Monday 17 October 2022

(PROPOSAL) PENOLAKAN PARTAI POLITIK TERHADAP PILKADA SERENTAK TAHUN 2024 (PERBANDINGAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DAN PARTAI DEMOKRAT)

0 comments



BAB I

PENDAHULUAN

 

A.          Latar Belakang Masalah

“Indonesia adalah Negara hukum” demikian bunyi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat 3. Sebagai Negara hukum (Rechtsstaat) yang menjunjung tinggi nilai-nilai norma hukum berdasarkan Undang-undang dan bukan merupakan Negara berdasarkan kekuasaan semata (Machtsstaat) Indonesia memiliki norma hukum tertinggi yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai induk peraturan-peraturan perundang-undangan. Untuk itu adanya kebijakan yang tertuang dalam bentuk perundang-undangan tidak boleh menyalahi norma hukum tersebut.[1]

Pada saat ini, paham demokrasi dalam penyelenggaraan negara menjadi “primadona” dalam setiap perbincangan mengenai paham kenegaraan. Sehingga tidak aneh apabila setiap bangsa berlomba-lomba guna mendapatkan pengakuan sebagai negara demokrasi oleh negara lainnya. Pada prinsipnya paham demokrasi menghendaki adanya keikutsertaan rakyat atau warga negara dalam aktivitas penyelenggaraan kehidupan kenegaraan. Hal ini sudah terjadi sejak zaman Yunani Kuno (abad VI s/d XIII SM). Pada waktu itu paham demokrasi dilaksanakan secara langsung, dimana rakyat menentukan keputusan-keputusan politik secara langsung.[2]

Indonesia  adalah  Negara  yang  menganut  sistem  pemerintahan  Demokrasi. Demokrasi  dipahami  sebagai  suatu  sistem  pemerintahan  yang  menjunjung  tinggi kesejahteraan rakyat. Dalam arti lain, demokrasi sering disebut sebagaipemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebagai suatu sistem politik, demokrasi telah menempati posisi teratas yang diterima oleh banyak Negara, karena dianggap mampu mengatur  dan  menyelesaikan  hubungan  sosial  dan  politik  dalam  sebuah  Negara.

Demokrasi  memiliki  makna  yang  luas  dan  kompleks,  salah  satunya  Warga Negara yang di beri kesempatan untuk memilih salah satu diantara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara. Kemampuan rakyat  untuk memilih di antara pemimpin-pemimpin politik pada masa pemilihan inilah yang disebut demokrasi.[3] Di berbagai negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolok ukur, dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat. Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum tidak merupakan satu-satunya tolok ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat kesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya.[4]

Pemilu adalah kenduri demokrasi yang menjadi landasan politik, bangsa, dan Negara dalam membangun masa depan yang lebih baik. Pemilu sebagai pilar demokrasi mengantarkan bangsa dan negara dalam meraih demokrasi dan membangun peradabannya. Selain itu, pemilu juga sebagai momentum evaluatif yang sangat penting bagi sebuah rezim kekuasaan dalam mewujudkan cita- cita negara kemerdekaan.[5]

Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sejatinya merupakan bagian penting kehidupan bernegara Indonesia di era Reformasi. Penyelenggaraan Pemilu termasuk Pilkada merupakan wujud pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Pada sistem demokrasi tidak langsung (indirect democracy) atau demokrasi perwakilan (representative democracy), dilaksanakannya Pilkada bertujuan agar Kepala Daerah benar-benar bertindak atas nama rakyat sehingga pemilihannya harus dilakukan sendiri oleh rakyat melalui Pilkada. Penyelenggaraan Pilkada merupakan mekanisme demokratis agar rakyat dapat menentukan Kepala Daerah yang dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyatnya.

Sejatinya, penyelenggaraan Pilkada sebagai mekanisme pemilihan haruslah dilandasi semangat kedaulatan rakyat dan dilaksanakan secara demokratis. Salah satu prasyarat utama untuk mewujudkan Pemilu yang demokratis adalah adanya partisipasi politik. Keberadaan partispasi masyarakat dalam Pilkada merupakan sesuatu yang krusial keberadaannya, sebab Pilkada akan melahirkan pemimpin daerah yang kesuksesan Pilkada tersebut menjadi cerminan dari kualitas demokrasi. Oleh karena itu, partisipasi warga negara ketika memilih pemimpin harus ada meskipun keterlibatan warga negara lebih banyak berhenti pada proses pemilihan.[6] Dari sisi normatif penyelenggaraan pilkada telah diatur melalui UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 56 ayat (1) menyebutkan, “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Dengan adanya Undang-Undang tersebut, wajib hukumnya bagi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah untuk mematuhi aturan tersebut sebagaimana mestinya guna menjadi acuan dalam pelaksanaan Pilkada ditingkat Provinsi dan Kabupaten atau Kota. Memang sangat penting dibentuk dan dibuatnya berfungsi sebagai mata angin. Karena di semua penyelenggaraan kegiatan apapun itu termasuk penyelenggaraan pemilu, tidak adanya rule of game atau istilah peraturan dalam permainan maka sama seperti berjalan tanpa adanya arah dan tujuan.

Membicarakan pilkada, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, mengatakan bahwa pemerintah akan menggelar Pilkada Serentak 2024. Tito mengatakan jadwal itu sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.  "Pilkada merupakan amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang ditetapkan 1 Juli 2016, di mana nanti pilkada akan dilaksanakan serentak di November 2024," kata Tito dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/3/2021).[7]

Mayoritas fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat 'balik badan' dari rencana revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu atau revisi UU Pemilu. Kini, mayoritas fraksi di parlemen sepakat menolak untuk melanjutkan pembahasan RUU Pemilu yang sudah disepakati masuk dalam Program Legislasi Nasional 2021 itu. Hanya tersisa Partai Demokrat dan PKS yang tetap ingin revisi. Salah satu isu krusial yang menjadi perdebatan dalam revisi UU Pemilu ini adalah normalisasi pemilihan kepala daerah pada 2022 dan 2023. Awalnya hanya PDI Perjuangan yang menyatakan menolak normalisasi Pilkada pada 2022 dan 2023. Belakangan, mayoritas fraksi partai pendukung pemerintah menyusul sikap PDIP. Dengan demikian, hampir dipastikan Pilkada Serentak tetap digelar pada 2024 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).[8]

Awalnya, yang setuju dengan dilanjutkannya pembahasan RUU Pemilu adalah Partai NasDem, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Yang tidak setuju adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Persatuan pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Gerindra. Dengan adanya RUU Pemilu yang menggabungkan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, bisa jadi Pilkada serentak beralih menjadi tahun 2022 dan 2023. Jika tanpa aturan baru, maka seluruh pemilu, baik pemilu legislatif DPR, DPRD, DPD, pemilihan presiden, dan pemilu kepala daerah akan berlangsung serentak pada 2024.[9]

Berbeda dengan suara mayoritas, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini, menilai bahwa revisi Undang-Undang Pemilu harus terus jalan untuk memperbaiki kualitas demokrasi melalui penyelenggaraan pemilu. "Kami melihat ada kebutuhan dan kepentingan revisi UU Pemilu, yaitu untuk perbaikan kualitas demokrasi hasil evaluasi kita atas penyelenggaraan pemilu lalu," ujar Jazuli dalam keterangannya di Jakarta. Fraksi PKS juga menginginkan agar pilkada serentak dinormalisasi pada tahun 2022/2023 agar kepemimpinan daerah di masa pandemi oleh pejabat definitif.[10] Menurutnya, jika digelar pada 2024 beban dan ongkos ekonomi, sosial, dan politik menjadi sangat berat.

Adapun jadwal pelaksanaan Pilkada hingga saat ini masih jadi perdebatan seiring dengan rencana revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sembilan fraksi di DPR terbelah. Sebagian fraksi ingin Pilkada dilaksanakan sesuai amanat Pasal 201 Ayat (8) UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, yakni November 2024, berbarengan dengan Pilpres dan Pileg. Sementara, sebagian fraksi lainnya mendorong agar pelaksanaan Pilkada sesuai ketentuan dalam draf revisi UU Pemilu Pasal 731 Ayat (2) dan (3), yaitu pada 2022 dan 2023.[11]

Oleh karena itu, kajian ini membahas mengenai polemik pelaksanaan pilkada secara serentak pada tahun 2024 yang banyak menuai pro dan kontra di masyarakat dari berbagai aspek, mulai dari masa jabatan para pemimpin daerah maupun keefektivan pelaksanaan pemilu secara umum di Indonesia. Maka penulis melakukan penelitian yang berjudul “PENOLAKKAN PILKADA SERENTAK TAHUN 2024 (PERBANDINGAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DAN PARTAI DEMOKRAT)”

 

 

B.          Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah

1.       Identifikasi Masalah

Pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 menjadi polemik. Pasalnya, dalam draf revisi UU Pemilu yang baru, salah satu poinnya mengatur tentang pilkada berikutnya pada 2022 dan 2023 mendatang, bukan 2024 seperti yang diatur dalam UU 10/2016. Sejumlah fraksi di DPR terbelah mengenai ketentuan tersebut. Fraksi yang mendukung agar pilkada serentak 2024 tetap digelar di antaranya PDIP, PKB, dan Gerindra.[12] Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis paparkan, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat beberapa permasalahan terkait dengan Penolakan pilkada serentak tahun 2024 perbandingan PKS dan Partai Demokrat.

Adapun identifikasi masalah yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah sebagai berikut:

a.            Polemik mengenai pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) yang digelar secara serentak pada Tahun 2024

b.            Pendapat Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) dan Partai Demokrat mengenai Pilkada serentak 2024

c.            Kelebihan dan kekurangan (keefektifan) pelaksanaan Pilkada serentak yang digelar pada tahun 2024

d.            Terjadinya salah satu kasus saat pemilu 2019, yakni banyak memakan korban pada anggota KPPS sehingga menjadi evaluasi bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyelenggarakan pemilihan berikutnya.

 

2.            Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dipaparkan, banyak permasalahan-permasalahan penting yang perlu diteliti untuk dapat menjawab. Akan tetapi, untuk mempermudah pembahasan dan penelitian skripsi ini, penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis, maka perlu kiranya penulis memberikan batasan agar tidak melebar dan terarah. Maka penelitian ini difokuskan pembahasannya pada pelaksanaan Pilkada serentak yang di gelar pada tahun 2024 dan perbandingan pandangan Partai PKS dan Partai Demokrat.

 

3.            Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik beberapa substansi rumusan masalah sebagai berikut :

1.            Bagaimana pandangan partai politik terhadap Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2024, khususnya partai PKS dan partai Demokrat?

2.            Bagaimana agar pilkada serentak 2024 berjalan dengan efektif di Indonesia?

 

C.          Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1.            Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan tambahan literatur bagi ilmu pengetahuan khususnya hukum tata negara dalam penanganan masalah Penolakan Pilkada Serentak Tahun 2024 (perbandingan partai PKS dan Partai Demokrat). Selain itu penelitian skripsi ini juga bertujuan:

a.            Untuk mengetahui bagaimana pandangan dari berbagai partai politik mengenai pilkada serentak tahun 2024

b.            Untuk mengetahui polemik yang terjadi dikalangan masyarakat maupun aktivis mengenai pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024.

 

2.            Manfaat Penelitian

Didalam setiap penelitian, disamping memiliki tujuan tentunya penulis juga mengharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca  khususnya penulis pribadi, adapun manfaatnya adalah sebagai berikut:

 

 

a.     Bagi Akademis

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan penelitian lebih lanjut guna untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang penolakan pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 dari pandangan Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) dan Partai Demokrat.

 

b.     Bagi Peneliti

Penelitian ini bermanfaat sebagai tolok ukur dari wacana keilmuan yang selama ini penulis terima dan pelajari dari institusi pendidikan tempat penulis belajar, khususnya mengenai pro kontra pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 dari partai politik yang ada di Indonesia.

 

D.          Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Untuk membuktikan originalitas dari penelitian ini, penulis perlu untuk melakukan tinjauan kajian studi terdahulu. Berikut ini beberapa penelitian dan perbedaan dari penelitian sebelumnya.

  1. Angga Natalia, dalam Jurnal TAPIS dengan judul Peran Partai Politik Dalam Mensukseskan Pilkada Serentak Di Indonesia Tahun 2015. Dalam karyanya, penulis menjelaskan bahwa munculnya permasalahan kandidat tunggal pada proses pilkada pada tahun 2015, menunjukkan bahwa partai politik belum benar-benar serius menjalankan fungsinya terutama untuk melahirkan calon-calon pemimpin muda yang kompeten dan mampu survive dengan kondisi Indonesia saat ini. Ini disebabkan oleh mundurnya pengawalan kaderisasi di partai politik sehingga partai-partai lebih banyak mengandalkan kader-kader pragmatis untuk mempercepat image building dan perolehan suara di grass root. Yan pada akhirnya, menenggelamkan mental calon-calon pemimpin muda yang sebenarnya memiliki kompetensi yang baik tapi kurang mendapat dukungan dari partai politik.[13]
  2. Siti Witianti dan Hendra, dalam jurnal Wacana Politik dengan judul Peran Ketua Umum Partai Politik Dalam Pencalonan Kepala Daerah pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak Di Indonesia. Dalam karyanya, penulis menjelaskan bahwa dalam pilkada serentak di Indonesia yang diselenggarakan sejak tahun 2015, terdapat kencenderungan semakin menguatnya pengaruh ketua umum partai politik dalam pencalonan kepala daerah. Pengambilan keputusan partai politik pada akhirnya ditentukan oleh pertimbangan ketua umum partai politik,sudah menjadi tugas Parpol seharusnya menjadi salah satu sumber utama kepemimpinan bangsa yang dituntut dapat menyiapkan dan menghasilkan kader-kader bangsa yang profesional, jujur, berintegritas tinggi dan berwawasan luas dan dilakukan secara demokratis.[14]
  3. Hendri Putra Faridana dengan judul skripsi Persepsi Mahasiswa Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam UIN Antasari Terhadap Pelaksanaan Pilkada Serentak. Dalam karyanya, menjelaskan bahwa para mahsiswa menilai pelaksanaan pilkada tahun 2015 di Banjarmasin berhasil menarik partisipasi warga sehingga peserta pemilih lebih banyak. Selain itu, Persepsi mahasiswa Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam terhadap pilkada serentak pun beragam, sebagian besar menilai pilkada serentak lebih efektif karena selain dapat menghemat dana, juga dapat menghemat waktu bagi pelaksanaan pilkada di Indonesia. Persepsi mahasiswa ini ternyata berbeda dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pelaksanaan pilkada serentak di Banjarmasin memiliki tingkat partisipasi pemilih cukup rendah.[15]
  4. Egi Prayogi, dengan judul skripsi Sistem Pemilihan Kepala Daerah Perspektif Fiqih Siyasah (Studi Pasal 24 Undang-Undnag No 32 Tahun 2004). Dalam karyanya, penulis menyimpulkan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 dari segi substansi sudah sesuai dengan fiqih siyasah dan tidak bertentangan dengannya, dan telah memenuhi prinsip pemilihan dalam Islam yaitu syura yang bertumpu pada persamaan, keadilan, kebebasan transparansi, dan kebersamaan. Dan menurut penulis, perbedaannya terdapat pada tataran tekis, kerena harus disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat demi tercapai kemaslahatan umat.[16]
  5. Firdaus Ayu Palestina, dengan judul tesis Analisis Penataan Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan Umum Ditinjau Dari Fiqh Siyasah Dusturiyah Dan Sadd Al-Dzari’ah. Dalam karyanya, penulis menjelaskan bahwa Penataan Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan Umum Ditinjau dari Fiqh Siyasah Dusturiyah (Konsep Wewenang Arkoun) dan Sadd Al- Dzari’ah diketahui bahwa Penyelenggara Pemilu (sebagai seorang “dusturi”, yang memiliki otoritas dalam artian pejabat publik) telah melakukan wewenang, yakni “siyasah” dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan patuh dan melaksanakan Undang-Undang, meskipun dalam praktknya masih terjadi over lapping (tumpang tindih). Sedangkan dalam konsep Saad Al-Dzari’ah, Penyelenggara Pemilu, yaitu KPU berusaha untuk menutup kemungkunan-kemungkinan yang tidak baik guna terciptanya regulasi yang revolusioner, sedangkan Bawaslu bertindak sebaliknya (Fath Al-Dzari’ah) dengan mempertimbangkan persamaan hak, namun mengesampingkan langkah kedepannya.[17]

 

E.          Metodologi Penelitian

 

1.            Jenis Penelitian

Metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.[18] Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah berpijak dari realita atas peristiwa yang berlangsung di lapangan. Apa yang dihadapi dalam penelitian adalah sosial kehidupan sehari-hari. Penelitian seperti berupaya memandang apa yang sedang terjadi dalam dunia tersebut dan meletakkan temuan-temuan yang diperoleh didalamnya. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh peneliti selama dilapangan termaksud dalam suatu posisi yang berdasarkan kasus, yang mengarah perhatian dalam spesifikasi kasus-kasus tetentu.[19]

 

2.            Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menjadikan penulis harus mengumpulkan data dan informasi mengenai pendapat dari Fraksi PKS dan Demokrat yang menolak adanya pelaksanaan pilkada serenetak tahun 2024. Metode kualitatif diartikan sebagai metode yang meneliti subjek penelitian atau informan dalam lingkup kesehariannya.[20] Metode kualitatif menggunakan sumber berupa narasi, penuturan informan, dokumen-dokumen dan bukan menggunakan data berupa angka-angka seperti yang dilakukan dalam penelitian kuantitatif.[21]

Penyajian data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan data yang berasal dari buku yang berkaitan dengan tema dan masalah yang diangkat oleh penulis, jurnal ilmiah, dan artikel serta berita yang berasal dari media internet. Hal tersebut digunakan untuk memudahkan dalam memahami segala macam konteks yang terkandung di dalamnya.[22]

 

3.            Sumber Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder sebagai data utama yang terdiri dari:

a.      Bahan Hukum Primer

Sumber data primer diperoleh melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Sumber data primer merupakan data yang diambil langsung oleh peneliti kepada sumbernya tanpa ada perantara dengan cara menggali sumber asli secara langsung melalui responden. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, dan Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.

b.     Bahan Hukum Sekunder

Sumber Hukum Sekunder dalam penelitian ini, penulis menggunakan buku-buku teks (Teksbook) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (deherseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan bahan-bahan hukum lainnya yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam memahami dan menganalisis bahan hukum primer.

c.      Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang mendukung bahan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang digunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus-kamus Hukum dan Kamus Bahasa Inggris baik dalam bentuk cetak maupun elektronik.

 

4.            Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:

a)    Studi literatur dan dokumentasi, yaitu mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini melalui literatur buku, surat kabar, jurnal ilmiah, serta artikel dan berita yang berasal dari media internet. Teknik pengumpulan data yang digunakan melalui dokumentasi, untuk memperoleh data sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan dari bahan primer.

b)    Wawancara dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan informasi melalui tanya jawab dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada pihak yang berkompeten dengan masalah dalam penelitian ini.

 

5.            Metode Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian diklasifikasikan menurut pokok bahasan masing-masing, maka selanjutnya dilakukan analisis data. Analisis data bertujuan untuk menginterpretasikan data yang sudah disusun secara sistematis yaitu dengan memberikan penjelasan. Dalam menyusun dan menganalisis data, penulis menggunakan penalaran deduktif.[23] Penalaran deduktif merupakan langkah berpikir dengan mengumpulkan pernyataan yang bersifat umum untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus.

 

 

 

 

6.            Pedoman Penulisan Skripsi

Dalam penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.

 

F.           Sistematika Penulisan

Dalam pembahasan Skripsi ini peneliti membuat sistematika pembahasan sebagai berikut:

 

BAB I         Pendahuluan. Pada bab ini menjelaskan tentang Latar Belakang Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Pemikiran, Landasan Teori, Tinjauan Pustaka (Review) Kajian Terdahulu, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Kajian Teori yang membahas mengenai teori demokrasi, teori kedaulata rakyat, dan teori umum mengenai partai politik.

BAB III Profil Komisi Pemilihan Umum (KPU), Profil Partai Demokrat Dan Partai Keadilan Kesejahteraan Sosial (PKS); dalam bab ini akan menjelaskan tentang Profil Komisi Pemilihan Umum (KPU), sejarah dan Perkembangan pilkada di Indonesia, Profil dari Partai Demokrat dan Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) mengenai sejarah terbentuknya partai tersebut berikut dengan visi dan misi Partai.

BAB IV Penolakan Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2024 Dari Perspektif Partai PKS Dan Partai Demokrat; yang membahas tentang analisis dari pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 dan penolakan partai PKS dan Partai Demokrat; Efektivitas dan Efisiensi pilkada serentak 2024 menurut pendapat fraksi Partai Politik Indonesia.

BAB V Penutup. Pada bab ini terdapat kesimpulan analisis penulis mengenai  pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 dan saran untuk peneliti berikutnya yang mengkaji penelitian ini.

 

 

BAB II

KONSEP UMUM PARTAI POLITIK

 

A.      Definisi Partai Politik

          Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain. Pada awal perkembangannya, akhir dekade 18-an di negara-negara Barat seperti Inggris dan Prancis, kegiatan politik dipusatkan pada kelompok-kelompok politik dalam parlemen. Kegiatan ini mula-mula bersifatelitis dan aristokratis, mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan-tuntutan raja. Semakin meluasnya hak pilih, kegiatan politik juga berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia pemilihan yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa pemilihan umum (kadang-kadang dinamakan caucus party). Oleh karena dirasa perlu memperoleh dukungan dari berbagai golongan masyarakat, kelompok-kelompok politik di parlemen lambat laun juga berusaha mengembangkan organisasi massa. Maka pada akhir abad ke-19 lahirlah partai politik, yang pada masa selanjutnya berkembang menjadi penghubung (link) antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain.[24] Partai politik merupakan instrumen yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi di negara manapun di dunia ini. Tidak dapat dikatakan demokratis sebuah negara jika tidak ada partai politik di negara tersebut karena pada hakikatnya partai politik merupakan manifestasi dari kebebasan masyarakat untuk membentuk kelompok sesuai dengan kepentingannya.[25]

          Cikal bakal dari terbentuknya partai politik di Indonesia adalah lahirnya Budi utomo yang merupakan perkumpulan kaum terperajar. Perkumpulan ini merupakan bentuk dari studie club, perkumpulan social ekonomi, dan organisasi pendidikan.[26] setelah Budi utomo lahir, muncullah dua organisasi yang disebut-sebut sebagai partai politik pertama di Indonesia, yaitu Sarekat Islam dan Indiche partij. Munculnya kedua organisasi tersebut merupakan ancaman bagi Budi Utomo, karena banyak anggotanya yang pindah kedua organisasi tersebut. semenjak itulah Budi Utomo mulai mengarah kepada kegiatan politik. Menyusul di belakang tiga organisasi tersebut muncul organisasi ISDV yang lahir pada tahun 1914 didirikan oleh orang Belanda di Semarang. Pendirian ISDV adalah usaha untuk memasukkan paham Marxisme ke Indonesia. Pada tanggal 23 Mei 1920 ISDV mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia. Semaun dan Darsono yang dulunya merupakan tokoh partai Sarekat Islam menjabat sebagai ketua dan wakil ketua PKI. Perpecahan terjadi di tubuh Sarekat Islam yang memecah partai tersebut menjadi dua golongan yaitu Sarekat Islam Putih dan Sarekat Islam Merah. Sarekat Islam gerakanya lebih dititik beratkan dalam bidang memajukan gerakan perekonomian rakyat dan keislaman sesuai dengan nama Sarekat Islam. Berbeda dengan Budi Utomo, Sarekat Islam gerakannya lebih bersifat revolusioner dan nasionalistis. Selain itu juga lahir Muhammadiyah, Partai Nasional Indonesia,Partai Indonesia dan lain-lain. Muhammadiyah mengikrarkan diri bukan sebagai partai politik walaupun ada kaitannya dengan organisasi politik Islam.[27]

          Di Indonesia, kemunculan partai-partai politik tak terlepas dari terciptanya iklim kebebasan yang luas bagi masyarakat pasca-runtuhnya pemerintahan kolonial Belanda. Kebebasan tersebut memberikan ruang dan kesempatan kepada masyarakat untuk membentuk organisasi, termasuk partai politik. sebenarnya, cikal-bakal dari munculnya partai politik sudah ada sebelum kemerdekaan Indonesia. partai politik yang lahir selama masa penjajahan tidak terlepas dari peranan gerakan-gerakan yang tidak hanya dimaksudkan untuk mendapatkan kebebasan yang lebih luas dari penjajah, juga menuntut adanya kemerdekaan. Hal ini bisa kita lihat dengan lahirnya partai-partai sebelum kemerdekaan. selain didorong oleh adanya iklim demokrasi yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda, kemunculan partai-partai politik di indonesiajuga tidak lepas dari karakteristik masyarakat Indonesia yang majemuk.sebagaimana dikatakan oleh John Furnival bahwa masyarakat Indonesia atau Hindia Belanda ketika itu merupakan masyarakat yang plural (pluralsociety), yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemenatau tatanan sosial yang hidup berdampingan satu sama lain. Hanya saja,sambung Furnival, di antara mereka itu tidak pernah bertemu di dalam suatu unit politik. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat yang majemuk itu pada akhirnya bergabung dalam suaru unit politik besar yang dinamakan partai politik.[28]

          Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Partai adalah perkumpulan (segolongan orang) yang seasas, sehaluan, dan setujuan (terutama di bidang politik).[29] Dari sisi etimologis, Maurice Duverger menyebutkan bahwa kata Partai berasal dari bahasa Latin pars, yang berarti "bagian". Dengan pengertian tersebut, kita dapat memahami bahwa karena ia merupakan suatu bagian maka konsekuensinya pasti ada bagian-bagian lain. Oleh karena itu, untuk memenuhi pengertian tersebut maka idealnya tidak mungkin di dalam suatu negara jika hanya terdapat satu partai.[30]

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Politik adalah (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan): bersekolah di akademi, segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain: dalam dan luar negeri; kedua negara itu bekerja sama dalam bidang, ekonomi, dan kebudayaan; partai,organisasi, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah) kebijaksanaan.[31] Secara etimologis, kata politik berasal dari bahasa yunani, yaitu polis yang berarti kota atau komunitas secara keseluruhan. Konsep tentang polis adalah proyek idealis Plato (428-328 S.M) dan Aristoteles (384- 322 S.M).14 Dalam bukunya yang berjudul The Republic, plato bertujuan untuk membuat sebuah pemahaman bahwa konseppolis ialah terciptanya masyarakat yang ideal. Hal ini berarti politik ialah segala usaha dan aktivitas untuk membangun dan mewujudkan masyarakat yang ideal atau lebih baik. sedangkan Aristoteles dalam bukunya yang berjudul The politics mengungkapkan bahwa manusia adalah binatang politik (political Animal). Maksudnya adalah bahwa aktivitas politik tidak diciptakan oleh manusia, melainkan ditemukan sEcara alamiah dalam diri setiap manusia.[32]

Partai politik merupakan bagian dari infrastruktur[33] politik dalam Negara. Partai politik berangkat dari anggapan bahwa dengan membentuk wadah organisasi mereka bisa menyatukan orang-orang yang mempunyai pikiran serupa sehingga pikiran dan orientasi mereka bisa dikonsolidasikan. Dengan begitu pengaruh mereka bisa lebih besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan.[34] Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelom- pok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya. Banyak sekali deinisi mengenai partai politik yang dibuat oleh para sarjana. Di bagian ini dipaparkan beberapa contoh definisi yang dibuat para ahli ilmu klasik dan kontemporer.

Carl J. Friedrich menuliskannya sebagai berikut:

Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat adil serta materiil (A political, party is a group of human beings, stably organized with the objective of securing or maintaining for its leaders the control of a government, with the further objective of giving to members of the party, through such control ideal and material beneits and advantages).’’

Sigmund Neumann dalam buku karyanya, Modern Political Parties, mengemukakan definisi sebagai berikut:

Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda (A political party is the articulate organization of society’s active political agents; those who are concerned with the control of governmental polity power, and who compete for popular support with other group or groups holding divergent views).[35]

Partai politik merupakan salah satu bentuk perwujudan kebebasan berserikat sebagai salah satu prasyarat berjalannya demokrasi. Kebebasan berserikat lahir dari kecenderungan dasar manusia untuk hidup bermasyarakat dan berorganisasi baik secara formal maupun informal. Kecenderungan demikian itu merupakan suatu keniscayaan. Kecenderungan bermasyarakat yang pada perinsipnya adalah kehidupan berorganisasi timbul untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang sama dari individu-individu serta untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan persamaan pikiran dan hati nurani.[36]

Sejalan dengan itu, pengertian partai politik menurut Undang-Undang Nomer 2 Tahun 2008 adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok WNI secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat,bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembentukan partai politik setidaknya paling sedikit terdiri dari 50 orang WNI yang telah berusia 21 tahun dengan akta notaris. Pendirian dan pembentukannya menyertakan 30% keterwakilan perempuan.[37]

B.      Tujuan Partai Politik

          Tujuan partai politik berdasarkan Undang-Undang Partai Politik di Indonesia yaitu, Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Pasal 10 menyatakan bahwa:

(1) Tujuan umum Partai Politik adalah:

a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksuddalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945;

b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila denganmenjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan RepublikIndonesia; dan

d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

(2) Tujuan khusus Partai Politik adalah:

a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangkapenyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;

b. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara; danc. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara.

(3) Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional.[38]

C.      Fungsi Partai Politik

  Partai politik telah menjadi ciri penting dalam sebuah politik modern karena memiliki fungsi yang strategis. Para ahli pun banyak yang merumuskan fungsi-fungsi dari Partai Politik. Fungsi utama dari Partai Politik ialah mencari kekuasaan, mendapatkan kekuasaan dan mempertahankannya. Cara partai politik untuk memperoleh kekuasaan tersebut ialah dengan berpartisipasi dalam pemilihan umum. Untuk melaksanakan fungsi tersebut partai politik melakukan tiga hal yang umumnya dilakukan oleh Partai Politik yaitu menyeleksi calon-calon, setelah calon-calon mereka terpilih selanjutnya ialah melakukan kampanye, setelah kampanye dilaksanakan dan calon terpilih dalam pemilihan umum selanjutnya yang dilakukan oleh Partai Politik ialah melaksanakan fungsi pemerintahan (legistlatif ataupun eksekutif).[39] Partai politik tidak hanya bertugas sebagai merebut kursi dan mengumpulkan suara pada saat pemilihan umum, tetapi partaipolitik juga berfungsi sebagai solusi untuk kepentingan bersama. Artinya, partai politik juga berfungsi sebagaimana di sampaikan oleh para pemikir.

