemporer.
Carl J. Friedrich menuliskannya sebagai berikut:
“Partai
politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan
ini, memberikan
kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat adil serta
materiil (A political, party is a group of human beings, stably organized with the objective of securing or maintaining for its leaders the
control of a government,
with the further objective of giving to members of the party, through such control ideal and material beneits and advantages).’’
Sigmund Neumann dalam buku karyanya, Modern Political Parties,
mengemukakan definisi
sebagai berikut:
“Partai
politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain
yang mempunyai pandangan yang berbeda (A political party is the articulate organization of society’s active political
agents; those who are
concerned with the control of governmental polity power, and who compete for popular support with other group or groups holding
divergent views)”.[35]
Partai politik merupakan salah satu bentuk perwujudan kebebasan
berserikat sebagai salah satu prasyarat berjalannya demokrasi. Kebebasan
berserikat lahir dari kecenderungan dasar manusia untuk hidup bermasyarakat dan
berorganisasi baik secara formal maupun informal. Kecenderungan demikian itu
merupakan suatu keniscayaan. Kecenderungan bermasyarakat yang pada perinsipnya
adalah kehidupan berorganisasi timbul untuk memenuhi kebutuhan dan
kepentingan-kepentingan yang sama dari individu-individu serta untuk mencapai
tujuan bersama berdasarkan persamaan pikiran dan hati nurani.[36]
Sejalan dengan itu, pengertian partai politik menurut Undang-Undang
Nomer 2 Tahun 2008 adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok WNI secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat,bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI
berdasarkan pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembentukan
partai politik setidaknya paling sedikit terdiri dari 50 orang WNI yang telah
berusia 21 tahun dengan akta notaris. Pendirian dan pembentukannya menyertakan
30% keterwakilan perempuan.[37]
B. Tujuan Partai Politik
Tujuan partai politik berdasarkan Undang-Undang Partai Politik di
Indonesia yaitu, Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Pasal 10 menyatakan bahwa:
(1) Tujuan umum Partai Politik adalah:
a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksuddalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945;
b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila denganmenjunjung
tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan RepublikIndonesia; dan
d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
(2) Tujuan khusus Partai Politik adalah:
a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam
rangkapenyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;
b. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan
bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara; danc. membangun etika dan budaya
politik dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara.
(3) Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan
secara konstitusional.[38]
C. Fungsi Partai Politik
Partai politik telah menjadi ciri penting dalam sebuah politik modern
karena memiliki fungsi yang strategis. Para ahli pun banyak yang
merumuskan fungsi-fungsi dari Partai Politik. Fungsi utama dari Partai
Politik ialah mencari kekuasaan, mendapatkan kekuasaan dan mempertahankannya.
Cara partai politik untuk memperoleh kekuasaan tersebut
ialah dengan berpartisipasi dalam pemilihan umum. Untuk melaksanakan
fungsi tersebut partai politik melakukan tiga hal yang umumnya
dilakukan oleh Partai Politik yaitu menyeleksi calon-calon, setelah
calon-calon mereka terpilih selanjutnya ialah melakukan kampanye, setelah
kampanye dilaksanakan dan calon terpilih dalam pemilihan umum selanjutnya
yang dilakukan oleh Partai Politik ialah melaksanakan fungsi pemerintahan
(legistlatif ataupun eksekutif).[39] Partai politik tidak hanya bertugas sebagai merebut kursi
dan mengumpulkan suara pada saat pemilihan umum, tetapi partaipolitik juga berfungsi sebagai
solusi untuk kepentingan bersama. Artinya, partai politik juga berfungsi
sebagaimana di sampaikan oleh para pemikir.
Fungsi
Partai Politik berdasarkan Undang-Undang Partai Politik di Indonesia yaitu,
Undang-Undang
No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Pasal 11 ayat 1
menyatakan bahwa partai politik adalah sebagai sarana:
a. Pendidikan politik bagi anggotanya dan
masyarakat luas agar menjadi warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan
kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
b. Penciptaan
iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa
untuk mensejahterakan masyarakat.
c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi
politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan
kebijakan negara
d. Partisipasi
politik warga negara Indonesia; dan
e. Rekrutmen
politik dalam proses pengisisan jabatan politik melalui mekanisme demokrasi
dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.[40]
Secara garis besar, Firmanzah menyebutkan bahwa peran dan fungsi partai
politik dibedakan
menjadi dua, yairu fungsi internal dan fungsi eksternal.
Dalam fungsi internal, partai politik berperan dalam pembinaan, pendidikan,
pembekalan, dan pengkaderan bagi anggota partai politik demi langgengnya
ideologi politik yang menjadi latar belakang pendirian partai politik
tersebut. Sedangkan dalam fungsi eksternal peranan partai politik terkait
dengan ruang lingkup yang lebih luas yakni masyarakat, bangsa, dan
negara. Hal ini karena partai politik juga mempunyai tanggung jawab konstitusional,
moral, dan etika untuk membawa kondisi, dan situasi masyarakat
menjadi lebih baik.[41]
Secara lebih rinci Miriam Budiarjo menyebutkan bahwa Fungsi Partai
Politik di Negara Demokrasi adalah:
1)
Sebagai Sarana Komunikasi Politik.
Di masyarakat modern yang luas dan kompleks, banyak ragam pendapat dan
aspirasi yang
berkembang. Pendapat atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok
akan hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir, apabila tidak
ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang
senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (interest aggregation). Sesudah
digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi diolah dan dirumuskan
dalam bentuk yang lebih teratur. Proses ini dinamakan perumusan kepentingan
(interest articulation).[42] Di
sisi lain, partai politik juga berfungsi memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana
dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan demikian
terjadi arus informasi dan dialog dua arah, dari atas ke bawah dan dari
bawah ke atas. Dalam pada itu partai politik memainkan peran sebagai penghubung
antara yang memerintah dan yang diperintah. Peran partai sebagai jembatan
sangat penting, karena di satu pihak kebijakan pemerintah perlu
dijelaskan kepada semua kelompok masyarakat, dan di pihak lain pemerintah harus
tanggap terhadap tuntutan masyarakat. Dalam
menjalankan fungsi inilah partai politik sering disebut sebagai perantara
(broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas). Kadang-kadang
juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah bertindak sebagai
alat pendengar, sedangkan bagi warga masyarakat sebagai “pengeras
suara”.[43]
2)
Sebagai Sarana Sosialisasi Politik.
Dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai
suatu proses yang melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap
fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Ia
adalah bagian dari proses yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa,
ideologi, hak dan kewajiban. Dimensi
lain dari sosialisasi politik adalah sebagai proses yang melaluinya
masyarakat menyampaikan “budaya politik” yaitu norma-norma dan
nilai-nilai, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi
politik merupakan faktor penting dalam terbentuknya budaya politik
(political culture) suatu bangsa. Proses
sosialisasi berjalan seumur hidup, terutama dalam masa kanak kanak. Ia
berkembang melalui keluarga, sekolah, peer group, tempat kerja, pengalaman
sebagai orang dewasa, organisasi keagamaan, dan partai politik.
Ia juga menjadi
penghubung yang mensosialisasikan nilai-nilai politik generasi
yang satu ke generasi yang lain. Di sinilah letaknya partai dalam memainkan
peran sebagai sarana sosialisasi politik. Pelaksanaan fungsi sosialisasinya dilakukan
melalui berbagai cara yaitu media massa, ceramah-ceramah, penerangan,
kursus kader, penataran, dan sebagainya.[44]
3) Sebagai Sarana Rekrutmen Politik.
Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik
kepemimpinan internal partai
maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas.
Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas,
karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai
yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri.
Dengan mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit menentukan
pemimpinnya sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan
calon untuk masuk ke bursa kepemimpinan nasional.
Selain untuk tingkatan seperti itu partai politik juga
berkepentingan memperluas atau memperbanyak
keanggotaan. Maka ia pun berusaha menarik sebanyak-banyaknya
orang untuk menjadi anggotanya. Dengan didirikannya organisasi-organisasi
massa (sebagai onderbouw) yang melibatkan golongan-golongan
buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita dan sebagainya, kesempatan
untuk berpartisipasi diperluas. Rekrutmen politik menjamin kontinuitas
dan kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk Partai Politik untuk
menjaring dan melatih calon-calon pemimpin. Ada berbagai cara untuk melakukan
rekrutmen politik, yaitu melalui kontak pribadi, persuasi, ataupun cara-cara
lain.[45]
4)
Sebagai Sarana Pengatur Konlik (Conlict Management).
Potensi konlik selalu ada di setiap masyarakat, apalagi
di masyarakat yang bersifat heterogen, apakah dari segi etnis (suku bangsa),
sosial-ekonomi, ataupun agama. Setiap
perbedaan tersebut menyimpan potensi konlik. Apabila keanekaragaman
itu terjadi di negara yang menganut paham demokrasi, persaingan
dan perbedaan pendapat dianggap hal yang wajar dan mendapat tempat.
Akan tetapi di dalam negara yang heterogen sifatnya, potensi pertentangan
lebih besar dan dengan mudah mengundang konlik. Di
sini peran partai politik diperlukan untuk membantu mengatasinya, atau
sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatifnya
dapat ditekan seminimal mungkin. Elite partai dapat menumbuhkan pengertian
di antara mereka dan bersamaan dengan itu juga meyakinkan pendukungnya. Secara
ringkas dapat dikatakan bahwa partai politik dapat menjadi penghubung
psikologis dan organisasional antara warga negara dengan pemerintahnya.
Selain itu partai juga melakukan konsolidasi dan artikulasi tuntutan-tuntutan
yang beragam yang berkembang di berbagai kelompok masyarakat.
Partai juga merekrut orang-orang untuk diikutsertakan dalam kontes
pemilihan wakil-wakil rakyat dan menemukan orang-orang yang cakap untuk
menduduki posisi-posisi eksekutif. Pelaksanaan fungsi-fungsi ini dapat
dijadikan instrumen untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan partai politik
di negara demokrasi.[46]
D. Teori Partai Politik
Terdapat tiga teori asal mula
terbentuknya partai politik yang dikemukakan oleh Lapalombara dan Weiner, yaitu:
(1) teori kelembagaan, yang melihat adanya hubungan antara parlemen awal dengan
timbulnya partai politik, (2) teori situasi historik yang melihat timbulnya
partai politik sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang
ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara luas, dan (3) teori pembangunan yang
melihat partai politik sebagai produk modernisasi sosial ekonomi.[47]
a)
Teori Kelembagaan
Menurut teori ini, partai politik pertama kari
terbentuk pada lembaga legislatif dan eksekutif, karena adanya kebutuhan
anggota legislatif (yang ditentukan dengan pengangkatan) untuk berhubungan
dengan masyarakat dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Terbentuknya partai politik seperti
ini sering juga disebut sebagai partai politik Intra-Parlemen. Setelah partai politik Intra-Parlemen
terbentuk dan menjalankan fungsinya maka kemudian muncul partai politik lain
yang dibentuk oleh kelompok masyarakat lain karena mereka menganggap bahwa
partai politik yang lama tidak mampu menampung dan memperjuangkan kepentingan
mereka. Partai yang
tebentuk ini disebut sebagai partai Ekstra-Parlemen.[48]
Kita bisa memahami kemunculan partai[49]
pertama kali dengan memahami
kronologis sejarah munculnya ide pembentukan partai politik
yang bermula pada abad ke-18. Latar belakang terbentuknya sebuah
partai intra-parlemen pada masa ini dikarenakan kebutuhan untuk
mengakomodasi kepentingan tiap-tiap daerah. Pada tahun 1789 di Versailles,
perwakilan-perwakilan provinsi pada General State mengadakan pertemuan.
Sekelompok anggota legislatif dari daerah yang sama tersebut berkumpul
untuk memperjuangkan kepentingan daerah mereka masing-masing. Kegiatan
ini pertama kali dilakukan oleh para wakil dari Breton. Mereka
secara reguler melakukan pertemuan dengan menyewa sebuah kafe. Di
sana mereka berbagi pendapat terkait masalah-masalah daerah mereka dan
terbentuklah apa yang mereka sebut dengan "Breton CIub". Dalam perkembangannyaanggota
klub ini tidak hanya beranggotakan para wakil rakyat
dari Breton saja. Mereka juga membuka kesempatan kepada para wakil
daerah lain untuk bertukar pendapat sehingga topik pembahasan mereka
sampai kepada isu-isu nasional. Dengan perkembangan inilah mereka
menjelma menjadi kelompok ideologis. Selain Breton CIub, perkembangan
awal seperti ini juga dialami oleh Girondin CIub.[50]
Setelah partai politik yang diinisiatif oleh
pemerintah tersebut terbentuk dan menjalankan fungsinya, barulah mulai muncul
partai politik lain yang dibentuk oleh masyarakat dengan skala yang lebih
kecil. Munculnya partai politik dari luar parlemen ini disebut Ekstra-parlemen.
pemimpin kelompok masyarakat membuat partai ini dengan tujuan untuk
memperjuangkan kepentingan mereka yang tidak dapat sepenuhnya ditampung arau diperhatikan
oleh partai yang dibentuk oleh pemerintah tersebut. Sebagai contoh pada negara
yang dijajah, masyarakar membenruk partai politik untuk memperjuangkan
kemerdekaan bagi negaranya. sedangkan pada negara maju, kelompok masyarakat
yang minoritas membentuk partainya sendiri untuk memperjuangkan kepentingan
kelompoknya yang tidak terwakili dalam sistem kepartaian yang ada. contohnya
serikat buruh di Inggris dan Australia membentuk partai Buruh, kelompok
keagamaan di Belanda
membentuk Partai Kristen Historis, dan sebagainya.[51]
b)
Teori Situasi Historik
Menurut Teori situasi Historik, partai politik terbentuk
ketika suatu sistem politik mengalami masa transisi karena adanya perubahan-perubahan
yang terjadi pada masyarakat, misalnya dari masyarakat tradisional yang
berstruktur sederhana menjadi masyarakat yang lebih modern yang berstruktur
kompleks. Teori ini
berangkat dari adanya kebutuhan
untuk menampung kompleksitas struktur masyarakat yang semakin
meningkat. Peningkatan rersebut seperti pertambahan penduduk karena
peningkatan kesehatan, perluasan pendidikan, mobilitas okupasi (penduduk),
perubahan pola pertanian dan industri, partisipasi media, urbanisasi,
ekonomi berorientasi pasar, peningkatan aspirasi dan harapan-harapan baru,
dan munculnya gerakan-gerakan populis. Perubahan-perubahan tersebut
menyebabkan timbulnya riga macam krisis, yaitu: (1) krisis
legitimasi, (2) krisis integrasi, dan (3) krisis partisipasi.[52]
a. Krisis legitimasi yaitu perubahan yang menyebabkan masyarakat mempertanyakan legitimasi
kewenangan pemerintah. Partai politik yang
didukung oleh masyarakat secara penuh diharapkan dapat membentuk
suatu hubungan yang terlegitimasi antara pemerintah dan
masyarakat.
b. Krisis integrasi yaitu perubahan yang menimbulkan masalah dalam identitas
yang menyatukan masyarakat sebagai suatu bangsa. Partai politik
yang terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat berfungsi sebagai sarana
integrasi berbagai latar belakang masyarakat.
c. Krisis partisipasi yaitu perubahan yang mengakibatkan tuntutan
yang semakin besar
untuk ikut serta dalam proses politik. Partai politik juga diharapkan
mampu untuk menyalurkan aspirasi masyarakat.