 

Fungsi Partai Politik berdasarkan Undang-Undang Partai Politik di Indonesia yaitu, Undang-Undang No 2 Tahun 2008  tentang Partai Politik Pasal 11 ayat 1 menyatakan bahwa partai politik adalah sebagai sarana:

a.   Pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

b.  Penciptaan  iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk mensejahterakan masyarakat.

c.   Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara

d.  Partisipasi politik warga negara Indonesia; dan

e.   Rekrutmen politik dalam proses pengisisan jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.[40]

Secara garis besar, Firmanzah menyebutkan bahwa peran dan fungsi partai politik dibedakan menjadi dua, yairu fungsi internal dan fungsi eksternal. Dalam fungsi internal, partai politik berperan dalam pembinaan, pendidikan, pembekalan, dan pengkaderan bagi anggota partai politik demi langgengnya ideologi politik yang menjadi latar belakang pendirian partai politik tersebut. Sedangkan dalam fungsi eksternal peranan partai politik terkait dengan ruang lingkup yang lebih luas yakni masyarakat, bangsa, dan negara. Hal ini karena partai politik juga mempunyai tanggung jawab konstitusional, moral, dan etika untuk membawa kondisi, dan situasi masyarakat menjadi lebih baik.[41] 

 

Secara lebih rinci Miriam Budiarjo menyebutkan bahwa Fungsi Partai Politik di Negara Demokrasi adalah:

 

1)    Sebagai Sarana Komunikasi Politik.

Di masyarakat modern yang luas dan kompleks, banyak ragam pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pendapat atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir, apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (interest aggregation). Sesudah digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur. Proses ini dinamakan perumusan kepentingan (interest articulation).[42] Di sisi lain, partai politik juga berfungsi memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi dan dialog dua arah, dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Dalam pada itu partai politik memainkan peran sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah. Peran partai sebagai jembatan sangat penting, karena di satu pihak kebijakan pemerintah perlu dijelaskan kepada semua kelompok masyarakat, dan di pihak lain pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan masyarakat. Dalam menjalankan fungsi inilah partai politik sering disebut sebagai perantara (broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas). Kadang-kadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi warga masyarakat sebagai “pengeras suara”.[43]

 

2)    Sebagai Sarana Sosialisasi Politik.

Dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Ia adalah bagian dari proses yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideologi, hak dan kewajiban. Dimensi lain dari sosialisasi politik adalah sebagai proses yang melaluinya masyarakat menyampaikan “budaya politik” yaitu norma-norma dan nilai-nilai, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi politik merupakan faktor penting dalam terbentuknya budaya politik (political culture) suatu bangsa. Proses sosialisasi berjalan seumur hidup, terutama dalam masa kanak kanak. Ia berkembang melalui keluarga, sekolah, peer group, tempat kerja, pengalaman sebagai orang dewasa, organisasi keagamaan, dan partai politik.

Ia juga menjadi penghubung yang mensosialisasikan nilai-nilai politik generasi yang satu ke generasi yang lain. Di sinilah letaknya partai dalam memainkan peran sebagai sarana sosialisasi politik. Pelaksanaan fungsi sosialisasinya dilakukan melalui berbagai cara yaitu media massa, ceramah-ceramah, penerangan, kursus kader, penataran, dan sebagainya.[44]

 

3)    Sebagai Sarana Rekrutmen Politik.

Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas. Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas, karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri. Dengan mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit menentukan pemimpinnya sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan calon untuk masuk ke bursa kepemimpinan nasional.

Selain untuk tingkatan seperti itu partai politik juga berkepentingan memperluas atau memperbanyak keanggotaan. Maka ia pun berusaha menarik sebanyak-banyaknya orang untuk menjadi anggotanya. Dengan didirikannya organisasi-organisasi massa (sebagai onderbouw) yang melibatkan golongan-golongan buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita dan sebagainya, kesempatan untuk berpartisipasi diperluas. Rekrutmen politik menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk Partai Politik untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin. Ada berbagai cara untuk melakukan rekrutmen politik, yaitu melalui kontak pribadi, persuasi, ataupun cara-cara lain.[45]

 

4)    Sebagai Sarana Pengatur Konlik (Conlict Management).

Potensi konlik selalu ada di setiap masyarakat, apalagi di masyarakat yang bersifat heterogen, apakah dari segi etnis (suku bangsa), sosial-ekonomi, ataupun agama. Setiap perbedaan tersebut menyimpan potensi konlik. Apabila keanekaragaman itu terjadi di negara yang menganut paham demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dianggap hal yang wajar dan mendapat tempat. Akan tetapi di dalam negara yang heterogen sifatnya, potensi pertentangan lebih besar dan dengan mudah mengundang konlik. Di sini peran partai politik diperlukan untuk membantu mengatasinya, atau sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. Elite partai dapat menumbuhkan pengertian di antara mereka dan bersamaan dengan itu juga meyakinkan pendukungnya. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa partai politik dapat menjadi penghubung psikologis dan organisasional antara warga negara dengan pemerintahnya. Selain itu partai juga melakukan konsolidasi dan artikulasi tuntutan-tuntutan yang beragam yang berkembang di berbagai kelompok masyarakat. Partai juga merekrut orang-orang untuk diikutsertakan dalam kontes pemilihan wakil-wakil rakyat dan menemukan orang-orang yang cakap untuk menduduki posisi-posisi eksekutif. Pelaksanaan fungsi-fungsi ini dapat dijadikan instrumen untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan partai politik di negara demokrasi.[46]

 

D.      Teori Partai Politik     

          Terdapat tiga teori asal mula terbentuknya partai politik yang dikemukakan oleh Lapalombara dan Weiner, yaitu: (1) teori kelembagaan, yang melihat adanya hubungan antara parlemen awal dengan timbulnya partai politik, (2) teori situasi historik yang melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara luas, dan (3) teori pembangunan yang melihat partai politik sebagai produk modernisasi sosial ekonomi.[47]

a)            Teori Kelembagaan

Menurut teori ini, partai politik pertama kari terbentuk pada lembaga legislatif dan eksekutif, karena adanya kebutuhan anggota legislatif (yang ditentukan dengan pengangkatan) untuk berhubungan dengan masyarakat dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Terbentuknya partai politik seperti ini sering juga disebut sebagai partai politik Intra-Parlemen. Setelah partai politik Intra-Parlemen terbentuk dan menjalankan fungsinya maka kemudian muncul partai politik lain yang dibentuk oleh kelompok masyarakat lain karena mereka menganggap bahwa partai politik yang lama tidak mampu menampung dan memperjuangkan kepentingan mereka. Partai yang tebentuk ini disebut sebagai partai Ekstra-Parlemen.[48]

Kita bisa memahami kemunculan partai[49] pertama kali dengan memahami kronologis sejarah munculnya ide pembentukan partai politik yang bermula pada abad ke-18. Latar belakang terbentuknya sebuah partai intra-parlemen pada masa ini dikarenakan kebutuhan untuk mengakomodasi kepentingan tiap-tiap daerah. Pada tahun 1789 di Versailles, perwakilan-perwakilan provinsi pada General State mengadakan pertemuan. Sekelompok anggota legislatif dari daerah yang sama tersebut berkumpul untuk memperjuangkan kepentingan daerah mereka masing-masing. Kegiatan ini pertama kali dilakukan oleh para wakil dari Breton. Mereka secara reguler melakukan pertemuan dengan menyewa sebuah kafe. Di sana mereka berbagi pendapat terkait masalah-masalah daerah mereka dan terbentuklah apa yang mereka sebut dengan "Breton CIub". Dalam perkembangannyaanggota klub ini tidak hanya beranggotakan para wakil rakyat dari Breton saja. Mereka juga membuka kesempatan kepada para wakil daerah lain untuk bertukar pendapat sehingga topik pembahasan mereka sampai kepada isu-isu nasional. Dengan perkembangan inilah mereka menjelma menjadi kelompok ideologis. Selain Breton CIub, perkembangan awal seperti ini juga dialami oleh Girondin CIub.[50]

Setelah partai politik yang diinisiatif oleh pemerintah tersebut terbentuk dan menjalankan fungsinya, barulah mulai muncul partai politik lain yang dibentuk oleh masyarakat dengan skala yang lebih kecil. Munculnya partai politik dari luar parlemen ini disebut Ekstra-parlemen. pemimpin kelompok masyarakat membuat partai ini dengan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan mereka yang tidak dapat sepenuhnya ditampung arau diperhatikan oleh partai yang dibentuk oleh pemerintah tersebut. Sebagai contoh pada negara yang dijajah, masyarakar membenruk partai politik untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi negaranya. sedangkan pada negara maju, kelompok masyarakat yang minoritas membentuk partainya sendiri untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya yang tidak terwakili dalam sistem kepartaian yang ada. contohnya serikat buruh di Inggris dan Australia membentuk partai Buruh, kelompok keagamaan di Belanda membentuk Partai Kristen Historis, dan sebagainya.[51]

 

 

b)           Teori Situasi Historik

Menurut Teori situasi Historik, partai politik terbentuk ketika suatu sistem politik mengalami masa transisi karena adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat, misalnya dari masyarakat tradisional yang berstruktur sederhana menjadi masyarakat yang lebih modern yang berstruktur kompleks. Teori ini berangkat dari adanya kebutuhan untuk menampung kompleksitas struktur masyarakat yang semakin meningkat. Peningkatan rersebut seperti pertambahan penduduk karena peningkatan kesehatan, perluasan pendidikan, mobilitas okupasi (penduduk), perubahan pola pertanian dan industri, partisipasi media, urbanisasi, ekonomi berorientasi pasar, peningkatan aspirasi dan harapan-harapan baru, dan munculnya gerakan-gerakan populis. Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan timbulnya riga macam krisis, yaitu: (1) krisis legitimasi, (2) krisis integrasi, dan (3) krisis partisipasi.[52]

a. Krisis legitimasi yaitu perubahan yang menyebabkan masyarakat mempertanyakan legitimasi kewenangan pemerintah. Partai politik yang didukung oleh masyarakat secara penuh diharapkan dapat membentuk suatu hubungan yang terlegitimasi antara pemerintah dan masyarakat.

b. Krisis integrasi yaitu perubahan yang menimbulkan masalah dalam identitas yang menyatukan masyarakat sebagai suatu bangsa. Partai politik yang terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat berfungsi sebagai sarana integrasi berbagai latar belakang masyarakat.

c. Krisis partisipasi yaitu perubahan yang mengakibatkan tuntutan yang semakin besar untuk ikut serta dalam proses politik. Partai politik juga diharapkan mampu untuk menyalurkan aspirasi masyarakat.

Dalam upaya mengatasi tiga krisis yang terjadi tersebut maka dibentuklah partai politik. Dengan terbentuknya partai politik yang berakar kuat di masyarakat maka diharapkan pemerintahan yang terbentuk kemudian mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat. Partai politik juga diharapkan dapat berperan sebagai integrator bangsa dengan cara lebih bersifat terbuka bagi berbagai golongan. Selain itu, partai politik juga harus mampu untuk menyalurkan keinginan masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi politiknya melalui mekanisme pemilu.[53]

c)            Teori Pembangunan

Modernisasi sosial ekonomi ditandai dengan meningkatnya pembangunan di sektor sosial dan ekonomi seperti pembangunan teknologi komunikasi, peningkatan kualitas pendidikan, industrialisasi, pembentukan berbagai kelompok kepentingan dan organisasi profesi, dan segala aktivitas yang menimbulkan kebutuhan untuk membentuk suatu organisasi politik yang mampu menyalurkan aspirasi mereka. Dapat disimpulkan bahwa teori pembangunan menyatakan bahwa partai politik merupakan konsekuensi logis dari modernisasi sosial ekonomi.[54]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PROFIL KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU) PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DAN PARTAI DEMOKRAT

 

A.          Profil Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah Penyelenggara Pemilu di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Wilayah kerja KPU meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. KPU menjalankan tugasnya secara berkesinambungan dan dalam menyelenggarakan Pemilu, KPU bebas dari pengaruh pihak manapun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya. KPU berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia, KPU Provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota. Dalam menjalankan tugasnya, KPU dibantu oleh Sekretariat Jenderal; KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota masing-masing dibantu oleh sekretariat. Jumlah anggota KPU sebanyak 7 (tujuh) orang; KPU Provinsi sebanyak 5 (lima) orang; dan KPU Kabupaten/Kota sebanyak 5 (lima) orang. Keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota terdiri atas seorang ketua merangkap anggota dan anggota. Ketua KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dipilih dari dan oleh anggota. Setiap anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mempunyai hak suara yang sama. Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus). Masa keanggotaaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji. KPU pertama pasca reformasi dibentuk pada tahun 1999-2001 dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001. KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung dilantik Presiden karena masalah hukum. Untuk menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, image KPU harus diubah sehingga KPU dapat berfungsi secara efektif dan mampu memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu yang jujur dan adil tersebut merupakan faktor penting bagi terpilihnya wakil rakyat yang lebih berkualitas, dan mampu menyuarakan aspirasi rakyat. Sebagai anggota KPU, integritas moral sebagai pelaksana pemilu sangat penting, selain menjadi motor penggerak KPU juga membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat karena didukung oleh personal yang jujur dan adil. Tepat 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah satunya kualitas penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dituntut independen dan non-partisan. Untuk itu atas usul insiatif DPR-RI menyusun dan bersama pemerintah mensyahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal 22-E Undang-undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun. Perubahan penting dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, meliputi pengaturan mengenai lembaga penyelenggara Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan kemudian disempurnakan dalam 1 (satu) undang-undang secara lebih komprehensif. Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga pengawas Pemilu.

Komisi Pemilihan Umum (KPU)  dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya. KPU memberikan laporan Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu juga mengatur kedudukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara Pemilihan Umum yang bersifat ad hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka mengawal terwujudnya Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu.

Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu. Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, jumlah anggota KPU berkurang menjadi 7 orang. Pengurangan jumlah anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang tidak mengubah secara mendasar pembagian tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah. Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji. Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada asas : mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib penyelenggara Pemilu; kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi dan efektivitas.[55]

 

1)    Visi Komisi Pemilihan Umum (KPU)

 

Menjadi Penyelenggara Pemilihan Umum yang Mandiri, Professional, dan Berintegritas untuk Terwujudnya Pemilu yang LUBER dan JURDIL.

 

2)    Misi Komisi Pemilihan Umum (KPU)

 

a.     meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilu yang efektif dan efisien, transparan, akuntabel, serta aksesibel; 

b.     meningkatkan integritas, kemandirian, kompetensi dan profesionalisme penyelenggara Pemilu dengan mengukuhkan code of conduct penyelenggara Pemilu; 

c.     menyusun regulasi di bidang Pemilu yang memberikan kepastian hukum, progesif, dan partisipatif; 

d.     meningkatkan kualitas pelayanan Pemilu untuk seluruh pemangku kepentingan; 

e.     meningkatkan partisipasi dan kualitas pemilih dalam Pemilu, Pemilih berdaulat Negara kuat; dan 

f.      mengoptimalkan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi dalam penyelenggaraan Pemilu.[56]

 

B.          Sejarah dan Perkembangan Pilkada di Indonesia

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di daerah. Ini merupakan perkembangan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Dalam pemerintahan Indonesia, salah satu prinsip yang dikenal adalah prinsip otonomi, yang artinya adanya keleluasaan bagi Pemerintah Daerah untuk mengatur daerahnya sendiri. Pilkada meru-pakan sarana untuk memilih kepala daerah dan wakil-wakil rakyat di DPRD, dimana mereka dipilih langsung oleh masyarakat di daerahnya. Dengan demikian, legitimasi kedudukan Kepala Daerah dan Anggota DPRD menjadilebih representatif, bila Pilkada ini dilaksanakan secara demokratis dan sesuai dengan prosedur yang berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan.[57] Pemilihan sistem pilkada merupakan perjalanan politik panjang yang diwarnai tarik-menarik antara kepentingan elit politik dan kehendak publik, kepentingan pusat dan daerah atau bahkan antara kepentingan nasional dan internasional.

Di Indonesia, sejarah politik lokal hampir setua umur penjajahan kolonial, desentralisasi kekuasaan, dan administrasi pemerintahan itu sendiri. Bahkan apabila kita menelusuri jauh ke belakang, ke jaman kerajaan yang pernah berdiri dengan megahnya di seantero nusantara, para bangsawan mempergunakan politik lokal untuk memperluas wilayah dan kekuasaannya. Sehingga politik lokal dapat dikatakan bukanlah barang baru dalam sejarah pembentukan karakter bangsa dan negara hingga saat ini. Sejarah politik lokal terbagi dalam beberapa tahapan masa, yaitu:.[58]

 

a)    Masa Pemerintahan Belanda dan Jepang

Di awal masa penjajahan sebelum tahun 1903, pemerintah kolonial Belanda menerapkan aturan hukum berupa Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie (Stb 1855/2) yang sangat konservatif. Aturan tersebut menjelaskan tentang sentralisasi kekuasaan di Hindia Belanda bukan sebaliknya. Di samping menjalankan sentralisasi, dekonsentrasi memberikan kekuasaan kepada wilayah-wilayah administratif secara hirarkhis, namun hanya terbatas di pulau Jawa saja. Lahirnya istilah seperti Gewest kemudan berubah menjadi Residentie, Afdeeling, District, dan Onder-district, merupakan pertanda adanya bentuk perwakilan kewenangan pemerintah Belanda pada wilayah-wilayah di daerah jajahannya. Sehingga, desentralisasi sesungguhnya bukanlah hal baru di bumi Indonesia, karena pada masa penjajahan kolonial Belanda di tahun 1903 para elit Eropa di Hindia Belanda diberikan wewenang mendirikan pemerintahan sendiri, namun secara terbatas. Kerajaan Belanda menerbitkan Wethoundende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie (Stb. 1903/329), lebih dikenal sebagai Decentralisatiewet 1903. Menurut Harry J. Benda, undang-undang ciptaan bangsa penjajah tersebut tidak memberikan landasan apapun dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Hanya daerah-daerah besar sajalah mendapat perhatian dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Hindia Belanda. Selanjutnya, dapat ditebak bahwa titik berat penyelenggaraan otonomi daerah hanya fokus pada provinsi dan kabupaten besar saja. Pada tahun 1922, terbit Undang-undang tentang desentralisasi, menjadi dasar lahirnya provinsi-provinsi baru dengan otonomi administratif cukup besar. Namun demikian Sutherland mengatakanbahwa pemberian otonomi tersebut bukanlah ditujukan memberikan jalan bagi pertumbuhan demokratisasi lokal, namun sebagai benteng penangkal nasionalisme saja. Pemberian kewenangan otonomi administratif hanya menimbulkan kekacauan belaka akibat semakin tajam perbedaan antara kaum aristokrat kolonial dengan pribumi dalam mengatur pemerintahan. Pada tahun 1931, pemberontakan kekuatan komunis di Jawa Barat dan Sumatera Barat memaksa penjajah kolonial menarik kembali kewenangan otonomi lokal ke sentral (sentralisasi). Ciri dari sistem pemerintah kolonial sebelum kemerdekaan adalah sebagai berikut: Pemerintahan tidak langsung, Pemberlakukan aturan double standart, Hukum eropa konservatif bagi elit Eropa dan hukum adat bagi pribumi, berkembangnya elit pribumi berdasarkan garis keturunan kerajaan sebagai waki pemerintah kolonial di luar pulau Jawa, Isolasi gerakan nasionalis dan Pengendalian ketat daerah-daerah pedesaan dan daerah luar Jawa oleh elit pribumi tradisional patuh pada kekuasaan kolonial.[59]

Rezim pemerintahan Belanda berganti oleh pemerintahan Jepang. Pada Pemerintahan Jepang di Indonesia telah dikeluarkan 3 (tiga) undang-undang yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan yang disebut dengan 3 (tiga) osamu sirei 1942/27 yaitu Undang-Undang Nomor 27 tentang perubahan sistem pemerintahan (tertanggal 6-8-2602), Undang-Undang Nomor 28 tentang perubahan syuu (tertanggal 7-8-2602) dan Undang-Undang Nomor 30 tentang mengubah nama negeri dan nama daerah (tertanggal 1-9-2602). Pemerintahan Jepang membagi daerah menjadi karesidenan yang disebut syuu dan residennya disebut syuutyoo. Setelah karedisidenan terdapat dua pembagian daerah yang disebut ken dan si yang dikepalai oleh Kentyoo dan Sityoo. Di tingkat kawedana, keasistenan dan desa dikenal dengan nama Gunson dan Kosedangkan kepala daerahnya disebut Guntyoo, Sotyoo dan Kutyoo dimana pengangkatannya ditunjuk oleh Pemerintah Jepang.[60]

 

b)    Masa Era Kemerdekaan

Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 1945, Belanda yang terusir dari bumi Hindia Belanda karena kekalahannya melawan Jepang berusaha merebut kembali kekuasaannya di Indonesia. Segala dalih politikpun direncanakan demi merebut ambisi menduduki kembali bumi Indonesia, karena kerajaan Belanda masih memandang bahwa Indonesia sebagai koloninya.Di bawah tekanan dunia internasional, Belanda dipaksa menunaikan tanggung jawab moralnya sebagai eks-penjajah dengan membantu merancang tata administrasi pemerintahan negara Indonesia yang masih sangat belia. Pada saat itu, di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa serangkaian misi perundingan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah kerajaan Belanda dijalankan. Negara-negara kuat, seperti Inggris, memantau perkembangan perundingan dengan seksama. Di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, negosiasi diplomatik terjadi antara pemerintah Indonesia dan pemerintahan kerajaan Belanda. Di bulan September 1946 perwakilan Indonesia memulai pertemuan dengan perwakilan pemerintah kerajaan Belanda di Linggarjati dengan difasilitasi oleh pemerintah Inggris. Pemerintah Belanda memaksa berlakunya sistem negara federal di Indoenesia.[61]

Sejak kemerdekaan, ketentuan mengenai pemerintahan daerah diatur dalam sejumlah undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.[62]

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh pemerintah pusat.[63] Sementara menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Kepala Daerah Propinsi diangkat oleh Presiden dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD.[64] DPRD berhak mengusulkan pemberhentian seorang kepala daerah kepada pemerintah pusat. Namun sejak Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 hingga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, ketentuan pilkada tidak mengalami perubahan, yaitu mengikuti ketentuan sebagai berikut:

(1)  Kepala Daerah dipilih oleh DPRD;

(2)  Kepala Daerah tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden;

(3) Kepala Daerah tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri dan otonomi daerah, dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan.[65]

 

c)    Masa Orde Baru (Era Reformasi)

Terhitung sejak itu, pada tahun 1999, Indonesia mencatatkan sejarah dalam memasuki era desentralisasi sesungguhnya. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi membuka peluang politik lokal mencari jalan keluar menuju kemandirian daerah. Dapat dibayangkan semangat euphoria putra-putra daerah memindahkan kekuasaan dari pusat ke daerah berarti juga memberikan kesempatan mereka untuk menjadi “Raja-raja” baru daerah. Langkah-langkah strategis Presiden Habibie saat itu selain memberikan kebebasan pers, kebebasan mendirikan partai-partai politik, pemilu bebas, dan pemberian referendum bagi masyarakat Timor Timur yang berujung lepasnya provinsi termuda Indonesia tersebut menjadi merdeka sepenuhnya. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah memberikan dasar-dasar pemerintahan desentralisasi administratif yang sangat banyak kelemahannya.[66]

Setelah reformasi bergulir, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pilkada dilakukan dengan menggunakan sistem demokrasi tidak langsung dimana Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dengan penegasan asas desentralisasi yang kuat. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah. Rekrutmen Kepala Daerah sepenuhnya berada pada kekuasaan DPRD. Sementara pemerintah pusat hanya menetapkan dan melantik Kepala Daerah berdasarkan hasil pemilihan yang dilakukan oleh DPRD setempat. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah. DPRD berada di luar pemerintah daerah, yang berfungsi sebagai badan legislatif pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Di masa ini, kepala daerah dipilih sepenuhnya oleh DPRD, tak lagi ada campur tangan Pemerintah Pusat. Berbeda dengan sistem sebelumnya, yaitu kepala daerah diangkat oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri, yang diajukan atau diusulkan oleh DPRD.  Jika kita lihat perbandingan pilkada pada masa reformasi dan zaman orde baru, dapat dikatakan pemilihan kepala daerah di era reformasi lebih demokratis. Namun fakta menunjukkan bahwa kewenangan DPRD dan Fraksi-fraksi sangat kuat dan mengakibatkan penyalahgunaan wewenang seperti maraknya politik uang di tingkat DPRD.[67]

Pada prinsipnya, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 berusaha mendekatkan pemerintahan daerah agar lebih responsif kepada rakyatnya dan memberikan ruang transparansi lebih besar demi mencapai devolusi kekuasaan. Peran pemerintah pusat hanyalah terbatas sebagai penjaga malam saja karena sisa tanggung jawab setelah menjadi urusan daerah adalah meliputi: pertahanan keamanan nasional, kebijaksanaan luar negeri, masalah-masalah fiskal dan moneter, perencanaan ekonomi makro, sumber-sumber alam, kehakiman, dan eagama. Daerah memiliki kewenangan mengurus pekerjaan umum, pendidikan dan kebudayaan, pemeliharaan kesehatan, pertanian, perhubungan, industri, perdagangan, investasi, masalah-masalah lingkungan, koperasi, tenaga kerja, dan tanah. Di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, masalah desentralisasi semakin mencuat ke permukaan dengan bantuan liputan berbagai media. Masalah-masalah seperti korupsi, kepala daerah yang memainkan politik uang ketimbang melaksanakan pada konstituennya, kemudian wakil rakyat yang hanya mementingkan “perut” sendiri, memaksa pemerintahannya melahirkan Undang-Undang “penangkal” baru, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, masing-masing tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Menurut Malley, pemerintahan Megawati bukanlah mengamandemen Undang-Undang yang ada, tetapi malah menggantinya sama sekali. Sekalipun demikian, perubahan tidak banyak memunculkan gejolak berarti, bahkan terbilang tidak mengalami hambatan berarti karena pemilu Bupati pertama di bulan juni 2005 berlangsung lancar. Pilkada memilih pemimpin daerah secara langsung bukan simbol-simbol partai seperti masa lalu mendorong masyarakat secara aktif berpartisipasi dalam kampanye dan datang berduyun-duyun mencoblos calon pilihannnya di bilik-bilik pemilihan. Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono diwarnai dengan kebijakan-kebijakan desentralisasi bernama pemekaran. Pemekaran adalah nama yang dipergunakan dalam proses desentralisasi yang menciptakan unit-unit administratif baru di dalam provinsi-provinsi dan distrik-distrik yang telah ada sebelumnya. Istilah tersebut mungkin meniru sistem redistricting di Amerika Serikat yang berarti pembentukan kembali distrik-distrik. Proses redistricting di Amerika Serikat sama sekali bukan hal yang spesifik karena setiap tahun pemilihan hampir dapat dipastikan karena perubahan laju pertumbuhan penduduk, urbanisasi, imigrasi, dan emigrasi, sehingga peta wilayah pemilihan harus selalu disesuaikan. Lain halnya dengan proses serupa di negara-negara Afrika terutama Nigeria, pemekaran hampir selalu dikaitkan dengan maksud-maksud politis tertentu seperti penguasaan sumber-sumber daya alam, kekuasaan segelintir elit daerah, dan peluang mendapatkan alokasi bantuan dana dari pusat.Ketika Mahkaman Konstitusi menyetujui tinjauan yuridis (judicial review) terhadap Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di tahun 2008 yang memperbolehkan calon independen berkompetisi dalam ajang pemilihan kepala daerah dengan calon-calon kader partai politik, politik lokal seperti tidak terpisahkan dari proses politik dan demokrasi di Indonesia. Selama ini, menurut ketentuan perundangan dalam Undang-Undang tersebut, calon kepala daerah hanya boleh diajukan oleh partai politik sehingga calon-calon lain di luar partai politik tidak diberikankesempatan sama sekali maju dalam pilkada. Momen bersejarah ini sangat penting bagi terbukanya ruang partisipasi masyarakat lokal dalam memilih pemimpin dambaannya. Figur-figur partai politik akan dipaksa lebih memperhatikan aspirasi masyarakat ketimbang ambisi pribadi dan partai pengusungnya. Walaupun demikian, jalan panjang masih harus dibenahi guna menggolkan calon-calon independen kepala daerah dalam pilkada masing-masing daerah. Aturan main dan batasan-batasan etika pengajuan calon masih terbentur dengan pola pemilihan lama yang mengandalkan kekuatan mesin-mesin politik partai dan uang sebagai jaminan kemenangan calon. Alhasil, calon independen sangatlah sulit memenangkan pilkada tanpa kehadiran partai politik pendukung. Padahal, terbukanya ruang bagi calon independen merupakan ajang pembelajaran masyarakat lokal menjalankan demokrasi sesungguhnya. Sejalan dengan fitrahnya berdemokrasi akan kembali kepada rakyatnya juga. Masyarakat berpartisipasi aktif dalam proses kehidupan sosial dan politik negaranya begitupun di tiap daerah tempat mereka tinggal. Keadaan seperti itu akan mendorong demokrasi ke level lokal. Tarik ulur antara proses demokratisasi pusat dan lokal serta interaksinya dengan sistem demokrasi di luar Indonesia, menghasilkan dinamika. Selain itu, desentralisasi terjadi di seluruh pelosok kabupaten dan kota di Indonesia turut menghasilkan dinamika politik lokal. Menguatnya politik lokal dapat dilihat dari gegap gempita pelaksanaan pilkada yang di tahun 2008 serentak terjadi di hampir 300-an lebih Kabupaten dan Kota termasuk ke-33 Provinsi di Indonesia. Dapat dibayangkan berapa energi, waktu, dan uang bermain dalam kontes demokrasi lokal tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa jauh kemanfaatan proses demokratisasi lokal tersebut bagi pembelajaran politik bagi masyarakat lokal yang bukan hanya sebatas menyuarakan kepentingannya saja. Namun lebih jauh, terlibat dalam setiap pengambilan keputusan yang akan berdampak pada kehidupan mereka.[68]

 

C.          Profil Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah nama sebuah partai Islam di Indonesia. Sebelum mentransformasikan diri menjadi PKS, PK adalah nama partai yang dibentuk tahun 1998. Nama PK berubah menjadi PKS, karena tidak memenuhi electroral threshold. PKS ini didirikan di Jakarta pada hari Sabtu, tanggal 9 Jumadil Awwal yang bertepatan dengan tanggal 20 April 2002. Partai ini berasaskan Islam. PKS adalah partai dakwah Islam.Dikatakan partai dakwah karena pembentukan partai ini memang berangkat dari niat untuk melakukan tugas dakwah di bidang politik. Partai ini mengusung ciri yaitu sebagai partai yang bersih, peduli dan profesional. Kantor pusat partai ini berkedudukan di Jakarta. Sebagai partai yang didirikan di Indonesia, PKS memiliki visi menjadi partai pelopor dalam mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun misi partai ini adalah menjadikan Partai sebagai sarana perwujudan masyarakat madani yang adil, sejahtera, dan bermartabat yang diridhai Allah subhanahu wata’ala, dalam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[69]

Tujuan didirikannya PK Sejahtera, sebagaimana tertuang dalam AD/ART, adalah “Terwujudnya masyarakat madani yang adil dan sejahtera yang diridhoi Allah SWT dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”. PK Sejahtera menyadari pluralitas, etnik dan agama masyarakat Indonesia yang mengisi wilayah beribu pulau dan beratus suku yang membentang dari Sabang hingga Merauke, yang dilalui garis khatulistiwa di dalamnya.[70]

Partai Keadilan Sejahtera pada awalnya adalah Partai Keadilan (PK), yang didirikan pada tanggal 20 Juli 1998. PK lahir dari momentum euphoria reformasi setelah lengsernya Soeharto tahun 1998. Basis Partai ini adalah gerakan Tarbiyah model Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tokoh utamanya adalah Hasan Al-Banna. Gerakan Tarbiyah ini menurut Norma Permata, seperti dikutip oleh Muslihudin, adalah gerakan yang mengadopsi konsep Islamisasi secara gradual (gradual Islamisation), yaitu berawal dari individu ke dalam keluarga, ke dalam masyarakat, dan kemudian ke dalam politik. Seperti halnya Ikhwanul Muslimin, doktrin politik PKS berkembang dalam proses pengembangan sistem masyarakat Islam melalui tahapan-tahapan (gradual), sebagai berikut: pertama, ta’sisi (the formation stage), yaitu mengawali pembentukan gerakan dakwah. Kedua, tandzimi (the foundation stage), yaitu pengembangan organisasi melalui rekruitmen kader untuk mengembangkan jaringan organisasi, ketiga, sya’bi (the socialization stage), yaitu mengawali gerakan dakwah dengan memperkenalkan aktifitas dakwah kepada publik yang lebih luas dan melakukan rekruitmen anggota secara terbuka. Keempat, muassasi (the penetration stage), yaitu kegiatan partisipasi gerakan dakwah melalui proses pelembagaan politik seperti pemilu. Kelima, dauly (the government phase), yaitu di mana aktor dakwah menduduki posisi pemerintah.[71]

Dalam kancah perpolitikan, setidaknya ada tujuh peranan yang PKS dermakan untuk Indonesia. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam Platform Kebijakan Partai Keadilan Sejahtera. Sebagai berikut:

1.     Berkaitan dengan bentuk negara. Sebagai wujud dari rasa tanggung jawab kaum Muslimin terhadap rumah besarnya yang bernama Indonesia, dan panggilan dakwah yang menjadi rahmat bagi semesta alam, PK Sejahtera bahu-membahu bersama entitas politik lainnya untuk mengisi pembangunan menuju Indonesia yang maju, kuat, aman, adil, sejahtera dan bermartabat sesuai dengan cita-cita universal, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang adil dan makmur di bawah lindungan Allah.