Dalam
upaya mengatasi tiga krisis yang terjadi tersebut maka dibentuklah
partai politik. Dengan terbentuknya partai politik yang berakar kuat di masyarakat maka diharapkan pemerintahan yang terbentuk kemudian
mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat. Partai politik juga
diharapkan dapat berperan sebagai integrator bangsa dengan cara lebih
bersifat terbuka bagi berbagai golongan. Selain itu, partai politik juga
harus mampu untuk menyalurkan keinginan masyarakat yang ingin menyampaikan
aspirasi politiknya melalui mekanisme pemilu.[53]
c)
Teori Pembangunan
Modernisasi
sosial ekonomi ditandai dengan meningkatnya pembangunan
di sektor sosial dan ekonomi seperti pembangunan teknologi komunikasi,
peningkatan kualitas pendidikan, industrialisasi, pembentukan berbagai
kelompok kepentingan dan organisasi profesi, dan segala aktivitas yang
menimbulkan kebutuhan untuk membentuk suatu organisasi politik yang
mampu menyalurkan aspirasi mereka. Dapat
disimpulkan bahwa teori pembangunan
menyatakan bahwa partai politik merupakan konsekuensi logis
dari modernisasi sosial ekonomi.[54]
BAB III
PROFIL KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU) PARTAI
KEADILAN SEJAHTERA DAN PARTAI DEMOKRAT
A.
Profil Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Komisi Pemilihan Umum (KPU)
adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah Penyelenggara Pemilu di Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Wilayah kerja KPU meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. KPU menjalankan tugasnya secara berkesinambungan dan dalam
menyelenggarakan Pemilu, KPU bebas dari pengaruh pihak manapun berkaitan dengan
pelaksanaan tugas dan wewenangnya. KPU berkedudukan di ibu kota negara Republik
Indonesia, KPU Provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota. Dalam menjalankan
tugasnya, KPU dibantu oleh Sekretariat Jenderal; KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota masing-masing dibantu oleh sekretariat. Jumlah anggota KPU
sebanyak 7 (tujuh) orang; KPU Provinsi sebanyak 5 (lima) orang; dan KPU
Kabupaten/Kota sebanyak 5 (lima) orang. Keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota terdiri atas seorang ketua merangkap anggota dan anggota. Ketua
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dipilih dari dan oleh anggota. Setiap
anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mempunyai hak suara yang
sama. Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus). Masa
keanggotaaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota 5 (lima) tahun terhitung
sejak pengucapan sumpah/janji. KPU pertama pasca reformasi dibentuk pada tahun
1999-2001 dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang
anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh
Presiden BJ Habibie.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) kedua
(2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001 yang berisikan 11 orang
anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001. KPU ketiga (2007-2012)
dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota yang
berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat dilantik
tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung dilantik Presiden karena
masalah hukum. Untuk menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, image KPU
harus diubah sehingga KPU dapat berfungsi secara efektif dan mampu
memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu yang
jujur dan adil tersebut merupakan faktor penting bagi terpilihnya wakil rakyat
yang lebih berkualitas, dan mampu menyuarakan aspirasi rakyat. Sebagai anggota
KPU, integritas moral sebagai pelaksana pemilu sangat penting, selain menjadi
motor penggerak KPU juga membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat karena
didukung oleh personal yang jujur dan adil. Tepat 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya
penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR
untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah satunya kualitas
penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dituntut independen dan
non-partisan. Untuk itu atas usul insiatif DPR-RI menyusun dan bersama
pemerintah mensyahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara
Pemilu. Sebelumnya keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal 22-E
Undang-undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang
Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilu diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan
oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU
sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Sifat tetap menunjukkan KPU
sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun
dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam
menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun. Perubahan
penting dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu,
meliputi pengaturan mengenai lembaga penyelenggara Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; serta Pemilihan Umum Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan kemudian disempurnakan dalam 1 (satu) undang-undang secara
lebih komprehensif. Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilu diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai
lembaga pengawas Pemilu.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab
sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan
seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya. KPU memberikan laporan
Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007
Tentang Penyelenggara Pemilu juga mengatur kedudukan panitia pemilihan yang
meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara
Pemilihan Umum yang bersifat ad hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting
dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka
mengawal terwujudnya Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki
integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan
Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
Agar Kode Etik Penyelenggara
Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan
Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu. Di dalam Undang-undang Nomor 12
Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, jumlah anggota KPU adalah 11
orang. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilu, jumlah anggota KPU berkurang menjadi 7 orang. Pengurangan
jumlah anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang tidak mengubah secara mendasar
pembagian tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan
melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu
Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu,
komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU 5 (lima) tahun
terhitung sejak pengucapan sumpah/janji. Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada
asas : mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib penyelenggara Pemilu;
kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas;
akuntabilitas; efisiensi dan efektivitas.[55]
1)
Visi Komisi Pemilihan Umum
(KPU)
Menjadi
Penyelenggara Pemilihan Umum yang Mandiri, Professional, dan Berintegritas
untuk Terwujudnya Pemilu yang LUBER dan JURDIL.
2)
Misi Komisi Pemilihan Umum
(KPU)
a.
meningkatkan kualitas
penyelenggaraan Pemilu yang efektif dan efisien, transparan, akuntabel, serta
aksesibel;
b.
meningkatkan integritas,
kemandirian, kompetensi dan profesionalisme penyelenggara Pemilu dengan
mengukuhkan code of conduct penyelenggara Pemilu;
c.
menyusun regulasi di bidang
Pemilu yang memberikan kepastian hukum, progesif, dan partisipatif;
d.
meningkatkan kualitas pelayanan
Pemilu untuk seluruh pemangku kepentingan;
e.
meningkatkan partisipasi dan
kualitas pemilih dalam Pemilu, Pemilih berdaulat Negara kuat; dan
f.
mengoptimalkan pemanfaatan
kemajuan teknologi informasi dalam penyelenggaraan Pemilu.[56]
B.
Sejarah dan Perkembangan Pilkada di Indonesia
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di daerah. Ini merupakan perkembangan
dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Dalam pemerintahan
Indonesia, salah satu prinsip yang dikenal adalah prinsip otonomi, yang artinya
adanya keleluasaan bagi Pemerintah Daerah untuk mengatur daerahnya sendiri.
Pilkada meru-pakan sarana untuk memilih kepala daerah dan wakil-wakil rakyat di
DPRD, dimana mereka dipilih langsung oleh masyarakat di daerahnya. Dengan
demikian, legitimasi kedudukan Kepala Daerah dan Anggota DPRD menjadilebih
representatif, bila Pilkada ini dilaksanakan secara demokratis dan sesuai
dengan prosedur yang berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan.[57]
Pemilihan sistem pilkada merupakan perjalanan
politik panjang yang diwarnai tarik-menarik antara kepentingan elit politik dan
kehendak publik, kepentingan pusat dan daerah atau bahkan antara kepentingan
nasional dan internasional.
Di Indonesia, sejarah politik lokal hampir setua umur penjajahan kolonial,
desentralisasi kekuasaan, dan administrasi pemerintahan itu sendiri. Bahkan
apabila kita menelusuri jauh ke belakang, ke jaman kerajaan yang pernah berdiri
dengan megahnya di seantero nusantara, para bangsawan mempergunakan politik
lokal untuk memperluas wilayah dan kekuasaannya. Sehingga politik lokal dapat
dikatakan bukanlah barang baru dalam sejarah pembentukan karakter bangsa dan
negara hingga saat ini. Sejarah politik lokal terbagi dalam beberapa tahapan
masa, yaitu:.[58]
a) Masa Pemerintahan Belanda dan Jepang
Di awal masa penjajahan sebelum tahun 1903, pemerintah kolonial Belanda
menerapkan aturan hukum berupa Reglement op het Beleid der Regering van
Nederlandsch Indie (Stb 1855/2) yang sangat konservatif. Aturan tersebut
menjelaskan tentang sentralisasi kekuasaan di Hindia Belanda bukan sebaliknya.
Di samping menjalankan sentralisasi, dekonsentrasi memberikan kekuasaan kepada
wilayah-wilayah administratif secara hirarkhis, namun hanya terbatas di pulau
Jawa saja. Lahirnya istilah seperti Gewest kemudan berubah menjadi Residentie,
Afdeeling, District, dan Onder-district, merupakan pertanda adanya bentuk
perwakilan kewenangan pemerintah Belanda pada wilayah-wilayah di daerah jajahannya.
Sehingga, desentralisasi sesungguhnya bukanlah hal baru di bumi Indonesia,
karena pada masa penjajahan kolonial Belanda di tahun 1903 para elit Eropa di
Hindia Belanda diberikan wewenang mendirikan pemerintahan sendiri, namun secara
terbatas. Kerajaan Belanda menerbitkan Wethoundende Decentralisatie van het
Bestuur in Nederlandsch Indie (Stb. 1903/329), lebih dikenal sebagai Decentralisatiewet
1903. Menurut Harry J. Benda, undang-undang ciptaan bangsa penjajah
tersebut tidak memberikan landasan apapun dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Hanya daerah-daerah besar sajalah mendapat perhatian dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah di Hindia Belanda. Selanjutnya, dapat ditebak bahwa titik
berat penyelenggaraan otonomi daerah hanya fokus pada provinsi dan kabupaten
besar saja. Pada tahun 1922, terbit Undang-undang tentang desentralisasi,
menjadi dasar lahirnya provinsi-provinsi baru dengan otonomi administratif
cukup besar. Namun demikian Sutherland mengatakanbahwa pemberian otonomi
tersebut bukanlah ditujukan memberikan jalan bagi pertumbuhan demokratisasi
lokal, namun sebagai benteng penangkal nasionalisme saja. Pemberian kewenangan
otonomi administratif hanya menimbulkan kekacauan belaka akibat semakin tajam
perbedaan antara kaum aristokrat kolonial dengan pribumi dalam mengatur
pemerintahan. Pada tahun 1931, pemberontakan kekuatan komunis di Jawa Barat dan
Sumatera Barat memaksa penjajah kolonial menarik kembali kewenangan otonomi
lokal ke sentral (sentralisasi). Ciri dari sistem pemerintah kolonial sebelum
kemerdekaan adalah sebagai berikut: Pemerintahan tidak langsung, Pemberlakukan
aturan double standart, Hukum eropa konservatif bagi elit Eropa dan hukum adat
bagi pribumi, berkembangnya elit pribumi berdasarkan garis keturunan kerajaan
sebagai waki pemerintah kolonial di luar pulau Jawa, Isolasi gerakan nasionalis
dan Pengendalian ketat daerah-daerah pedesaan dan daerah luar Jawa oleh elit
pribumi tradisional patuh pada kekuasaan kolonial.[59]
Rezim pemerintahan Belanda berganti oleh
pemerintahan Jepang. Pada Pemerintahan Jepang di Indonesia telah dikeluarkan 3
(tiga) undang-undang yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan yang
disebut dengan 3 (tiga) osamu sirei 1942/27 yaitu Undang-Undang Nomor 27
tentang perubahan sistem pemerintahan (tertanggal 6-8-2602), Undang-Undang
Nomor 28 tentang perubahan syuu (tertanggal 7-8-2602) dan Undang-Undang Nomor
30 tentang mengubah nama negeri dan nama daerah (tertanggal 1-9-2602).
Pemerintahan Jepang membagi daerah menjadi karesidenan yang disebut syuu dan
residennya disebut syuutyoo. Setelah karedisidenan terdapat dua pembagian
daerah yang disebut ken dan si yang dikepalai oleh Kentyoo dan Sityoo. Di
tingkat kawedana, keasistenan dan desa dikenal dengan nama Gunson dan
Kosedangkan kepala daerahnya disebut Guntyoo, Sotyoo dan Kutyoo dimana
pengangkatannya ditunjuk oleh Pemerintah Jepang.[60]
b) Masa Era Kemerdekaan
Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya
pada tahun 1945, Belanda yang terusir dari bumi Hindia Belanda karena
kekalahannya melawan Jepang berusaha merebut kembali kekuasaannya di Indonesia.
Segala dalih politikpun direncanakan demi merebut ambisi menduduki kembali bumi
Indonesia, karena kerajaan Belanda masih memandang bahwa Indonesia sebagai
koloninya.Di bawah tekanan dunia internasional, Belanda dipaksa menunaikan
tanggung jawab moralnya sebagai eks-penjajah dengan membantu merancang tata
administrasi pemerintahan negara Indonesia yang masih sangat belia. Pada saat
itu, di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa serangkaian misi
perundingan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah kerajaan Belanda
dijalankan. Negara-negara kuat, seperti Inggris, memantau perkembangan
perundingan dengan seksama. Di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia, negosiasi diplomatik terjadi antara pemerintah Indonesia dan
pemerintahan kerajaan Belanda. Di bulan September 1946 perwakilan Indonesia
memulai pertemuan dengan perwakilan pemerintah kerajaan Belanda di Linggarjati
dengan difasilitasi oleh pemerintah Inggris. Pemerintah Belanda memaksa
berlakunya sistem negara federal di Indoenesia.[61]
Sejak kemerdekaan, ketentuan mengenai
pemerintahan daerah diatur dalam sejumlah undang-undang yaitu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan aturan-aturan Pokok
mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.[62]
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, pemilihan kepala
daerah dilakukan oleh pemerintah pusat.[63]
Sementara menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan
aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Kepala Daerah Propinsi diangkat
oleh Presiden dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD.[64]
DPRD berhak mengusulkan pemberhentian seorang kepala daerah kepada pemerintah
pusat. Namun sejak Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 hingga Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974, ketentuan pilkada tidak mengalami perubahan, yaitu mengikuti
ketentuan sebagai berikut:
(1)
Kepala Daerah dipilih oleh DPRD;
(2)
Kepala Daerah tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden;
(3) Kepala Daerah tingkat II diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri Dalam Negeri dan otonomi daerah, dari calon-calon yang diajukan
oleh DPRD yang bersangkutan.[65]
c) Masa Orde Baru (Era Reformasi)
Terhitung sejak itu, pada tahun 1999,
Indonesia mencatatkan sejarah dalam memasuki era desentralisasi sesungguhnya.