2.     Berkaitan dengan dinamika politik nasional, PK Sejahtera mendorong agar Indonesia Baru ke depan berada pada kondisi politik yang sehat dan dinamis, dimana terjadi pematangan dari kondisi transisi menuju konsolidasi demokrasi yang mantap, yang ditandai dengan terbuka lebarnya ruang berekspresi masyarakat dalam koridor hukum dan tertib sosial.

3.     Berkaitan dengan model demokrasi. Eksperimentasi politik di masa transisi saat ini ditandai dengan terbuka lebarnya ruang ekspresi dan ledakan partisipasi politik dalam bentuk munculnya banyak partai politik, namun tetap dalam format sistem presidensial. Sejarah perpolitikan Tanah Air sejak era Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin di zaman Orde Lama, serta Demokrasi Presidensial di zaman Orde Baru, sampai hari ini di era Reformasi dengan praktek ”Demokrasi Parlemen Multi Partai” memperlihatkan pergerakan bandul sejarah dari sistem liberal.

4.     Berkaitan dengan sistem ketatanegaraan PK Sejahtera berkeyakinan, bahwa pemerintah mestilah efisien dan efektif dalam mengelola negara.Secara bertahap bersama tumbuhnya kekuatan negara, maka pemerintah mengambil posisi pada pengelolaan fungsi minimal negara, dan menyerahkan fungsi lainnya bagi partisipasi masyarakat.

5.     Berkaitan dengan tata hubungan pemerintahan secara vertikal serta otonomi daerah, maka PK Sejahtera berkeyakinan, bahwa hubungan ini dilaksanakan dengan menjalankan kewenangan pusat secara lebih efektif sekaligus dengan meningkatkan kualitas pelaksanaan kewenangan daerah melalui penguatan kelembagaan, pembinaan SDM, dan peningkatan kapasitas.

6.     Berkaitan dengan birokrasi, birokrasi yang bersih, peduli, dan profesional merupakan cermin akan “tubuh” bangsa ini sehari-hari yang merefleksikan ruh pengelolaan negara.

7.     Partai Keadilan Sejahtera berkeyakinan, bahwa strategi penegakan hukum harus diawali dengan membersihkan aparat penegaknya dari perilaku bermasalah dan koruptif, sesuai dengan pepatah, “hanya sapu bersih yang dapat membersihkan lantai kotor”. Sebab, penegakan hukum sangat bergantung pada aparat yang bersih, baik di kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan seluruh jajaran birokrasi yang menjalankan fungsi-fungsi penegakan hukum tersebut.[72]

 

Terkait dengan bahasan teologi PKS ini, PKS tidak berbeda dengan Ikhwanul Muslimin, yang memiliki lima slogan organisasi yaitu: Allah adalah tujuan kami, Al-Quran adalah konstitusi kami, Rasulullah adalah pimpinan kami, jihad adalah jalan kami, dan syahid adalah cita-cita kami.[73]

 

D.          Profil Partai Demokrat

Partai Demokrat didirikan atas inisiatif saudara Susilo Bambang Yudhoyono yang terilhami oleh kekalahan terhormat saudara Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilihan Calon wakil Presiden dalam Sidang MPR tahun 2001. Dari perolehan suara dalam pemilihan cawapres dan hasil pooling publik yang menunjukkan popularitas yang ada pada diri Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya disebut SBY), beberapa orang terpanggil nuraninya untuk memikirkan bagaimana sosok SBY bisa dibawa menjadi Pemimpin Bangsa danbukan direncanakan untuk menjadi Wakil Presiden RI tetapi menjadi Presiden RI untuk masa mendatang. Hasilnya adalah beberapa orang diantaranya saudara Vence Rumangkang menyatakan dukungannya untuk mengusung SBY ke kursi Presiden, dan bahwa agar cita-cita tersebut bisa terlaksana, jalan satu-satunyaadalah mendirikan partai politik. Perumusan konsep dasar dan platform partaisebagaimana yang diinginkan SBY dilakukan oleh Tim Krisna Bambu Apus danselanjutnya teknis administrasi dirampungkan oleh Tim yang dipimpin oleh saudara Vence Rumangkang. Juga terdapat diskusi-diskusi tentang perlunya berdiri sebuah partai untuk mempromosikan SBY menjadi Presiden, antara lain: Pada tanggal 12 Agustus 2001 pukul 17.00 diadakan rapat yang dipimpin langsung oleh SBY di apartemen Hilton. Rapat tersebut membentuk tim pelaksana yang mengadakan pertemuan secara marathon setiap hari. Tim itu terdiri dari : Vence Rumangkang, Drs. A. Yani Wahid (Alm), Achmad Kurnia, Adhiyaksa Dault, SH, Baharuddin Tonti, dan Shirato Syafei. Di lingkungan kantor Menkopolkam pun diadakan diskusi-diskusi untuk pendirian sebuah partai bagi kendaraan politik SBY dipimpin oleh Drs. A. Yani Wachid (Almarhum). Pada tanggal 19 Agustus 2001, SBY memimpin langsung pertemuan yang merupakan cikal bakal pendirian dari Partai Demokrat. Dalam pertemuan tersebut, saudara Vence Rumangkang menyatakan bahwa rencana pendirian partai akan tetap dilaksanakan dan hasilnya akan dilaporkan kepada SBY. Tanggal 20 Agustus 2001, saudara Vence Rumangkang yang dibantu oleh saudara Drs. Sutan Bhatoegana berupaya mengumpulkan orang-orang untuk merealisasikan pembentukan sebuah partai politik. Pada akhirya, terbentuklah Tim 9 yang beranggotakan 10 (sepuluh) orang yang bertugas untuk mematangkan konsep-konsep pendirian sebuah partai politik yakni: Vence Rumangkang, Dr. Ahmad Mubarok, MA., Drs. A. Yani Wachid (almarhum), Prof. Dr.Subur Budhisantoso, Prof. Dr. Irzan Tanjung, RMH. Heroe Syswanto Ns., Prof. Dr. RF. Saragjh, SH., MH., Prof. Dardji Darmodihardjo, Prof. Dr.Ir. Rizald Max Rompas dan Prof. Dr. T Rusli Ramli, MS. Disamping nama-nama tersebut, ada juga beberapa orang yang sekali atau dua kali ikut berdiskusi. Diskusi Finalisasi konsep partai dipimpin oleh Bapak SBY. Untuk menjadi sebuah Partai yang disahkan oleh Undang-Undang Kepartaian dibutuhkan minimal 50 (limapuluh) orang sebagai pendirinya, tetapi muncul pemikiran agar jangan hanya 50 orang saja, tetapi dilengkapi saja menjadi 99 (sembilan puluh sembilan) orang agar ada sambungan makna dengan SBY sebagai penggagas, yakni SBY lahir tanggal 9 bulan 9. Pada tanggal 9 September 2001, bertempat di Gedung Graha Pratama Lantai XI, Jakarta Selatan dihadapan Notaris Aswendi Kamuli, SH., 46 dari 99 orang menyatakan bersedia menjadi Pendiri Partai Demokrat dan hadir menandatangani Akte Pendirian Partai Demokrat. 53 (lima puluh tiga) orang selebihnya tidak hadir tetapi memberikan surat kuasa kepada saudara Vence Rumangkang. Kepengurusan pun disusun dan disepakati bahwa Kriteria Calon Ketua Umum adalah Putra Indonesia asli, kelahiran Jawa dan beragama Islam, sedangkan Calon Sekretaris Jenderal adalah dari luar pulau jawa dan beragama Kristen. Setelah diadakan penelitian, maka saudara Vence Rumangkang meminta saudara Prof. Dr. Subur Budhi Santoso sebagai Pejabat Ketua Umum dan saudara Prof. Dr. Irsan Tandjung sebagai Pejabat Sekretaris Jenderal sementara Bendahara Umum dijabat oleh saudara Vence Rumangkang. Pada malam hari nya pukul 20.30, saudara Vence Rumangkang melaporkan segala sesuatu mengenai pembentukan Partai kepada SBY di kediaman beliau yang saat itu sedang merayakan hari ulang tahun ke 52 selaku koordinator penggagas, pencetus dan Pendiri Partai Demokrat. Dalam laporannya, saudara Vence melaporkan bahwa Partai Demokrat akan didaftarkan kepada Departemen Kehakiman dan HAM pada besok hari yakni pada tanggal 10 September 2001. Pada tanggal 10 September 2001 jam 10.00 WIB Partai Demokrat didaftarkan ke Departemen Kehakiman dan HAM RI oleh saudara Vence Rumangkang, saudara Prof. Dr. Subur Budhi Santoso, saudara Prof. Dr. Irsan Tandjung, saudara Drs. Sutan Bhatogana MBA, saudara Prof. Dr. Rusli Ramli dan saudara Prof. Dr. RF. Saragih, SH, MH dan diterima oleh Ka SUBDIT Pendaftaran Departemen Kehakiman dan HAM. Kemudian pada tanggal 25 September 2001 terbitlah Surat Keputusan Menkehakiman & HAM Nomor M.MU.06.08.-138 tentang pendaftaran dan pengesahan Partai Demokrat. Dengan Surat Keputusan tersebut Partai Demokrat telah resmi menjadi salah satu partai politik di Indonesia dan pada tanggal 9 Oktober 2001 Departemen Kehakiman dan HAM RI mengeluarkan Lembaran Berita Negara Nomor : 81 Tahun 2001 Tentang Pengesahan. Partai Demokrat dan Lambang Partai Demokrat. Selanjutnya pada tanggal 17 Oktober 2002 di Jakarta Hilton Convention Center (JHCC), Partai Demokrat di deklarasikan dan dilanjutkan dengan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pertama pada tanggal18-19 Oktober 2002 di Hotel Indonesia yang dihadiri Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) seluruh Indonesia. Sejalan dengan deklarasi berdirinya Partai Demokrat, sebagai perangkat organisasi dibuatlah Anggaran Dasar dan Anggaran RumahTangga (AD/ART). Sebagai langkah awal maka pada tahun 2001 diterbitkan AD/ART yang pertama sebagai peraturan sementara organisasi. Pada tahun. 2003 diadakan koreksi dan revisi sekaligus didaftarkan ke Departemen Kehakiman dan HAM RI sebagai Persyaratan berdirinya Partai Demokrat. Sejak pendaftaran tersebut, AD/ART Partai Demokrat sudah bersifat tetap dan mengikat hingga ada perubahan oleh forum Kongres.[74]

1)    Visi Partai Demokrat

Partai Demokrat bersama masyarakat luas berperan mewujudkan keinginan luhur rakyat Indonesia agar mencapai pencerahan dalamkehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur, menjunjung tinggi semangat Nasionalisme, Humanisme dan Internasionalisme, atas dasar ketakwaan kepada Tuhan yang maha Esa dalam tatanan dunia baru yang damai, demokratis dan sejahtera.  Indonesia menjadi Negara Maju di Abad 21. Indonesia menjadi Negara Kuat di tahun 2045. Indonesia menjadi Emerging Economy di tahun 2030. Menjadi partai politik masa depan yang: Kuat, berintegritas dan berkapasitas. Relevan dan adaptif dengan perkembangan zaman, Konsisten pada nilai, idealisme dan platform perjuangan partai yang menjunjung tinggi perdamaian, keadilan, kesejahteraan, demokrasi dan kelestarian lingkungan, Menyatu dengan rakyat dan terus memperjuangkan kepentingan dan aspirasi rakyat dan Mempertahankan jati diri sebagai partai Nasionalis-Religius, Partai Terbuka, Partai Tengah, Partai Pluralis dan Partai Pro Rakyat Kecil.

 

2)    Misi Partai Demokrat

 

a.   Memberikan garis yang jelas agar partai berfungsi secara optimal dengan peranan yang signifikan didalam seluruh proses pembangunan Indonesia baru yang dijiwai oleh semangat reformasi serta pembaharuan dalam semua bidang kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan kedalam formasi semula sebagaimana telah diikrarkan oleh para pejuang, pendiripencetus Proklamasi kemerdekaan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan titik berat kepada upaya mewujudkan perdamaian, demokrasi (Kedaulatan rakyat) dan kesejahteraaa;

b.  Meneruskan perjuangan bangsa dengan semangat kebangsaan barudalam melanjutkan dan merevisi strategi pembangunan Nasional sebagai tumpuan sejarah bahwa kehadiran partai Demokrat adalah melanjutkan perjuangan generasi-generasi sebelumnya yang telah aktif sepanjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia, sejak melawan penjajah merebut Kemerdekaan, merumuskan Pancasila dan UUD 1945, mengisi kemerdekaan secara berkesinambungan hingga memasuki era reformasi;

c.   Memperjuangkan tegaknya persamaan hak dan kewajibanWarganegara tanpa membedakan ras, agama, suku dan golongandalam rangka menciptakan masyarakat sipil (civil society) yang kuat, otonomi daerah yang luas serta terwujudnya representasi kedaulatan rakyat pada struktur lebaga perwakilan dan permusyawaratan;

d.  Sebagai salah satu kekuatan politik nasional, Partai Demokrat berpartisipasi dan berkontribusi dalam kehidupan bernegara dan pembangunan nasional, menuju terwujudnya Indonesia yang makin maju, makin damai, makin adil, makin sejahtera dan makin demokratis; dan

e.   Sebagai partai politik, Partai Demokrat mengemban misi sebagai berikut: Memenangkan pemilihan umum pada tingkat nasional, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden, Memenangkan pemilihan umum tingkat daerah, baik pemilu legislatif maupun pemilu kepala daerah, Mempersiapkan kader-kader Demokrat untuk maju sebagai peserta pemilihan umum, baik pusat maupun daerah, baik legislatif maupun eksekutif, Menjalin komunikasi secara berkelanjutan dengan rakyat guna mengetahui persoalan, harapan dan aspirasi mereka, untuk selanjutnya diperjuangkan di berbagai medan pengabdian dan penugasan partai, dan Menjalankan kehidupan internal partai sesuai dengan undang-undang dan anggaran dasar serta anggaran rumah tangga, menuju masa depan Partai Demokrat yang makin kuat, makin modern, makin dicintai rakyat dan makin kontributif bagi pembangunan bangsa.[75]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

PENOLAKAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DAN PARTAI DEMOKRAT TERHADAP PEMILU SERENTAK 2024

 

A.          Latar Belakang Pilkada Serentak 2024

Proses panjang sistem ketatanegaraan dan politik Indonesia telah mengalami suatu pergeseran atau transformasi yang lebih demokratis ditandai dengan perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia melalui Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Amandmen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah meletakan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dengan meletakan kedaulatan berada ditangan rakyat.[76] Agenda politik nasional strategis dan memiliki aspek pemerintahan dan kemasyarakatan yang luas dengan segala konsekuensinya bagi masa depan sistem politik Indonesia adalah Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Bukan hanya mengejar target keserentakan pencalonan, dinamika kampanye, dan pelantikannya, tetapi juga kesejalanannya dinamika di daerah dengan agenda pembangunan yang dicanangkan Pusat agar dapat mencapai sasaran dengan hasil maksimal. Konstruksi politik beroperasinya sistem presidensial yang tidak terpencar masing-masing kegiatannya di tingkat lokal sebagai akibat latar belakang politik kepala daerahnya yang beragam dengan pemerintah koalisi di Pusat, adalah sintesa besar dari pembahasan substansi penting dari demokrasi pilkada sebagai agenda nasional.[77]

Pemilihan Umum (pemilu) merupakan konsekuensi logis dari negara demokrasi, dan demokrasi adalah cara aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum.[78] Pada Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. Demokratis berarti kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Demokrasi, negara hukum, dan negara kesejahteraan menjadi dasar filosofis dari penyelenggaraan pemilu.[79] Menurut Satjipto Rahardjo, Pemilu yang demokratis ialah lembaga yang mereproduksi kontrak sosial baru antara rakyat dengan pemimpin pemerintahan.[80] Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie, pemilu selain sebagai perwujudan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM), juga bertujuan untuk mengisi dan melaksanakan suksesi kepemimpinan secara tertib.[81] Dalam melaksanakan pemilihan umum yang demokratis, dapat dijalankan secara langsung maupun tidak langsung.[82]

Penyelenggaraan pilkada serentak yang dilaksanakan secara bertahap dimulai pada 2015, kemudian tahap kedua akan dilaksanakan pada 15 Februari 2017 untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada semester kedua 2016 dan yang berakhir pada 2017. Selanjutnya, secara bertahap gelombang ketiga direncanakan Juni 2018, berikutnya tahun 2020, 2022, dan 2023 hingga pilkada serentak nasional pada tahun 2027 yang meliputi seluruh wilayah Indonesia. Namun, draf Revisi Undang-undang Pemilu dan Pilkada terkait pelaksanaan pilkada serentak yang dinormalisasi dan diadakan pada 2022 atau 2023, menuai pro dan kontra di tengah masyarakat dan elite partai politik, yang mana draf tersebut berisi tentang aturan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Pilkada 2022 dan 2023 akan dilakukan serentak pada 2024 sudah masuk dalam program Legislasi Nasional (prolegnas).[83]

Di tahun 2020 ini Indonesia memang akan melaksanakan pesta demokrasi yaitu dengan pemilihan umum kepala daerah secara serentak. Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak artinya Pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administrative setempat yang memenuhi syarat, yang dilakukan secara bersamaan di daerahdaerah yang ada di Indonesia. Pemilihan kepala daerah dilakukan sekaligus bersama wakil kepala daerahnya, yang mana mencakup Gubernur dan Wakil Gubernur untuk provinsi, Bupati dan Wakil Bupati untuk kabupaten, dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota untuk kota. Ada 270 wilayah di Indonesia akan menggelar Pilkada 2020. Pilkada serentak 2020 ini merupakan Pilkada serentak gelombang keempat yang dilakukan untuk kepala daerah hasil pemilihan Desember 2015. Ada 270 daerah yang melaksanakan pilkada serentak 2020, rinciannya adalah 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Pilkada Serentak 2020 seharusnya diikuti 269 daerah, namun menjadi 270 karena Pilkada Kota Makassar diulang pelaksanaannya.[84]

Pilkada serentak merupakan upaya untuk menciptakan local accountability, political equity dan local responsiveness. Dengan begitu, demokratisasi di tingkat lokal terkait erat dengan tingkat partisipasi, dan relasi kuasa yang dibangun atas dasar pelaksanaan azas kedaulatan rakyat. Selain itu, hasil pilkada juga harus mampu menghantarkan masyarakat pada kondisi sosial, politik dan ekonomi yang lebih baik. Pilkada yang baik akan melahirkan pemerintahan yang baik. Pilkada yang diselenggarakan secara lebih profesional, demokratis, akan memberikan dampak nyata terhadap perubahan politik. Meskipun demikian, dalam praktiknya Pilkada melahirkan berbagai konflik yang di antaranya dipicu oleh masalah administrasi data pemilih, netralitas penyelenggara Pemilu, serta kurangnya kepatuhan peserta pilkada dan partai politik terhadap peraturan yang berlaku. Pilkada serentak sebagai agenda politik nasional menuju demokratisasi dapat berjalan secara substansi dan tidak sekedar ritual prosedur semata.[85]

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Laoly sepakat untuk mencabut revisi Undang-Undang (RUU) Pemilu dari Prolegnas Prioritas 2021. Dengan pencabutan RUU tersebut, maka Pilkada 2022 dan 2023 akan tetap dilakukan serentak pada 2024. Berbarengan dengan Pileg dan Pilpres. 7 Fraksi (PDIP, Partai Golkar, Nasdem, PKB, PAN, PPP) setuju UU Pemilu dikeluarkan dari prolegnas 2021. Satu Fraksi (PKS) sikapnya meminta RUU Pemilu masuk prolegnas prioritas, tapi memahami sikap mayoritas fraksi dan menghormati surat dari komisi II. Dan satu Fraksi (Demokrat) meminta RUU Pemilu masuk prolegnas prioritas 2021.

Anggota Baleg dari Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan menyampaikan pandangan fraksinya. Dia menyebut sejak reformasi Indonesia merubah sistem pemilu setiap lima tahun sekali. Hal tersebut membuat pola pemilihan umum sulit untuk dievaluasi. Ditambah situasi pandemi Covid-19 yang mengharuskan semua pihak fokus pada pemulihan ekonomi dan kesehatan.[86]

Komisi II DPR RI bersama pemerintah, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) telah menyepakati jadwal Pemilu 2024, baik itu pilpres, pileg maupun pilkada. Setidaknya ada empat poin penting dari kesepakatan sejumlah lembaga tersebut. Perihal jadwal Pemilu 2024 disepakati dalam Konsinyering[87] antara Komisi II DPR, pemerintah, KPU, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kemarin, Kamis (3/6/2021). Adalah Wakil Ketua Komisi II DPR Luqman Hakim yang mengungkapkan kesepakatan dalam konsinyering tersebut. Sejumlah hasil konsinyering, yakni tahapan pilpres dan pileg mulai digelar pada awal 2022. Sedangkan pencoblosan pilpres dan pileg diselenggarakan pada awal 2024.

Berikut empat poin penting yang disepakati dalam konsinyering antara komisi II DPR, Pemerintah, KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengenai pemilu tahun 2024:[88]

1.     Tahapan pilpres-pileg dimulai maret 2022, yakni tahapan akan dimulai 25 bulan sebelum pemungutan suara.

2.     Pencoblosan pilpres-pileg digelar 28 Februari 2024.

3.     Pencalonan di Pilkada berdasarkan hasil pileg.

4.     Pencoblosan pilkada 2024 digelar 27 November.

B.          Muatan Aturan Umum Pilkada Serentak 2024

Menurut Ketua KPU Ilham Saputra, usulan mengenai pilkada serentak 2024 didasari sejumlah hal mendasar, terutama UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. KPU menjelaskan mengenai wacana revisi UU nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan bahwa Pemilu akan diselenggrakan sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 serentak pada tahun 2024. Selanjutnya, KPU meneaskan bahwa sebagai lembaga penyelenggara pemilu, mereka taat dan patuh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini adalah Pasal 167 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 dan pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 tahun 2016. Pada pasal tersebut pada prinsipnya mengatur bahwa pemilu dan pemeilihan serentak nasional akan diselenggarakan pada tahun 2024.[89]

          Pilkada serentak nasional tahun 2024 yang diamanatkan dalam pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016 perubahan kedua UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang pilkada yang akan diikuti 33 Provinsi, 415 Kabupaten, dan 93 Kota sehingga berjumlah 541 daerah otonom atau daerah secara serentak akan melaksanakan pilkada di tahun 2024.[90] KPU menambahkan bahwa kewenangan dalam hal pembentukan dan perubahan Undang-Undang (UU) ada pada pembentuk UU, dalam hal ini adalah DPR bersama Pemerintah. Sementara itu, KPU selaku penyelenggara pemilu fokus pada tugas, wewenang, dan kewajibannya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku. Sesuai aturan, KPU juga hanya dapat memberikan masukan dan pengalaman menjalankan Pemilu dan Pemilihan kepada Kementerian Dalam Negeri selaku perwakilan Pemerintah dan DPR selaku perwakilan legislative. Terakhir, KPU menjelaskan bahwa dalam prosesnya, semua dilaksanakan dengan berkoordinasi dalam bentuk Tim Kerja yang terdiri dari DPR, Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP. Kesepakatan Tim Kerja Bersama menetapkan bahwa Pemilu dan Pemilihan tetap diselenggarakan pada tahun 2024 sebagaimana UU Nomor 7 Tahun 2017 dan UU 10 Tahun 2016.[91]

 

C.          Penolakan Partai Keadilan Sejahtera Dan Partai Demokrat Terhadap Pemilu Serentak 2024

Sesuai dengan UU Pilkada, pemilihan kepala daerah akan digelar serentak dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) tahun 2024. Namun, beberapa partai mengusulkan perubahan ini lewat revisi UU Pemilu. Dalam draf revisi UU Pemilu, Pilkada akan tetap digelar pada 2022 dan 2023, mengikuti siklus lima tahunan setelah Pilkada 2017 dan 2018. Kemudian, Pilkada serentak baru akan digelar pada 2027.

Namun, banyak elite politik saling bersilang pendapat mengenai beberapa poin yang terkandung dalam subtansi draf RUU Pemilu, yang mana salah satunya adalah pelaksanaan pilkada itu dinormalisasikan dan diadakan pada 2022 atau 2023. Aturan tersebut tidak ada dalam UU Pemilu dan Pilkada sebelumnya. Karena dalam UU No.10 Tahun 2016 pilkada tahun 2022 dan 2023 akan dilakukan serentak pada tahun 2024. Dan beberapa fraksi yang menolak usulan bahwa pilkada dilaksanakan pada tahun 2022 dan 2023. Mereka sepakat agar pilkada tetap digelar serentak pada tahun 2024.

Ada beberapa fraksi yang menolak pelaksanaan pilkada serentak 2024, yakni Partai Kesejahteraan Sosial dan Partai Demokrat yang menginginkan RUU Pemilu tetap dilaksanakan, yang kemudian pilkada serentak akan digelar pada tahun 2027. Menurut Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), penolakan dan dukungan terhadap revisi Undang-undang Pemilu itu dilatarbelakangi hitung-hitungan partai politik dalam menerapkan strategi Pemilu 2024. Dan ini merupakan suatu hal yang wajar terjadi karena parpol akan berhitung agar kepentingan politiknya bisa diakomodasi.[92]

Fraksi Partai Demokrat mendorong agar pembahasan revisi UU Pemilu diselesaikan secara komprehensif dan holistik. Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat, Santoso menilai Pilkada serentak 2024 hanya akan membuat beban teknis di lapangan sangat tinggi yang berpotensi memakan banyak korban jiwa seperti pemilu 2019 lalu.

Pandemi Covid-19 menjadi alasan pelaksaan penundaan pilkada 2022. Dengan tetap diselenggarakannya Pilkada 2022, memang tidak dapat dipungkiri sangat berpotensi memunculkan kerumunan-kerumunan massa yang mana potensi penularan sangat tinggi. Alasan kedua adalah anggaran kita yang di alokasikan dulu unuk mendanai bantuan korban virus covid dan untuk pencegahan Covid-19 dan dana-dana yang di belanjakan untuk membeli vaksin dan sebagainya serta bantuan-bantuan sosial sehingga pilkada di undur terlebih dahulu karena dananya di pakai untuk kepentingan masyarakat.[93]

Ada dua alasan untuk tidak melaksanakan Pilkada Serentak 2024. Pertama, secara filosofis pelaksanaan pilkada 2024 itu menghilangkan kesempatan rakyat untuk berfikir secara proporsional, kerena waktunya barengan dengan pillpres, sehingga boleh jadi adanya bias ketika memilih pemimpin. Kedua, secara teknis pelaksanaan berpeluang adanya komplikasi dilapangan seperti contoh pemilu kemarin, pileg dan pilpres disatukan, menyebabkan korban.[94]

Dari penjelasan pendapat kedua Fraksi Partai tersebut, menurut penulis pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 setuju untuk tidak dilaksanakan karena ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Mengingat kejadian pada Pemilu Tahun 2019, banyaknya beban kerja terhadap para petugas KPPS hingga menyebabkan kematian kemudian situasi keadaan sekarang masih dalam pandemi Virus Covid-19 yang belum jelas kapan berakhirnya dan pemerintah juga belum mengumumkan kehidupan yang akan berdampingan dengan Virus Covid-19 atau disebut juga dengan endemi.

Ide Pilkada Serentak ini adalah ide efisiensi namun esensi dari demokrasi adalah bagaimana bisa menangkap secara utuh aspirasi masyarakat. Menurut beliau, pilkada yang diselenggarakan serentak bersama Pileg dan Piplres mempunyai beberapa kekurangan. Pertama, tidak memberikan porsi kepada setiap jenis pemilu yang ada, contoh; ketika pilpres disatukan bersama pileg maka pileg akan terabaikan, masyarakat lebih fokus pada pilpresnya. Ketika pilkada disatukan pileg dan pilpres bisa jadi efek pilpres akan sangat mempengaruhi kualitas dari pilkada. Lalu teorinya ada coat-tail effect,[95] jadi peluang capres menang secara lebih banyak meraih banyak dukungan di pilkada 2024.