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
desentralisasi membuka peluang politik lokal mencari jalan keluar menuju
kemandirian daerah. Dapat dibayangkan semangat euphoria putra-putra daerah
memindahkan kekuasaan dari pusat ke daerah berarti juga memberikan kesempatan
mereka untuk menjadi “Raja-raja” baru daerah. Langkah-langkah strategis
Presiden Habibie saat itu selain memberikan kebebasan pers, kebebasan
mendirikan partai-partai politik, pemilu bebas, dan pemberian referendum bagi
masyarakat Timor Timur yang berujung lepasnya provinsi termuda Indonesia
tersebut menjadi merdeka sepenuhnya. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 telah memberikan dasar-dasar pemerintahan desentralisasi administratif
yang sangat banyak kelemahannya.[66]
Setelah reformasi bergulir, berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pilkada dilakukan dengan menggunakan sistem
demokrasi tidak langsung dimana Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilih
oleh DPRD dengan penegasan asas desentralisasi yang kuat. Dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar
dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah. Rekrutmen Kepala Daerah sepenuhnya
berada pada kekuasaan DPRD. Sementara pemerintah pusat hanya menetapkan dan
melantik Kepala Daerah berdasarkan hasil pemilihan yang dilakukan oleh DPRD
setempat. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pemerintah daerah terdiri
dari kepala daerah dan perangkat daerah. DPRD berada di luar pemerintah daerah,
yang berfungsi sebagai badan legislatif pemerintah daerah untuk mengawasi
jalannya pemerintahan. Di masa ini, kepala daerah dipilih sepenuhnya oleh DPRD,
tak lagi ada campur tangan Pemerintah Pusat. Berbeda dengan sistem sebelumnya,
yaitu kepala daerah diangkat oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri, yang
diajukan atau diusulkan oleh DPRD. Jika
kita lihat perbandingan pilkada pada masa reformasi dan zaman orde baru, dapat
dikatakan pemilihan kepala daerah di era reformasi lebih demokratis. Namun
fakta menunjukkan bahwa kewenangan DPRD dan Fraksi-fraksi sangat kuat dan
mengakibatkan penyalahgunaan wewenang seperti maraknya politik uang di tingkat
DPRD.[67]
Pada prinsipnya, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
berusaha mendekatkan pemerintahan daerah agar lebih responsif kepada rakyatnya
dan memberikan ruang transparansi lebih besar demi mencapai devolusi kekuasaan.
Peran pemerintah pusat hanyalah terbatas sebagai penjaga malam saja karena sisa
tanggung jawab setelah menjadi urusan daerah adalah meliputi: pertahanan
keamanan nasional, kebijaksanaan luar negeri, masalah-masalah fiskal dan
moneter, perencanaan ekonomi makro, sumber-sumber alam, kehakiman, dan eagama.
Daerah memiliki kewenangan mengurus pekerjaan umum, pendidikan dan kebudayaan,
pemeliharaan kesehatan, pertanian, perhubungan, industri, perdagangan,
investasi, masalah-masalah lingkungan, koperasi, tenaga kerja, dan tanah. Di
masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, masalah desentralisasi semakin
mencuat ke permukaan dengan bantuan liputan berbagai media. Masalah-masalah
seperti korupsi, kepala daerah yang memainkan politik uang ketimbang
melaksanakan pada konstituennya, kemudian wakil rakyat yang hanya mementingkan
“perut” sendiri, memaksa pemerintahannya melahirkan Undang-Undang “penangkal”
baru, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, masing-masing tentang
Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Menurut Malley, pemerintahan Megawati bukanlah mengamandemen Undang-Undang
yang ada, tetapi malah menggantinya sama sekali. Sekalipun demikian, perubahan
tidak banyak memunculkan gejolak berarti, bahkan terbilang tidak mengalami
hambatan berarti karena pemilu Bupati pertama di bulan juni 2005 berlangsung
lancar. Pilkada memilih pemimpin daerah secara langsung bukan simbol-simbol
partai seperti masa lalu mendorong masyarakat secara aktif berpartisipasi dalam
kampanye dan datang berduyun-duyun mencoblos calon pilihannnya di bilik-bilik pemilihan.
Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono diwarnai dengan kebijakan-kebijakan
desentralisasi bernama pemekaran. Pemekaran adalah nama yang dipergunakan dalam
proses desentralisasi yang menciptakan unit-unit administratif baru di dalam
provinsi-provinsi dan distrik-distrik yang telah ada sebelumnya. Istilah
tersebut mungkin meniru sistem redistricting di Amerika Serikat yang berarti
pembentukan kembali distrik-distrik. Proses redistricting di Amerika Serikat
sama sekali bukan hal yang spesifik karena setiap tahun pemilihan hampir dapat
dipastikan karena perubahan laju pertumbuhan penduduk, urbanisasi, imigrasi,
dan emigrasi, sehingga peta wilayah pemilihan harus selalu disesuaikan. Lain
halnya dengan proses serupa di negara-negara Afrika terutama Nigeria, pemekaran
hampir selalu dikaitkan dengan maksud-maksud politis tertentu seperti
penguasaan sumber-sumber daya alam, kekuasaan segelintir elit daerah, dan
peluang mendapatkan alokasi bantuan dana dari pusat.Ketika Mahkaman Konstitusi
menyetujui tinjauan yuridis (judicial review) terhadap Undang-Undang 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di tahun 2008 yang memperbolehkan calon
independen berkompetisi dalam ajang pemilihan kepala daerah dengan calon-calon
kader partai politik, politik lokal seperti tidak terpisahkan dari proses
politik dan demokrasi di Indonesia. Selama ini, menurut ketentuan perundangan
dalam Undang-Undang tersebut, calon kepala daerah hanya boleh diajukan oleh partai politik sehingga
calon-calon lain di luar partai politik tidak diberikankesempatan sama sekali
maju dalam pilkada. Momen bersejarah ini sangat penting bagi terbukanya ruang
partisipasi masyarakat lokal dalam memilih pemimpin dambaannya. Figur-figur
partai politik akan dipaksa lebih memperhatikan aspirasi masyarakat ketimbang
ambisi pribadi dan partai pengusungnya. Walaupun demikian, jalan panjang masih
harus dibenahi guna menggolkan calon-calon independen kepala daerah dalam
pilkada masing-masing daerah. Aturan main dan batasan-batasan etika pengajuan
calon masih terbentur dengan pola pemilihan lama yang mengandalkan kekuatan
mesin-mesin politik partai dan uang sebagai jaminan kemenangan calon. Alhasil,
calon independen sangatlah sulit memenangkan pilkada tanpa kehadiran partai
politik pendukung. Padahal, terbukanya ruang bagi calon independen merupakan
ajang pembelajaran masyarakat lokal menjalankan demokrasi sesungguhnya. Sejalan
dengan fitrahnya berdemokrasi akan kembali kepada rakyatnya juga. Masyarakat
berpartisipasi aktif dalam proses kehidupan sosial dan politik negaranya
begitupun di tiap daerah tempat mereka tinggal. Keadaan seperti itu akan
mendorong demokrasi ke level lokal. Tarik ulur antara proses demokratisasi
pusat dan lokal serta interaksinya dengan sistem demokrasi di luar Indonesia,
menghasilkan dinamika. Selain itu, desentralisasi terjadi di seluruh pelosok
kabupaten dan kota di Indonesia turut menghasilkan dinamika politik lokal.
Menguatnya politik lokal dapat dilihat dari gegap gempita pelaksanaan pilkada
yang di tahun 2008 serentak terjadi di hampir 300-an lebih Kabupaten dan Kota
termasuk ke-33 Provinsi di Indonesia. Dapat dibayangkan berapa energi, waktu,
dan uang bermain dalam kontes demokrasi lokal tersebut. Pertanyaan selanjutnya
adalah seberapa jauh kemanfaatan proses demokratisasi lokal tersebut bagi
pembelajaran politik bagi masyarakat lokal yang bukan hanya sebatas menyuarakan
kepentingannya saja. Namun lebih jauh, terlibat dalam setiap pengambilan
keputusan yang akan berdampak pada kehidupan mereka.[68]
C.
Profil Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
adalah nama sebuah partai Islam di Indonesia. Sebelum mentransformasikan diri
menjadi PKS, PK adalah nama partai yang dibentuk tahun 1998. Nama PK berubah
menjadi PKS, karena tidak memenuhi electroral threshold. PKS ini
didirikan di Jakarta pada hari Sabtu, tanggal 9 Jumadil Awwal yang bertepatan
dengan tanggal 20 April 2002. Partai ini berasaskan Islam. PKS adalah partai
dakwah Islam.Dikatakan partai dakwah karena pembentukan partai ini memang
berangkat dari niat untuk melakukan tugas dakwah di bidang politik. Partai ini
mengusung ciri yaitu sebagai partai yang bersih, peduli dan profesional. Kantor
pusat partai ini berkedudukan di Jakarta. Sebagai partai yang didirikan di
Indonesia, PKS memiliki visi menjadi partai pelopor dalam mewujudkan cita-cita
nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun misi partai ini adalah
menjadikan Partai sebagai sarana perwujudan masyarakat madani yang adil,
sejahtera, dan bermartabat yang diridhai Allah subhanahu wata’ala, dalam
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[69]
Tujuan didirikannya PK
Sejahtera, sebagaimana tertuang dalam AD/ART, adalah “Terwujudnya masyarakat
madani yang adil dan sejahtera yang diridhoi Allah SWT dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia”. PK Sejahtera menyadari pluralitas, etnik dan
agama masyarakat Indonesia yang mengisi wilayah beribu pulau dan beratus suku
yang membentang dari Sabang hingga Merauke, yang dilalui garis khatulistiwa di
dalamnya.[70]
Partai Keadilan Sejahtera
pada awalnya adalah Partai Keadilan (PK), yang didirikan pada tanggal 20 Juli
1998. PK lahir dari momentum euphoria reformasi setelah lengsernya Soeharto
tahun 1998. Basis Partai ini adalah gerakan Tarbiyah model Ikhwanul Muslimin di
Mesir. Tokoh utamanya adalah Hasan Al-Banna. Gerakan Tarbiyah ini menurut Norma
Permata, seperti dikutip oleh Muslihudin, adalah gerakan yang mengadopsi konsep
Islamisasi secara gradual (gradual Islamisation), yaitu berawal dari individu ke dalam keluarga, ke dalam masyarakat, dan
kemudian ke dalam politik. Seperti halnya Ikhwanul Muslimin, doktrin politik
PKS berkembang dalam proses pengembangan sistem masyarakat Islam melalui
tahapan-tahapan (gradual), sebagai berikut: pertama, ta’sisi (the
formation stage), yaitu mengawali
pembentukan gerakan dakwah. Kedua, tandzimi (the
foundation stage), yaitu pengembangan organisasi melalui rekruitmen kader untuk
mengembangkan jaringan organisasi, ketiga, sya’bi (the
socialization stage), yaitu mengawali gerakan dakwah dengan memperkenalkan
aktifitas dakwah kepada publik yang lebih luas dan melakukan rekruitmen anggota
secara terbuka. Keempat, muassasi (the penetration
stage), yaitu kegiatan partisipasi gerakan dakwah melalui
proses pelembagaan politik seperti pemilu. Kelima, dauly (the government phase), yaitu di mana aktor
dakwah menduduki posisi pemerintah.[71]
Dalam kancah perpolitikan,
setidaknya ada tujuh peranan yang PKS dermakan untuk Indonesia. Hal ini
sebagaimana diungkapkan dalam Platform Kebijakan Partai Keadilan Sejahtera.
Sebagai berikut:
1. Berkaitan dengan bentuk negara. Sebagai wujud dari rasa tanggung jawab kaum
Muslimin terhadap rumah besarnya yang bernama Indonesia, dan panggilan dakwah
yang menjadi rahmat bagi semesta alam, PK Sejahtera bahu-membahu bersama
entitas politik lainnya untuk mengisi pembangunan menuju Indonesia yang maju,
kuat, aman, adil, sejahtera dan bermartabat sesuai dengan cita-cita universal,
yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang adil dan makmur di bawah
lindungan Allah.
2. Berkaitan dengan dinamika politik nasional, PK Sejahtera mendorong agar
Indonesia Baru ke depan berada pada kondisi politik yang sehat dan dinamis,
dimana terjadi pematangan dari kondisi transisi menuju konsolidasi demokrasi
yang mantap, yang ditandai dengan terbuka lebarnya ruang berekspresi masyarakat
dalam koridor hukum dan tertib sosial.
3. Berkaitan dengan model demokrasi. Eksperimentasi politik di masa transisi
saat ini ditandai dengan terbuka lebarnya ruang ekspresi dan ledakan partisipasi
politik dalam bentuk munculnya banyak partai politik, namun tetap dalam format
sistem presidensial. Sejarah perpolitikan Tanah Air sejak era Demokrasi
Parlementer, Demokrasi Terpimpin di zaman Orde Lama, serta Demokrasi
Presidensial di zaman Orde Baru, sampai hari ini di era Reformasi dengan
praktek ”Demokrasi Parlemen Multi Partai” memperlihatkan pergerakan bandul
sejarah dari sistem liberal.
4. Berkaitan dengan sistem ketatanegaraan PK Sejahtera berkeyakinan, bahwa
pemerintah mestilah efisien dan efektif dalam mengelola negara.Secara bertahap
bersama tumbuhnya kekuatan negara, maka pemerintah mengambil posisi pada
pengelolaan fungsi minimal negara, dan menyerahkan fungsi lainnya bagi
partisipasi masyarakat.
5. Berkaitan dengan tata hubungan pemerintahan secara vertikal serta otonomi
daerah, maka PK Sejahtera berkeyakinan, bahwa hubungan ini dilaksanakan dengan
menjalankan kewenangan pusat secara lebih efektif sekaligus dengan meningkatkan
kualitas pelaksanaan kewenangan daerah melalui penguatan kelembagaan, pembinaan
SDM, dan peningkatan kapasitas.
6. Berkaitan dengan birokrasi, birokrasi yang bersih, peduli, dan profesional
merupakan cermin akan “tubuh” bangsa ini sehari-hari yang merefleksikan ruh
pengelolaan negara.
7. Partai Keadilan Sejahtera berkeyakinan, bahwa strategi penegakan hukum
harus diawali dengan membersihkan aparat penegaknya dari perilaku bermasalah
dan koruptif, sesuai dengan pepatah, “hanya sapu bersih yang dapat membersihkan
lantai kotor”. Sebab, penegakan hukum sangat bergantung pada aparat yang
bersih, baik di kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan seluruh jajaran birokrasi
yang menjalankan fungsi-fungsi penegakan hukum tersebut.[72]
Terkait dengan bahasan
teologi PKS ini, PKS tidak berbeda dengan Ikhwanul Muslimin, yang memiliki lima
slogan organisasi yaitu: Allah adalah tujuan kami, Al-Quran adalah konstitusi
kami, Rasulullah adalah pimpinan kami, jihad adalah jalan kami, dan syahid
adalah cita-cita kami.[73]
D.
Profil Partai Demokrat
Partai Demokrat didirikan atas inisiatif saudara Susilo Bambang Yudhoyono
yang terilhami oleh kekalahan terhormat saudara Susilo Bambang Yudhoyono pada
pemilihan Calon wakil Presiden dalam Sidang MPR tahun 2001. Dari perolehan
suara dalam pemilihan cawapres dan hasil pooling publik yang menunjukkan
popularitas yang ada pada diri Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya disebut
SBY), beberapa orang terpanggil nuraninya untuk memikirkan bagaimana sosok
SBY bisa dibawa menjadi Pemimpin Bangsa danbukan direncanakan untuk menjadi
Wakil Presiden RI tetapi menjadi Presiden RI untuk masa mendatang. Hasilnya
adalah beberapa orang diantaranya saudara Vence Rumangkang menyatakan
dukungannya untuk mengusung SBY ke kursi Presiden, dan bahwa agar cita-cita
tersebut bisa terlaksana, jalan satu-satunyaadalah mendirikan partai politik.
Perumusan konsep dasar dan platform partaisebagaimana yang diinginkan SBY
dilakukan oleh Tim Krisna Bambu Apus danselanjutnya teknis administrasi
dirampungkan oleh Tim yang dipimpin oleh saudara Vence Rumangkang. Juga
terdapat diskusi-diskusi tentang perlunya berdiri sebuah partai untuk
mempromosikan SBY menjadi Presiden, antara lain: Pada tanggal 12 Agustus 2001
pukul 17.00 diadakan rapat yang dipimpin langsung oleh SBY di apartemen Hilton.
Rapat tersebut membentuk tim pelaksana yang mengadakan pertemuan secara
marathon setiap hari. Tim itu terdiri dari : Vence Rumangkang, Drs. A. Yani
Wahid (Alm), Achmad Kurnia, Adhiyaksa Dault, SH, Baharuddin Tonti, dan Shirato
Syafei. Di lingkungan kantor Menkopolkam pun diadakan diskusi-diskusi untuk
pendirian sebuah partai bagi kendaraan politik SBY dipimpin oleh Drs. A. Yani
Wachid (Almarhum). Pada tanggal 19 Agustus 2001, SBY memimpin langsung
pertemuan yang merupakan cikal bakal pendirian dari Partai Demokrat. Dalam
pertemuan tersebut, saudara Vence Rumangkang menyatakan bahwa rencana pendirian
partai akan tetap dilaksanakan dan hasilnya akan dilaporkan kepada SBY. Tanggal
20 Agustus 2001, saudara Vence Rumangkang yang dibantu oleh saudara Drs. Sutan
Bhatoegana berupaya mengumpulkan orang-orang untuk merealisasikan pembentukan
sebuah partai politik. Pada akhirya, terbentuklah Tim 9 yang beranggotakan 10
(sepuluh) orang yang bertugas untuk mematangkan konsep-konsep pendirian sebuah
partai politik yakni: Vence Rumangkang, Dr. Ahmad Mubarok, MA., Drs. A. Yani
Wachid (almarhum), Prof. Dr.Subur Budhisantoso, Prof. Dr. Irzan Tanjung, RMH.
Heroe Syswanto Ns., Prof. Dr. RF. Saragjh, SH., MH., Prof. Dardji
Darmodihardjo, Prof. Dr.Ir. Rizald Max Rompas dan Prof. Dr. T Rusli Ramli, MS.
Disamping nama-nama tersebut, ada juga beberapa orang yang sekali atau dua kali
ikut berdiskusi. Diskusi Finalisasi konsep partai dipimpin oleh Bapak SBY.
Untuk menjadi sebuah Partai yang disahkan oleh Undang-Undang Kepartaian
dibutuhkan minimal 50 (limapuluh) orang sebagai pendirinya, tetapi muncul
pemikiran agar jangan hanya 50 orang saja, tetapi dilengkapi saja menjadi 99
(sembilan puluh sembilan) orang agar ada sambungan makna dengan SBY sebagai
penggagas, yakni SBY lahir tanggal 9 bulan 9. Pada tanggal 9 September 2001,
bertempat di Gedung Graha Pratama Lantai XI, Jakarta Selatan dihadapan Notaris
Aswendi Kamuli, SH., 46 dari 99 orang menyatakan bersedia menjadi Pendiri
Partai Demokrat dan hadir menandatangani Akte Pendirian Partai Demokrat. 53
(lima puluh tiga) orang selebihnya tidak hadir tetapi memberikan surat kuasa
kepada saudara Vence Rumangkang. Kepengurusan pun disusun dan disepakati bahwa
Kriteria Calon Ketua Umum adalah Putra Indonesia asli, kelahiran Jawa dan
beragama Islam, sedangkan Calon Sekretaris Jenderal adalah dari luar pulau jawa
dan beragama Kristen. Setelah diadakan penelitian, maka saudara Vence
Rumangkang meminta saudara Prof. Dr. Subur Budhi Santoso sebagai Pejabat Ketua
Umum dan saudara Prof. Dr. Irsan Tandjung sebagai Pejabat Sekretaris Jenderal
sementara Bendahara Umum dijabat oleh saudara Vence Rumangkang. Pada malam hari
nya pukul 20.30, saudara Vence Rumangkang melaporkan segala sesuatu mengenai
pembentukan Partai kepada SBY di kediaman beliau yang saat itu sedang merayakan
hari ulang tahun ke 52 selaku koordinator penggagas, pencetus dan Pendiri
Partai Demokrat. Dalam laporannya, saudara Vence melaporkan bahwa Partai
Demokrat akan didaftarkan kepada Departemen Kehakiman dan HAM pada besok hari
yakni pada tanggal 10 September 2001. Pada tanggal 10 September
2001 jam 10.00 WIB Partai Demokrat didaftarkan ke Departemen Kehakiman dan HAM
RI oleh saudara Vence Rumangkang, saudara Prof. Dr. Subur Budhi Santoso,
saudara Prof. Dr. Irsan Tandjung, saudara Drs. Sutan Bhatogana MBA, saudara
Prof. Dr. Rusli Ramli dan saudara Prof. Dr. RF. Saragih, SH, MH dan diterima
oleh Ka SUBDIT Pendaftaran Departemen Kehakiman dan HAM. Kemudian pada tanggal
25 September 2001 terbitlah Surat Keputusan Menkehakiman & HAM Nomor
M.MU.06.08.-138 tentang pendaftaran dan pengesahan Partai Demokrat. Dengan
Surat Keputusan tersebut Partai Demokrat telah resmi menjadi salah satu partai
politik di Indonesia dan pada tanggal 9 Oktober 2001 Departemen Kehakiman dan
HAM RI mengeluarkan Lembaran Berita Negara Nomor : 81 Tahun 2001 Tentang
Pengesahan. Partai Demokrat dan Lambang Partai Demokrat. Selanjutnya pada
tanggal 17 Oktober 2002 di Jakarta Hilton Convention Center (JHCC), Partai
Demokrat di deklarasikan dan dilanjutkan dengan Rapat Kerja Nasional (Rakernas)
Pertama pada tanggal18-19 Oktober 2002 di Hotel Indonesia yang dihadiri Dewan
Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) seluruh Indonesia.
Sejalan dengan deklarasi berdirinya Partai Demokrat, sebagai perangkat
organisasi dibuatlah Anggaran Dasar dan Anggaran RumahTangga (AD/ART). Sebagai
langkah awal maka pada tahun 2001 diterbitkan AD/ART yang pertama sebagai
peraturan sementara organisasi. Pada tahun. 2003 diadakan koreksi dan revisi
sekaligus didaftarkan ke Departemen Kehakiman dan HAM RI sebagai Persyaratan
berdirinya Partai Demokrat. Sejak pendaftaran tersebut, AD/ART Partai Demokrat
sudah bersifat tetap dan mengikat hingga ada perubahan oleh forum Kongres.[74]
1)
Visi Partai Demokrat
Partai Demokrat bersama masyarakat luas berperan
mewujudkan keinginan luhur rakyat Indonesia agar mencapai pencerahan
dalamkehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur,
menjunjung tinggi semangat Nasionalisme, Humanisme dan Internasionalisme, atas
dasar ketakwaan kepada Tuhan yang maha Esa dalam tatanan dunia baru yang damai,
demokratis dan sejahtera. Indonesia
menjadi Negara Maju di Abad 21. Indonesia menjadi Negara Kuat di tahun 2045.
Indonesia menjadi Emerging Economy di tahun 2030. Menjadi partai politik
masa depan yang: Kuat, berintegritas dan berkapasitas. Relevan dan adaptif
dengan perkembangan zaman, Konsisten pada nilai, idealisme dan platform
perjuangan partai yang menjunjung tinggi perdamaian, keadilan, kesejahteraan, demokrasi
dan kelestarian lingkungan, Menyatu dengan rakyat dan terus memperjuangkan
kepentingan dan aspirasi rakyat dan Mempertahankan jati diri sebagai partai
Nasionalis-Religius, Partai Terbuka, Partai Tengah, Partai Pluralis dan Partai
Pro Rakyat Kecil.
2)
Misi Partai Demokrat
a. Memberikan garis yang jelas agar partai berfungsi secara optimal dengan
peranan yang signifikan didalam seluruh proses pembangunan Indonesia baru yang
dijiwai oleh semangat reformasi serta pembaharuan dalam semua bidang kehidupan
kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan kedalam formasi semula sebagaimana
telah diikrarkan oleh para pejuang, pendiripencetus Proklamasi kemerdekaan
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan titik berat kepada upaya
mewujudkan perdamaian, demokrasi (Kedaulatan rakyat) dan kesejahteraaa;
b. Meneruskan perjuangan bangsa dengan semangat kebangsaan barudalam
melanjutkan dan merevisi strategi pembangunan Nasional sebagai tumpuan sejarah
bahwa kehadiran partai Demokrat adalah melanjutkan perjuangan generasi-generasi
sebelumnya yang telah aktif sepanjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia,
sejak melawan penjajah merebut Kemerdekaan, merumuskan Pancasila dan UUD 1945,
mengisi kemerdekaan secara berkesinambungan hingga memasuki era reformasi;
c. Memperjuangkan tegaknya persamaan hak dan kewajibanWarganegara tanpa
membedakan ras, agama, suku dan golongandalam rangka menciptakan masyarakat
sipil (civil society) yang kuat, otonomi daerah yang luas serta
terwujudnya representasi kedaulatan rakyat pada struktur lebaga perwakilan dan
permusyawaratan;
d. Sebagai salah satu kekuatan politik nasional, Partai Demokrat
berpartisipasi dan berkontribusi dalam kehidupan bernegara dan pembangunan
nasional, menuju terwujudnya Indonesia yang makin maju, makin damai, makin
adil, makin sejahtera dan makin demokratis; dan
e. Sebagai partai politik, Partai Demokrat mengemban misi sebagai berikut:
Memenangkan pemilihan umum pada tingkat nasional, baik pemilu legislatif maupun
pemilu presiden dan wakil presiden, Memenangkan pemilihan umum tingkat daerah,
baik pemilu legislatif maupun pemilu kepala daerah, Mempersiapkan kader-kader
Demokrat untuk maju sebagai peserta pemilihan umum, baik pusat maupun daerah,
baik legislatif maupun eksekutif, Menjalin komunikasi secara berkelanjutan
dengan rakyat guna mengetahui persoalan, harapan dan aspirasi mereka, untuk
selanjutnya diperjuangkan di berbagai medan pengabdian dan penugasan partai,
dan Menjalankan kehidupan internal partai sesuai dengan undang-undang dan
anggaran dasar serta anggaran rumah tangga, menuju masa depan Partai Demokrat
yang makin kuat, makin modern, makin dicintai rakyat dan makin kontributif bagi
pembangunan bangsa.[75]
BAB IV
PENOLAKAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DAN PARTAI
DEMOKRAT TERHADAP PEMILU SERENTAK 2024
A.