Kedua, harusnya setiap pemilu diberikan haknya, pilpres terlebih dahulu karena kita menganut sistem presidensial, kemudian pileg, kemudian pilkada ditahun yang berbeda. Alasan beliau diadakan setiap pemilu ditahun berbeda karena masing masing memiliki hak, seperti ketika pilpres membicarakan tantangan dan peluang bangsa secara nasional dari sudut eksekutif, ketika pileg bicara tentang kualitas legislator, ketika pilkada bicara tentang masalah lokal baik provinsi maupun kabupaten/kota. Terakhir, pilkada serentak membuat interaksi partai politik atau calon pemimpin dengan rakyatnya itu terjadi sekali saja dalam lima tahun saat pilkada, padahal dalam pileg dan pilpres di tahun yang berbeda.[96]

Pelaksanaan pilkada seretak 2024 itu pilkada yang nuasanya lebih kepada nuansa politik nasional. Di 2022 ketika masa berakhirnya kepimpinan daerah, kekosongan tersebut dapat di isi oleh Pelaksana Tugas (PLT) yang diturunkan dari pusat sehingga penguatan jaringan kekuatan kelompok tertentu bisa lebih dominan. Pengalaman itu di ambil ketika pilkada 2020, banyak sekali kader berhasil menjadi pepimpin daerah yang di usung oleh partai Demokrat. Di tahun 2022, tingkat keberhasilan bisa mencapai 90% dan kegagalan hanya 10% yang menjadi pimpinan daerah, karena Partai Demokrat mempunyai kader yang berhasil disaat elektabilitas dan favoritas partai demokrat sedang bagus-bagusnya.

Dan beliau menambahkan, Pilkada itu bukan hanya figur orang yang maju dia mengeluarkan uang, Pilkada Indonesia harus belajar dari pilkada yang ada di Eropa dan Amerika, yang mana jika ingin mencalonkan menjadi presiden tidak perlu menyiapkan uang sampai triliyunan, karena negara memfasilitasi dan titik-titik kampanye pun sudah di tentukan oleh negara dan orangnya itu-itu saja masyarakatnya di undang 1.000 orang, calon presidennya dan calon wakil presidennya berkampanye di hadapan masyarakat tentang visi misi mereka. Begitu juga calon yang lain, pun berkampanye di hadapan masyarakat yang di undang, dan mana yang di sukai oleh masyarakat itu yang di pilih. Maka ketika Donald Trump berkampanye melawan Joe Biden, Donald Trump berkampaye tidak percaya terhadap Covid-19 sementara Joe Biden percaya covid, dan Donald Trump tidak punya visi bagaimana cara mematikan Covid-19 di Amerika supaya tidak berkembang, sementara Joe Biden punya program bagaimana cara memartikan Covid-19 di Amerika supaya tidak berkembang.[97]

 

D.          Efektivitas Dan Efisiensi Pilkada Serentak 2024 Menurut Pendapat Fraksi Partai Politik Indonesia

Menurut mantan ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Bambang Eka Cahya Widodo juga tidak setuju apabila pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan. Menurutnya, hal itu akan berdampak buruk bagi indikator pemilu. Dan peniadaan pilkada 2022 dan 2023 adalah sesuatu yang tidak baik. Karena pemilu yang teratur, yang sesuai jadwal adalah salah satu yang menjadi indikator pemilu yang bagus, integritas pemilu yang baik, dan dilaksanakan tepat waktu.[98]

Dalam pendapat Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, akan menjadi pekerjaan yang besar bagi KPU, dan beliau tidak yakin akan berjalan secara ideal, namun KPU dan Bawaslu harus  menyiapkan perangkatnya agar pilkada 2024 dapat berjalan dengan optimal dengan catatan bukan hanya sekedar pilkada, lebih dari itu pemimpinnya adalah mereka yang mempunyai kapasitas, integritas, bukan hanya isi tas, dan ini yang menjadi tantangan bagaimana mewujudkan pilkada serentak 2024 yang berkualitas.[99]

Kemudian menurut Fraksi Partai Demokrat, berjalan dengan efektif dan efisiennya atau tidak tergantung keadaan kita mau diadakan kapanpun Pilkada itu tergantung keadaan kita saat ini, pada tahun 2024 Pilkada yang kita lakukan sudah menjadi keputusan artinya suka atau tidak suka kita harus terima keadaan ini, adapun itu efektif atau tidak kita lihat keadaan Pilpres di tahun 2024 karena Pilpres dan Pileg 2024 menentukan situasi dan kondisi Pilkada di tahun 2024 kalau pada saat Pilpres dan Pileg situasinya kurang aman bisa saja Pilkada itu di adakan bukan tahun 2024. Jadi kurng efektif jika diadakan pada tahun 2024 misal situasi kondisi masih dalam keadaan covid-19. Dan saya tidak yakin Pilkada serentak diadakan 2024 bisa saja diundur juga. Dalam politik itu tidak mungkin ada yang terjadi, semuanya juga akan bisa pasti terjadi.[100]

Dalam pandangan penulis, pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 terdapat beberapa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya ialah; Yang pertama, hak konstitusional peserta pilkada dan masyarakat tetap terpenuhi. Implementasi dari kedaulatan rakyat salah satunya ialah dengan diselenggarakannya pemilihan umum. Pilkada serentak ini merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat principal, maka dari itu dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi warga negara sudah seharusnya pemerintah menjamin terlaksananya Pilkada Serentak Tahun 2024 apalagi sudah seharusnya pula. Karena, momentum politik seperti pilkada merupakan suatu pengimplementasian hak konstitusional seluruh warga negara. Baik mereka sebagai calon peserta pemilu maupun siapa saja yang hendak menyalurkan hak politiknya untuk memilih dan dipilih. Kedua, Kewenangan yang dimiliki oleh Pejabat sementara atau pelaksana tugas (Plt) sangat terbatas. Hal tersebut karena tidak memungkinkan mereka dapat mengambil kebijakan yang strategis. Artinya bagi para pejabat sementara tidak dapat mempunyai wewenang untuk membuat aturan yang mana sangat penting sekali diberlakukannya aturan yang dapat menyelesaikan persoalan di masa pandemi Covid-19 ini dan juga dianggap kurang efektif karena kewenangan yang dimiliki oleh Pejabat sementara sangat terbatas, sehingga akan memperlambat kinerjanya. Ketiga, mencegahnya meningkatnya anggaran. Artinya jika Pilkada Serentak 2024 dilaksanakan bersama Pilpres dan Pileg, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Pasangan Calon tentunya akan mengeluarkan anggaran yang meningkat dibanding pada sebelumnya sehingga bagi pemerintah akan sangat berpengaruh terhadap hutang negara yang sudah bengkak.

Kemudian dampak negatifnya ialah; Pertama, jika Pilkada Serentak 2024 akan terlaksana masih dalam keadaan Covid-19 maka akan menimbulkan resiko besar terhadap penularan Virus Covid-19. Banyak pasangan calon di berbagai daerah memancing kerumunan dengan melakukan konvoi yang kebanyakan tidak memperhatikan protokol Kesehatan Covid-19. Terlebih lagi, kini sejumlah bakal calon juga terinfeksi virus Corona. Hal tersebut tentunya sangat membuat semakin resah apalagi nanti pada saat menjelang pilkada dilaksanakan, yang ditakutkan terhadap lonjakan kasus Covid-19 bisa menciptakan krisis yang semakin meresahkan semua masyarakat. Hal tersebut tentu sangat berpotensi menciptakan klaster besar apalagi di daerah-daerah yang sebelumnya masih berkategori zona hijau bisa jadi dengan diselenggarakannya pilkada bisa berpotensi menjadikan daerah tersebut zona merah jika semua orang tidak memiliki kesadaran untuk tetap melaksanakan protokol Kesehatan Covid-19. Dan agar tidak terjadi klaster baru diharapkan calon pemilih dalam Pilkada sudah melakukan vaksinasi dan menunjukan sertifikat vaksin ketika ingin masuk ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kedua, menyebabkan Golput (Golongan Putih) meningkat. Karena dengan Golput (Golongan Putih) bisa jadi pilihan masyarakat yang paling rasional mengingat kesehatan dan keselamatan publik tengah terancam di tengah situasi wabah Covid-19 yang sangat membuat resah.

BAB V

KESIMPULAN

 

A.      Kesimpulan

Setelah memaparkan mengenai pendapat dari fraksi PKS dan Demokrat tentang pelaksanaan pilkada serentak 2024, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut:

1.     Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) sepakat untuk mencabut Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu dari Prolegnas Prioritas 2021. Dengan pencabutan RUU tersebut, maka Pilkada 2022 dan 2023 akan tetap dilakukan serentak pada 2024. Berbarengan dengan Pileg dan Pilpres. 7 Fraksi yakni PDIP, Partai Golkar, Nasdem, PKB, PAN, PPP setuju UU Pemilu dikeluarkan dari prolegnas 2021. Namun, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera meminta Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu masuk prolegnas prioritas, tapi memahami sikap mayoritas fraksi dan menghormati surat dari komisi II. Ada dua alasan mengapa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak adanya pilkada serentak 2024, yang pertama secara filosofis pelaksanaan Pilkada 2024 itu menghilangkan kesempatan rakyat untuk berfikir secara proporsional, kerena waktunya barengan dengan pillpres, sehingga boleh jadi adanya bias ketika memilih pemimpin. Kedua, secara teknis pelaksanaan berpeluang adanya komplikasi dilapangan seperti contoh pemilu kemarin, pileg dan pilpres disatukan, menyebabkan korban.

Dan satu Fraksi yang menolak adanya penyelenggaraan pilkada serentak 2024, yakni Partai Demokrat. Menurut fraksi ini, pelaksaan pilkada serentak 2024 adalah suatu hal yang tidak masuk akal karena nuasanya lebih kepada nuasa politik nasional. Ketika masa berakhirnya pimpinan daerah di tahun 2022 dapat di isi oleh PLT yang diturunkan dari pusat sehingga penguatan daripada jaringan kekuatan kelompok tertentu bisa lebih dominan.

 

2.     Penyelenggaraan pilkada serentak ini akan menjadi pekerjaan yang besar bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun demikian, KPU dan Bawaslu harus menyiapkan seluruh perangkatnya agar Pilkada Serentak 2024 dapat berjalan dengan optimal. Selain pengoptimalan kinerja pelaksana pilkada, seluruh masyarakat pun harus tetap menjunjung integritas dalam penyelenggaraan Pilkada, harus ada komitmen baik untuk peserta Pilkada maupun pelaksana, kedisiplinan masyarakat.

 

B.       Saran

Direkomendasikan bagi Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan Pemilu yang simpel, sistem yang efektif, dan proses yang matang rencananya agar tidak ada lagi korban. Karena tidak boleh ada lagi pesta demokrasi itu menjadi petaka demokrasi dan kejadian tidak yang dulu tidak boleh terulang kembali di masa depan. Selain itu, Pilkada Serentak 2024 harus ditolak karena mempersempit kepala daerah yang ingin jadi Calon Presiden (Capres) 2024 dan akan jadi incumbent (Petahana) yang bisa menjadi modal politik untuk maju Calon Presiden (Capres) 2024.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

BUKU :

 

Amal, Ichlasul. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana     Yogya, 1996.

 

Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi 1, Cetakan 6,          Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

 

Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Cet ke-4, Jakarta: PT Gramedia        Pustaka Utama, 2010.

 

Cipto, Handoyo Hestu. Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi       Manusia, Cet. Ke-1, Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya, 2003.

 

Djazuli, Ahmad. Fiqh Siyasah‚ Implimentasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-   rambu           Syari’ah, Cet Ke-5, Jakarta: Kencana, 2013.

 

Duverger, Maurice. Partai Politik dan Kelompok-Kelompok Penekan, Judul Asli:   Party           Politics and Pressure Groups A Cornparatfue Introduction,         Penerjemah: Laila Hasyim, Yogyakarta: Bina Aksara, 1984.

Firmanzah. Mengelola Partai Politik, Jakarta: Yayasan pustaka obor Indonesia,     2011.

 

GJ, Wollhoff. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Djakarta: Timun Mas NV, 1955

 

Hanitijo Soemitro, Ronny. Metode Penelitian Hukum Jurimetri, Jakarta: Ghia Indonesia, 1998.

 

Hidayat, Arief. Bernegara Itu Tidak Mudah (Dalam Perspektif Politik dan Hukum),           Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2010.

 

 

Johny, Ibrahim. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Surabaya:      Bayumedia Publishing, 2010.

 

Kaho, Joseph Riwu. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,         Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.

 

Kamus Besar Bahasa Indonesia

 

Karim, Muhammad Rusli, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret    Pasang Surut, Jakarta: Rajawali Press, 1983.

 

Labolo, Muhammad, Teguh Ilham. Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), Cet Ke-1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015.

 

Marijan, Kalung. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde      Baru, Jakarta:      Prenada Media Group, 2010.

 

Muchamad,  Ali Safa’at. Pembubaran Partai Politik Pengaturan Dan Praktik           Pembubaran        Partai Politik Dalam Pergulatan Republik, Jakarta: Rajawali           pers, 2011.

 

Prayudi, Ahmad  Budiman & Aryojati Ardipandanto, Dinamika PolitikPilkada       Serentak, Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Sekretariat       Jenderal DPR Republik Indonesia, 2017.

 

Suharizal. Pemilukada : Regulasi, dinamika dan konsep mendatang, Jakarta;          Rajawali Pers, 2012.

 

Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,   2006.

 

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka           Sinar Harapan, 2001.

 

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,      Jakarta, 1994.

 

Surbakti, Ramlan. Memahami IImu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana   Indonesia, 2007.

 

Thaib, Dahlan. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945,     Yogyakarta: Liberty, 1989.

 

Yakin, Ayang Utriza. Islam Moderat dan Isu-Isu Kontemporer Demokrasi,    Pluralisme, Kebebasan Beragama, non Muslim, Poligami, dan Jihad,    Jakarta: Kencana, 2016.

 

 

 

JURNAL :

 

Arifulloh, Achmad. Pelaksanaan Pilkada Serentak Yang Demokratis, Damai Dan           Bermartabat,”      Jurnal  Pembaharuan  Hukum,  Volume II,  No. 2, (Mei-     Agustus, 2015).

 

Budhiati, Ida. “Quo Vadis Demokrasi Prosedural dan Pemilu: Sebuah Refleksi       Teoritis” Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol. 42, No. 2, (2013).

 

Chaniago, Pangi Syarwi. “Evaluasi Pilkada Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun    2015”,           Indonesian Political Science Review, Vol.1 No.2, (2016).

 

Hutapea, Bungasan. Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia,        (Pusat           Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan      Pembinaan Hukum Nasional; Jurnal Rechtsvinding Volume 4 Nomor 1   (April,2015).

 

Muslihudin. Model Pesantren Kader; Relasi Ideologis PP Husnul Khotimah dengan           PKS, serta Artikulasinya dalam  Kegiatan  Kepesantrenan, (IAIN Syekh         Nurjati Cirebon: Jurnal Holistik Vol. 14 No. 01, (2013).

 

Nugraha, Al-Fajar. “Pilkada Langsung Dan Pilkada Tidak Langsung Dalam   Perspektif Fikih Siyasah, Mazahib”, Vol.XV, No. 2, (Desember, 2016).

 

Nugraha, Harry S. “Gagasan Amandemen Ulang Undang-Undang Dasar Negara      Republik Indonesia Tahun 1945”, Jurnal Lex Renaissance, Vol. 3, No. 1,   (2018).

Nugroho, Heru.“Demokrasi Dan Demokratisasi: sebuah kerangka konseptual untuk           memahami dinamika sosial-politik di Indonesia”, Jurnal Pemikiran      Sosiologi, Vol.1 No.1, (2012).

 

Sudirman. Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial), (FISIP           Universitas Tadulako; Jurnal Academica Vol. 04 No. 01, (Februari, 2012).

 

Sutrisno, Cucu. Partisipasi Warga Negara dalam Pilkada, Jurnal Pancasila dan           Kewarganegaraan Vol. 2, No. 2, 2017).

 

W. Melfa, “Penataan Hukum Menuju Hukum Ideal Dalam Pengaturan Pemilukada”,            Jurnal         Masalah-Masalah Hukum, Vol. 42, (No. 2), 2013.

Yuniartin, Titin. Identitas Politik Partai Keadilan Sejahtera, (Institut Agama Islam           Darussalam Ciamis: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 12 No. 2, (Juli –           Desember, 2018).

 

 

SKRIPSI & TESIS :

 

Faridana, Hendri Putra. “Persepsi Mahasiswa Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam UIN           Antasari Terhadap Pelaksanaan Pilkada Serentak”, (Skripsi Universitas Islam Negeri Antasari, Banjarmasin, 2017).

 

Firdaus Ayu Palestina, “Analisis Penataan Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan Umum Ditinjau Dari Fiqh Siyasah Dusturiyah Dan Sadd Al-Dzari’ah”, (Tesis Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2019)

 

Suheti, “Persepsi Masyarakat Terhadap Pelaksaan Pilkada Serentak  Tahun 2015 Ditinjau Dari UU No.32 Tahun 2004 (Studi Pemilhan Walikota Cilegon  di Kel. Karang Asem)”, (Skripsi Institut Agama Islam Negeri (Iain) Sultan Maulana Hasanuddin, Banten).

 

 

WEBSITE

 

https://news.detik.com/berita/d-5494081/mendagri-di-2016-tak-ada-fraksi-tolak-pilkada digelarserentak-2024.

 

https://nasional.kompas.com/read/2021/02/08/09194631/kpu-sebut-pemilu borongan-2024-munculkan-beban-anggaran-hingga-kpps?page=all#page2.

 

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210202034109-32-601100/kpu-tetap-berpatok-uu-10-2016-pilkada-digelar-serentak-2024.

 

https://kpud-medankota.go.id/sejarah-pemilu/ 

 

https://www.kpu.go.id/page/read/4/visi-dan-misi

 

http://www.demokrat.or.id/sejarah/

 

https://www.demokrat.or.id/visi-misi/

 

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210128080822-32-599342/pro-kontra-ruu-pemilu-dan-polemik-pilkada-serentak-2024.

 

https://news.detik.com/berita/d-4596501/ini-270-daerah-yang-gelar-pilkada-serentak-2020.

 

https://www.merdeka.com/politik/pro-kontra-ruu-pemilu-dicabut-dari-prolegnas-2021.html.

 

https://news.detik.com/berita/d-5594089/4-hal-tentang-jadwal-resmi-pemilu-2024/2,

 

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210817125916-32-681446/kpu-tegaskan-pemilu-dan-pilkada-serentak-digelar-2024.

 

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210817125916-32-681446/kpu-tegaskan-pemilu-dan-pilkada-serentak-digelar-2024.

 

https://nasional.kompas.com/read/2021/02/13/16074531/pro-kontra-ruu-pemilu-dinilai-terkait-strategi-parpol-untuk-2024.

 

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210201061148-32-600651/pakar-ragukan-kesiapan-penyelenggara-pilkada-serentak-2024.

 

 

 

UNDANG-UNDANG:

 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah

 

Undang-Undang No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik

 

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri

 

 

 

ANGGARAN DASAR PARTAI:

 

Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Jakarta: 20 April 2002.

 

 

LAMPIRAN-LAMPIRAN:

 

Transkip Wawancara Skripsi

Pendapat Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

Dalam Pilkada Serentak 2024

 

Informan I

 

Nama                   : Dr. H. Mardani Ali Sera, M.Eng.

Jabatan                 : Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Hari/Tanggal       : Selasa, 07 September 2021

Waktu                  : Pukul 16.00 WIB - Selesai

Tempat       : Via Zoom Meeting

 

1)    Menurut bapak sebagai anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), bagaimana pendapat mengenai pilkada serentak 2024?

Jawab: Ide Pilkada Serentak adalah ide efisiensi namun esensi dari demokrasi adalah bagaimana bisa menangkap secara utuh aspirasi masyarakat. Menurut beliau, pilkada yg diselenggarakan serentak bersama Pileg dan Piplres mempunyai beberapa kekurangan. Yang pertama, tidak memberikan porsi kepada setiap jenis pemilu yang ada, contoh; ketika pilpres disatukan bersama pileg maka pileg akan terabaikan, masyarakat lebih fokus pada pilpresnya. Ketika pilkada disatukan pileg dan pilpres bisa jadi efek pilpres akan sangat mempengaruhi kualitas dari pilkada. Lalu teorinya ada coat-tail effect, jadi peluang capres menang secara lebih banyak meraih banyak dukungan di pilkada 2024. Kedua, harusnya setiap pemilu diberikan haknya, pilpres terlebih dahulu karena kita menganut sistem presidensial, kemudian pileg, kemudian pilkada ditahun yang berbeda. Alasan beliau diadakan setiap pemilu ditahun berbeda karena masing masing memiliki hak, seperti ketika pilpres membicarakan tantangan dan peluang bangsa secara nasional dari sudut eksekutif, ketika pileg bicara tentang kualitas legislator, ketika pilkada bicara tentang masalah lokal baik provinsi maupun kabupaten/kota. Terakhir, pilkada serentak membuat interaksi partai politik atau calon pemimpin dengan rakyatnya itu terjadi sekali saja dalam lima tahun saat pilkada, padahal dalam pileg dan pilpres di tahun yang berbeda.

 

 

2)    Apakah menurut bapak Pilkada serentak 2024 akan berjalan dengan efektif dan Efisiensi?

Jawab: Akan menjadi pekerjaan yang besar bagi KPU, dan beliau tidak yakin akan berjalan secara ideal, namun KPU dan Bawaslu harus  menyiapkan perangkatnya agar pilkada 2024 dapat berjalan dengan optimal dengan catatan bukan hanya sekedar pilkada, lebih dari itu pemimpinnya adalah meraka yang mempunyai kapasitas, integritas, bukan hanya isi tas, dan ini yang menjadi tantanganbagaimana mewujudkan pilkada serentak 2024 yang berkualitas.

 

3)    Apa Harapan Bapak untuk pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 agar tidak lagi terjadi kecelakaan seperti pada Pemilu Pilpres dan Pileg 2019?

Jawab: Banyaknya penyelenggara pemilu, dan tugas KPU di tingkat desa. Kedua, menjadi tantangan bagi KPU untuk menyiapkan seluruh perangkatnya menjadi lebih baik. Seperti halnya kemarin, ternyata beerapa perangkat yang usianya rentan dan mempunyai penyakit sehingga berpengaruh kepada beban kerja dan beban stres. Kedepannya, pemilu yang simpel, sistem yang simpel, proses yang simpel, diperlukan agar tidak ada lagi korban karena tidak bleh pesta demokrasi itu emnjadi petaka demokrasi.

 

4)    Apa alasan bapak jika menurut Fraksi partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak setuju akan pelaksaan Pilkada Serentak 2024?

Jawab: Ada dua alasan, yang pertama secara filosofis pelaksanaan pilkada 2024 itu mnghilangkan kesempatan rakyat untuk berfikir secara proporsional, kerena waktunya barengan dengan pillpres, sehingga boleh jadi adanya bias ketika memilih pemimpin. Kedua, secara teknis pelaksanaan berpeluang adanya komplikasi dilapangan seperti contoh pemilu kemarin, pileg dan pilpres disatukan, menyebabkan korban

 

 

Transkip Wawancara Skripsi

Pendapat Fraksi Partai Demokrat

Dalam Pilkada Serentak 2024

 

Informan II

 

Nama                   : H. Zulfikar Hamonangan, S.H

Jabatan                 : Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat

Hari/Tanggal       : Rabu, 28 Juli 2021

Waktu                  : Pukul 14.00 WIB - Selesai

Tempat       : Rumah Kediaman Pak H. Zulfikar

1)    Menurut bapak sebagai anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, bagaimana pendapat mengenai pilkada serentak 2024?

Jawab: menurut saya itu belum masuk akal karena nuasanya lebih kepada nuasa politik nasional bagaimana supaya 2022 ketika masa berakhirnya pimpinan daerah dapat di isi oleh PLT yang diturunkan dari pusat sehingga penguatan daripada jaringan kekuatan kelompok tertentu bisa lebih dominan. Pengalaman itu di ambil ketika pilkada 2020 banyak sekali pimpinan daerah yang berhasil menang dari partai Demokrat banyak kader-kader partai Demokrat yang berhasil menjadi pimpinan daerah yang di usung oleh partai Demokrat, kegagalan kita hanya 10% oleh dari semua calon itu 90% berhasil menjadi pimpinan daerah kalo ini tercipta di tahun 2022 dan kita punya kader berhasil disaat elektabilitas dan favoritas partai demokrat lagi bagus-bagusnya saat ini itu menjadi sesuatu ancaman bagi kepentingan nasional untuk pemimpin saat ini walaupun secara politik beliau sudah tidak mungkin lagi bisa maju di 2024 tapi secara kepentingan elit-elit tertentu memungkinkan hal itu terjadi analisa itu pasti sudah melakui kajian di tahun 2020 , 2020 kita mengusung banyak pimpinan daerah dari partai demokrat berhasil menjadi gubernur, wakil gubernur, walikota, bupati dari partai demokrat pertanyaannya kalau 2017 Anies berlawanan dengan AHY lalu 2024 baru diadakan pilkada, 2022 anis tidak lagi berlawanan dengan AHY karena AHY tidak ada lagi ada target untuk maju di Pilgub bisa saja Anis di rekomendasi oleh partai demokrat, karena demokrat di DKI punya 10 kursi sarat kereta politik di DKI itu maju 2022 itu sebetulnya hanya membutuhkan 22 kursi di DKI jadi kalau sisanya hanya 12 kursi (separo) itu mungkin bisa diambil oleh wakilnya jadi ini ancaman besar karena Anis ini biar bagaimana saat ini tidak punya catatan negatif dan masayarakat senang dengan gaya kepempinan anis yang di DKI yang tidak terlalu otoriter dan dia bisa memimpin dengan gaya seorang guru atau dosen dan dia bisa menenangkan situasi DKI yang betul-betul menjadi barometernya Indonesia, di era Covid-19 seperti sekarang ini kalo Anies bukan gubernurnya bisa rusuh DKI saat ini, berapa banyak yang meninggal di DKI ini karena Covid dan Anis itu orang yang engga pernah bisa diem. Pilkada itu bukan hanya figur orang yang maju dia mengeluarkan uang, di Amerika orang kalau mau menjadi presiden tidak perlu mencari uang sampai 3 triliun karena pasti di fasilitasi oleh negara, jadi titik-titik kampanyenya pun sudah di tentukakan oleh negara dan orangnya itu-itu saja masyarakatnya di undang 1.000 orang calon presidennya si anu calon wakil presidennya si anu dia kampanye di hadapan masyarakat tentang visi misi dia begitiu juga calon yang lain pun berkampanye di hadapan masyarakat yang di undang dan mana yang di sukai oleh masyarakat itu yag di pilih maka ketika Donald Trump berkampanye melawan Joe Bidden, Donald Trump berkampaye tidak percaya terhadap covid sementara Joe Bidden percaya covid, dan Donald Trump tidak punya visi bagaimana cara mematikan Covid di Amerikan supaya tidak berkembang sementara Joe Bidden punya program bagaimana cara memartikan covid di amerika supaya tidak berkembang.

 

2)    Apakah menurut bapak Pilkada serentak 2024 akan berjalan dengan efektif dan Efisiensi?

Jawab: Berjalan dengan efektif dan efisiennya atau tidak tergantung keadaan kita mau di adakan kapanpun pilkada itu tergantung keadaan kita saat ini, pada tahun 2024 pilkada yang kita lakukan sudah menjadi keputusan artinya suka atau tidak suka kita harus terima keadaan ini ,adapun itu efektif atau tidak kita lihat keadaan pilpres di tahun 2024 karena pilpres dan pileg 2024 menentukan situasi dan kondisi pilkada di tahun 2024 kalau pada saat pilres dan pileg situasinya kurang aman bisa saja pilkada itu di adakan bukan tahun 2024. Jadi kurng efektif jika diadakan pada tahun 2024 misal situasi kondisi masih dalam keadaan covid-19. Dan saya tidak yakin pilkada serentak diadakan 2024 bisa saja diundur juga. Dalam politik itu tidak mungkin ada yang terjadi, semuanya juga akan bisa pasti terjadi.

 

 

 

3)    Apa Harapan Bapak untuk pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 agar tidak lagi terjadi kecelakaan seperti pada Pemilu Pilpres dan Pileg 2019?

Jawab: Harapan saya yang pertama agar pihak kelurahan membantu perhitungan suara dan tinggal kepada pelaksanaan KPU nya saja yang harus di perbaiki sehingga apakah memungkinkan dalam masa covid sampai 2024 covid masih ada dan apakah memungkinkan dalam satu TPS itu ada 300 peserta yang hadir. Yang kedua apakah memungkinkan petugas KPU nya hanya ada di tingkat kecamatan tidak ada di tingkat desa dan tingkat kelurahan kalau menurut saya kondisi yang kemarin adalah terjadi karena adanya perampingan stuktural sehingga mengurangi banyaknya orang yang terlibat untuk pelaksaan KPU nya, jadi petugas KPU dan petugas KPPS nya saja yang perlu di perbaiki strukturalnya yang harus di perbanyak.

 

4)    Apa alasan bapak jika menurut Fraksi Partai Demokrat tidak setuju akan pelaksanaan Pilkada Serentak 2024?

Jawab: Alasannya karena Covid-19, alasan ini akan di pakai 2024 juga, jadi alasannya Covid jadi dengan adanya pilkada 2022 di masa covid akan menimbulkan banyaknya penularan terhadap masyarakat yang membuat gerakan-gerakan perkumpulan-perkumpulan yang akan menyebabkan penularan wabah penyakit. Alasan kedua adalah anggaran kita yang di alokasikan dulu unuk mendanai bantuan korban virus covid dan untuk pencegahan covid 19 dan dana-dana yang di belanjakan untuk membeli vaksi dan sebagainnya serta bantuan-bantuan sosial sehingga pilkada di undur terlebih dahulu karena dananya di pakai untuk kepentingan masyarakat.

 

 

 

 

 

 



[1] Firdaus Ayu Palestina, “Analisis Penataan Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan Umum Ditinjau Dari Fiqh Siyasah Dusturiyah Dan Sadd Al-Dzari’ah, (Tesis Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2019) h. 1.

 

[2] Handoyo Hestu Cipto, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Cet. Ke-1 (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya, 2003), h. 99.

[3] Heru Nugroho, Demokrasi Dan Demokratisasi: sebuah kerangka konseptual untuk memahami dinamika sosial-politik di Indonesia, Jurnal Pemikiran Sosiologi, Vol.1 No.1, (2012), h. 2

 

[4]  Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cet ke-4 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010),  h. 461.

 

[5] Pangi Syarwi Chaniago, Evaluasi Pilkada Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015, Indonesian Political Science Review, Vol.1 No.2, (2016), h. 197.

[6] Cucu Sutrisno, Partisipasi Warga Negara dalam Pilkada, (Universitas Muhammadiyah Ponorogo: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan Vol. 2  No. 2, 2017), h. 36.

[7] https://news.detik.com/berita/d-5494081/mendagri-di-2016-tak-ada-fraksi-tolak-pilkada-digelarserentak-2024Diakses Pada Tanggal 31 Maret 2021 Pukul 12.08 WIB

 

[10] Pejabat Definitif adalah pegawai yang menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, dan Administrasi yang telah secara resmi dilantik dan diambil sumpah jabatan untuk menduduki jabatan negeri.

 

[13] Angga Natalia, Peran Partai Politik Dalam Mensukseskan Pilkada Serentak Di Indonesia Tahun 2015, Jurnal TAPIS, Vol. 11, No.1, Januari-Juni 2015.