Latar Belakang Pilkada Serentak 2024
Proses panjang sistem ketatanegaraan dan
politik Indonesia telah mengalami suatu pergeseran atau transformasi yang lebih
demokratis ditandai dengan perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia
melalui Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Amandmen Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 telah meletakan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dengan
meletakan kedaulatan berada ditangan rakyat.[76]
Agenda politik
nasional strategis dan memiliki aspek pemerintahan dan kemasyarakatan yang luas
dengan segala konsekuensinya bagi masa depan sistem politik Indonesia adalah
Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Bukan hanya mengejar
target keserentakan pencalonan, dinamika kampanye, dan pelantikannya, tetapi juga
kesejalanannya dinamika di daerah dengan agenda pembangunan yang dicanangkan
Pusat agar dapat mencapai sasaran dengan hasil maksimal. Konstruksi politik
beroperasinya sistem presidensial yang tidak terpencar masing-masing
kegiatannya di tingkat lokal sebagai akibat latar belakang politik kepala
daerahnya yang beragam dengan pemerintah koalisi di Pusat, adalah sintesa besar
dari pembahasan substansi penting dari demokrasi pilkada sebagai agenda
nasional.[77]
Pemilihan Umum (pemilu) merupakan konsekuensi logis dari negara
demokrasi, dan demokrasi adalah cara aman untuk mempertahankan kontrol atas
negara hukum.[78]
Pada Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menjelaskan bahwa
Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. Demokratis berarti kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Demokrasi,
negara hukum, dan negara kesejahteraan menjadi dasar filosofis dari
penyelenggaraan pemilu.[79] Menurut Satjipto Rahardjo, Pemilu yang demokratis
ialah lembaga yang mereproduksi kontrak sosial baru antara rakyat dengan
pemimpin pemerintahan.[80] Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie, pemilu
selain sebagai perwujudan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM), juga bertujuan
untuk mengisi dan melaksanakan suksesi kepemimpinan secara tertib.[81] Dalam melaksanakan pemilihan umum yang
demokratis, dapat dijalankan secara langsung maupun tidak langsung.[82]
Penyelenggaraan pilkada serentak yang
dilaksanakan secara bertahap dimulai pada 2015, kemudian tahap kedua akan
dilaksanakan pada 15 Februari 2017 untuk kepala daerah yang masa jabatannya
berakhir pada semester kedua 2016 dan yang berakhir pada 2017. Selanjutnya, secara bertahap gelombang ketiga
direncanakan Juni 2018, berikutnya tahun 2020, 2022, dan 2023 hingga pilkada
serentak nasional pada tahun 2027 yang meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Namun, draf Revisi Undang-undang Pemilu dan Pilkada terkait pelaksanaan
pilkada serentak yang dinormalisasi dan diadakan pada 2022 atau 2023,
menuai pro dan kontra di tengah masyarakat dan elite partai politik, yang mana
draf tersebut berisi tentang aturan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Pilkada, Pilkada 2022 dan 2023 akan dilakukan serentak pada 2024 sudah
masuk dalam program Legislasi Nasional (prolegnas).[83]
Di tahun 2020 ini Indonesia memang akan melaksanakan pesta
demokrasi yaitu dengan pemilihan umum kepala daerah secara serentak. Pemilihan
Umum Kepala Daerah Serentak artinya Pemilihan kepala daerah yang dilakukan
secara langsung oleh penduduk daerah administrative setempat yang memenuhi
syarat, yang dilakukan secara bersamaan di daerahdaerah yang ada di Indonesia.
Pemilihan kepala daerah dilakukan sekaligus bersama wakil kepala daerahnya,
yang mana mencakup Gubernur dan Wakil Gubernur untuk provinsi, Bupati dan Wakil
Bupati untuk kabupaten, dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota untuk kota. Ada 270
wilayah di Indonesia akan menggelar Pilkada 2020. Pilkada serentak 2020 ini
merupakan Pilkada serentak gelombang keempat yang dilakukan untuk kepala daerah
hasil pemilihan Desember 2015.
Ada 270 daerah yang melaksanakan pilkada serentak 2020, rinciannya adalah 9
provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Pilkada Serentak 2020 seharusnya diikuti
269 daerah, namun menjadi 270 karena Pilkada Kota Makassar diulang
pelaksanaannya.[84]
Pilkada serentak merupakan upaya untuk menciptakan
local accountability, political equity dan local
responsiveness. Dengan begitu, demokratisasi di tingkat lokal terkait erat
dengan tingkat partisipasi, dan relasi kuasa yang dibangun atas dasar
pelaksanaan azas kedaulatan rakyat. Selain itu, hasil pilkada juga harus mampu
menghantarkan masyarakat pada kondisi sosial, politik dan ekonomi yang lebih
baik. Pilkada yang baik akan melahirkan pemerintahan yang baik. Pilkada yang
diselenggarakan secara lebih profesional, demokratis, akan memberikan dampak
nyata terhadap perubahan politik. Meskipun demikian, dalam praktiknya Pilkada
melahirkan berbagai konflik yang di antaranya dipicu oleh masalah administrasi
data pemilih, netralitas penyelenggara Pemilu, serta kurangnya kepatuhan
peserta pilkada dan partai politik terhadap peraturan yang berlaku. Pilkada
serentak sebagai agenda politik nasional menuju demokratisasi dapat berjalan
secara substansi dan tidak sekedar ritual prosedur semata.[85]
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Menteri Hukum
dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Laoly sepakat untuk mencabut revisi Undang-Undang
(RUU) Pemilu dari Prolegnas Prioritas 2021. Dengan pencabutan RUU tersebut,
maka Pilkada 2022 dan 2023 akan tetap dilakukan serentak pada 2024. Berbarengan
dengan Pileg dan Pilpres. 7 Fraksi (PDIP, Partai Golkar,
Nasdem, PKB, PAN, PPP) setuju UU Pemilu dikeluarkan dari prolegnas 2021. Satu Fraksi (PKS) sikapnya meminta RUU Pemilu masuk
prolegnas prioritas, tapi memahami sikap mayoritas fraksi dan menghormati surat
dari komisi II. Dan satu Fraksi (Demokrat) meminta RUU Pemilu masuk prolegnas
prioritas 2021.
Anggota Baleg dari
Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan
menyampaikan pandangan fraksinya. Dia menyebut sejak reformasi Indonesia
merubah sistem pemilu setiap lima tahun sekali. Hal tersebut membuat pola
pemilihan umum sulit untuk dievaluasi. Ditambah situasi pandemi Covid-19 yang
mengharuskan semua pihak fokus pada pemulihan ekonomi dan kesehatan.[86]
Komisi II
DPR RI bersama pemerintah, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) telah
menyepakati jadwal Pemilu
2024, baik itu pilpres, pileg
maupun pilkada. Setidaknya ada empat poin penting dari kesepakatan sejumlah
lembaga tersebut. Perihal jadwal Pemilu 2024 disepakati dalam Konsinyering[87] antara
Komisi II DPR, pemerintah, KPU, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP)
kemarin, Kamis (3/6/2021). Adalah Wakil Ketua Komisi II DPR Luqman Hakim yang
mengungkapkan kesepakatan dalam konsinyering tersebut. Sejumlah hasil konsinyering,
yakni tahapan pilpres dan pileg mulai digelar pada awal 2022. Sedangkan
pencoblosan pilpres dan pileg diselenggarakan pada awal 2024.
Berikut empat poin penting yang
disepakati dalam konsinyering antara komisi II DPR, Pemerintah, KPU, Bawaslu,
dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengenai pemilu tahun 2024:[88]
1.
Tahapan pilpres-pileg dimulai maret
2022, yakni tahapan akan dimulai 25 bulan sebelum pemungutan suara.
2.
Pencoblosan pilpres-pileg digelar 28
Februari 2024.
3.
Pencalonan di Pilkada berdasarkan hasil
pileg.
4.
Pencoblosan pilkada 2024 digelar 27 November.
B.
Muatan Aturan Umum Pilkada Serentak 2024
Menurut Ketua KPU Ilham Saputra, usulan mengenai pilkada serentak
2024 didasari sejumlah hal mendasar, terutama UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. KPU menjelaskan mengenai wacana revisi
UU nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang
pemilihan bahwa Pemilu akan diselenggrakan sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017
serentak pada tahun 2024. Selanjutnya, KPU meneaskan bahwa sebagai lembaga
penyelenggara pemilu, mereka taat dan patuh pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku, dalam hal ini adalah Pasal 167 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 dan
pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 tahun 2016. Pada pasal tersebut pada prinsipnya
mengatur bahwa pemilu dan pemeilihan serentak nasional akan diselenggarakan
pada tahun 2024.[89]
Pilkada
serentak nasional tahun 2024 yang diamanatkan dalam pasal 201 ayat (8) UU Nomor
10 Tahun 2016 perubahan kedua UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang pilkada yang akan
diikuti 33 Provinsi, 415 Kabupaten, dan 93 Kota sehingga berjumlah 541 daerah
otonom atau daerah secara serentak akan melaksanakan pilkada di tahun 2024.[90]
KPU menambahkan bahwa kewenangan dalam hal pembentukan dan perubahan
Undang-Undang (UU) ada pada pembentuk UU, dalam hal ini adalah DPR bersama
Pemerintah. Sementara itu, KPU selaku penyelenggara pemilu fokus pada tugas,
wewenang, dan kewajibannya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan berlaku. Sesuai aturan, KPU juga hanya dapat memberikan masukan dan
pengalaman menjalankan Pemilu dan Pemilihan kepada Kementerian Dalam Negeri
selaku perwakilan Pemerintah dan DPR selaku perwakilan legislative. Terakhir,
KPU menjelaskan bahwa dalam prosesnya, semua dilaksanakan dengan berkoordinasi
dalam bentuk Tim Kerja yang terdiri dari DPR, Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan
DKPP. Kesepakatan Tim Kerja Bersama menetapkan bahwa Pemilu dan Pemilihan tetap
diselenggarakan pada tahun 2024 sebagaimana UU Nomor 7 Tahun 2017 dan UU 10
Tahun 2016.[91]
C.
Penolakan Partai Keadilan Sejahtera Dan Partai
Demokrat Terhadap Pemilu Serentak 2024
Sesuai dengan UU Pilkada, pemilihan kepala daerah
akan digelar serentak dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan
Legislatif (Pileg) tahun 2024. Namun, beberapa partai mengusulkan perubahan ini
lewat revisi UU Pemilu. Dalam draf revisi UU Pemilu, Pilkada akan tetap
digelar pada 2022 dan 2023, mengikuti siklus lima tahunan setelah Pilkada 2017
dan 2018. Kemudian, Pilkada serentak baru akan digelar pada 2027.
Namun, banyak elite politik
saling bersilang pendapat mengenai beberapa poin yang terkandung dalam subtansi
draf RUU Pemilu, yang mana salah satunya adalah pelaksanaan pilkada itu
dinormalisasikan dan diadakan pada 2022 atau 2023. Aturan tersebut tidak ada
dalam UU Pemilu dan Pilkada sebelumnya. Karena dalam UU No.10 Tahun 2016
pilkada tahun 2022 dan 2023 akan dilakukan serentak pada tahun 2024. Dan
beberapa fraksi yang menolak usulan bahwa pilkada dilaksanakan pada tahun 2022
dan 2023. Mereka sepakat agar pilkada tetap digelar serentak pada tahun 2024.
Ada beberapa fraksi yang
menolak pelaksanaan pilkada serentak 2024, yakni Partai Kesejahteraan Sosial
dan Partai Demokrat yang menginginkan RUU Pemilu tetap dilaksanakan, yang
kemudian pilkada serentak akan digelar pada tahun 2027. Menurut Peneliti Forum
Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), penolakan dan dukungan
terhadap revisi Undang-undang Pemilu itu dilatarbelakangi hitung-hitungan
partai politik dalam menerapkan strategi Pemilu 2024. Dan ini merupakan suatu
hal yang wajar terjadi karena parpol akan berhitung agar kepentingan politiknya
bisa diakomodasi.[92]
Fraksi Partai Demokrat mendorong
agar pembahasan revisi UU Pemilu diselesaikan secara komprehensif dan holistik.
Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat, Santoso menilai Pilkada serentak 2024 hanya
akan membuat beban teknis di lapangan sangat tinggi yang berpotensi memakan
banyak korban jiwa seperti pemilu 2019 lalu.
Pandemi Covid-19 menjadi alasan pelaksaan
penundaan pilkada 2022. Dengan
tetap diselenggarakannya Pilkada 2022, memang tidak dapat dipungkiri sangat berpotensi
memunculkan kerumunan-kerumunan massa yang mana potensi penularan sangat
tinggi. Alasan kedua adalah anggaran kita yang di alokasikan dulu unuk
mendanai bantuan korban virus covid dan untuk pencegahan Covid-19 dan dana-dana
yang di belanjakan untuk membeli vaksin dan sebagainya serta bantuan-bantuan
sosial sehingga pilkada di undur terlebih dahulu karena dananya di pakai untuk
kepentingan masyarakat.[93]
Ada dua alasan untuk tidak
melaksanakan Pilkada Serentak 2024. Pertama, secara filosofis
pelaksanaan pilkada 2024 itu menghilangkan kesempatan rakyat untuk berfikir
secara proporsional, kerena waktunya barengan dengan pillpres, sehingga boleh
jadi adanya bias ketika memilih pemimpin. Kedua, secara teknis
pelaksanaan berpeluang adanya komplikasi dilapangan seperti contoh pemilu
kemarin, pileg dan pilpres disatukan, menyebabkan korban.[94]
Dari
penjelasan pendapat kedua Fraksi Partai tersebut, menurut penulis pelaksanaan
Pilkada Serentak 2024 setuju untuk tidak dilaksanakan karena ada beberapa hal
yang harus diperhatikan. Mengingat kejadian pada Pemilu Tahun 2019, banyaknya
beban kerja terhadap para petugas KPPS hingga menyebabkan kematian kemudian
situasi keadaan sekarang masih dalam pandemi Virus Covid-19 yang belum
jelas kapan berakhirnya dan pemerintah juga belum mengumumkan kehidupan yang
akan berdampingan dengan Virus Covid-19 atau disebut juga dengan
endemi.
Ide Pilkada
Serentak ini adalah ide efisiensi namun esensi dari demokrasi adalah bagaimana
bisa menangkap secara utuh aspirasi masyarakat. Menurut beliau, pilkada yang
diselenggarakan serentak bersama Pileg dan Piplres mempunyai beberapa
kekurangan. Pertama, tidak memberikan porsi kepada setiap jenis pemilu
yang ada, contoh; ketika pilpres disatukan bersama pileg maka pileg akan
terabaikan, masyarakat lebih fokus pada pilpresnya. Ketika pilkada disatukan
pileg dan pilpres bisa jadi efek pilpres akan sangat mempengaruhi kualitas dari
pilkada. Lalu teorinya ada coat-tail effect,[95] jadi peluang capres
menang secara lebih banyak meraih banyak dukungan di pilkada 2024.
Kedua,
harusnya setiap pemilu diberikan haknya, pilpres terlebih dahulu karena kita
menganut sistem presidensial, kemudian pileg, kemudian pilkada ditahun yang
berbeda. Alasan beliau diadakan setiap pemilu ditahun berbeda karena masing
masing memiliki hak, seperti ketika pilpres membicarakan tantangan dan peluang
bangsa secara nasional dari sudut eksekutif, ketika pileg bicara tentang
kualitas legislator, ketika pilkada bicara tentang masalah lokal baik provinsi
maupun kabupaten/kota. Terakhir, pilkada serentak membuat interaksi partai
politik atau calon pemimpin dengan rakyatnya itu terjadi sekali saja dalam lima
tahun saat pilkada, padahal dalam pileg dan pilpres di tahun yang berbeda.[96]
Pelaksanaan
pilkada seretak 2024 itu pilkada yang nuasanya lebih kepada nuansa politik
nasional. Di 2022 ketika masa berakhirnya kepimpinan daerah, kekosongan
tersebut dapat di isi oleh Pelaksana Tugas (PLT) yang diturunkan dari pusat
sehingga penguatan jaringan kekuatan kelompok tertentu bisa lebih dominan.
Pengalaman itu di ambil ketika pilkada 2020, banyak sekali kader berhasil
menjadi pepimpin daerah yang di usung oleh partai Demokrat. Di tahun 2022, tingkat
keberhasilan bisa mencapai 90% dan kegagalan hanya 10% yang menjadi pimpinan
daerah, karena Partai Demokrat mempunyai kader yang berhasil disaat
elektabilitas dan favoritas partai demokrat sedang bagus-bagusnya.
Dan beliau menambahkan, Pilkada itu bukan hanya figur orang
yang maju dia mengeluarkan uang, Pilkada Indonesia harus belajar dari pilkada yang ada di Eropa
dan Amerika, yang mana jika ingin mencalonkan menjadi presiden tidak perlu
menyiapkan uang sampai triliyunan, karena negara memfasilitasi dan titik-titik
kampanye pun sudah di tentukan oleh negara dan orangnya itu-itu saja
masyarakatnya di undang 1.000 orang, calon presidennya dan calon wakil presidennya berkampanye
di hadapan masyarakat tentang visi misi mereka. Begitu juga calon yang lain,
pun berkampanye di hadapan masyarakat yang di undang, dan mana yang di sukai
oleh masyarakat itu yang di pilih. Maka ketika Donald Trump berkampanye melawan
Joe Biden, Donald Trump berkampaye tidak percaya terhadap Covid-19 sementara
Joe Biden percaya covid, dan Donald Trump tidak punya visi bagaimana cara
mematikan Covid-19 di Amerika supaya tidak berkembang, sementara Joe Biden
punya program bagaimana cara memartikan Covid-19 di Amerika supaya tidak
berkembang.[97]
D.
Efektivitas Dan Efisiensi Pilkada Serentak 2024
Menurut Pendapat Fraksi Partai Politik Indonesia
Menurut mantan ketua Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu), Bambang Eka Cahya Widodo juga tidak setuju apabila
pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan. Menurutnya, hal itu akan berdampak buruk bagi
indikator pemilu. Dan peniadaan pilkada 2022 dan 2023 adalah sesuatu yang tidak
baik. Karena pemilu yang teratur, yang sesuai jadwal adalah salah satu yang
menjadi indikator pemilu yang bagus, integritas pemilu yang baik, dan
dilaksanakan tepat waktu.[98]
Dalam
pendapat Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, akan menjadi pekerjaan yang besar
bagi KPU, dan beliau tidak yakin akan berjalan secara ideal, namun KPU dan
Bawaslu harus menyiapkan perangkatnya
agar pilkada 2024 dapat berjalan dengan optimal dengan catatan bukan hanya
sekedar pilkada, lebih dari itu pemimpinnya adalah mereka yang mempunyai
kapasitas, integritas, bukan hanya isi tas, dan ini yang menjadi tantangan bagaimana
mewujudkan pilkada serentak 2024 yang berkualitas.[99]
Kemudian menurut Fraksi
Partai Demokrat, berjalan dengan efektif dan efisiennya atau tidak tergantung keadaan kita
mau diadakan kapanpun Pilkada itu tergantung keadaan kita saat ini, pada tahun
2024 Pilkada yang kita lakukan sudah menjadi keputusan artinya suka atau tidak
suka kita harus terima keadaan ini, adapun itu efektif atau tidak kita lihat
keadaan Pilpres di tahun 2024 karena Pilpres dan Pileg 2024 menentukan situasi
dan kondisi Pilkada di tahun 2024 kalau pada saat Pilpres dan Pileg situasinya
kurang aman bisa saja Pilkada itu di adakan bukan tahun 2024. Jadi kurng
efektif jika diadakan pada tahun 2024 misal situasi kondisi masih dalam keadaan
covid-19. Dan saya tidak yakin Pilkada serentak diadakan 2024 bisa saja diundur
juga. Dalam politik itu tidak mungkin ada yang terjadi, semuanya juga akan bisa
pasti terjadi.[100]
Dalam pandangan penulis, pelaksanaan Pilkada
Serentak 2024 terdapat beberapa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya ialah; Yang pertama, hak konstitusional peserta pilkada dan masyarakat
tetap terpenuhi. Implementasi dari kedaulatan rakyat salah satunya ialah dengan
diselenggarakannya pemilihan umum. Pilkada serentak ini merupakan salah satu
sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat principal, maka
dari itu dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi warga negara sudah seharusnya
pemerintah menjamin terlaksananya Pilkada Serentak Tahun 2024 apalagi sudah seharusnya pula. Karena, momentum
politik seperti pilkada merupakan suatu pengimplementasian hak konstitusional
seluruh warga negara. Baik mereka sebagai calon peserta pemilu maupun siapa
saja yang hendak menyalurkan hak politiknya untuk memilih dan dipilih. Kedua, Kewenangan yang dimiliki oleh Pejabat sementara atau pelaksana
tugas (Plt) sangat
terbatas. Hal tersebut karena tidak
memungkinkan mereka dapat mengambil kebijakan yang
strategis. Artinya bagi para pejabat
sementara tidak dapat mempunyai wewenang untuk
membuat aturan yang mana sangat penting sekali diberlakukannya aturan yang dapat
menyelesaikan persoalan di masa pandemi Covid-19 ini dan juga dianggap kurang
efektif karena kewenangan yang dimiliki oleh Pejabat sementara sangat terbatas,
sehingga akan memperlambat kinerjanya. Ketiga, mencegahnya meningkatnya anggaran. Artinya jika Pilkada
Serentak 2024 dilaksanakan bersama Pilpres dan Pileg, maka Komisi Pemilihan
Umum (KPU) maupun Pasangan Calon tentunya akan mengeluarkan anggaran yang
meningkat dibanding pada sebelumnya sehingga bagi pemerintah akan sangat
berpengaruh terhadap hutang negara yang sudah bengkak.
Kemudian dampak negatifnya ialah; Pertama, jika
Pilkada Serentak 2024 akan terlaksana masih dalam keadaan Covid-19 maka akan
menimbulkan resiko besar terhadap penularan Virus Covid-19. Banyak pasangan calon di berbagai daerah memancing
kerumunan dengan melakukan konvoi yang kebanyakan tidak memperhatikan protokol
Kesehatan Covid-19. Terlebih lagi, kini sejumlah bakal calon juga terinfeksi virus
Corona. Hal tersebut tentunya sangat membuat semakin resah apalagi nanti pada saat
menjelang pilkada dilaksanakan, yang ditakutkan terhadap lonjakan kasus Covid-19 bisa menciptakan krisis yang semakin meresahkan semua masyarakat. Hal tersebut tentu
sangat berpotensi menciptakan klaster besar apalagi di daerah-daerah yang sebelumnya
masih berkategori zona hijau bisa jadi dengan diselenggarakannya pilkada bisa berpotensi menjadikan daerah tersebut zona merah jika semua orang tidak
memiliki kesadaran untuk tetap melaksanakan protokol Kesehatan Covid-19. Dan agar tidak terjadi klaster baru diharapkan calon
pemilih dalam Pilkada sudah melakukan vaksinasi dan menunjukan sertifikat
vaksin ketika ingin masuk ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kedua, menyebabkan Golput (Golongan Putih) meningkat.
Karena dengan Golput (Golongan Putih) bisa jadi pilihan masyarakat yang paling
rasional mengingat kesehatan dan
keselamatan publik tengah terancam di tengah situasi wabah Covid-19 yang
sangat membuat resah.
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Setelah memaparkan mengenai pendapat dari fraksi PKS dan
Demokrat tentang pelaksanaan pilkada serentak 2024, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Menteri Hukum
dan HAM (Menkum HAM) sepakat untuk mencabut Rancangan
Undang-Undang (RUU) Pemilu dari Prolegnas Prioritas 2021. Dengan pencabutan RUU
tersebut, maka Pilkada 2022 dan 2023 akan tetap dilakukan serentak pada 2024.
Berbarengan dengan Pileg dan Pilpres. 7 Fraksi yakni PDIP, Partai Golkar, Nasdem, PKB, PAN, PPP setuju UU Pemilu
dikeluarkan dari prolegnas 2021. Namun, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera meminta Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu masuk
prolegnas prioritas, tapi memahami sikap mayoritas fraksi dan menghormati surat
dari komisi II. Ada dua alasan mengapa Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) menolak adanya pilkada serentak 2024, yang pertama
secara filosofis pelaksanaan Pilkada 2024 itu menghilangkan kesempatan rakyat
untuk berfikir secara proporsional, kerena waktunya barengan dengan pillpres,
sehingga boleh jadi adanya bias ketika memilih pemimpin. Kedua, secara teknis
pelaksanaan berpeluang adanya komplikasi dilapangan seperti contoh pemilu
kemarin, pileg dan pilpres disatukan, menyebabkan korban.
Dan satu Fraksi yang menolak
adanya penyelenggaraan pilkada serentak 2024, yakni Partai Demokrat. Menurut fraksi ini,
pelaksaan pilkada serentak 2024 adalah suatu hal yang tidak masuk akal karena
nuasanya lebih kepada nuasa politik nasional. Ketika masa berakhirnya pimpinan
daerah di tahun 2022 dapat di isi oleh PLT yang diturunkan dari pusat sehingga
penguatan daripada jaringan kekuatan kelompok tertentu bisa lebih dominan.
2.
Penyelenggaraan pilkada
serentak ini akan menjadi pekerjaan yang besar bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Namun demikian, KPU dan Bawaslu harus menyiapkan seluruh perangkatnya agar
Pilkada Serentak 2024 dapat berjalan dengan optimal. Selain pengoptimalan
kinerja pelaksana pilkada, seluruh masyarakat pun harus tetap menjunjung
integritas dalam penyelenggaraan Pilkada, harus ada komitmen baik untuk peserta
Pilkada maupun pelaksana, kedisiplinan masyarakat.
B. Saran
Direkomendasikan
bagi Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan Pemilu yang
simpel, sistem yang efektif, dan proses yang matang rencananya agar tidak ada
lagi korban. Karena tidak boleh ada lagi pesta demokrasi itu menjadi petaka
demokrasi dan kejadian tidak yang dulu tidak boleh terulang kembali di masa
depan. Selain itu, Pilkada Serentak 2024 harus ditolak karena mempersempit
kepala daerah yang ingin jadi Calon Presiden (Capres) 2024 dan akan jadi
incumbent (Petahana) yang bisa menjadi modal politik untuk maju Calon
Presiden (Capres) 2024.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Amal, Ichlasul. Teori-Teori Mutakhir Partai
Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi 1,
Cetakan 6, Jakarta: Rajawali Pers,
2014.
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu
Politik, Cet ke-4, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2010.
Cipto, Handoyo Hestu. Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Cet. Ke-1, Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya, 2003.
Djazuli, Ahmad. Fiqh Siyasah‚ Implimentasi
Kemaslahatan Umat Dalam Rambu- rambu Syari’ah, Cet Ke-5, Jakarta: Kencana, 2013.
Duverger, Maurice. Partai Politik dan Kelompok-Kelompok Penekan, Judul
Asli: Party Politics and Pressure Groups A Cornparatfue Introduction, Penerjemah: Laila
Hasyim, Yogyakarta: Bina Aksara, 1984.
Firmanzah. Mengelola Partai Politik, Jakarta: Yayasan pustaka obor Indonesia, 2011.
GJ, Wollhoff. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Djakarta: Timun Mas NV, 1955
Hanitijo Soemitro, Ronny. Metode Penelitian Hukum
Jurimetri, Jakarta: Ghia Indonesia, 1998.
Hidayat, Arief. Bernegara Itu Tidak Mudah (Dalam Perspektif Politik
dan Hukum), Semarang:
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2010.
Johny, Ibrahim. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Surabaya:
Bayumedia Publishing, 2010.
Kaho, Joseph Riwu. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Karim, Muhammad Rusli, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut, Jakarta: Rajawali Press, 1983.
Labolo, Muhammad, Teguh Ilham. Partai Politik dan Sistem
Pemilihan Umum di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), Cet Ke-1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015.
Marijan, Kalung. Sistem Politik Indonesia:
Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Jakarta: Prenada Media
Group, 2010.
Muchamad, Ali Safa’at. Pembubaran
Partai Politik Pengaturan Dan Praktik Pembubaran
Partai Politik Dalam Pergulatan
Republik, Jakarta: Rajawali pers,
2011.
Prayudi, Ahmad Budiman &
Aryojati Ardipandanto, Dinamika PolitikPilkada Serentak, Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI
Sekretariat Jenderal DPR Republik
Indonesia, 2017.
Suharizal. Pemilukada : Regulasi, dinamika dan konsep mendatang, Jakarta;
Rajawali Pers, 2012.
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2001.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum,
Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1994.
Surbakti, Ramlan. Memahami IImu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia,
2007.
Thaib, Dahlan. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Yogyakarta: Liberty, 1989.
Yakin, Ayang Utriza. Islam Moderat dan Isu-Isu
Kontemporer Demokrasi, Pluralisme,
Kebebasan Beragama, non Muslim, Poligami, dan Jihad, Jakarta: Kencana, 2016.
JURNAL :
Arifulloh, Achmad. Pelaksanaan Pilkada Serentak Yang Demokratis, Damai Dan Bermartabat,” Jurnal
Pembaharuan Hukum, Volume II, No. 2, (Mei- Agustus, 2015).
Budhiati, Ida. “Quo Vadis Demokrasi Prosedural dan Pemilu:
Sebuah Refleksi Teoritis” Jurnal
Masalah-Masalah Hukum, Vol. 42, No. 2, (2013).
Chaniago, Pangi Syarwi. “Evaluasi Pilkada Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015”, Indonesian
Political Science Review, Vol.1 No.2, (2016).
Hutapea, Bungasan. Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia, (Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan
Hukum Nasional; Jurnal Rechtsvinding Volume 4 Nomor 1 (April,2015).