 

[14] Siti Witianti dan Hendra, “Peran Ketua Umum Partai Politik Dalam Pencalonan Kepala Daerah pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak Di Indonesia”, Jurnal Wacana Politik, Vol. 4, No. 1, Maret 2019, h. 55.

 

[15] Hendri Putra Faridana, “Persepsi Mahasiswa Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam Uin Antasari Terhadap Pelaksanaan Pilkada Serentak”, (Skripsi UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI, Banjarmasin, 2017), h. v.

 

[16] Egi Prayogi, “Sistem Pemilihan Kepala Daerah Perspektif Fiqih Siyasah (Studi Pasal 24 Undang-Undnag No 32 Tahun 2004”, (Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005), h. iv

 

[17] Firdaus Ayu Palestina, “Analisis Penataan Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan Umum Ditinjau Dari Fiqh Siyasah Dusturiyah Dan Sadd Al-Dzari’ah”, (Tesis Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2019), h. v

 

[18] Soerjono Soekanto, 1994. Pengantar Penelitian Hukum, (Universitas Indonesia Press, Jakarta), h.13.

 

[19] Burhan Bugin, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Cet. III. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 82.

 

[20] Usman dan Abdi, Metode Penelitian Sosial dan Ekonomi: Teori dan Aplikasi, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 6

 

[21] Usman dan Abdi, Metode Penelitian Sosial dan Ekonomi, h. 11.

 

[22] Lisa Harrison, Metodologi Penelitian Politik, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 126.

[23] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), h.49.

[24] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), Cet Ke-1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015), h.1

 

[25] Di Indonesia, hal ini juga diatur melalui Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, bahwa jaminan konstitusional dimaksud tegas ditentukan dalam pasal 2E ayat (3) UUD 1945 yang menyarakan, "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."

 

[26] GJ Wollhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Djakarta: Timun Mas NV, 1955), h.54.

 

[27] Muhammad Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik  Di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), h.19-20.

[28] Kalung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h.60

 

[29]  Kamus Besar Bahasa Indonesia

 

[30] Maurice Duverger, Partai Politik dan Kelompok-Kelompok Penekan, Judul Asli: Party Politics and Pressure Groups A Cornparatfue Introduction, Penerjemah: Laila Hasyim, (Yogyakarta: Bina Aksara, 1984), h.4.

 

[31] Kamus Besar Bahasa Indonesia

 

[32] Firmanzah, Mengelola Partai Politik, (Jakarta: Yayasan pustaka obor Indonesia, 2011), h.49.

 

[33] Selain partai politik, infrastruktur politik terdiri dari organisasi kemasyarakatan, kelompok kepentingan, kelompok penekan, kelompok tokoh masyarakat, dan media (pers).

 

[34] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.403

[35] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.404

 

[36] Ali Safa’at Muchamad,  Pembubaran Partai Politik Pengaturan Dan Praktik Pembubaran Partai Politik Dalam Pergulatan Republik,( Jakarta: Rajawali pers, 2011), h.4-5

 

[37] Lihat Undang-Undang No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik

[38] Lihat Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

 

[39] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), h.15

 

[40] Lihat Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

 

[41] Firmanzah, Mengelola Partai Politik, h.70

 

[42] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.405

 

[43] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.406

 

[44] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.407

 

[45] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.408

 

[46] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.409

 

[47] Ramlan Surbakti, Memahami IImu Politik, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007), h.113.

[48] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), h.4-5

 

[49] Kita jangan sampai disesatkan oleh istilah "partai" pada masa awal-awal ini. Hal ini kaiena pada masa ini partai dalam arti yang sesungguhnya belum ada. Kata partai digunakan untuk menggambarkan faksi-faksi dalam republik-republik masa ialu, pasukan-pasukan yang terbentuk di sekitar condottiei pada masa Renesans Itali, klub Jclub tempat berkumpulnya anggota dewan-dewan revolusi, komite-komite yang mempersiapkan pemilihan umum dalam monarki konstitusional, dan organisasiorganisasi sosial yang membentuk opini publik dalam negara demokrasi modern. Penggunaan kata yang sama ini dapat dibenarkan karena semua lembaga tersebut berpiran memenangkan kekuasaan politik dan menerapkannya

[50] Ichlasul Amal, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996), h.1

 

[51] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), h.6

 

[52] Ramlan Surbakti, Memahami IImu Politik, h.145.

[53] Ramlan Surbakti, Memahami IImu Politik, h.146.

[54] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), h.7

[55] https://kpud-medankota.go.id/sejarah-pemilu/  Diakses pada Tanggal 25 Juni 2021 Pukul 19.24 WIB

[56] https://www.kpu.go.id/page/read/4/visi-dan-misi Diakses pada Tanggal 25 Juni 2021 Pukul 19.32 WIB

 

[57] Prayudi, Ahmad  Budiman & Aryojati Ardipandanto, Dinamika PolitikPilkada Serentak, (Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia, 2017), h.2

 

[58] Sudirman, Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial), (FISIP Universitas Tadulako; Jurnal Academica Vol. 04 No. 01 Februari Tahun 2012), h.743

[59] Sudirman, Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial), h.744

 

[60] Bungasan Hutapea, Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia, (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional; Jurnal Rechtsvinding Volume 4 Nomor 1 April Tahun 2015), h.4-5

 

[61] Joseph Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h.26-27

 

[62] Suharizal, Pemilukada : Regulasi, dinamika dan konsep mendatang, (Jakarta; Rajawali Pers, 2012), h.15

 

[63] Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah

 

[64] Lihat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri

 

[65] Suharizal, Pemilukada : Regulasi, dinamika dan konsep mendatang, h.16

 

[66] Sudirman, Dinamika Politik Lokal Dalam Social  Capital (Modal Sosial), h.750

 

[67] Bungasan Hutapea, Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia,  h.6

[68] Sudirman, Dinamika Politik Lokal Dalam Social  Capital (Modal Sosial), h.751-753

 

[69] Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Jakarta: 20 April 2002.

 

[70] Titin Yuniartin, Identitas Politik Partai Keadilan Sejahtera, (Institut Agama Islam Darussalam Ciamis: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 12 No. 2, Juli - Desember  Tahun 2018), h.261

 

[71] Muslihudin, Model Pesantren Kader; Relasi Ideologis PP Husnul Khotimah dengan PKS,serta Artikulasinya dalam  Kegiatan  Kepesantrenan, (IAIN Syekh  Nurjati Cirebon: Jurnal Holistik Vol. 14 No. 01 Tahun 2013), h.9-10

[72] Titin Yuniartin, Identitas Politik Partai Keadilan Sejahtera, h.264-265

 

[73] Yakin, Ayang Utriza, Islam Moderat dan Isu-Isu Kontemporer Demokrasi, Pluralisme, Kebebasan Beragama, non Muslim, Poligami, dan Jihad, (Jakarta: Kencana, 2016), h.226

[74] http://www.demokrat.or.id/sejarah/ Diakses pada Tanggal 25 Juni 2021 Pukul 08.22 WIB

[75] https://www.demokrat.or.id/visi-misi/ Diakses pada Tanggal 25 Juni 2021 Pukul 08.47

[76] Lihat Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 1 Ayat (2)

 

[77] Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, (Yogyakarta : Liberty, 1989),  h.37.

 

[78] Arief Hidayat, Bernegara Itu Tidak Mudah (Dalam Perspektif Politik dan Hukum), (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2010), h. 32

 

[79] Harry S Nugraha, “Gagasan Amandemen Ulang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Jurnal Lex Renaissance, Vol. 3, No. 1, (2018), h. 61.

 

[80] Ida Budhiati, “Quo Vadis Demokrasi Prosedural dan Pemilu: Sebuah Refleksi Teoritis” Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol. 42, No. 2, (2013, h. 268.

 

[81] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi 1, Cetakan 6, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014),  h. 17

 

[82] W. Melfa, “Penataan Hukum Menuju Hukum Ideal Dalam Pengaturan Pemilukada”,  Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol. 42, (No. 2), 2013, h. 211.

 

[85] Achmad Arifulloh, “Pelaksanaan Pilkada Serentak Yang Demokratis, Damai Dan Bermartabat,” Jurnal  Pembaharuan  Hukum,  Volume II,  No. 2, (Mei - Agustus 2015), h.302.

 

[86]  https://www.merdeka.com/politik/pro-kontra-ruu-pemilu-dicabut-dari-prolegnas-2021.html. Diakses pada tanggal 20 September 2021 pukul 20:11 WIB.

 

[87] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Konsyinasi (Konsinyering) adalah berkumpulnya sejumlah petugas di suatu tempat untuk menggarap pekerjaan secara intensif serta tidak dibenarkan meninggalkan tempat kerja selama kegiatan berlangsung.

[88] https://news.detik.com/berita/d-5594089/4-hal-tentang-jadwal-resmi-pemilu-2024/2, diakses pada Tanggal 18 september 2021 Pukul 14:00 WIB

 

[90] Lihat UU No.16 Tahun 2016 pasal 201 ayat (7) Pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, Bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada anggal dn bulan yang sama pada tahun 2027.

 

[93] Zulfikar Hamonangan, Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Interview Pribadi, Rumah Kediaman Zulfikar, 28 Juli 2021.

 

[94] Mardani Ali Sera, Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Interview Pribadi, Via Zoom Meeting, 07 September 2021.

 

[95] Coattail Effect adalah istilah yang merujuk pada suatu tindakan yang menimbulkan pengaruh pada tindakan lain (pengaruh ikutan). Dalam terjemahan bebas diartikan sebagai efek kibasan buntut jas. Calon pemimpin yang diusung memiliki efek buntut jas terhadap elektabilitas suara pada partai pengusung nantinya.

 

[96] Mardani Ali Sera, Anggota DPR RI Fraksi PKS, Interview Pribadi, Via Zoom Meeting, 07 September 2021.

[97] Zulfikar Hamonangan, Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Interview Pribadi, Rumah Kediaman Zulfikar, 28 Juli 2021.

 

[99] Mardani Ali Sera, Anggota DPR RI Fraksi PKS, Interview Pribadi, Via Zoom Meeting, 07 September 2021.

[100] Zulfikar Hamonangan, Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Interview Pribadi, Rumah Kediaman Zulfikar, 28 Juli 2021.

PENOLAKAN PARTAI POLITIK TERHADAP PILKADA SERENTAK TAHUN 2024 (PERBANDINGAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
DAN PARTAI DEMOKRAT)

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.          Latar Belakang Masalah

“Indonesia adalah Negara hukum” demikian bunyi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat 3. Sebagai Negara hukum (Rechtsstaat) yang menjunjung tinggi nilai-nilai norma hukum berdasarkan Undang-undang dan bukan merupakan Negara berdasarkan kekuasaan semata (Machtsstaat) Indonesia memiliki norma hukum tertinggi yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai induk peraturan-peraturan perundang-undangan. Untuk itu adanya kebijakan yang tertuang dalam bentuk perundang-undangan tidak boleh menyalahi norma hukum tersebut.[1]

Pada saat ini, paham demokrasi dalam penyelenggaraan negara menjadi “primadona” dalam setiap perbincangan mengenai paham kenegaraan. Sehingga tidak aneh apabila setiap bangsa berlomba-lomba guna mendapatkan pengakuan sebagai negara demokrasi oleh negara lainnya. Pada prinsipnya paham demokrasi menghendaki adanya keikutsertaan rakyat atau warga negara dalam aktivitas penyelenggaraan kehidupan kenegaraan. Hal ini sudah terjadi sejak zaman Yunani Kuno (abad VI s/d XIII SM). Pada waktu itu paham demokrasi dilaksanakan secara langsung, dimana rakyat menentukan keputusan-keputusan politik secara langsung.[2]

Indonesia  adalah  Negara  yang  menganut  sistem  pemerintahan  Demokrasi. Demokrasi  dipahami  sebagai  suatu  sistem  pemerintahan  yang  menjunjung  tinggi kesejahteraan rakyat. Dalam arti lain, demokrasi sering disebut sebagaipemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebagai suatu sistem politik, demokrasi telah menempati posisi teratas yang diterima oleh banyak Negara, karena dianggap mampu mengatur  dan  menyelesaikan  hubungan  sosial  dan  politik  dalam  sebuah  Negara.

Demokrasi  memiliki  makna  yang  luas  dan  kompleks,  salah  satunya  Warga Negara yang di beri kesempatan untuk memilih salah satu diantara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara. Kemampuan rakyat  untuk memilih di antara pemimpin-pemimpin politik pada masa pemilihan inilah yang disebut demokrasi.[3] Di berbagai negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolok ukur, dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat. Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum tidak merupakan satu-satunya tolok ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat kesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya.[4]

Pemilu adalah kenduri demokrasi yang menjadi landasan politik, bangsa, dan Negara dalam membangun masa depan yang lebih baik. Pemilu sebagai pilar demokrasi mengantarkan bangsa dan negara dalam meraih demokrasi dan membangun peradabannya. Selain itu, pemilu juga sebagai momentum evaluatif yang sangat penting bagi sebuah rezim kekuasaan dalam mewujudkan cita- cita negara kemerdekaan.[5]

Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sejatinya merupakan bagian penting kehidupan bernegara Indonesia di era Reformasi. Penyelenggaraan Pemilu termasuk Pilkada merupakan wujud pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Pada sistem demokrasi tidak langsung (indirect democracy) atau demokrasi perwakilan (representative democracy), dilaksanakannya Pilkada bertujuan agar Kepala Daerah benar-benar bertindak atas nama rakyat sehingga pemilihannya harus dilakukan sendiri oleh rakyat melalui Pilkada. Penyelenggaraan Pilkada merupakan mekanisme demokratis agar rakyat dapat menentukan Kepala Daerah yang dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyatnya.

Sejatinya, penyelenggaraan Pilkada sebagai mekanisme pemilihan haruslah dilandasi semangat kedaulatan rakyat dan dilaksanakan secara demokratis. Salah satu prasyarat utama untuk mewujudkan Pemilu yang demokratis adalah adanya partisipasi politik. Keberadaan partispasi masyarakat dalam Pilkada merupakan sesuatu yang krusial keberadaannya, sebab Pilkada akan melahirkan pemimpin daerah yang kesuksesan Pilkada tersebut menjadi cerminan dari kualitas demokrasi. Oleh karena itu, partisipasi warga negara ketika memilih pemimpin harus ada meskipun keterlibatan warga negara lebih banyak berhenti pada proses pemilihan.[6] Dari sisi normatif penyelenggaraan pilkada telah diatur melalui UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 56 ayat (1) menyebutkan, “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Dengan adanya Undang-Undang tersebut, wajib hukumnya bagi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah untuk mematuhi aturan tersebut sebagaimana mestinya guna menjadi acuan dalam pelaksanaan Pilkada ditingkat Provinsi dan Kabupaten atau Kota. Memang sangat penting dibentuk dan dibuatnya berfungsi sebagai mata angin. Karena di semua penyelenggaraan kegiatan apapun itu termasuk penyelenggaraan pemilu, tidak adanya rule of game atau istilah peraturan dalam permainan maka sama seperti berjalan tanpa adanya arah dan tujuan.

Membicarakan pilkada, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, mengatakan bahwa pemerintah akan menggelar Pilkada Serentak 2024. Tito mengatakan jadwal itu sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.  "Pilkada merupakan amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang ditetapkan 1 Juli 2016, di mana nanti pilkada akan dilaksanakan serentak di November 2024," kata Tito dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/3/2021).[7]

Mayoritas fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat 'balik badan' dari rencana revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu atau revisi UU Pemilu. Kini, mayoritas fraksi di parlemen sepakat menolak untuk melanjutkan pembahasan RUU Pemilu yang sudah disepakati masuk dalam Program Legislasi Nasional 2021 itu. Hanya tersisa Partai Demokrat dan PKS yang tetap ingin revisi. Salah satu isu krusial yang menjadi perdebatan dalam revisi UU Pemilu ini adalah normalisasi pemilihan kepala daerah pada 2022 dan 2023. Awalnya hanya PDI Perjuangan yang menyatakan menolak normalisasi Pilkada pada 2022 dan 2023. Belakangan, mayoritas fraksi partai pendukung pemerintah menyusul sikap PDIP. Dengan demikian, hampir dipastikan Pilkada Serentak tetap digelar pada 2024 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).[8]

Awalnya, yang setuju dengan dilanjutkannya pembahasan RUU Pemilu adalah Partai NasDem, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Yang tidak setuju adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Persatuan pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Gerindra. Dengan adanya RUU Pemilu yang menggabungkan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, bisa jadi Pilkada serentak beralih menjadi tahun 2022 dan 2023. Jika tanpa aturan baru, maka seluruh pemilu, baik pemilu legislatif DPR, DPRD, DPD, pemilihan presiden, dan pemilu kepala daerah akan berlangsung serentak pada 2024.[9]

Berbeda dengan suara mayoritas, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini, menilai bahwa revisi Undang-Undang Pemilu harus terus jalan untuk memperbaiki kualitas demokrasi melalui penyelenggaraan pemilu. "Kami melihat ada kebutuhan dan kepentingan revisi UU Pemilu, yaitu untuk perbaikan kualitas demokrasi hasil evaluasi kita atas penyelenggaraan pemilu lalu," ujar Jazuli dalam keterangannya di Jakarta. Fraksi PKS juga menginginkan agar pilkada serentak dinormalisasi pada tahun 2022/2023 agar kepemimpinan daerah di masa pandemi oleh pejabat definitif.[10] Menurutnya, jika digelar pada 2024 beban dan ongkos ekonomi, sosial, dan politik menjadi sangat berat.

Adapun jadwal pelaksanaan Pilkada hingga saat ini masih jadi perdebatan seiring dengan rencana revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sembilan fraksi di DPR terbelah. Sebagian fraksi ingin Pilkada dilaksanakan sesuai amanat Pasal 201 Ayat (8) UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, yakni November 2024, berbarengan dengan Pilpres dan Pileg. Sementara, sebagian fraksi lainnya mendorong agar pelaksanaan Pilkada sesuai ketentuan dalam draf revisi UU Pemilu Pasal 731 Ayat (2) dan (3), yaitu pada 2022 dan 2023.[11]

Oleh karena itu, kajian ini membahas mengenai polemik pelaksanaan pilkada secara serentak pada tahun 2024 yang banyak menuai pro dan kontra di masyarakat dari berbagai aspek, mulai dari masa jabatan para pemimpin daerah maupun keefektivan pelaksanaan pemilu secara umum di Indonesia. Maka penulis melakukan penelitian yang berjudul “PENOLAKKAN PILKADA SERENTAK TAHUN 2024 (PERBANDINGAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DAN PARTAI DEMOKRAT)”

 

 

B.          Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah

1.       Identifikasi Masalah

Pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 menjadi polemik. Pasalnya, dalam draf revisi UU Pemilu yang baru, salah satu poinnya mengatur tentang pilkada berikutnya pada 2022 dan 2023 mendatang, bukan 2024 seperti yang diatur dalam UU 10/2016. Sejumlah fraksi di DPR terbelah mengenai ketentuan tersebut. Fraksi yang mendukung agar pilkada serentak 2024 tetap digelar di antaranya PDIP, PKB, dan Gerindra.[12] Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis paparkan, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat beberapa permasalahan terkait dengan Penolakan pilkada serentak tahun 2024 perbandingan PKS dan Partai Demokrat.

Adapun identifikasi masalah yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah sebagai berikut:

a.            Polemik mengenai pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) yang digelar secara serentak pada Tahun 2024

b.            Pendapat Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) dan Partai Demokrat mengenai Pilkada serentak 2024

c.            Kelebihan dan kekurangan (keefektifan) pelaksanaan Pilkada serentak yang digelar pada tahun 2024

d.            Terjadinya salah satu kasus saat pemilu 2019, yakni banyak memakan korban pada anggota KPPS sehingga menjadi evaluasi bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyelenggarakan pemilihan berikutnya.

 

2.            Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dipaparkan, banyak permasalahan-permasalahan penting yang perlu diteliti untuk dapat menjawab. Akan tetapi, untuk mempermudah pembahasan dan penelitian skripsi ini, penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis, maka perlu kiranya penulis memberikan batasan agar tidak melebar dan terarah. Maka penelitian ini difokuskan pembahasannya pada pelaksanaan Pilkada serentak yang di gelar pada tahun 2024 dan perbandingan pandangan Partai PKS dan Partai Demokrat.

 

3.            Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik beberapa substansi rumusan masalah sebagai berikut :

1.            Bagaimana pandangan partai politik terhadap Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2024, khususnya partai PKS dan partai Demokrat?

2.            Bagaimana agar pilkada serentak 2024 berjalan dengan efektif di Indonesia?

 

C.          Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1.            Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan tambahan literatur bagi ilmu pengetahuan khususnya hukum tata negara dalam penanganan masalah Penolakan Pilkada Serentak Tahun 2024 (perbandingan partai PKS dan Partai Demokrat). Selain itu penelitian skripsi ini juga bertujuan:

a.            Untuk mengetahui bagaimana pandangan dari berbagai partai politik mengenai pilkada serentak tahun 2024

b.            Untuk mengetahui polemik yang terjadi dikalangan masyarakat maupun aktivis mengenai pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024.

 

2.            Manfaat Penelitian

Didalam setiap penelitian, disamping memiliki tujuan tentunya penulis juga mengharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca  khususnya penulis pribadi, adapun manfaatnya adalah sebagai berikut:

 

 

a.     Bagi Akademis

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan penelitian lebih lanjut guna untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang penolakan pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 dari pandangan Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) dan Partai Demokrat.

 

b.     Bagi Peneliti

Penelitian ini bermanfaat sebagai tolok ukur dari wacana keilmuan yang selama ini penulis terima dan pelajari dari institusi pendidikan tempat penulis belajar, khususnya mengenai pro kontra pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 dari partai politik yang ada di Indonesia.

 

D.          Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Untuk membuktikan originalitas dari penelitian ini, penulis perlu untuk melakukan tinjauan kajian studi terdahulu. Berikut ini beberapa penelitian dan perbedaan dari penelitian sebelumnya.

  1. Angga Natalia, dalam Jurnal TAPIS dengan judul Peran Partai Politik Dalam Mensukseskan Pilkada Serentak Di Indonesia Tahun 2015. Dalam karyanya, penulis menjelaskan bahwa munculnya permasalahan kandidat tunggal pada proses pilkada pada tahun 2015, menunjukkan bahwa partai politik belum benar-benar serius menjalankan fungsinya terutama untuk melahirkan calon-calon pemimpin muda yang kompeten dan mampu survive dengan kondisi Indonesia saat ini. Ini disebabkan oleh mundurnya pengawalan kaderisasi di partai politik sehingga partai-partai lebih banyak mengandalkan kader-kader pragmatis untuk mempercepat image building dan perolehan suara di grass root. Yan pada akhirnya, menenggelamkan mental calon-calon pemimpin muda yang sebenarnya memiliki kompetensi yang baik tapi kurang mendapat dukungan dari partai politik.[13]
  2. Siti Witianti dan Hendra, dalam jurnal Wacana Politik dengan judul Peran Ketua Umum Partai Politik Dalam Pencalonan Kepala Daerah pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak Di Indonesia. Dalam karyanya, penulis menjelaskan bahwa dalam pilkada serentak di Indonesia yang diselenggarakan sejak tahun 2015, terdapat kencenderungan semakin menguatnya pengaruh ketua umum partai politik dalam pencalonan kepala daerah. Pengambilan keputusan partai politik pada akhirnya ditentukan oleh pertimbangan ketua umum partai politik,sudah menjadi tugas Parpol seharusnya menjadi salah satu sumber utama kepemimpinan bangsa yang dituntut dapat menyiapkan dan menghasilkan kader-kader bangsa yang profesional, jujur, berintegritas tinggi dan berwawasan luas dan dilakukan secara demokratis.[14]
  3. Hendri Putra Faridana dengan judul skripsi Persepsi Mahasiswa Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam UIN Antasari Terhadap Pelaksanaan Pilkada Serentak. Dalam karyanya, menjelaskan bahwa para mahsiswa menilai pelaksanaan pilkada tahun 2015 di Banjarmasin berhasil menarik partisipasi warga sehingga peserta pemilih lebih banyak. Selain itu, Persepsi mahasiswa Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam terhadap pilkada serentak pun beragam, sebagian besar menilai pilkada serentak lebih efektif karena selain dapat menghemat dana, juga dapat menghemat waktu bagi pelaksanaan pilkada di Indonesia. Persepsi mahasiswa ini ternyata berbeda dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pelaksanaan pilkada serentak di Banjarmasin memiliki tingkat partisipasi pemilih cukup rendah.[15]
  4. Egi Prayogi, dengan judul skripsi Sistem Pemilihan Kepala Daerah Perspektif Fiqih Siyasah (Studi Pasal 24 Undang-Undnag No 32 Tahun 2004). Dalam karyanya, penulis menyimpulkan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 dari segi substansi sudah sesuai dengan fiqih siyasah dan tidak bertentangan dengannya, dan telah memenuhi prinsip pemilihan dalam Islam yaitu syura yang bertumpu pada persamaan, keadilan, kebebasan transparansi, dan kebersamaan. Dan menurut penulis, perbedaannya terdapat pada tataran tekis, kerena harus disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat demi tercapai kemaslahatan umat.[16]
  5. Firdaus Ayu Palestina, dengan judul tesis Analisis Penataan Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan Umum Ditinjau Dari Fiqh Siyasah Dusturiyah Dan Sadd Al-Dzari’ah. Dalam karyanya, penulis menjelaskan bahwa Penataan Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan Umum Ditinjau dari Fiqh Siyasah Dusturiyah (Konsep Wewenang Arkoun) dan Sadd Al- Dzari’ah diketahui bahwa Penyelenggara Pemilu (sebagai seorang “dusturi”, yang memiliki otoritas dalam artian pejabat publik) telah melakukan wewenang, yakni “siyasah” dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan patuh dan melaksanakan Undang-Undang, meskipun dalam praktknya masih terjadi over lapping (tumpang tindih). Sedangkan dalam konsep Saad Al-Dzari’ah, Penyelenggara Pemilu, yaitu KPU berusaha untuk menutup kemungkunan-kemungkinan yang tidak baik guna terciptanya regulasi yang revolusioner, sedangkan Bawaslu bertindak sebaliknya (Fath Al-Dzari’ah) dengan mempertimbangkan persamaan hak, namun mengesampingkan langkah kedepannya.[17]

 

E.          Metodologi Penelitian

 

1.            Jenis Penelitian

Metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.[18] Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah berpijak dari realita atas peristiwa yang berlangsung di lapangan. Apa yang dihadapi dalam penelitian adalah sosial kehidupan sehari-hari. Penelitian seperti berupaya memandang apa yang sedang terjadi dalam dunia tersebut dan meletakkan temuan-temuan yang diperoleh didalamnya. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh peneliti selama dilapangan termaksud dalam suatu posisi yang berdasarkan kasus, yang mengarah perhatian dalam spesifikasi kasus-kasus tetentu.[19]

 

2.            Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menjadikan penulis harus mengumpulkan data dan informasi mengenai pendapat dari Fraksi PKS dan Demokrat yang menolak adanya pelaksanaan pilkada serenetak tahun 2024. Metode kualitatif diartikan sebagai metode yang meneliti subjek penelitian atau informan dalam lingkup kesehariannya.[20] Metode kualitatif menggunakan sumber berupa narasi, penuturan informan, dokumen-dokumen dan bukan menggunakan data berupa angka-angka seperti yang dilakukan dalam penelitian kuantitatif.[21]

Penyajian data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan data yang berasal dari buku yang berkaitan dengan tema dan masalah yang diangkat oleh penulis, jurnal ilmiah, dan artikel serta berita yang berasal dari media internet. Hal tersebut digunakan untuk memudahkan dalam memahami segala macam konteks yang terkandung di dalamnya.[22]

 

3.            Sumber Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder sebagai data utama yang terdiri dari:

a.      Bahan Hukum Primer

Sumber data primer diperoleh melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Sumber data primer merupakan data yang diambil langsung oleh peneliti kepada sumbernya tanpa ada perantara dengan cara menggali sumber asli secara langsung melalui responden. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, dan Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.

b.     Bahan Hukum Sekunder

Sumber Hukum Sekunder dalam penelitian ini, penulis menggunakan buku-buku teks (Teksbook) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (deherseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan bahan-bahan hukum lainnya yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam memahami dan menganalisis bahan hukum primer.

c.      Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang mendukung bahan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang digunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus-kamus Hukum dan Kamus Bahasa Inggris baik dalam bentuk cetak maupun elektronik.

 

4.            Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:

a)    Studi literatur dan dokumentasi, yaitu mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini melalui literatur buku, surat kabar, jurnal ilmiah, serta artikel dan berita yang berasal dari media internet. Teknik pengumpulan data yang digunakan melalui dokumentasi, untuk memperoleh data sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan dari bahan primer.

b)    Wawancara dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan informasi melalui tanya jawab dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada pihak yang berkompeten dengan masalah dalam penelitian ini.

 

5.            Metode Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian diklasifikasikan menurut pokok bahasan masing-masing, maka selanjutnya dilakukan analisis data. Analisis data bertujuan untuk menginterpretasikan data yang sudah disusun secara sistematis yaitu dengan memberikan penjelasan. Dalam menyusun dan menganalisis data, penulis menggunakan penalaran deduktif.[23] Penalaran deduktif merupakan langkah berpikir dengan mengumpulkan pernyataan yang bersifat umum untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus.

 

 

 

 

6.            Pedoman Penulisan Skripsi

Dalam penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.

 

F.           Sistematika Penulisan

Dalam pembahasan Skripsi ini peneliti membuat sistematika pembahasan sebagai berikut:

 

BAB I         Pendahuluan. Pada bab ini menjelaskan tentang Latar Belakang Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Pemikiran, Landasan Teori, Tinjauan Pustaka (Review) Kajian Terdahulu, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Kajian Teori yang membahas mengenai teori demokrasi, teori kedaulata rakyat, dan teori umum mengenai partai politik.

BAB III Profil Komisi Pemilihan Umum (KPU), Profil Partai Demokrat Dan Partai Keadilan Kesejahteraan Sosial (PKS); dalam bab ini akan menjelaskan tentang Profil Komisi Pemilihan Umum (KPU), sejarah dan Perkembangan pilkada di Indonesia, Profil dari Partai Demokrat dan Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) mengenai sejarah terbentuknya partai tersebut berikut dengan visi dan misi Partai.

BAB IV Penolakan Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2024 Dari Perspektif Partai PKS Dan Partai Demokrat; yang membahas tentang analisis dari pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 dan penolakan partai PKS dan Partai Demokrat; Efektivitas dan Efisiensi pilkada serentak 2024 menurut pendapat fraksi Partai Politik Indonesia.

BAB V Penutup. Pada bab ini terdapat kesimpulan analisis penulis mengenai  pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 dan saran untuk peneliti berikutnya yang mengkaji penelitian ini.