Muslihudin. Model Pesantren Kader; Relasi Ideologis PP Husnul
Khotimah dengan PKS, serta Artikulasinya dalam Kegiatan
Kepesantrenan, (IAIN Syekh Nurjati Cirebon: Jurnal Holistik
Vol. 14 No. 01, (2013).
Nugraha, Al-Fajar. “Pilkada Langsung Dan Pilkada
Tidak Langsung Dalam Perspektif Fikih
Siyasah, Mazahib”, Vol.XV, No. 2, (Desember, 2016).
Nugraha, Harry S. “Gagasan Amandemen Ulang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Jurnal
Lex Renaissance, Vol. 3, No. 1, (2018).
Nugroho, Heru.“Demokrasi Dan
Demokratisasi: sebuah kerangka konseptual untuk memahami dinamika sosial-politik di Indonesia”, Jurnal
Pemikiran Sosiologi, Vol.1 No.1,
(2012).
Sudirman. Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial), (FISIP Universitas Tadulako; Jurnal
Academica Vol. 04 No. 01, (Februari, 2012).
Sutrisno, Cucu. Partisipasi Warga Negara dalam Pilkada, Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan Vol. 2, No. 2,
2017).
W. Melfa, “Penataan Hukum Menuju Hukum Ideal Dalam Pengaturan
Pemilukada”, Jurnal Masalah-Masalah
Hukum, Vol. 42, (No. 2), 2013.
Yuniartin, Titin. Identitas Politik Partai Keadilan Sejahtera, (Institut
Agama Islam Darussalam Ciamis: Jurnal
Dakwah dan Komunikasi Vol. 12 No. 2, (Juli – Desember, 2018).
SKRIPSI & TESIS :
Faridana, Hendri Putra. “Persepsi Mahasiswa
Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam UIN Antasari
Terhadap Pelaksanaan Pilkada Serentak”, (Skripsi Universitas Islam Negeri Antasari,
Banjarmasin, 2017).
Firdaus Ayu Palestina, “Analisis Penataan
Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan Umum Ditinjau Dari Fiqh Siyasah
Dusturiyah Dan Sadd Al-Dzari’ah”, (Tesis Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2019)
Suheti, “Persepsi Masyarakat Terhadap Pelaksaan Pilkada
Serentak Tahun 2015 Ditinjau Dari UU
No.32 Tahun 2004 (Studi Pemilhan Walikota Cilegon di Kel. Karang Asem)”, (Skripsi Institut Agama Islam Negeri
(Iain) Sultan Maulana Hasanuddin, Banten).
WEBSITE
https://kpud-medankota.go.id/sejarah-pemilu/
https://www.kpu.go.id/page/read/4/visi-dan-misi
http://www.demokrat.or.id/sejarah/
https://www.demokrat.or.id/visi-misi/
https://news.detik.com/berita/d-4596501/ini-270-daerah-yang-gelar-pilkada-serentak-2020.
https://www.merdeka.com/politik/pro-kontra-ruu-pemilu-dicabut-dari-prolegnas-2021.html.
https://news.detik.com/berita/d-5594089/4-hal-tentang-jadwal-resmi-pemilu-2024/2,
UNDANG-UNDANG:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan
Komite Nasional Daerah
Undang-Undang No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
ANGGARAN DASAR PARTAI:
Anggaran Dasar (AD) dan
Anggaran Rumah Tangga (ART) Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Jakarta: 20 April
2002.
LAMPIRAN-LAMPIRAN:
Transkip
Wawancara Skripsi
Pendapat Fraksi Partai
Keadilan Sejahtera (PKS)
Dalam Pilkada
Serentak 2024
Informan I
Nama :
Dr. H. Mardani Ali Sera, M.Eng.
Jabatan : Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
Hari/Tanggal : Selasa, 07 September 2021
Waktu :
Pukul 16.00 WIB - Selesai
Tempat : Via Zoom Meeting
1) Menurut bapak
sebagai anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), bagaimana
pendapat mengenai pilkada serentak 2024?
Jawab: Ide Pilkada Serentak adalah ide efisiensi namun esensi dari demokrasi
adalah bagaimana bisa menangkap secara utuh aspirasi masyarakat. Menurut
beliau, pilkada yg diselenggarakan serentak bersama Pileg dan Piplres mempunyai
beberapa kekurangan. Yang pertama, tidak memberikan porsi kepada setiap jenis
pemilu yang ada, contoh; ketika pilpres disatukan bersama pileg maka pileg akan
terabaikan, masyarakat lebih fokus pada pilpresnya. Ketika pilkada disatukan
pileg dan pilpres bisa jadi efek pilpres akan sangat mempengaruhi kualitas dari
pilkada. Lalu teorinya ada coat-tail effect, jadi peluang capres menang secara
lebih banyak meraih banyak dukungan di pilkada 2024. Kedua, harusnya setiap
pemilu diberikan haknya, pilpres terlebih dahulu karena kita menganut sistem
presidensial, kemudian pileg, kemudian pilkada ditahun yang berbeda. Alasan
beliau diadakan setiap pemilu ditahun berbeda karena masing masing memiliki
hak, seperti ketika pilpres membicarakan tantangan dan peluang bangsa secara
nasional dari sudut eksekutif, ketika pileg bicara tentang kualitas legislator,
ketika pilkada bicara tentang masalah lokal baik provinsi maupun
kabupaten/kota. Terakhir, pilkada serentak membuat interaksi partai politik
atau calon pemimpin dengan rakyatnya itu terjadi sekali saja dalam lima tahun
saat pilkada, padahal dalam pileg dan pilpres di tahun yang berbeda.
2)
Apakah menurut bapak Pilkada serentak 2024 akan berjalan
dengan efektif dan Efisiensi?
Jawab: Akan menjadi pekerjaan yang besar bagi KPU, dan beliau tidak yakin akan
berjalan secara ideal, namun KPU dan Bawaslu harus menyiapkan perangkatnya agar pilkada 2024
dapat berjalan dengan optimal dengan catatan bukan hanya sekedar pilkada, lebih
dari itu pemimpinnya adalah meraka yang mempunyai kapasitas, integritas, bukan
hanya isi tas, dan ini yang menjadi tantanganbagaimana mewujudkan pilkada
serentak 2024 yang berkualitas.
3)
Apa Harapan Bapak untuk
pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 agar tidak lagi terjadi kecelakaan seperti
pada Pemilu Pilpres dan Pileg 2019?
Jawab: Banyaknya
penyelenggara pemilu, dan tugas KPU di tingkat desa. Kedua, menjadi tantangan
bagi KPU untuk menyiapkan seluruh perangkatnya menjadi lebih baik. Seperti
halnya kemarin, ternyata beerapa perangkat yang usianya rentan dan mempunyai
penyakit sehingga berpengaruh kepada beban kerja dan beban stres. Kedepannya,
pemilu yang simpel, sistem yang simpel, proses yang simpel, diperlukan agar
tidak ada lagi korban karena tidak bleh pesta demokrasi itu emnjadi petaka
demokrasi.
4) Apa alasan bapak jika menurut Fraksi partai
Keadilan Sejahtera (PKS) tidak setuju akan pelaksaan Pilkada Serentak 2024?
Jawab: Ada
dua alasan, yang pertama secara filosofis pelaksanaan pilkada 2024 itu
mnghilangkan kesempatan rakyat untuk berfikir secara proporsional, kerena
waktunya barengan dengan pillpres, sehingga boleh jadi adanya bias ketika
memilih pemimpin. Kedua, secara teknis pelaksanaan berpeluang adanya komplikasi
dilapangan seperti contoh pemilu kemarin, pileg dan pilpres disatukan,
menyebabkan korban
Transkip
Wawancara Skripsi
Pendapat Fraksi Partai
Demokrat
Dalam Pilkada
Serentak 2024
Informan II
Nama :
H. Zulfikar Hamonangan, S.H
Jabatan : Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat
Hari/Tanggal : Rabu, 28 Juli 2021
Waktu :
Pukul 14.00 WIB - Selesai
Tempat : Rumah Kediaman Pak H.
Zulfikar
1) Menurut bapak
sebagai anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, bagaimana pendapat mengenai
pilkada serentak 2024?
Jawab: menurut saya itu belum masuk akal karena nuasanya lebih kepada
nuasa politik nasional bagaimana supaya 2022 ketika masa berakhirnya pimpinan
daerah dapat di isi oleh PLT yang diturunkan dari pusat sehingga penguatan
daripada jaringan kekuatan kelompok tertentu bisa lebih dominan. Pengalaman itu
di ambil ketika pilkada 2020 banyak sekali pimpinan daerah yang berhasil menang
dari partai Demokrat banyak kader-kader partai Demokrat yang berhasil menjadi
pimpinan daerah yang di usung oleh partai Demokrat, kegagalan kita hanya 10%
oleh dari semua calon itu 90% berhasil menjadi pimpinan daerah kalo ini
tercipta di tahun 2022 dan kita punya kader berhasil disaat elektabilitas dan
favoritas partai demokrat lagi bagus-bagusnya saat ini itu menjadi sesuatu
ancaman bagi kepentingan nasional untuk pemimpin saat ini walaupun secara
politik beliau sudah tidak mungkin lagi bisa maju di 2024 tapi secara
kepentingan elit-elit tertentu memungkinkan hal itu terjadi analisa itu pasti
sudah melakui kajian di tahun 2020 , 2020 kita mengusung banyak pimpinan daerah
dari partai demokrat berhasil menjadi gubernur, wakil gubernur, walikota,
bupati dari partai demokrat pertanyaannya kalau 2017 Anies berlawanan dengan AHY
lalu 2024 baru diadakan pilkada, 2022 anis tidak lagi berlawanan dengan AHY
karena AHY tidak ada lagi ada target untuk maju di Pilgub bisa saja Anis di
rekomendasi oleh partai demokrat, karena demokrat di DKI punya 10 kursi sarat
kereta politik di DKI itu maju 2022 itu sebetulnya hanya membutuhkan 22 kursi
di DKI jadi kalau sisanya hanya 12 kursi (separo) itu mungkin bisa
diambil oleh wakilnya jadi ini ancaman besar karena Anis ini biar bagaimana
saat ini tidak punya catatan negatif dan masayarakat senang dengan gaya
kepempinan anis yang di DKI yang tidak terlalu otoriter dan dia bisa memimpin
dengan gaya seorang guru atau dosen dan dia bisa menenangkan situasi DKI yang
betul-betul menjadi barometernya Indonesia, di era Covid-19 seperti sekarang
ini kalo Anies bukan gubernurnya bisa rusuh DKI saat ini, berapa banyak yang
meninggal di DKI ini karena Covid dan Anis itu orang yang engga pernah bisa
diem. Pilkada itu bukan hanya figur orang yang maju dia mengeluarkan uang, di
Amerika orang kalau mau menjadi presiden tidak perlu mencari uang sampai 3
triliun karena pasti di fasilitasi oleh negara, jadi titik-titik kampanyenya
pun sudah di tentukakan oleh negara dan orangnya itu-itu saja masyarakatnya di
undang 1.000 orang calon presidennya si anu calon wakil presidennya si anu dia
kampanye di hadapan masyarakat tentang visi misi dia begitiu juga calon yang
lain pun berkampanye di hadapan masyarakat yang di undang dan mana yang di
sukai oleh masyarakat itu yag di pilih maka ketika Donald Trump berkampanye
melawan Joe Bidden, Donald Trump berkampaye tidak percaya terhadap covid
sementara Joe Bidden percaya covid, dan Donald Trump tidak punya visi bagaimana
cara mematikan Covid di Amerikan supaya tidak berkembang sementara Joe Bidden
punya program bagaimana cara memartikan covid di amerika supaya tidak
berkembang.
2)
Apakah menurut bapak Pilkada serentak 2024 akan berjalan
dengan efektif dan Efisiensi?
Jawab: Berjalan dengan efektif dan efisiennya atau tidak tergantung
keadaan kita mau di adakan kapanpun pilkada itu tergantung keadaan kita saat
ini, pada tahun 2024 pilkada yang kita lakukan sudah menjadi keputusan artinya
suka atau tidak suka kita harus terima keadaan ini ,adapun itu efektif atau
tidak kita lihat keadaan pilpres di tahun 2024 karena pilpres dan pileg 2024
menentukan situasi dan kondisi pilkada di tahun 2024 kalau pada saat pilres dan
pileg situasinya kurang aman bisa saja pilkada itu di adakan bukan tahun 2024.
Jadi kurng efektif jika diadakan pada tahun 2024 misal situasi kondisi masih
dalam keadaan covid-19. Dan saya tidak yakin pilkada serentak diadakan 2024
bisa saja diundur juga. Dalam politik itu tidak mungkin ada yang terjadi,
semuanya juga akan bisa pasti terjadi.
3)
Apa Harapan Bapak untuk
pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 agar tidak lagi terjadi kecelakaan seperti
pada Pemilu Pilpres dan Pileg 2019?
Jawab: Harapan saya yang pertama agar pihak kelurahan
membantu perhitungan suara dan tinggal kepada pelaksanaan KPU nya saja yang
harus di perbaiki sehingga apakah memungkinkan dalam masa covid sampai 2024
covid masih ada dan apakah memungkinkan dalam satu TPS itu ada 300 peserta yang
hadir. Yang kedua apakah memungkinkan petugas KPU nya hanya ada di tingkat
kecamatan tidak ada di tingkat desa dan tingkat kelurahan kalau menurut saya
kondisi yang kemarin adalah terjadi karena adanya perampingan stuktural
sehingga mengurangi banyaknya orang yang terlibat untuk pelaksaan KPU nya, jadi
petugas KPU dan petugas KPPS nya saja yang perlu di perbaiki strukturalnya yang
harus di perbanyak.
4) Apa alasan bapak jika menurut Fraksi Partai
Demokrat tidak setuju akan pelaksanaan Pilkada Serentak 2024?
Jawab: Alasannya
karena Covid-19, alasan ini akan di pakai 2024 juga, jadi alasannya Covid jadi
dengan adanya pilkada 2022 di masa covid akan menimbulkan banyaknya penularan
terhadap masyarakat yang membuat gerakan-gerakan perkumpulan-perkumpulan yang
akan menyebabkan penularan wabah penyakit. Alasan kedua adalah anggaran kita
yang di alokasikan dulu unuk mendanai bantuan korban virus covid dan untuk
pencegahan covid 19 dan dana-dana yang di belanjakan untuk membeli vaksi dan
sebagainnya serta bantuan-bantuan sosial sehingga pilkada di undur terlebih
dahulu karena dananya di pakai untuk kepentingan masyarakat.