 

 

BAB II

KONSEP UMUM PARTAI POLITIK

 

A.      Definisi Partai Politik

          Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain. Pada awal perkembangannya, akhir dekade 18-an di negara-negara Barat seperti Inggris dan Prancis, kegiatan politik dipusatkan pada kelompok-kelompok politik dalam parlemen. Kegiatan ini mula-mula bersifatelitis dan aristokratis, mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan-tuntutan raja. Semakin meluasnya hak pilih, kegiatan politik juga berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia pemilihan yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa pemilihan umum (kadang-kadang dinamakan caucus party). Oleh karena dirasa perlu memperoleh dukungan dari berbagai golongan masyarakat, kelompok-kelompok politik di parlemen lambat laun juga berusaha mengembangkan organisasi massa. Maka pada akhir abad ke-19 lahirlah partai politik, yang pada masa selanjutnya berkembang menjadi penghubung (link) antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain.[24] Partai politik merupakan instrumen yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi di negara manapun di dunia ini. Tidak dapat dikatakan demokratis sebuah negara jika tidak ada partai politik di negara tersebut karena pada hakikatnya partai politik merupakan manifestasi dari kebebasan masyarakat untuk membentuk kelompok sesuai dengan kepentingannya.[25]

          Cikal bakal dari terbentuknya partai politik di Indonesia adalah lahirnya Budi utomo yang merupakan perkumpulan kaum terperajar. Perkumpulan ini merupakan bentuk dari studie club, perkumpulan social ekonomi, dan organisasi pendidikan.[26] setelah Budi utomo lahir, muncullah dua organisasi yang disebut-sebut sebagai partai politik pertama di Indonesia, yaitu Sarekat Islam dan Indiche partij. Munculnya kedua organisasi tersebut merupakan ancaman bagi Budi Utomo, karena banyak anggotanya yang pindah kedua organisasi tersebut. semenjak itulah Budi Utomo mulai mengarah kepada kegiatan politik. Menyusul di belakang tiga organisasi tersebut muncul organisasi ISDV yang lahir pada tahun 1914 didirikan oleh orang Belanda di Semarang. Pendirian ISDV adalah usaha untuk memasukkan paham Marxisme ke Indonesia. Pada tanggal 23 Mei 1920 ISDV mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia. Semaun dan Darsono yang dulunya merupakan tokoh partai Sarekat Islam menjabat sebagai ketua dan wakil ketua PKI. Perpecahan terjadi di tubuh Sarekat Islam yang memecah partai tersebut menjadi dua golongan yaitu Sarekat Islam Putih dan Sarekat Islam Merah. Sarekat Islam gerakanya lebih dititik beratkan dalam bidang memajukan gerakan perekonomian rakyat dan keislaman sesuai dengan nama Sarekat Islam. Berbeda dengan Budi Utomo, Sarekat Islam gerakannya lebih bersifat revolusioner dan nasionalistis. Selain itu juga lahir Muhammadiyah, Partai Nasional Indonesia,Partai Indonesia dan lain-lain. Muhammadiyah mengikrarkan diri bukan sebagai partai politik walaupun ada kaitannya dengan organisasi politik Islam.[27]

          Di Indonesia, kemunculan partai-partai politik tak terlepas dari terciptanya iklim kebebasan yang luas bagi masyarakat pasca-runtuhnya pemerintahan kolonial Belanda. Kebebasan tersebut memberikan ruang dan kesempatan kepada masyarakat untuk membentuk organisasi, termasuk partai politik. sebenarnya, cikal-bakal dari munculnya partai politik sudah ada sebelum kemerdekaan Indonesia. partai politik yang lahir selama masa penjajahan tidak terlepas dari peranan gerakan-gerakan yang tidak hanya dimaksudkan untuk mendapatkan kebebasan yang lebih luas dari penjajah, juga menuntut adanya kemerdekaan. Hal ini bisa kita lihat dengan lahirnya partai-partai sebelum kemerdekaan. selain didorong oleh adanya iklim demokrasi yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda, kemunculan partai-partai politik di indonesiajuga tidak lepas dari karakteristik masyarakat Indonesia yang majemuk.sebagaimana dikatakan oleh John Furnival bahwa masyarakat Indonesia atau Hindia Belanda ketika itu merupakan masyarakat yang plural (pluralsociety), yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemenatau tatanan sosial yang hidup berdampingan satu sama lain. Hanya saja,sambung Furnival, di antara mereka itu tidak pernah bertemu di dalam suatu unit politik. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat yang majemuk itu pada akhirnya bergabung dalam suaru unit politik besar yang dinamakan partai politik.[28]

          Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Partai adalah perkumpulan (segolongan orang) yang seasas, sehaluan, dan setujuan (terutama di bidang politik).[29] Dari sisi etimologis, Maurice Duverger menyebutkan bahwa kata Partai berasal dari bahasa Latin pars, yang berarti "bagian". Dengan pengertian tersebut, kita dapat memahami bahwa karena ia merupakan suatu bagian maka konsekuensinya pasti ada bagian-bagian lain. Oleh karena itu, untuk memenuhi pengertian tersebut maka idealnya tidak mungkin di dalam suatu negara jika hanya terdapat satu partai.[30]

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Politik adalah (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan): bersekolah di akademi, segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain: dalam dan luar negeri; kedua negara itu bekerja sama dalam bidang, ekonomi, dan kebudayaan; partai,organisasi, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah) kebijaksanaan.[31] Secara etimologis, kata politik berasal dari bahasa yunani, yaitu polis yang berarti kota atau komunitas secara keseluruhan. Konsep tentang polis adalah proyek idealis Plato (428-328 S.M) dan Aristoteles (384- 322 S.M).14 Dalam bukunya yang berjudul The Republic, plato bertujuan untuk membuat sebuah pemahaman bahwa konseppolis ialah terciptanya masyarakat yang ideal. Hal ini berarti politik ialah segala usaha dan aktivitas untuk membangun dan mewujudkan masyarakat yang ideal atau lebih baik. sedangkan Aristoteles dalam bukunya yang berjudul The politics mengungkapkan bahwa manusia adalah binatang politik (political Animal). Maksudnya adalah bahwa aktivitas politik tidak diciptakan oleh manusia, melainkan ditemukan sEcara alamiah dalam diri setiap manusia.[32]

Partai politik merupakan bagian dari infrastruktur[33] politik dalam Negara. Partai politik berangkat dari anggapan bahwa dengan membentuk wadah organisasi mereka bisa menyatukan orang-orang yang mempunyai pikiran serupa sehingga pikiran dan orientasi mereka bisa dikonsolidasikan. Dengan begitu pengaruh mereka bisa lebih besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan.[34] Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelom- pok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya. Banyak sekali deinisi mengenai partai politik yang dibuat oleh para sarjana. Di bagian ini dipaparkan beberapa contoh definisi yang dibuat para ahli ilmu klasik dan kontemporer.

Carl J. Friedrich menuliskannya sebagai berikut:

Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat adil serta materiil (A political, party is a group of human beings, stably organized with the objective of securing or maintaining for its leaders the control of a government, with the further objective of giving to members of the party, through such control ideal and material beneits and advantages).’’

Sigmund Neumann dalam buku karyanya, Modern Political Parties, mengemukakan definisi sebagai berikut:

Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda (A political party is the articulate organization of society’s active political agents; those who are concerned with the control of governmental polity power, and who compete for popular support with other group or groups holding divergent views).[35]

Partai politik merupakan salah satu bentuk perwujudan kebebasan berserikat sebagai salah satu prasyarat berjalannya demokrasi. Kebebasan berserikat lahir dari kecenderungan dasar manusia untuk hidup bermasyarakat dan berorganisasi baik secara formal maupun informal. Kecenderungan demikian itu merupakan suatu keniscayaan. Kecenderungan bermasyarakat yang pada perinsipnya adalah kehidupan berorganisasi timbul untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang sama dari individu-individu serta untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan persamaan pikiran dan hati nurani.[36]

Sejalan dengan itu, pengertian partai politik menurut Undang-Undang Nomer 2 Tahun 2008 adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok WNI secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat,bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembentukan partai politik setidaknya paling sedikit terdiri dari 50 orang WNI yang telah berusia 21 tahun dengan akta notaris. Pendirian dan pembentukannya menyertakan 30% keterwakilan perempuan.[37]

B.      Tujuan Partai Politik

          Tujuan partai politik berdasarkan Undang-Undang Partai Politik di Indonesia yaitu, Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Pasal 10 menyatakan bahwa:

(1) Tujuan umum Partai Politik adalah:

a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksuddalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945;

b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila denganmenjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan RepublikIndonesia; dan

d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

(2) Tujuan khusus Partai Politik adalah:

a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangkapenyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;

b. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara; danc. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara.

(3) Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional.[38]

C.      Fungsi Partai Politik

  Partai politik telah menjadi ciri penting dalam sebuah politik modern karena memiliki fungsi yang strategis. Para ahli pun banyak yang merumuskan fungsi-fungsi dari Partai Politik. Fungsi utama dari Partai Politik ialah mencari kekuasaan, mendapatkan kekuasaan dan mempertahankannya. Cara partai politik untuk memperoleh kekuasaan tersebut ialah dengan berpartisipasi dalam pemilihan umum. Untuk melaksanakan fungsi tersebut partai politik melakukan tiga hal yang umumnya dilakukan oleh Partai Politik yaitu menyeleksi calon-calon, setelah calon-calon mereka terpilih selanjutnya ialah melakukan kampanye, setelah kampanye dilaksanakan dan calon terpilih dalam pemilihan umum selanjutnya yang dilakukan oleh Partai Politik ialah melaksanakan fungsi pemerintahan (legistlatif ataupun eksekutif).[39] Partai politik tidak hanya bertugas sebagai merebut kursi dan mengumpulkan suara pada saat pemilihan umum, tetapi partaipolitik juga berfungsi sebagai solusi untuk kepentingan bersama. Artinya, partai politik juga berfungsi sebagaimana di sampaikan oleh para pemikir.

 

Fungsi Partai Politik berdasarkan Undang-Undang Partai Politik di Indonesia yaitu, Undang-Undang No 2 Tahun 2008  tentang Partai Politik Pasal 11 ayat 1 menyatakan bahwa partai politik adalah sebagai sarana:

a.   Pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

b.  Penciptaan  iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk mensejahterakan masyarakat.

c.   Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara

d.  Partisipasi politik warga negara Indonesia; dan

e.   Rekrutmen politik dalam proses pengisisan jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.[40]

Secara garis besar, Firmanzah menyebutkan bahwa peran dan fungsi partai politik dibedakan menjadi dua, yairu fungsi internal dan fungsi eksternal. Dalam fungsi internal, partai politik berperan dalam pembinaan, pendidikan, pembekalan, dan pengkaderan bagi anggota partai politik demi langgengnya ideologi politik yang menjadi latar belakang pendirian partai politik tersebut. Sedangkan dalam fungsi eksternal peranan partai politik terkait dengan ruang lingkup yang lebih luas yakni masyarakat, bangsa, dan negara. Hal ini karena partai politik juga mempunyai tanggung jawab konstitusional, moral, dan etika untuk membawa kondisi, dan situasi masyarakat menjadi lebih baik.[41] 

 

Secara lebih rinci Miriam Budiarjo menyebutkan bahwa Fungsi Partai Politik di Negara Demokrasi adalah:

 

1)    Sebagai Sarana Komunikasi Politik.

Di masyarakat modern yang luas dan kompleks, banyak ragam pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pendapat atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir, apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (interest aggregation). Sesudah digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur. Proses ini dinamakan perumusan kepentingan (interest articulation).[42] Di sisi lain, partai politik juga berfungsi memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi dan dialog dua arah, dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Dalam pada itu partai politik memainkan peran sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah. Peran partai sebagai jembatan sangat penting, karena di satu pihak kebijakan pemerintah perlu dijelaskan kepada semua kelompok masyarakat, dan di pihak lain pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan masyarakat. Dalam menjalankan fungsi inilah partai politik sering disebut sebagai perantara (broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas). Kadang-kadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi warga masyarakat sebagai “pengeras suara”.[43]

 

2)    Sebagai Sarana Sosialisasi Politik.

Dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Ia adalah bagian dari proses yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideologi, hak dan kewajiban. Dimensi lain dari sosialisasi politik adalah sebagai proses yang melaluinya masyarakat menyampaikan “budaya politik” yaitu norma-norma dan nilai-nilai, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi politik merupakan faktor penting dalam terbentuknya budaya politik (political culture) suatu bangsa. Proses sosialisasi berjalan seumur hidup, terutama dalam masa kanak kanak. Ia berkembang melalui keluarga, sekolah, peer group, tempat kerja, pengalaman sebagai orang dewasa, organisasi keagamaan, dan partai politik.

Ia juga menjadi penghubung yang mensosialisasikan nilai-nilai politik generasi yang satu ke generasi yang lain. Di sinilah letaknya partai dalam memainkan peran sebagai sarana sosialisasi politik. Pelaksanaan fungsi sosialisasinya dilakukan melalui berbagai cara yaitu media massa, ceramah-ceramah, penerangan, kursus kader, penataran, dan sebagainya.[44]

 

3)    Sebagai Sarana Rekrutmen Politik.

Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas. Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas, karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri. Dengan mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit menentukan pemimpinnya sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan calon untuk masuk ke bursa kepemimpinan nasional.

Selain untuk tingkatan seperti itu partai politik juga berkepentingan memperluas atau memperbanyak keanggotaan. Maka ia pun berusaha menarik sebanyak-banyaknya orang untuk menjadi anggotanya. Dengan didirikannya organisasi-organisasi massa (sebagai onderbouw) yang melibatkan golongan-golongan buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita dan sebagainya, kesempatan untuk berpartisipasi diperluas. Rekrutmen politik menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk Partai Politik untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin. Ada berbagai cara untuk melakukan rekrutmen politik, yaitu melalui kontak pribadi, persuasi, ataupun cara-cara lain.[45]

 

4)    Sebagai Sarana Pengatur Konlik (Conlict Management).

Potensi konlik selalu ada di setiap masyarakat, apalagi di masyarakat yang bersifat heterogen, apakah dari segi etnis (suku bangsa), sosial-ekonomi, ataupun agama. Setiap perbedaan tersebut menyimpan potensi konlik. Apabila keanekaragaman itu terjadi di negara yang menganut paham demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dianggap hal yang wajar dan mendapat tempat. Akan tetapi di dalam negara yang heterogen sifatnya, potensi pertentangan lebih besar dan dengan mudah mengundang konlik. Di sini peran partai politik diperlukan untuk membantu mengatasinya, atau sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. Elite partai dapat menumbuhkan pengertian di antara mereka dan bersamaan dengan itu juga meyakinkan pendukungnya. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa partai politik dapat menjadi penghubung psikologis dan organisasional antara warga negara dengan pemerintahnya. Selain itu partai juga melakukan konsolidasi dan artikulasi tuntutan-tuntutan yang beragam yang berkembang di berbagai kelompok masyarakat. Partai juga merekrut orang-orang untuk diikutsertakan dalam kontes pemilihan wakil-wakil rakyat dan menemukan orang-orang yang cakap untuk menduduki posisi-posisi eksekutif. Pelaksanaan fungsi-fungsi ini dapat dijadikan instrumen untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan partai politik di negara demokrasi.[46]

 

D.      Teori Partai Politik     

          Terdapat tiga teori asal mula terbentuknya partai politik yang dikemukakan oleh Lapalombara dan Weiner, yaitu: (1) teori kelembagaan, yang melihat adanya hubungan antara parlemen awal dengan timbulnya partai politik, (2) teori situasi historik yang melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara luas, dan (3) teori pembangunan yang melihat partai politik sebagai produk modernisasi sosial ekonomi.[47]

a)            Teori Kelembagaan

Menurut teori ini, partai politik pertama kari terbentuk pada lembaga legislatif dan eksekutif, karena adanya kebutuhan anggota legislatif (yang ditentukan dengan pengangkatan) untuk berhubungan dengan masyarakat dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Terbentuknya partai politik seperti ini sering juga disebut sebagai partai politik Intra-Parlemen. Setelah partai politik Intra-Parlemen terbentuk dan menjalankan fungsinya maka kemudian muncul partai politik lain yang dibentuk oleh kelompok masyarakat lain karena mereka menganggap bahwa partai politik yang lama tidak mampu menampung dan memperjuangkan kepentingan mereka. Partai yang tebentuk ini disebut sebagai partai Ekstra-Parlemen.[48]

Kita bisa memahami kemunculan partai[49] pertama kali dengan memahami kronologis sejarah munculnya ide pembentukan partai politik yang bermula pada abad ke-18. Latar belakang terbentuknya sebuah partai intra-parlemen pada masa ini dikarenakan kebutuhan untuk mengakomodasi kepentingan tiap-tiap daerah. Pada tahun 1789 di Versailles, perwakilan-perwakilan provinsi pada General State mengadakan pertemuan. Sekelompok anggota legislatif dari daerah yang sama tersebut berkumpul untuk memperjuangkan kepentingan daerah mereka masing-masing. Kegiatan ini pertama kali dilakukan oleh para wakil dari Breton. Mereka secara reguler melakukan pertemuan dengan menyewa sebuah kafe. Di sana mereka berbagi pendapat terkait masalah-masalah daerah mereka dan terbentuklah apa yang mereka sebut dengan "Breton CIub". Dalam perkembangannyaanggota klub ini tidak hanya beranggotakan para wakil rakyat dari Breton saja. Mereka juga membuka kesempatan kepada para wakil daerah lain untuk bertukar pendapat sehingga topik pembahasan mereka sampai kepada isu-isu nasional. Dengan perkembangan inilah mereka menjelma menjadi kelompok ideologis. Selain Breton CIub, perkembangan awal seperti ini juga dialami oleh Girondin CIub.[50]

Setelah partai politik yang diinisiatif oleh pemerintah tersebut terbentuk dan menjalankan fungsinya, barulah mulai muncul partai politik lain yang dibentuk oleh masyarakat dengan skala yang lebih kecil. Munculnya partai politik dari luar parlemen ini disebut Ekstra-parlemen. pemimpin kelompok masyarakat membuat partai ini dengan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan mereka yang tidak dapat sepenuhnya ditampung arau diperhatikan oleh partai yang dibentuk oleh pemerintah tersebut. Sebagai contoh pada negara yang dijajah, masyarakar membenruk partai politik untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi negaranya. sedangkan pada negara maju, kelompok masyarakat yang minoritas membentuk partainya sendiri untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya yang tidak terwakili dalam sistem kepartaian yang ada. contohnya serikat buruh di Inggris dan Australia membentuk partai Buruh, kelompok keagamaan di Belanda membentuk Partai Kristen Historis, dan sebagainya.[51]

 

 

b)           Teori Situasi Historik

Menurut Teori situasi Historik, partai politik terbentuk ketika suatu sistem politik mengalami masa transisi karena adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat, misalnya dari masyarakat tradisional yang berstruktur sederhana menjadi masyarakat yang lebih modern yang berstruktur kompleks. Teori ini berangkat dari adanya kebutuhan untuk menampung kompleksitas struktur masyarakat yang semakin meningkat. Peningkatan rersebut seperti pertambahan penduduk karena peningkatan kesehatan, perluasan pendidikan, mobilitas okupasi (penduduk), perubahan pola pertanian dan industri, partisipasi media, urbanisasi, ekonomi berorientasi pasar, peningkatan aspirasi dan harapan-harapan baru, dan munculnya gerakan-gerakan populis. Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan timbulnya riga macam krisis, yaitu: (1) krisis legitimasi, (2) krisis integrasi, dan (3) krisis partisipasi.[52]

a. Krisis legitimasi yaitu perubahan yang menyebabkan masyarakat mempertanyakan legitimasi kewenangan pemerintah. Partai politik yang didukung oleh masyarakat secara penuh diharapkan dapat membentuk suatu hubungan yang terlegitimasi antara pemerintah dan masyarakat.

b. Krisis integrasi yaitu perubahan yang menimbulkan masalah dalam identitas yang menyatukan masyarakat sebagai suatu bangsa. Partai politik yang terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat berfungsi sebagai sarana integrasi berbagai latar belakang masyarakat.

c. Krisis partisipasi yaitu perubahan yang mengakibatkan tuntutan yang semakin besar untuk ikut serta dalam proses politik. Partai politik juga diharapkan mampu untuk menyalurkan aspirasi masyarakat.

Dalam upaya mengatasi tiga krisis yang terjadi tersebut maka dibentuklah partai politik. Dengan terbentuknya partai politik yang berakar kuat di masyarakat maka diharapkan pemerintahan yang terbentuk kemudian mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat. Partai politik juga diharapkan dapat berperan sebagai integrator bangsa dengan cara lebih bersifat terbuka bagi berbagai golongan. Selain itu, partai politik juga harus mampu untuk menyalurkan keinginan masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi politiknya melalui mekanisme pemilu.[53]

c)            Teori Pembangunan

Modernisasi sosial ekonomi ditandai dengan meningkatnya pembangunan di sektor sosial dan ekonomi seperti pembangunan teknologi komunikasi, peningkatan kualitas pendidikan, industrialisasi, pembentukan berbagai kelompok kepentingan dan organisasi profesi, dan segala aktivitas yang menimbulkan kebutuhan untuk membentuk suatu organisasi politik yang mampu menyalurkan aspirasi mereka. Dapat disimpulkan bahwa teori pembangunan menyatakan bahwa partai politik merupakan konsekuensi logis dari modernisasi sosial ekonomi.[54]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PROFIL KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU) PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DAN PARTAI DEMOKRAT

 

A.          Profil Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah Penyelenggara Pemilu di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Wilayah kerja KPU meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. KPU menjalankan tugasnya secara berkesinambungan dan dalam menyelenggarakan Pemilu, KPU bebas dari pengaruh pihak manapun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya. KPU berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia, KPU Provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota. Dalam menjalankan tugasnya, KPU dibantu oleh Sekretariat Jenderal; KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota masing-masing dibantu oleh sekretariat. Jumlah anggota KPU sebanyak 7 (tujuh) orang; KPU Provinsi sebanyak 5 (lima) orang; dan KPU Kabupaten/Kota sebanyak 5 (lima) orang. Keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota terdiri atas seorang ketua merangkap anggota dan anggota. Ketua KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dipilih dari dan oleh anggota. Setiap anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mempunyai hak suara yang sama. Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus). Masa keanggotaaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji. KPU pertama pasca reformasi dibentuk pada tahun 1999-2001 dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001. KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung dilantik Presiden karena masalah hukum. Untuk menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, image KPU harus diubah sehingga KPU dapat berfungsi secara efektif dan mampu memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu yang jujur dan adil tersebut merupakan faktor penting bagi terpilihnya wakil rakyat yang lebih berkualitas, dan mampu menyuarakan aspirasi rakyat. Sebagai anggota KPU, integritas moral sebagai pelaksana pemilu sangat penting, selain menjadi motor penggerak KPU juga membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat karena didukung oleh personal yang jujur dan adil. Tepat 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah satunya kualitas penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dituntut independen dan non-partisan. Untuk itu atas usul insiatif DPR-RI menyusun dan bersama pemerintah mensyahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal 22-E Undang-undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun. Perubahan penting dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, meliputi pengaturan mengenai lembaga penyelenggara Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan kemudian disempurnakan dalam 1 (satu) undang-undang secara lebih komprehensif. Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga pengawas Pemilu.

Komisi Pemilihan Umum (KPU)  dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya. KPU memberikan laporan Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu juga mengatur kedudukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara Pemilihan Umum yang bersifat ad hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka mengawal terwujudnya Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu.

Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu. Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, jumlah anggota KPU berkurang menjadi 7 orang. Pengurangan jumlah anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang tidak mengubah secara mendasar pembagian tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah. Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji. Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada asas : mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib penyelenggara Pemilu; kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi dan efektivitas.[55]

 

1)    Visi Komisi Pemilihan Umum (KPU)

 

Menjadi Penyelenggara Pemilihan Umum yang Mandiri, Professional, dan Berintegritas untuk Terwujudnya Pemilu yang LUBER dan JURDIL.

 

2)    Misi Komisi Pemilihan Umum (KPU)

 

a.     meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilu yang efektif dan efisien, transparan, akuntabel, serta aksesibel; 

b.     meningkatkan integritas, kemandirian, kompetensi dan profesionalisme penyelenggara Pemilu dengan mengukuhkan code of conduct penyelenggara Pemilu; 

c.     menyusun regulasi di bidang Pemilu yang memberikan kepastian hukum, progesif, dan partisipatif; 

d.     meningkatkan kualitas pelayanan Pemilu untuk seluruh pemangku kepentingan; 

e.     meningkatkan partisipasi dan kualitas pemilih dalam Pemilu, Pemilih berdaulat Negara kuat; dan 

f.      mengoptimalkan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi dalam penyelenggaraan Pemilu.[56]

 

B.          Sejarah dan Perkembangan Pilkada di Indonesia

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di daerah. Ini merupakan perkembangan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Dalam pemerintahan Indonesia, salah satu prinsip yang dikenal adalah prinsip otonomi, yang artinya adanya keleluasaan bagi Pemerintah Daerah untuk mengatur daerahnya sendiri. Pilkada meru-pakan sarana untuk memilih kepala daerah dan wakil-wakil rakyat di DPRD, dimana mereka dipilih langsung oleh masyarakat di daerahnya. Dengan demikian, legitimasi kedudukan Kepala Daerah dan Anggota DPRD menjadilebih representatif, bila Pilkada ini dilaksanakan secara demokratis dan sesuai dengan prosedur yang berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan.[57] Pemilihan sistem pilkada merupakan perjalanan politik panjang yang diwarnai tarik-menarik antara kepentingan elit politik dan kehendak publik, kepentingan pusat dan daerah atau bahkan antara kepentingan nasional dan internasional.

Di Indonesia, sejarah politik lokal hampir setua umur penjajahan kolonial, desentralisasi kekuasaan, dan administrasi pemerintahan itu sendiri. Bahkan apabila kita menelusuri jauh ke belakang, ke jaman kerajaan yang pernah berdiri dengan megahnya di seantero nusantara, para bangsawan mempergunakan politik lokal untuk memperluas wilayah dan kekuasaannya. Sehingga politik lokal dapat dikatakan bukanlah barang baru dalam sejarah pembentukan karakter bangsa dan negara hingga saat ini. Sejarah politik lokal terbagi dalam beberapa tahapan masa, yaitu:.[58]

 

a)    Masa Pemerintahan Belanda dan Jepang

Di awal masa penjajahan sebelum tahun 1903, pemerintah kolonial Belanda menerapkan aturan hukum berupa Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie (Stb 1855/2) yang sangat konservatif. Aturan tersebut menjelaskan tentang sentralisasi kekuasaan di Hindia Belanda bukan sebaliknya. Di samping menjalankan sentralisasi, dekonsentrasi memberikan kekuasaan kepada wilayah-wilayah administratif secara hirarkhis, namun hanya terbatas di pulau Jawa saja. Lahirnya istilah seperti Gewest kemudan berubah menjadi Residentie, Afdeeling, District, dan Onder-district, merupakan pertanda adanya bentuk perwakilan kewenangan pemerintah Belanda pada wilayah-wilayah di daerah jajahannya. Sehingga, desentralisasi sesungguhnya bukanlah hal baru di bumi Indonesia, karena pada masa penjajahan kolonial Belanda di tahun 1903 para elit Eropa di Hindia Belanda diberikan wewenang mendirikan pemerintahan sendiri, namun secara terbatas. Kerajaan Belanda menerbitkan Wethoundende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie (Stb. 1903/329), lebih dikenal sebagai Decentralisatiewet 1903. Menurut Harry J. Benda, undang-undang ciptaan bangsa penjajah tersebut tidak memberikan landasan apapun dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Hanya daerah-daerah besar sajalah mendapat perhatian dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Hindia Belanda. Selanjutnya, dapat ditebak bahwa titik berat penyelenggaraan otonomi daerah hanya fokus pada provinsi dan kabupaten besar saja. Pada tahun 1922, terbit Undang-undang tentang desentralisasi, menjadi dasar lahirnya provinsi-provinsi baru dengan otonomi administratif cukup besar. Namun demikian Sutherland mengatakanbahwa pemberian otonomi tersebut bukanlah ditujukan memberikan jalan bagi pertumbuhan demokratisasi lokal, namun sebagai benteng penangkal nasionalisme saja. Pemberian kewenangan otonomi administratif hanya menimbulkan kekacauan belaka akibat semakin tajam perbedaan antara kaum aristokrat kolonial dengan pribumi dalam mengatur pemerintahan. Pada tahun 1931, pemberontakan kekuatan komunis di Jawa Barat dan Sumatera Barat memaksa penjajah kolonial menarik kembali kewenangan otonomi lokal ke sentral (sentralisasi). Ciri dari sistem pemerintah kolonial sebelum kemerdekaan adalah sebagai berikut: Pemerintahan tidak langsung, Pemberlakukan aturan double standart, Hukum eropa konservatif bagi elit Eropa dan hukum adat bagi pribumi, berkembangnya elit pribumi berdasarkan garis keturunan kerajaan sebagai waki pemerintah kolonial di luar pulau Jawa, Isolasi gerakan nasionalis dan Pengendalian ketat daerah-daerah pedesaan dan daerah luar Jawa oleh elit pribumi tradisional patuh pada kekuasaan kolonial.[59]

Rezim pemerintahan Belanda berganti oleh pemerintahan Jepang. Pada Pemerintahan Jepang di Indonesia telah dikeluarkan 3 (tiga) undang-undang yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan yang disebut dengan 3 (tiga) osamu sirei 1942/27 yaitu Undang-Undang Nomor 27 tentang perubahan sistem pemerintahan (tertanggal 6-8-2602), Undang-Undang Nomor 28 tentang perubahan syuu (tertanggal 7-8-2602) dan Undang-Undang Nomor 30 tentang mengubah nama negeri dan nama daerah (tertanggal 1-9-2602). Pemerintahan Jepang membagi daerah menjadi karesidenan yang disebut syuu dan residennya disebut syuutyoo. Setelah karedisidenan terdapat dua pembagian daerah yang disebut ken dan si yang dikepalai oleh Kentyoo dan Sityoo. Di tingkat kawedana, keasistenan dan desa dikenal dengan nama Gunson dan Kosedangkan kepala daerahnya disebut Guntyoo, Sotyoo dan Kutyoo dimana pengangkatannya ditunjuk oleh Pemerintah Jepang.[60]

 

b)    Masa Era Kemerdekaan

Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 1945, Belanda yang terusir dari bumi Hindia Belanda karena kekalahannya melawan Jepang berusaha merebut kembali kekuasaannya di Indonesia. Segala dalih politikpun direncanakan demi merebut ambisi menduduki kembali bumi Indonesia, karena kerajaan Belanda masih memandang bahwa Indonesia sebagai koloninya.Di bawah tekanan dunia internasional, Belanda dipaksa menunaikan tanggung jawab moralnya sebagai eks-penjajah dengan membantu merancang tata administrasi pemerintahan negara Indonesia yang masih sangat belia. Pada saat itu, di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa serangkaian misi perundingan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah kerajaan Belanda dijalankan. Negara-negara kuat, seperti Inggris, memantau perkembangan perundingan dengan seksama. Di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, negosiasi diplomatik terjadi antara pemerintah Indonesia dan pemerintahan kerajaan Belanda. Di bulan September 1946 perwakilan Indonesia memulai pertemuan dengan perwakilan pemerintah kerajaan Belanda di Linggarjati dengan difasilitasi oleh pemerintah Inggris. Pemerintah Belanda memaksa berlakunya sistem negara federal di Indoenesia.[61]