[1] Firdaus Ayu Palestina, “Analisis Penataan
Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan Umum Ditinjau Dari Fiqh Siyasah
Dusturiyah Dan Sadd Al-Dzari’ah,”
(Tesis Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2019) h. 1.
[2] Handoyo
Hestu Cipto, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia,
Cet. Ke-1 (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya, 2003),
h. 99.
[3] Heru Nugroho, “Demokrasi Dan Demokratisasi: sebuah kerangka konseptual untuk
memahami dinamika sosial-politik di Indonesia”, Jurnal Pemikiran Sosiologi, Vol.1 No.1, (2012), h. 2
[4] Miriam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cet
ke-4 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 461.
[5] Pangi
Syarwi Chaniago, “Evaluasi Pilkada Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015”, Indonesian Political Science
Review, Vol.1
No.2, (2016), h. 197.
[6] Cucu Sutrisno, Partisipasi
Warga Negara dalam Pilkada, (Universitas Muhammadiyah Ponorogo: Jurnal
Pancasila dan Kewarganegaraan Vol. 2 No.
2, 2017), h. 36.
[7]
https://news.detik.com/berita/d-5494081/mendagri-di-2016-tak-ada-fraksi-tolak-pilkada-digelarserentak-2024. Diakses Pada Tanggal 31 Maret 2021 Pukul 12.08 WIB
[8] https://nasional.tempo.co/read/1431092/peta-dukungan-fraksi-di-dpr-soal-pilkada-2024-dan-kelanjutan-revisi-uu-pemilu. Di akses
pada tanggal 25 April 2021 pukul 21.03 WIB
[9] https://tirto.id/standar-ganda-kontradiksi-pemerintah-soal-pilkada-serentak-2024-gar2. Diakses pada Tanggal 25 April 2021 Pukul 12.48 WIB
[10] Pejabat
Definitif adalah pegawai yang menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, dan
Administrasi yang telah secara resmi dilantik dan diambil sumpah jabatan untuk
menduduki jabatan negeri.
[11] https://nasional.kompas.com/read/2021/02/08/09194631/kpu-sebut-pemilu-borongan-2024-munculkan-beban-anggaran-hingga-kpps?page=all#page2. Diakses
pada Tanggal 5 April 2021 Pukul 13.37 WIB.
[12] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210202034109-32-601100/kpu-tetap-berpatok-uu-10-2016-pilkada-digelar-serentak-2024 Diakses pada Tanggal 31
Maret 2021 Pukul 14.26 WIB
[13] Angga Natalia, “Peran Partai Politik Dalam Mensukseskan Pilkada Serentak Di
Indonesia Tahun 2015”, Jurnal TAPIS, Vol. 11, No.1, Januari-Juni 2015.
[14] Siti
Witianti dan Hendra, “Peran Ketua Umum Partai Politik Dalam Pencalonan Kepala
Daerah pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak Di Indonesia”, Jurnal Wacana Politik, Vol. 4, No. 1,
Maret 2019, h. 55.
[15] Hendri
Putra Faridana, “Persepsi Mahasiswa Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam Uin
Antasari Terhadap Pelaksanaan Pilkada Serentak”, (Skripsi UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI ANTASARI, Banjarmasin, 2017), h. v.
[16] Egi Prayogi,
“Sistem Pemilihan Kepala Daerah Perspektif Fiqih Siyasah (Studi Pasal 24
Undang-Undnag No 32 Tahun 2004”, (Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2005), h. iv
[17]
Firdaus Ayu Palestina, “Analisis Penataan Kewenangan Antar Penyelenggara
Pemilihan Umum Ditinjau Dari Fiqh Siyasah Dusturiyah Dan Sadd Al-Dzari’ah”,
(Tesis Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya,
2019), h. v
[18]
Soerjono Soekanto, 1994. Pengantar Penelitian Hukum, (Universitas
Indonesia Press, Jakarta), h.13.
[19]
Burhan Bugin, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Cet. III. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 82.
[20]
Usman dan Abdi, Metode Penelitian Sosial dan Ekonomi: Teori dan Aplikasi,
(Bandung: Alfabeta, 2008), h. 6
[21]
Usman dan Abdi, Metode Penelitian Sosial dan Ekonomi, h. 11.
[22] Lisa
Harrison, Metodologi Penelitian Politik, (Jakarta: Kencana, 2009), h.
126.
[23]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2001), h.49.
[24] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum
di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), Cet Ke-1, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2015), h.1
[25] Di Indonesia, hal ini juga diatur melalui Perubahan Kedua UUD 1945 pada
tahun 2000, bahwa jaminan konstitusional dimaksud tegas ditentukan dalam pasal
2E ayat (3) UUD 1945 yang menyarakan, "setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
[26] GJ Wollhoff, Pengantar Ilmu
Hukum Tata Negara Republik Indonesia,
(Djakarta: Timun Mas NV,
1955), h.54.
[27] Muhammad Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret
Pasang Surut, (Jakarta:
Rajawali Press, 1983), h.19-20.
[28]
Kalung Marijan, Sistem Politik Indonesia:
Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2010), h.60
[29] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[30]
Maurice Duverger, Partai Politik dan Kelompok-Kelompok Penekan, Judul Asli: Party Politics and Pressure Groups A Cornparatfue Introduction,
Penerjemah: Laila Hasyim, (Yogyakarta: Bina Aksara, 1984),
h.4.
[31] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[32] Firmanzah,
Mengelola Partai Politik, (Jakarta:
Yayasan pustaka obor Indonesia, 2011),
h.49.
[33] Selain partai politik, infrastruktur politik terdiri dari
organisasi kemasyarakatan, kelompok
kepentingan, kelompok penekan, kelompok tokoh masyarakat, dan media (pers).
[34] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2008), h.403
[35] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.404
[36] Ali
Safa’at Muchamad, Pembubaran
Partai Politik Pengaturan Dan Praktik Pembubaran Partai Politik Dalam
Pergulatan Republik,( Jakarta: Rajawali pers, 2011), h.4-5
[37] Lihat Undang-Undang No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
[38] Lihat Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
[39] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum
di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), h.15
[40] Lihat Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
[41]
Firmanzah, Mengelola Partai Politik, h.70
[42] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.405
[43] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.406
[44] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.407
[45] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.408
[46] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.409
[47] Ramlan Surbakti, Memahami IImu Politik, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007), h.113.
[48] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum
di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), h.4-5
[49]
Kita jangan sampai disesatkan oleh istilah "partai" pada masa
awal-awal ini. Hal ini kaiena pada masa ini partai
dalam arti yang sesungguhnya belum ada. Kata partai digunakan untuk menggambarkan faksi-faksi dalam
republik-republik masa ialu, pasukan-pasukan yang terbentuk
di sekitar condottiei pada masa Renesans Itali, klub Jclub tempat berkumpulnya anggota dewan-dewan revolusi, komite-komite
yang mempersiapkan pemilihan umum dalam
monarki konstitusional, dan organisasiorganisasi sosial
yang membentuk opini publik dalam negara demokrasi modern. Penggunaan kata yang sama ini dapat dibenarkan karena semua lembaga
tersebut berpiran memenangkan kekuasaan
politik dan menerapkannya
[50] Ichlasul Amal, Teori-Teori Mutakhir
Partai Politik, (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1996), h.1
[51] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum
di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), h.6
[52]
Ramlan Surbakti, Memahami IImu Politik, h.145.
[53]
Ramlan Surbakti, Memahami IImu Politik, h.146.
[54] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum
di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), h.7
[55] https://kpud-medankota.go.id/sejarah-pemilu/ Diakses pada Tanggal 25 Juni 2021
Pukul 19.24 WIB
[56] https://www.kpu.go.id/page/read/4/visi-dan-misi Diakses pada Tanggal 25 Juni 2021 Pukul 19.32 WIB
[57]
Prayudi, Ahmad Budiman & Aryojati Ardipandanto, Dinamika PolitikPilkada Serentak, (Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia, 2017), h.2
[58]
Sudirman, Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial), (FISIP Universitas Tadulako; Jurnal Academica Vol. 04 No. 01 Februari Tahun 2012), h.743
[59]
Sudirman, Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial), h.744
[60]
Bungasan Hutapea, Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di
Indonesia, (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem
Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional; Jurnal Rechtsvinding Volume 4 Nomor 1 April Tahun 2015), h.4-5
[61] Joseph Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik
Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001), h.26-27
[62]
Suharizal, Pemilukada : Regulasi, dinamika dan konsep mendatang, (Jakarta; Rajawali Pers, 2012), h.15
[63] Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite
Nasional Daerah
[64] Lihat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah
yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
[65]
Suharizal, Pemilukada : Regulasi, dinamika dan konsep mendatang, h.16
[66]
Sudirman, Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial), h.750
[67]
Bungasan Hutapea, Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di
Indonesia, h.6
[68]
Sudirman, Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial), h.751-753
[69] Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga
(ART) Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Jakarta: 20 April 2002.
[70] Titin
Yuniartin, Identitas
Politik Partai Keadilan Sejahtera, (Institut Agama Islam Darussalam
Ciamis: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 12 No. 2, Juli - Desember Tahun 2018), h.261
[71]
Muslihudin, Model Pesantren Kader; Relasi
Ideologis PP Husnul Khotimah dengan PKS,serta Artikulasinya dalam Kegiatan Kepesantrenan, (IAIN Syekh Nurjati Cirebon: Jurnal Holistik Vol. 14 No. 01 Tahun 2013), h.9-10
[72]
Titin Yuniartin, Identitas
Politik Partai Keadilan Sejahtera, h.264-265
[73] Yakin, Ayang Utriza, Islam Moderat dan Isu-Isu Kontemporer Demokrasi, Pluralisme, Kebebasan Beragama, non
Muslim, Poligami, dan
Jihad, (Jakarta:
Kencana, 2016), h.226
[74] http://www.demokrat.or.id/sejarah/ Diakses pada Tanggal 25 Juni 2021 Pukul 08.22 WIB
[75] https://www.demokrat.or.id/visi-misi/ Diakses pada Tanggal 25 Juni 2021 Pukul 08.47
[76] Lihat Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 1 Ayat (2)
[77] Dahlan Thaib, Implementasi Sistem
Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, (Yogyakarta : Liberty, 1989), h.37.
[78] Arief Hidayat, Bernegara Itu Tidak Mudah (Dalam
Perspektif Politik dan Hukum), (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2010), h. 32
[79] Harry S Nugraha, “Gagasan Amandemen Ulang Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Jurnal Lex Renaissance,
Vol. 3, No. 1, (2018), h. 61.
[80] Ida Budhiati, “Quo Vadis Demokrasi Prosedural dan Pemilu:
Sebuah Refleksi Teoritis” Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol. 42, No. 2,
(2013, h. 268.
[81] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,
Edisi 1, Cetakan 6, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 17
[82] W. Melfa, “Penataan Hukum Menuju Hukum Ideal Dalam
Pengaturan Pemilukada”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol. 42, (No. 2), 2013, h. 211.
[83] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210128080822-32-599342/pro-kontra-ruu-pemilu-dan-polemik-pilkada-serentak-2024. Diakses pada 10 Juli 2021 Pukul 15.19 WIB
[84] https://news.detik.com/berita/d-4596501/ini-270-daerah-yang-gelar-pilkada-serentak-2020. Diakses pada Tanggal 12 Juli 2021 Pukul 09.22 WIB.
[85] Achmad Arifulloh,
“Pelaksanaan Pilkada Serentak Yang Demokratis, Damai Dan Bermartabat,” Jurnal Pembaharuan
Hukum, Volume II, No. 2, (Mei - Agustus 2015), h.302.
[86] https://www.merdeka.com/politik/pro-kontra-ruu-pemilu-dicabut-dari-prolegnas-2021.html. Diakses pada tanggal 20 September 2021 pukul 20:11 WIB.
[87] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Konsyinasi (Konsinyering) adalah berkumpulnya
sejumlah petugas di suatu tempat untuk menggarap pekerjaan secara intensif
serta tidak dibenarkan meninggalkan tempat kerja selama kegiatan berlangsung.
[88] https://news.detik.com/berita/d-5594089/4-hal-tentang-jadwal-resmi-pemilu-2024/2, diakses pada Tanggal 18 september 2021 Pukul 14:00 WIB
[89] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210817125916-32-681446/kpu-tegaskan-pemilu-dan-pilkada-serentak-digelar-2024. Diakses pada Tanggal 16 september 2021 Pukul 12:30 WIB
[90] Lihat UU No.16 Tahun 2016 pasal 201 ayat (7) Pemungutan suara serentak
nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, Bupati dan wakil bupati,
serta walikota dan wakil walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dilaksanakan pada anggal dn bulan yang sama pada tahun 2027.
[91] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210817125916-32-681446/kpu-tegaskan-pemilu-dan-pilkada-serentak-digelar-2024. Diakses pada tanggal 16 september 2021 pukul 13:20.
[92] https://nasional.kompas.com/read/2021/02/13/16074531/pro-kontra-ruu-pemilu-dinilai-terkait-strategi-parpol-untuk-2024. Diakses pada tanggal 20 September 2021 pukul 12:21 WIB
[93] Zulfikar Hamonangan, Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Interview
Pribadi, Rumah Kediaman Zulfikar, 28 Juli 2021.
[94] Mardani Ali Sera, Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Interview Pribadi, Via Zoom Meeting, 07 September 2021.
[95] Coattail Effect adalah istilah yang merujuk pada suatu tindakan yang menimbulkan pengaruh
pada tindakan lain (pengaruh ikutan). Dalam terjemahan bebas diartikan sebagai
efek kibasan buntut jas. Calon pemimpin yang diusung memiliki efek buntut jas
terhadap elektabilitas suara pada partai pengusung nantinya.
[96] Mardani Ali Sera, Anggota DPR RI Fraksi PKS, Interview
Pribadi, Via Zoom Meeting, 07 September 2021.
[97] Zulfikar Hamonangan, Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Interview
Pribadi, Rumah Kediaman Zulfikar, 28 Juli 2021.
[98] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210201061148-32-600651/pakar-ragukan-kesiapan-penyelenggara-pilkada-serentak-2024. Diakses pada tanggal 16 September 2021 pukul 11:30 WIB.
[99] Mardani Ali Sera, Anggota DPR RI Fraksi PKS, Interview
Pribadi, Via Zoom Meeting, 07 September 2021.
[100] Zulfikar Hamonangan, Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Interview
Pribadi, Rumah Kediaman Zulfikar, 28 Juli 2021.
0 comments:
Post a Comment