Sejak kemerdekaan, ketentuan mengenai pemerintahan daerah diatur dalam sejumlah undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.[62]

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh pemerintah pusat.[63] Sementara menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Kepala Daerah Propinsi diangkat oleh Presiden dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD.[64] DPRD berhak mengusulkan pemberhentian seorang kepala daerah kepada pemerintah pusat. Namun sejak Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 hingga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, ketentuan pilkada tidak mengalami perubahan, yaitu mengikuti ketentuan sebagai berikut:

(1)  Kepala Daerah dipilih oleh DPRD;

(2)  Kepala Daerah tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden;

(3) Kepala Daerah tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri dan otonomi daerah, dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan.[65]

 

c)    Masa Orde Baru (Era Reformasi)

Terhitung sejak itu, pada tahun 1999, Indonesia mencatatkan sejarah dalam memasuki era desentralisasi sesungguhnya. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi membuka peluang politik lokal mencari jalan keluar menuju kemandirian daerah. Dapat dibayangkan semangat euphoria putra-putra daerah memindahkan kekuasaan dari pusat ke daerah berarti juga memberikan kesempatan mereka untuk menjadi “Raja-raja” baru daerah. Langkah-langkah strategis Presiden Habibie saat itu selain memberikan kebebasan pers, kebebasan mendirikan partai-partai politik, pemilu bebas, dan pemberian referendum bagi masyarakat Timor Timur yang berujung lepasnya provinsi termuda Indonesia tersebut menjadi merdeka sepenuhnya. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah memberikan dasar-dasar pemerintahan desentralisasi administratif yang sangat banyak kelemahannya.[66]

Setelah reformasi bergulir, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pilkada dilakukan dengan menggunakan sistem demokrasi tidak langsung dimana Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dengan penegasan asas desentralisasi yang kuat. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah. Rekrutmen Kepala Daerah sepenuhnya berada pada kekuasaan DPRD. Sementara pemerintah pusat hanya menetapkan dan melantik Kepala Daerah berdasarkan hasil pemilihan yang dilakukan oleh DPRD setempat. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah. DPRD berada di luar pemerintah daerah, yang berfungsi sebagai badan legislatif pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Di masa ini, kepala daerah dipilih sepenuhnya oleh DPRD, tak lagi ada campur tangan Pemerintah Pusat. Berbeda dengan sistem sebelumnya, yaitu kepala daerah diangkat oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri, yang diajukan atau diusulkan oleh DPRD.  Jika kita lihat perbandingan pilkada pada masa reformasi dan zaman orde baru, dapat dikatakan pemilihan kepala daerah di era reformasi lebih demokratis. Namun fakta menunjukkan bahwa kewenangan DPRD dan Fraksi-fraksi sangat kuat dan mengakibatkan penyalahgunaan wewenang seperti maraknya politik uang di tingkat DPRD.[67]

Pada prinsipnya, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 berusaha mendekatkan pemerintahan daerah agar lebih responsif kepada rakyatnya dan memberikan ruang transparansi lebih besar demi mencapai devolusi kekuasaan. Peran pemerintah pusat hanyalah terbatas sebagai penjaga malam saja karena sisa tanggung jawab setelah menjadi urusan daerah adalah meliputi: pertahanan keamanan nasional, kebijaksanaan luar negeri, masalah-masalah fiskal dan moneter, perencanaan ekonomi makro, sumber-sumber alam, kehakiman, dan eagama. Daerah memiliki kewenangan mengurus pekerjaan umum, pendidikan dan kebudayaan, pemeliharaan kesehatan, pertanian, perhubungan, industri, perdagangan, investasi, masalah-masalah lingkungan, koperasi, tenaga kerja, dan tanah. Di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, masalah desentralisasi semakin mencuat ke permukaan dengan bantuan liputan berbagai media. Masalah-masalah seperti korupsi, kepala daerah yang memainkan politik uang ketimbang melaksanakan pada konstituennya, kemudian wakil rakyat yang hanya mementingkan “perut” sendiri, memaksa pemerintahannya melahirkan Undang-Undang “penangkal” baru, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, masing-masing tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Menurut Malley, pemerintahan Megawati bukanlah mengamandemen Undang-Undang yang ada, tetapi malah menggantinya sama sekali. Sekalipun demikian, perubahan tidak banyak memunculkan gejolak berarti, bahkan terbilang tidak mengalami hambatan berarti karena pemilu Bupati pertama di bulan juni 2005 berlangsung lancar. Pilkada memilih pemimpin daerah secara langsung bukan simbol-simbol partai seperti masa lalu mendorong masyarakat secara aktif berpartisipasi dalam kampanye dan datang berduyun-duyun mencoblos calon pilihannnya di bilik-bilik pemilihan. Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono diwarnai dengan kebijakan-kebijakan desentralisasi bernama pemekaran. Pemekaran adalah nama yang dipergunakan dalam proses desentralisasi yang menciptakan unit-unit administratif baru di dalam provinsi-provinsi dan distrik-distrik yang telah ada sebelumnya. Istilah tersebut mungkin meniru sistem redistricting di Amerika Serikat yang berarti pembentukan kembali distrik-distrik. Proses redistricting di Amerika Serikat sama sekali bukan hal yang spesifik karena setiap tahun pemilihan hampir dapat dipastikan karena perubahan laju pertumbuhan penduduk, urbanisasi, imigrasi, dan emigrasi, sehingga peta wilayah pemilihan harus selalu disesuaikan. Lain halnya dengan proses serupa di negara-negara Afrika terutama Nigeria, pemekaran hampir selalu dikaitkan dengan maksud-maksud politis tertentu seperti penguasaan sumber-sumber daya alam, kekuasaan segelintir elit daerah, dan peluang mendapatkan alokasi bantuan dana dari pusat.Ketika Mahkaman Konstitusi menyetujui tinjauan yuridis (judicial review) terhadap Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di tahun 2008 yang memperbolehkan calon independen berkompetisi dalam ajang pemilihan kepala daerah dengan calon-calon kader partai politik, politik lokal seperti tidak terpisahkan dari proses politik dan demokrasi di Indonesia. Selama ini, menurut ketentuan perundangan dalam Undang-Undang tersebut, calon kepala daerah hanya boleh diajukan oleh partai politik sehingga calon-calon lain di luar partai politik tidak diberikankesempatan sama sekali maju dalam pilkada. Momen bersejarah ini sangat penting bagi terbukanya ruang partisipasi masyarakat lokal dalam memilih pemimpin dambaannya. Figur-figur partai politik akan dipaksa lebih memperhatikan aspirasi masyarakat ketimbang ambisi pribadi dan partai pengusungnya. Walaupun demikian, jalan panjang masih harus dibenahi guna menggolkan calon-calon independen kepala daerah dalam pilkada masing-masing daerah. Aturan main dan batasan-batasan etika pengajuan calon masih terbentur dengan pola pemilihan lama yang mengandalkan kekuatan mesin-mesin politik partai dan uang sebagai jaminan kemenangan calon. Alhasil, calon independen sangatlah sulit memenangkan pilkada tanpa kehadiran partai politik pendukung. Padahal, terbukanya ruang bagi calon independen merupakan ajang pembelajaran masyarakat lokal menjalankan demokrasi sesungguhnya. Sejalan dengan fitrahnya berdemokrasi akan kembali kepada rakyatnya juga. Masyarakat berpartisipasi aktif dalam proses kehidupan sosial dan politik negaranya begitupun di tiap daerah tempat mereka tinggal. Keadaan seperti itu akan mendorong demokrasi ke level lokal. Tarik ulur antara proses demokratisasi pusat dan lokal serta interaksinya dengan sistem demokrasi di luar Indonesia, menghasilkan dinamika. Selain itu, desentralisasi terjadi di seluruh pelosok kabupaten dan kota di Indonesia turut menghasilkan dinamika politik lokal. Menguatnya politik lokal dapat dilihat dari gegap gempita pelaksanaan pilkada yang di tahun 2008 serentak terjadi di hampir 300-an lebih Kabupaten dan Kota termasuk ke-33 Provinsi di Indonesia. Dapat dibayangkan berapa energi, waktu, dan uang bermain dalam kontes demokrasi lokal tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa jauh kemanfaatan proses demokratisasi lokal tersebut bagi pembelajaran politik bagi masyarakat lokal yang bukan hanya sebatas menyuarakan kepentingannya saja. Namun lebih jauh, terlibat dalam setiap pengambilan keputusan yang akan berdampak pada kehidupan mereka.[68]

 

C.          Profil Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah nama sebuah partai Islam di Indonesia. Sebelum mentransformasikan diri menjadi PKS, PK adalah nama partai yang dibentuk tahun 1998. Nama PK berubah menjadi PKS, karena tidak memenuhi electroral threshold. PKS ini didirikan di Jakarta pada hari Sabtu, tanggal 9 Jumadil Awwal yang bertepatan dengan tanggal 20 April 2002. Partai ini berasaskan Islam. PKS adalah partai dakwah Islam.Dikatakan partai dakwah karena pembentukan partai ini memang berangkat dari niat untuk melakukan tugas dakwah di bidang politik. Partai ini mengusung ciri yaitu sebagai partai yang bersih, peduli dan profesional. Kantor pusat partai ini berkedudukan di Jakarta. Sebagai partai yang didirikan di Indonesia, PKS memiliki visi menjadi partai pelopor dalam mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun misi partai ini adalah menjadikan Partai sebagai sarana perwujudan masyarakat madani yang adil, sejahtera, dan bermartabat yang diridhai Allah subhanahu wata’ala, dalam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[69]

Tujuan didirikannya PK Sejahtera, sebagaimana tertuang dalam AD/ART, adalah “Terwujudnya masyarakat madani yang adil dan sejahtera yang diridhoi Allah SWT dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”. PK Sejahtera menyadari pluralitas, etnik dan agama masyarakat Indonesia yang mengisi wilayah beribu pulau dan beratus suku yang membentang dari Sabang hingga Merauke, yang dilalui garis khatulistiwa di dalamnya.[70]

Partai Keadilan Sejahtera pada awalnya adalah Partai Keadilan (PK), yang didirikan pada tanggal 20 Juli 1998. PK lahir dari momentum euphoria reformasi setelah lengsernya Soeharto tahun 1998. Basis Partai ini adalah gerakan Tarbiyah model Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tokoh utamanya adalah Hasan Al-Banna. Gerakan Tarbiyah ini menurut Norma Permata, seperti dikutip oleh Muslihudin, adalah gerakan yang mengadopsi konsep Islamisasi secara gradual (gradual Islamisation), yaitu berawal dari individu ke dalam keluarga, ke dalam masyarakat, dan kemudian ke dalam politik. Seperti halnya Ikhwanul Muslimin, doktrin politik PKS berkembang dalam proses pengembangan sistem masyarakat Islam melalui tahapan-tahapan (gradual), sebagai berikut: pertama, ta’sisi (the formation stage), yaitu mengawali pembentukan gerakan dakwah. Kedua, tandzimi (the foundation stage), yaitu pengembangan organisasi melalui rekruitmen kader untuk mengembangkan jaringan organisasi, ketiga, sya’bi (the socialization stage), yaitu mengawali gerakan dakwah dengan memperkenalkan aktifitas dakwah kepada publik yang lebih luas dan melakukan rekruitmen anggota secara terbuka. Keempat, muassasi (the penetration stage), yaitu kegiatan partisipasi gerakan dakwah melalui proses pelembagaan politik seperti pemilu. Kelima, dauly (the government phase), yaitu di mana aktor dakwah menduduki posisi pemerintah.[71]

Dalam kancah perpolitikan, setidaknya ada tujuh peranan yang PKS dermakan untuk Indonesia. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam Platform Kebijakan Partai Keadilan Sejahtera. Sebagai berikut:

1.     Berkaitan dengan bentuk negara. Sebagai wujud dari rasa tanggung jawab kaum Muslimin terhadap rumah besarnya yang bernama Indonesia, dan panggilan dakwah yang menjadi rahmat bagi semesta alam, PK Sejahtera bahu-membahu bersama entitas politik lainnya untuk mengisi pembangunan menuju Indonesia yang maju, kuat, aman, adil, sejahtera dan bermartabat sesuai dengan cita-cita universal, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang adil dan makmur di bawah lindungan Allah.

2.     Berkaitan dengan dinamika politik nasional, PK Sejahtera mendorong agar Indonesia Baru ke depan berada pada kondisi politik yang sehat dan dinamis, dimana terjadi pematangan dari kondisi transisi menuju konsolidasi demokrasi yang mantap, yang ditandai dengan terbuka lebarnya ruang berekspresi masyarakat dalam koridor hukum dan tertib sosial.

3.     Berkaitan dengan model demokrasi. Eksperimentasi politik di masa transisi saat ini ditandai dengan terbuka lebarnya ruang ekspresi dan ledakan partisipasi politik dalam bentuk munculnya banyak partai politik, namun tetap dalam format sistem presidensial. Sejarah perpolitikan Tanah Air sejak era Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin di zaman Orde Lama, serta Demokrasi Presidensial di zaman Orde Baru, sampai hari ini di era Reformasi dengan praktek ”Demokrasi Parlemen Multi Partai” memperlihatkan pergerakan bandul sejarah dari sistem liberal.

4.     Berkaitan dengan sistem ketatanegaraan PK Sejahtera berkeyakinan, bahwa pemerintah mestilah efisien dan efektif dalam mengelola negara.Secara bertahap bersama tumbuhnya kekuatan negara, maka pemerintah mengambil posisi pada pengelolaan fungsi minimal negara, dan menyerahkan fungsi lainnya bagi partisipasi masyarakat.

5.     Berkaitan dengan tata hubungan pemerintahan secara vertikal serta otonomi daerah, maka PK Sejahtera berkeyakinan, bahwa hubungan ini dilaksanakan dengan menjalankan kewenangan pusat secara lebih efektif sekaligus dengan meningkatkan kualitas pelaksanaan kewenangan daerah melalui penguatan kelembagaan, pembinaan SDM, dan peningkatan kapasitas.

6.     Berkaitan dengan birokrasi, birokrasi yang bersih, peduli, dan profesional merupakan cermin akan “tubuh” bangsa ini sehari-hari yang merefleksikan ruh pengelolaan negara.

7.     Partai Keadilan Sejahtera berkeyakinan, bahwa strategi penegakan hukum harus diawali dengan membersihkan aparat penegaknya dari perilaku bermasalah dan koruptif, sesuai dengan pepatah, “hanya sapu bersih yang dapat membersihkan lantai kotor”. Sebab, penegakan hukum sangat bergantung pada aparat yang bersih, baik di kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan seluruh jajaran birokrasi yang menjalankan fungsi-fungsi penegakan hukum tersebut.[72]

 

Terkait dengan bahasan teologi PKS ini, PKS tidak berbeda dengan Ikhwanul Muslimin, yang memiliki lima slogan organisasi yaitu: Allah adalah tujuan kami, Al-Quran adalah konstitusi kami, Rasulullah adalah pimpinan kami, jihad adalah jalan kami, dan syahid adalah cita-cita kami.[73]

 

D.          Profil Partai Demokrat

Partai Demokrat didirikan atas inisiatif saudara Susilo Bambang Yudhoyono yang terilhami oleh kekalahan terhormat saudara Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilihan Calon wakil Presiden dalam Sidang MPR tahun 2001. Dari perolehan suara dalam pemilihan cawapres dan hasil pooling publik yang menunjukkan popularitas yang ada pada diri Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya disebut SBY), beberapa orang terpanggil nuraninya untuk memikirkan bagaimana sosok SBY bisa dibawa menjadi Pemimpin Bangsa danbukan direncanakan untuk menjadi Wakil Presiden RI tetapi menjadi Presiden RI untuk masa mendatang. Hasilnya adalah beberapa orang diantaranya saudara Vence Rumangkang menyatakan dukungannya untuk mengusung SBY ke kursi Presiden, dan bahwa agar cita-cita tersebut bisa terlaksana, jalan satu-satunyaadalah mendirikan partai politik. Perumusan konsep dasar dan platform partaisebagaimana yang diinginkan SBY dilakukan oleh Tim Krisna Bambu Apus danselanjutnya teknis administrasi dirampungkan oleh Tim yang dipimpin oleh saudara Vence Rumangkang. Juga terdapat diskusi-diskusi tentang perlunya berdiri sebuah partai untuk mempromosikan SBY menjadi Presiden, antara lain: Pada tanggal 12 Agustus 2001 pukul 17.00 diadakan rapat yang dipimpin langsung oleh SBY di apartemen Hilton. Rapat tersebut membentuk tim pelaksana yang mengadakan pertemuan secara marathon setiap hari. Tim itu terdiri dari : Vence Rumangkang, Drs. A. Yani Wahid (Alm), Achmad Kurnia, Adhiyaksa Dault, SH, Baharuddin Tonti, dan Shirato Syafei. Di lingkungan kantor Menkopolkam pun diadakan diskusi-diskusi untuk pendirian sebuah partai bagi kendaraan politik SBY dipimpin oleh Drs. A. Yani Wachid (Almarhum). Pada tanggal 19 Agustus 2001, SBY memimpin langsung pertemuan yang merupakan cikal bakal pendirian dari Partai Demokrat. Dalam pertemuan tersebut, saudara Vence Rumangkang menyatakan bahwa rencana pendirian partai akan tetap dilaksanakan dan hasilnya akan dilaporkan kepada SBY. Tanggal 20 Agustus 2001, saudara Vence Rumangkang yang dibantu oleh saudara Drs. Sutan Bhatoegana berupaya mengumpulkan orang-orang untuk merealisasikan pembentukan sebuah partai politik. Pada akhirya, terbentuklah Tim 9 yang beranggotakan 10 (sepuluh) orang yang bertugas untuk mematangkan konsep-konsep pendirian sebuah partai politik yakni: Vence Rumangkang, Dr. Ahmad Mubarok, MA., Drs. A. Yani Wachid (almarhum), Prof. Dr.Subur Budhisantoso, Prof. Dr. Irzan Tanjung, RMH. Heroe Syswanto Ns., Prof. Dr. RF. Saragjh, SH., MH., Prof. Dardji Darmodihardjo, Prof. Dr.Ir. Rizald Max Rompas dan Prof. Dr. T Rusli Ramli, MS. Disamping nama-nama tersebut, ada juga beberapa orang yang sekali atau dua kali ikut berdiskusi. Diskusi Finalisasi konsep partai dipimpin oleh Bapak SBY. Untuk menjadi sebuah Partai yang disahkan oleh Undang-Undang Kepartaian dibutuhkan minimal 50 (limapuluh) orang sebagai pendirinya, tetapi muncul pemikiran agar jangan hanya 50 orang saja, tetapi dilengkapi saja menjadi 99 (sembilan puluh sembilan) orang agar ada sambungan makna dengan SBY sebagai penggagas, yakni SBY lahir tanggal 9 bulan 9. Pada tanggal 9 September 2001, bertempat di Gedung Graha Pratama Lantai XI, Jakarta Selatan dihadapan Notaris Aswendi Kamuli, SH., 46 dari 99 orang menyatakan bersedia menjadi Pendiri Partai Demokrat dan hadir menandatangani Akte Pendirian Partai Demokrat. 53 (lima puluh tiga) orang selebihnya tidak hadir tetapi memberikan surat kuasa kepada saudara Vence Rumangkang. Kepengurusan pun disusun dan disepakati bahwa Kriteria Calon Ketua Umum adalah Putra Indonesia asli, kelahiran Jawa dan beragama Islam, sedangkan Calon Sekretaris Jenderal adalah dari luar pulau jawa dan beragama Kristen. Setelah diadakan penelitian, maka saudara Vence Rumangkang meminta saudara Prof. Dr. Subur Budhi Santoso sebagai Pejabat Ketua Umum dan saudara Prof. Dr. Irsan Tandjung sebagai Pejabat Sekretaris Jenderal sementara Bendahara Umum dijabat oleh saudara Vence Rumangkang. Pada malam hari nya pukul 20.30, saudara Vence Rumangkang melaporkan segala sesuatu mengenai pembentukan Partai kepada SBY di kediaman beliau yang saat itu sedang merayakan hari ulang tahun ke 52 selaku koordinator penggagas, pencetus dan Pendiri Partai Demokrat. Dalam laporannya, saudara Vence melaporkan bahwa Partai Demokrat akan didaftarkan kepada Departemen Kehakiman dan HAM pada besok hari yakni pada tanggal 10 September 2001. Pada tanggal 10 September 2001 jam 10.00 WIB Partai Demokrat didaftarkan ke Departemen Kehakiman dan HAM RI oleh saudara Vence Rumangkang, saudara Prof. Dr. Subur Budhi Santoso, saudara Prof. Dr. Irsan Tandjung, saudara Drs. Sutan Bhatogana MBA, saudara Prof. Dr. Rusli Ramli dan saudara Prof. Dr. RF. Saragih, SH, MH dan diterima oleh Ka SUBDIT Pendaftaran Departemen Kehakiman dan HAM. Kemudian pada tanggal 25 September 2001 terbitlah Surat Keputusan Menkehakiman & HAM Nomor M.MU.06.08.-138 tentang pendaftaran dan pengesahan Partai Demokrat. Dengan Surat Keputusan tersebut Partai Demokrat telah resmi menjadi salah satu partai politik di Indonesia dan pada tanggal 9 Oktober 2001 Departemen Kehakiman dan HAM RI mengeluarkan Lembaran Berita Negara Nomor : 81 Tahun 2001 Tentang Pengesahan. Partai Demokrat dan Lambang Partai Demokrat. Selanjutnya pada tanggal 17 Oktober 2002 di Jakarta Hilton Convention Center (JHCC), Partai Demokrat di deklarasikan dan dilanjutkan dengan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pertama pada tanggal18-19 Oktober 2002 di Hotel Indonesia yang dihadiri Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) seluruh Indonesia. Sejalan dengan deklarasi berdirinya Partai Demokrat, sebagai perangkat organisasi dibuatlah Anggaran Dasar dan Anggaran RumahTangga (AD/ART). Sebagai langkah awal maka pada tahun 2001 diterbitkan AD/ART yang pertama sebagai peraturan sementara organisasi. Pada tahun. 2003 diadakan koreksi dan revisi sekaligus didaftarkan ke Departemen Kehakiman dan HAM RI sebagai Persyaratan berdirinya Partai Demokrat. Sejak pendaftaran tersebut, AD/ART Partai Demokrat sudah bersifat tetap dan mengikat hingga ada perubahan oleh forum Kongres.[74]

1)    Visi Partai Demokrat

Partai Demokrat bersama masyarakat luas berperan mewujudkan keinginan luhur rakyat Indonesia agar mencapai pencerahan dalamkehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur, menjunjung tinggi semangat Nasionalisme, Humanisme dan Internasionalisme, atas dasar ketakwaan kepada Tuhan yang maha Esa dalam tatanan dunia baru yang damai, demokratis dan sejahtera.  Indonesia menjadi Negara Maju di Abad 21. Indonesia menjadi Negara Kuat di tahun 2045. Indonesia menjadi Emerging Economy di tahun 2030. Menjadi partai politik masa depan yang: Kuat, berintegritas dan berkapasitas. Relevan dan adaptif dengan perkembangan zaman, Konsisten pada nilai, idealisme dan platform perjuangan partai yang menjunjung tinggi perdamaian, keadilan, kesejahteraan, demokrasi dan kelestarian lingkungan, Menyatu dengan rakyat dan terus memperjuangkan kepentingan dan aspirasi rakyat dan Mempertahankan jati diri sebagai partai Nasionalis-Religius, Partai Terbuka, Partai Tengah, Partai Pluralis dan Partai Pro Rakyat Kecil.

 

2)    Misi Partai Demokrat

 

a.   Memberikan garis yang jelas agar partai berfungsi secara optimal dengan peranan yang signifikan didalam seluruh proses pembangunan Indonesia baru yang dijiwai oleh semangat reformasi serta pembaharuan dalam semua bidang kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan kedalam formasi semula sebagaimana telah diikrarkan oleh para pejuang, pendiripencetus Proklamasi kemerdekaan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan titik berat kepada upaya mewujudkan perdamaian, demokrasi (Kedaulatan rakyat) dan kesejahteraaa;

b.  Meneruskan perjuangan bangsa dengan semangat kebangsaan barudalam melanjutkan dan merevisi strategi pembangunan Nasional sebagai tumpuan sejarah bahwa kehadiran partai Demokrat adalah melanjutkan perjuangan generasi-generasi sebelumnya yang telah aktif sepanjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia, sejak melawan penjajah merebut Kemerdekaan, merumuskan Pancasila dan UUD 1945, mengisi kemerdekaan secara berkesinambungan hingga memasuki era reformasi;

c.   Memperjuangkan tegaknya persamaan hak dan kewajibanWarganegara tanpa membedakan ras, agama, suku dan golongandalam rangka menciptakan masyarakat sipil (civil society) yang kuat, otonomi daerah yang luas serta terwujudnya representasi kedaulatan rakyat pada struktur lebaga perwakilan dan permusyawaratan;

d.  Sebagai salah satu kekuatan politik nasional, Partai Demokrat berpartisipasi dan berkontribusi dalam kehidupan bernegara dan pembangunan nasional, menuju terwujudnya Indonesia yang makin maju, makin damai, makin adil, makin sejahtera dan makin demokratis; dan

e.   Sebagai partai politik, Partai Demokrat mengemban misi sebagai berikut: Memenangkan pemilihan umum pada tingkat nasional, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden, Memenangkan pemilihan umum tingkat daerah, baik pemilu legislatif maupun pemilu kepala daerah, Mempersiapkan kader-kader Demokrat untuk maju sebagai peserta pemilihan umum, baik pusat maupun daerah, baik legislatif maupun eksekutif, Menjalin komunikasi secara berkelanjutan dengan rakyat guna mengetahui persoalan, harapan dan aspirasi mereka, untuk selanjutnya diperjuangkan di berbagai medan pengabdian dan penugasan partai, dan Menjalankan kehidupan internal partai sesuai dengan undang-undang dan anggaran dasar serta anggaran rumah tangga, menuju masa depan Partai Demokrat yang makin kuat, makin modern, makin dicintai rakyat dan makin kontributif bagi pembangunan bangsa.[75]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

PENOLAKAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DAN PARTAI DEMOKRAT TERHADAP PEMILU SERENTAK 2024

 

A.          Latar Belakang Pilkada Serentak 2024

Proses panjang sistem ketatanegaraan dan politik Indonesia telah mengalami suatu pergeseran atau transformasi yang lebih demokratis ditandai dengan perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia melalui Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Amandmen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah meletakan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dengan meletakan kedaulatan berada ditangan rakyat.[76] Agenda politik nasional strategis dan memiliki aspek pemerintahan dan kemasyarakatan yang luas dengan segala konsekuensinya bagi masa depan sistem politik Indonesia adalah Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Bukan hanya mengejar target keserentakan pencalonan, dinamika kampanye, dan pelantikannya, tetapi juga kesejalanannya dinamika di daerah dengan agenda pembangunan yang dicanangkan Pusat agar dapat mencapai sasaran dengan hasil maksimal. Konstruksi politik beroperasinya sistem presidensial yang tidak terpencar masing-masing kegiatannya di tingkat lokal sebagai akibat latar belakang politik kepala daerahnya yang beragam dengan pemerintah koalisi di Pusat, adalah sintesa besar dari pembahasan substansi penting dari demokrasi pilkada sebagai agenda nasional.[77]

Pemilihan Umum (pemilu) merupakan konsekuensi logis dari negara demokrasi, dan demokrasi adalah cara aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum.[78] Pada Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. Demokratis berarti kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Demokrasi, negara hukum, dan negara kesejahteraan menjadi dasar filosofis dari penyelenggaraan pemilu.[79] Menurut Satjipto Rahardjo, Pemilu yang demokratis ialah lembaga yang mereproduksi kontrak sosial baru antara rakyat dengan pemimpin pemerintahan.[80] Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie, pemilu selain sebagai perwujudan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM), juga bertujuan untuk mengisi dan melaksanakan suksesi kepemimpinan secara tertib.[81] Dalam melaksanakan pemilihan umum yang demokratis, dapat dijalankan secara langsung maupun tidak langsung.[82]

Penyelenggaraan pilkada serentak yang dilaksanakan secara bertahap dimulai pada 2015, kemudian tahap kedua akan dilaksanakan pada 15 Februari 2017 untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada semester kedua 2016 dan yang berakhir pada 2017. Selanjutnya, secara bertahap gelombang ketiga direncanakan Juni 2018, berikutnya tahun 2020, 2022, dan 2023 hingga pilkada serentak nasional pada tahun 2027 yang meliputi seluruh wilayah Indonesia. Namun, draf Revisi Undang-undang Pemilu dan Pilkada terkait pelaksanaan pilkada serentak yang dinormalisasi dan diadakan pada 2022 atau 2023, menuai pro dan kontra di tengah masyarakat dan elite partai politik, yang mana draf tersebut berisi tentang aturan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Pilkada 2022 dan 2023 akan dilakukan serentak pada 2024 sudah masuk dalam program Legislasi Nasional (prolegnas).[83]

Di tahun 2020 ini Indonesia memang akan melaksanakan pesta demokrasi yaitu dengan pemilihan umum kepala daerah secara serentak. Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak artinya Pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administrative setempat yang memenuhi syarat, yang dilakukan secara bersamaan di daerahdaerah yang ada di Indonesia. Pemilihan kepala daerah dilakukan sekaligus bersama wakil kepala daerahnya, yang mana mencakup Gubernur dan Wakil Gubernur untuk provinsi, Bupati dan Wakil Bupati untuk kabupaten, dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota untuk kota. Ada 270 wilayah di Indonesia akan menggelar Pilkada 2020. Pilkada serentak 2020 ini merupakan Pilkada serentak gelombang keempat yang dilakukan untuk kepala daerah hasil pemilihan Desember 2015. Ada 270 daerah yang melaksanakan pilkada serentak 2020, rinciannya adalah 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Pilkada Serentak 2020 seharusnya diikuti 269 daerah, namun menjadi 270 karena Pilkada Kota Makassar diulang pelaksanaannya.[84]

Pilkada serentak merupakan upaya untuk menciptakan local accountability, political equity dan local responsiveness. Dengan begitu, demokratisasi di tingkat lokal terkait erat dengan tingkat partisipasi, dan relasi kuasa yang dibangun atas dasar pelaksanaan azas kedaulatan rakyat. Selain itu, hasil pilkada juga harus mampu menghantarkan masyarakat pada kondisi sosial, politik dan ekonomi yang lebih baik. Pilkada yang baik akan melahirkan pemerintahan yang baik. Pilkada yang diselenggarakan secara lebih profesional, demokratis, akan memberikan dampak nyata terhadap perubahan politik. Meskipun demikian, dalam praktiknya Pilkada melahirkan berbagai konflik yang di antaranya dipicu oleh masalah administrasi data pemilih, netralitas penyelenggara Pemilu, serta kurangnya kepatuhan peserta pilkada dan partai politik terhadap peraturan yang berlaku. Pilkada serentak sebagai agenda politik nasional menuju demokratisasi dapat berjalan secara substansi dan tidak sekedar ritual prosedur semata.[85]

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Laoly sepakat untuk mencabut revisi Undang-Undang (RUU) Pemilu dari Prolegnas Prioritas 2021. Dengan pencabutan RUU tersebut, maka Pilkada 2022 dan 2023 akan tetap dilakukan serentak pada 2024. Berbarengan dengan Pileg dan Pilpres. 7 Fraksi (PDIP, Partai Golkar, Nasdem, PKB, PAN, PPP) setuju UU Pemilu dikeluarkan dari prolegnas 2021. Satu Fraksi (PKS) sikapnya meminta RUU Pemilu masuk prolegnas prioritas, tapi memahami sikap mayoritas fraksi dan menghormati surat dari komisi II. Dan satu Fraksi (Demokrat) meminta RUU Pemilu masuk prolegnas prioritas 2021.

Anggota Baleg dari Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan menyampaikan pandangan fraksinya. Dia menyebut sejak reformasi Indonesia merubah sistem pemilu setiap lima tahun sekali. Hal tersebut membuat pola pemilihan umum sulit untuk dievaluasi. Ditambah situasi pandemi Covid-19 yang mengharuskan semua pihak fokus pada pemulihan ekonomi dan kesehatan.[86]

Komisi II DPR RI bersama pemerintah, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) telah menyepakati jadwal Pemilu 2024, baik itu pilpres, pileg maupun pilkada. Setidaknya ada empat poin penting dari kesepakatan sejumlah lembaga tersebut. Perihal jadwal Pemilu 2024 disepakati dalam Konsinyering[87] antara Komisi II DPR, pemerintah, KPU, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kemarin, Kamis (3/6/2021). Adalah Wakil Ketua Komisi II DPR Luqman Hakim yang mengungkapkan kesepakatan dalam konsinyering tersebut. Sejumlah hasil konsinyering, yakni tahapan pilpres dan pileg mulai digelar pada awal 2022. Sedangkan pencoblosan pilpres dan pileg diselenggarakan pada awal 2024.

Berikut empat poin penting yang disepakati dalam konsinyering antara komisi II DPR, Pemerintah, KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengenai pemilu tahun 2024:[88]

1.     Tahapan pilpres-pileg dimulai maret 2022, yakni tahapan akan dimulai 25 bulan sebelum pemungutan suara.

2.     Pencoblosan pilpres-pileg digelar 28 Februari 2024.

3.     Pencalonan di Pilkada berdasarkan hasil pileg.

4.     Pencoblosan pilkada 2024 digelar 27 November.

B.          Muatan Aturan Umum Pilkada Serentak 2024

Menurut Ketua KPU Ilham Saputra, usulan mengenai pilkada serentak 2024 didasari sejumlah hal mendasar, terutama UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. KPU menjelaskan mengenai wacana revisi UU nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan bahwa Pemilu akan diselenggrakan sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 serentak pada tahun 2024. Selanjutnya, KPU meneaskan bahwa sebagai lembaga penyelenggara pemilu, mereka taat dan patuh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini adalah Pasal 167 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 dan pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 tahun 2016. Pada pasal tersebut pada prinsipnya mengatur bahwa pemilu dan pemeilihan serentak nasional akan diselenggarakan pada tahun 2024.[89]

          Pilkada serentak nasional tahun 2024 yang diamanatkan dalam pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016 perubahan kedua UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang pilkada yang akan diikuti 33 Provinsi, 415 Kabupaten, dan 93 Kota sehingga berjumlah 541 daerah otonom atau daerah secara serentak akan melaksanakan pilkada di tahun 2024.[90] KPU menambahkan bahwa kewenangan dalam hal pembentukan dan perubahan Undang-Undang (UU) ada pada pembentuk UU, dalam hal ini adalah DPR bersama Pemerintah. Sementara itu, KPU selaku penyelenggara pemilu fokus pada tugas, wewenang, dan kewajibannya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku. Sesuai aturan, KPU juga hanya dapat memberikan masukan dan pengalaman menjalankan Pemilu dan Pemilihan kepada Kementerian Dalam Negeri selaku perwakilan Pemerintah dan DPR selaku perwakilan legislative. Terakhir, KPU menjelaskan bahwa dalam prosesnya, semua dilaksanakan dengan berkoordinasi dalam bentuk Tim Kerja yang terdiri dari DPR, Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP. Kesepakatan Tim Kerja Bersama menetapkan bahwa Pemilu dan Pemilihan tetap diselenggarakan pada tahun 2024 sebagaimana UU Nomor 7 Tahun 2017 dan UU 10 Tahun 2016.[91]

 

C.          Penolakan Partai Keadilan Sejahtera Dan Partai Demokrat Terhadap Pemilu Serentak 2024

Sesuai dengan UU Pilkada, pemilihan kepala daerah akan digelar serentak dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) tahun 2024. Namun, beberapa partai mengusulkan perubahan ini lewat revisi UU Pemilu. Dalam draf revisi UU Pemilu, Pilkada akan tetap digelar pada 2022 dan 2023, mengikuti siklus lima tahunan setelah Pilkada 2017 dan 2018. Kemudian, Pilkada serentak baru akan digelar pada 2027.

Namun, banyak elite politik saling bersilang pendapat mengenai beberapa poin yang terkandung dalam subtansi draf RUU Pemilu, yang mana salah satunya adalah pelaksanaan pilkada itu dinormalisasikan dan diadakan pada 2022 atau 2023. Aturan tersebut tidak ada dalam UU Pemilu dan Pilkada sebelumnya. Karena dalam UU No.10 Tahun 2016 pilkada tahun 2022 dan 2023 akan dilakukan serentak pada tahun 2024. Dan beberapa fraksi yang menolak usulan bahwa pilkada dilaksanakan pada tahun 2022 dan 2023. Mereka sepakat agar pilkada tetap digelar serentak pada tahun 2024.

Ada beberapa fraksi yang menolak pelaksanaan pilkada serentak 2024, yakni Partai Kesejahteraan Sosial dan Partai Demokrat yang menginginkan RUU Pemilu tetap dilaksanakan, yang kemudian pilkada serentak akan digelar pada tahun 2027. Menurut Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), penolakan dan dukungan terhadap revisi Undang-undang Pemilu itu dilatarbelakangi hitung-hitungan partai politik dalam menerapkan strategi Pemilu 2024. Dan ini merupakan suatu hal yang wajar terjadi karena parpol akan berhitung agar kepentingan politiknya bisa diakomodasi.[92]

Fraksi Partai Demokrat mendorong agar pembahasan revisi UU Pemilu diselesaikan secara komprehensif dan holistik. Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat, Santoso menilai Pilkada serentak 2024 hanya akan membuat beban teknis di lapangan sangat tinggi yang berpotensi memakan banyak korban jiwa seperti pemilu 2019 lalu.

Pandemi Covid-19 menjadi alasan pelaksaan penundaan pilkada 2022. Dengan tetap diselenggarakannya Pilkada 2022, memang tidak dapat dipungkiri sangat berpotensi memunculkan kerumunan-kerumunan massa yang mana potensi penularan sangat tinggi. Alasan kedua adalah anggaran kita yang di alokasikan dulu unuk mendanai bantuan korban virus covid dan untuk pencegahan Covid-19 dan dana-dana yang di belanjakan untuk membeli vaksin dan sebagainya serta bantuan-bantuan sosial sehingga pilkada di undur terlebih dahulu karena dananya di pakai untuk kepentingan masyarakat.[93]

Ada dua alasan untuk tidak melaksanakan Pilkada Serentak 2024. Pertama, secara filosofis pelaksanaan pilkada 2024 itu menghilangkan kesempatan rakyat untuk berfikir secara proporsional, kerena waktunya barengan dengan pillpres, sehingga boleh jadi adanya bias ketika memilih pemimpin. Kedua, secara teknis pelaksanaan berpeluang adanya komplikasi dilapangan seperti contoh pemilu kemarin, pileg dan pilpres disatukan, menyebabkan korban.[94]

Dari penjelasan pendapat kedua Fraksi Partai tersebut, menurut penulis pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 setuju untuk tidak dilaksanakan karena ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Mengingat kejadian pada Pemilu Tahun 2019, banyaknya beban kerja terhadap para petugas KPPS hingga menyebabkan kematian kemudian situasi keadaan sekarang masih dalam pandemi Virus Covid-19 yang belum jelas kapan berakhirnya dan pemerintah juga belum mengumumkan kehidupan yang akan berdampingan dengan Virus Covid-19 atau disebut juga dengan endemi.

Ide Pilkada Serentak ini adalah ide efisiensi namun esensi dari demokrasi adalah bagaimana bisa menangkap secara utuh aspirasi masyarakat. Menurut beliau, pilkada yang diselenggarakan serentak bersama Pileg dan Piplres mempunyai beberapa kekurangan. Pertama, tidak memberikan porsi kepada setiap jenis pemilu yang ada, contoh; ketika pilpres disatukan bersama pileg maka pileg akan terabaikan, masyarakat lebih fokus pada pilpresnya. Ketika pilkada disatukan pileg dan pilpres bisa jadi efek pilpres akan sangat mempengaruhi kualitas dari pilkada. Lalu teorinya ada coat-tail effect,[95] jadi peluang capres menang secara lebih banyak meraih banyak dukungan di pilkada 2024.

Kedua, harusnya setiap pemilu diberikan haknya, pilpres terlebih dahulu karena kita menganut sistem presidensial, kemudian pileg, kemudian pilkada ditahun yang berbeda. Alasan beliau diadakan setiap pemilu ditahun berbeda karena masing masing memiliki hak, seperti ketika pilpres membicarakan tantangan dan peluang bangsa secara nasional dari sudut eksekutif, ketika pileg bicara tentang kualitas legislator, ketika pilkada bicara tentang masalah lokal baik provinsi maupun kabupaten/kota. Terakhir, pilkada serentak membuat interaksi partai politik atau calon pemimpin dengan rakyatnya itu terjadi sekali saja dalam lima tahun saat pilkada, padahal dalam pileg dan pilpres di tahun yang berbeda.[96]

Pelaksanaan pilkada seretak 2024 itu pilkada yang nuasanya lebih kepada nuansa politik nasional. Di 2022 ketika masa berakhirnya kepimpinan daerah, kekosongan tersebut dapat di isi oleh Pelaksana Tugas (PLT) yang diturunkan dari pusat sehingga penguatan jaringan kekuatan kelompok tertentu bisa lebih dominan. Pengalaman itu di ambil ketika pilkada 2020, banyak sekali kader berhasil menjadi pepimpin daerah yang di usung oleh partai Demokrat. Di tahun 2022, tingkat keberhasilan bisa mencapai 90% dan kegagalan hanya 10% yang menjadi pimpinan daerah, karena Partai Demokrat mempunyai kader yang berhasil disaat elektabilitas dan favoritas partai demokrat sedang bagus-bagusnya.

Dan beliau menambahkan, Pilkada itu bukan hanya figur orang yang maju dia mengeluarkan uang, Pilkada Indonesia harus belajar dari pilkada yang ada di Eropa dan Amerika, yang mana jika ingin mencalonkan menjadi presiden tidak perlu menyiapkan uang sampai triliyunan, karena negara memfasilitasi dan titik-titik kampanye pun sudah di tentukan oleh negara dan orangnya itu-itu saja masyarakatnya di undang 1.000 orang, calon presidennya dan calon wakil presidennya berkampanye di hadapan masyarakat tentang visi misi mereka. Begitu juga calon yang lain, pun berkampanye di hadapan masyarakat yang di undang, dan mana yang di sukai oleh masyarakat itu yang di pilih. Maka ketika Donald Trump berkampanye melawan Joe Biden, Donald Trump berkampaye tidak percaya terhadap Covid-19 sementara Joe Biden percaya covid, dan Donald Trump tidak punya visi bagaimana cara mematikan Covid-19 di Amerika supaya tidak berkembang, sementara Joe Biden punya program bagaimana cara memartikan Covid-19 di Amerika supaya tidak berkembang.[97]

 

D.          Efektivitas Dan Efisiensi Pilkada Serentak 2024 Menurut Pendapat Fraksi Partai Politik Indonesia

Menurut mantan ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Bambang Eka Cahya Widodo juga tidak setuju apabila pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan. Menurutnya, hal itu akan berdampak buruk bagi indikator pemilu. Dan peniadaan pilkada 2022 dan 2023 adalah sesuatu yang tidak baik. Karena pemilu yang teratur, yang sesuai jadwal adalah salah satu yang menjadi indikator pemilu yang bagus, integritas pemilu yang baik, dan dilaksanakan tepat waktu.[98]

Dalam pendapat Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, akan menjadi pekerjaan yang besar bagi KPU, dan beliau tidak yakin akan berjalan secara ideal, namun KPU dan Bawaslu harus  menyiapkan perangkatnya agar pilkada 2024 dapat berjalan dengan optimal dengan catatan bukan hanya sekedar pilkada, lebih dari itu pemimpinnya adalah mereka yang mempunyai kapasitas, integritas, bukan hanya isi tas, dan ini yang menjadi tantangan bagaimana mewujudkan pilkada serentak 2024 yang berkualitas.[99]

Kemudian menurut Fraksi Partai Demokrat, berjalan dengan efektif dan efisiennya atau tidak tergantung keadaan kita mau diadakan kapanpun Pilkada itu tergantung keadaan kita saat ini, pada tahun 2024 Pilkada yang kita lakukan sudah menjadi keputusan artinya suka atau tidak suka kita harus terima keadaan ini, adapun itu efektif atau tidak kita lihat keadaan Pilpres di tahun 2024 karena Pilpres dan Pileg 2024 menentukan situasi dan kondisi Pilkada di tahun 2024 kalau pada saat Pilpres dan Pileg situasinya kurang aman bisa saja Pilkada itu di adakan bukan tahun 2024. Jadi kurng efektif jika diadakan pada tahun 2024 misal situasi kondisi masih dalam keadaan covid-19. Dan saya tidak yakin Pilkada serentak diadakan 2024 bisa saja diundur juga. Dalam politik itu tidak mungkin ada yang terjadi, semuanya juga akan bisa pasti terjadi.[100]

Dalam pandangan penulis, pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 terdapat beberapa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya ialah; Yang pertama, hak konstitusional peserta pilkada dan masyarakat tetap terpenuhi. Implementasi dari kedaulatan rakyat salah satunya ialah dengan diselenggarakannya pemilihan umum. Pilkada serentak ini merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat principal, maka dari itu dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi warga negara sudah seharusnya pemerintah menjamin terlaksananya Pilkada Serentak Tahun 2024 apalagi sudah seharusnya pula. Karena, momentum politik seperti pilkada merupakan suatu pengimplementasian hak konstitusional seluruh warga negara. Baik mereka sebagai calon peserta pemilu maupun siapa saja yang hendak menyalurkan hak politiknya untuk memilih dan dipilih. Kedua, Kewenangan yang dimiliki oleh Pejabat sementara atau pelaksana tugas (Plt) sangat terbatas. Hal tersebut karena tidak memungkinkan mereka dapat mengambil kebijakan yang strategis. Artinya bagi para pejabat sementara tidak dapat mempunyai wewenang untuk membuat aturan yang mana sangat penting sekali diberlakukannya aturan yang dapat menyelesaikan persoalan di masa pandemi Covid-19 ini dan juga dianggap kurang efektif karena kewenangan yang dimiliki oleh Pejabat sementara sangat terbatas, sehingga akan memperlambat kinerjanya. Ketiga, mencegahnya meningkatnya anggaran. Artinya jika Pilkada Serentak 2024 dilaksanakan bersama Pilpres dan Pileg, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Pasangan Calon tentunya akan mengeluarkan anggaran yang meningkat dibanding pada sebelumnya sehingga bagi pemerintah akan sangat berpengaruh terhadap hutang negara yang sudah bengkak.

Kemudian dampak negatifnya ialah; Pertama, jika Pilkada Serentak 2024 akan terlaksana masih dalam keadaan Covid-19 maka akan menimbulkan resiko besar terhadap penularan Virus Covid-19. Banyak pasangan calon di berbagai daerah memancing kerumunan dengan melakukan konvoi yang kebanyakan tidak memperhatikan protokol Kesehatan Covid-19. Terlebih lagi, kini sejumlah bakal calon juga terinfeksi virus Corona. Hal tersebut tentunya sangat membuat semakin resah apalagi nanti pada saat menjelang pilkada dilaksanakan, yang ditakutkan terhadap lonjakan kasus Covid-19 bisa menciptakan krisis yang semakin meresahkan semua masyarakat. Hal tersebut tentu sangat berpotensi menciptakan klaster besar apalagi di daerah-daerah yang sebelumnya masih berkategori zona hijau bisa jadi dengan diselenggarakannya pilkada bisa berpotensi menjadikan daerah tersebut zona merah jika semua orang tidak memiliki kesadaran untuk tetap melaksanakan protokol Kesehatan Covid-19. Dan agar tidak terjadi klaster baru diharapkan calon pemilih dalam Pilkada sudah melakukan vaksinasi dan menunjukan sertifikat vaksin ketika ingin masuk ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kedua, menyebabkan Golput (Golongan Putih) meningkat. Karena dengan Golput (Golongan Putih) bisa jadi pilihan masyarakat yang paling rasional mengingat kesehatan dan keselamatan publik tengah terancam di tengah situasi wabah Covid-19 yang sangat membuat resah.

BAB V

KESIMPULAN

 

A.      Kesimpulan

Setelah memaparkan mengenai pendapat dari fraksi PKS dan Demokrat tentang pelaksanaan pilkada serentak 2024, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut:

1.     Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) sepakat untuk mencabut Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu dari Prolegnas Prioritas 2021. Dengan pencabutan RUU tersebut, maka Pilkada 2022 dan 2023 akan tetap dilakukan serentak pada 2024. Berbarengan dengan Pileg dan Pilpres. 7 Fraksi yakni PDIP, Partai Golkar, Nasdem, PKB, PAN, PPP setuju UU Pemilu dikeluarkan dari prolegnas 2021. Namun, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera meminta Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu masuk prolegnas prioritas, tapi memahami sikap mayoritas fraksi dan menghormati surat dari komisi II. Ada dua alasan mengapa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak adanya pilkada serentak 2024, yang pertama secara filosofis pelaksanaan Pilkada 2024 itu menghilangkan kesempatan rakyat untuk berfikir secara proporsional, kerena waktunya barengan dengan pillpres, sehingga boleh jadi adanya bias ketika memilih pemimpin. Kedua, secara teknis pelaksanaan berpeluang adanya komplikasi dilapangan seperti contoh pemilu kemarin, pileg dan pilpres disatukan, menyebabkan korban.

Dan satu Fraksi yang menolak adanya penyelenggaraan pilkada serentak 2024, yakni Partai Demokrat. Menurut fraksi ini, pelaksaan pilkada serentak 2024 adalah suatu hal yang tidak masuk akal karena nuasanya lebih kepada nuasa politik nasional. Ketika masa berakhirnya pimpinan daerah di tahun 2022 dapat di isi oleh PLT yang diturunkan dari pusat sehingga penguatan daripada jaringan kekuatan kelompok tertentu bisa lebih dominan.

 

2.     Penyelenggaraan pilkada serentak ini akan menjadi pekerjaan yang besar bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun demikian, KPU dan Bawaslu harus menyiapkan seluruh perangkatnya agar Pilkada Serentak 2024 dapat berjalan dengan optimal. Selain pengoptimalan kinerja pelaksana pilkada, seluruh masyarakat pun harus tetap menjunjung integritas dalam penyelenggaraan Pilkada, harus ada komitmen baik untuk peserta Pilkada maupun pelaksana, kedisiplinan masyarakat.

 

B.       Saran

Direkomendasikan bagi Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan Pemilu yang simpel, sistem yang efektif, dan proses yang matang rencananya agar tidak ada lagi korban. Karena tidak boleh ada lagi pesta demokrasi itu menjadi petaka demokrasi dan kejadian tidak yang dulu tidak boleh terulang kembali di masa depan. Selain itu, Pilkada Serentak 2024 harus ditolak karena mempersempit kepala daerah yang ingin jadi Calon Presiden (Capres) 2024 dan akan jadi incumbent (Petahana) yang bisa menjadi modal politik untuk maju Calon Presiden (Capres) 2024.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

BUKU :

 

Amal, Ichlasul. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana     Yogya, 1996.

 

Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi 1, Cetakan 6,          Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

 

Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Cet ke-4, Jakarta: PT Gramedia        Pustaka Utama, 2010.

 

Cipto, Handoyo Hestu. Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi       Manusia, Cet. Ke-1, Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya, 2003.

 

Djazuli, Ahmad. Fiqh Siyasah‚ Implimentasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-   rambu           Syari’ah, Cet Ke-5, Jakarta: Kencana, 2013.

 

Duverger, Maurice. Partai Politik dan Kelompok-Kelompok Penekan, Judul Asli:   Party           Politics and Pressure Groups A Cornparatfue Introduction,         Penerjemah: Laila Hasyim, Yogyakarta: Bina Aksara, 1984.

Firmanzah. Mengelola Partai Politik, Jakarta: Yayasan pustaka obor Indonesia,     2011.

 

GJ, Wollhoff. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Djakarta: Timun Mas NV, 1955

 

Hanitijo Soemitro, Ronny. Metode Penelitian Hukum Jurimetri, Jakarta: Ghia Indonesia, 1998.

 

Hidayat, Arief. Bernegara Itu Tidak Mudah (Dalam Perspektif Politik dan Hukum),           Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2010.

 

 

Johny, Ibrahim. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Surabaya:      Bayumedia Publishing, 2010.

 

Kaho, Joseph Riwu. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,         Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.

 

Kamus Besar Bahasa Indonesia

 

Karim, Muhammad Rusli, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret    Pasang Surut, Jakarta: Rajawali Press, 1983.

 

Labolo, Muhammad, Teguh Ilham. Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), Cet Ke-1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015.

 

Marijan, Kalung. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde      Baru, Jakarta:      Prenada Media Group, 2010.

 

Muchamad,  Ali Safa’at. Pembubaran Partai Politik Pengaturan Dan Praktik           Pembubaran        Partai Politik Dalam Pergulatan Republik, Jakarta: Rajawali           pers, 2011.

 

Prayudi, Ahmad  Budiman & Aryojati Ardipandanto, Dinamika PolitikPilkada       Serentak, Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Sekretariat       Jenderal DPR Republik Indonesia, 2017.

 

Suharizal. Pemilukada : Regulasi, dinamika dan konsep mendatang, Jakarta;          Rajawali Pers, 2012.

 

Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,   2006.

 

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka           Sinar Harapan, 2001.

 

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,      Jakarta, 1994.

 

Surbakti, Ramlan. Memahami IImu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana   Indonesia, 2007.

 

Thaib, Dahlan. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945,     Yogyakarta: Liberty, 1989.

 

Yakin, Ayang Utriza. Islam Moderat dan Isu-Isu Kontemporer Demokrasi,    Pluralisme, Kebebasan Beragama, non Muslim, Poligami, dan Jihad,    Jakarta: Kencana, 2016.

 

 

 

JURNAL :

 

Arifulloh, Achmad. Pelaksanaan Pilkada Serentak Yang Demokratis, Damai Dan           Bermartabat,”      Jurnal  Pembaharuan  Hukum,  Volume II,  No. 2, (Mei-     Agustus, 2015).

 

Budhiati, Ida. “Quo Vadis Demokrasi Prosedural dan Pemilu: Sebuah Refleksi       Teoritis” Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol. 42, No. 2, (2013).

 

Chaniago, Pangi Syarwi. “Evaluasi Pilkada Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun    2015”,           Indonesian Political Science Review, Vol.1 No.2, (2016).

 

Hutapea, Bungasan. Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia,        (Pusat           Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan      Pembinaan Hukum Nasional; Jurnal Rechtsvinding Volume 4 Nomor 1   (April,2015).

 

Muslihudin. Model Pesantren Kader; Relasi Ideologis PP Husnul Khotimah dengan           PKS, serta Artikulasinya dalam  Kegiatan  Kepesantrenan, (IAIN Syekh         Nurjati Cirebon: Jurnal Holistik Vol. 14 No. 01, (2013).

 

Nugraha, Al-Fajar. “Pilkada Langsung Dan Pilkada Tidak Langsung Dalam   Perspektif Fikih Siyasah, Mazahib”, Vol.XV, No. 2, (Desember, 2016).

 

Nugraha, Harry S. “Gagasan Amandemen Ulang Undang-Undang Dasar Negara      Republik Indonesia Tahun 1945”, Jurnal Lex Renaissance, Vol. 3, No. 1,   (2018).

Nugroho, Heru.Demokrasi Dan Demokratisasi: sebuah kerangka konseptual untuk           memahami dinamika sosial-politik di Indonesia”, Jurnal Pemikiran      Sosiologi, Vol.1 No.1, (2012).

 

Sudirman. Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial), (FISIP           Universitas Tadulako; Jurnal Academica Vol. 04 No. 01, (Februari, 2012).

 

Sutrisno, Cucu. Partisipasi Warga Negara dalam Pilkada, Jurnal Pancasila dan           Kewarganegaraan Vol. 2, No. 2, 2017).

 

W. Melfa, “Penataan Hukum Menuju Hukum Ideal Dalam Pengaturan Pemilukada”,            Jurnal         Masalah-Masalah Hukum, Vol. 42, (No. 2), 2013.

Yuniartin, Titin. Identitas Politik Partai Keadilan Sejahtera, (Institut Agama Islam           Darussalam Ciamis: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 12 No. 2, (Juli –           Desember, 2018).

 

 

SKRIPSI & TESIS :

 

Faridana, Hendri Putra. “Persepsi Mahasiswa Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam UIN           Antasari Terhadap Pelaksanaan Pilkada Serentak”, (Skripsi Universitas Islam Negeri Antasari, Banjarmasin, 2017).

 

Firdaus Ayu Palestina, “Analisis Penataan Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan Umum Ditinjau Dari Fiqh Siyasah Dusturiyah Dan Sadd Al-Dzari’ah”, (Tesis Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2019)

 

Suheti, “Persepsi Masyarakat Terhadap Pelaksaan Pilkada Serentak  Tahun 2015 Ditinjau Dari UU No.32 Tahun 2004 (Studi Pemilhan Walikota Cilegon  di Kel. Karang Asem)”, (Skripsi Institut Agama Islam Negeri (Iain) Sultan Maulana Hasanuddin, Banten).

 

 

WEBSITE

 

https://news.detik.com/berita/d-5494081/mendagri-di-2016-tak-ada-fraksi-tolak-pilkada digelarserentak-2024.

 

https://nasional.kompas.com/read/2021/02/08/09194631/kpu-sebut-pemilu borongan-2024-munculkan-beban-anggaran-hingga-kpps?page=all#page2.

 

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210202034109-32-601100/kpu-tetap-berpatok-uu-10-2016-pilkada-digelar-serentak-2024.

 

https://kpud-medankota.go.id/sejarah-pemilu/ 

 

https://www.kpu.go.id/page/read/4/visi-dan-misi

 

http://www.demokrat.or.id/sejarah/

 

https://www.demokrat.or.id/visi-misi/

 

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210128080822-32-599342/pro-kontra-ruu-pemilu-dan-polemik-pilkada-serentak-2024.

 

https://news.detik.com/berita/d-4596501/ini-270-daerah-yang-gelar-pilkada-serentak-2020.

 

https://www.merdeka.com/politik/pro-kontra-ruu-pemilu-dicabut-dari-prolegnas-2021.html.

 

https://news.detik.com/berita/d-5594089/4-hal-tentang-jadwal-resmi-pemilu-2024/2,

 

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210817125916-32-681446/kpu-tegaskan-pemilu-dan-pilkada-serentak-digelar-2024.

 

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210817125916-32-681446/kpu-tegaskan-pemilu-dan-pilkada-serentak-digelar-2024.

 

https://nasional.kompas.com/read/2021/02/13/16074531/pro-kontra-ruu-pemilu-dinilai-terkait-strategi-parpol-untuk-2024.

 

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210201061148-32-600651/pakar-ragukan-kesiapan-penyelenggara-pilkada-serentak-2024.

 

 

 

UNDANG-UNDANG:

 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah

 

Undang-Undang No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik

 

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri

 

 

 

ANGGARAN DASAR PARTAI:

 

Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Jakarta: 20 April 2002.

 

 

LAMPIRAN-LAMPIRAN:

 

Transkip Wawancara Skripsi

Pendapat Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

Dalam Pilkada Serentak 2024

 

Informan I

 

Nama                   : Dr. H. Mardani Ali Sera, M.Eng.

Jabatan                 : Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Hari/Tanggal       : Selasa, 07 September 2021

Waktu                  : Pukul 16.00 WIB - Selesai

Tempat       : Via Zoom Meeting

 

1)    Menurut bapak sebagai anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), bagaimana pendapat mengenai pilkada serentak 2024?

Jawab: Ide Pilkada Serentak adalah ide efisiensi namun esensi dari demokrasi adalah bagaimana bisa menangkap secara utuh aspirasi masyarakat. Menurut beliau, pilkada yg diselenggarakan serentak bersama Pileg dan Piplres mempunyai beberapa kekurangan. Yang pertama, tidak memberikan porsi kepada setiap jenis pemilu yang ada, contoh; ketika pilpres disatukan bersama pileg maka pileg akan terabaikan, masyarakat lebih fokus pada pilpresnya. Ketika pilkada disatukan pileg dan pilpres bisa jadi efek pilpres akan sangat mempengaruhi kualitas dari pilkada. Lalu teorinya ada coat-tail effect, jadi peluang capres menang secara lebih banyak meraih banyak dukungan di pilkada 2024. Kedua, harusnya setiap pemilu diberikan haknya, pilpres terlebih dahulu karena kita menganut sistem presidensial, kemudian pileg, kemudian pilkada ditahun yang berbeda. Alasan beliau diadakan setiap pemilu ditahun berbeda karena masing masing memiliki hak, seperti ketika pilpres membicarakan tantangan dan peluang bangsa secara nasional dari sudut eksekutif, ketika pileg bicara tentang kualitas legislator, ketika pilkada bicara tentang masalah lokal baik provinsi maupun kabupaten/kota. Terakhir, pilkada serentak membuat interaksi partai politik atau calon pemimpin dengan rakyatnya itu terjadi sekali saja dalam lima tahun saat pilkada, padahal dalam pileg dan pilpres di tahun yang berbeda.

 

 

2)    Apakah menurut bapak Pilkada serentak 2024 akan berjalan dengan efektif dan Efisiensi?

Jawab: Akan menjadi pekerjaan yang besar bagi KPU, dan beliau tidak yakin akan berjalan secara ideal, namun KPU dan Bawaslu harus  menyiapkan perangkatnya agar pilkada 2024 dapat berjalan dengan optimal dengan catatan bukan hanya sekedar pilkada, lebih dari itu pemimpinnya adalah meraka yang mempunyai kapasitas, integritas, bukan hanya isi tas, dan ini yang menjadi tantanganbagaimana mewujudkan pilkada serentak 2024 yang berkualitas.

 

3)    Apa Harapan Bapak untuk pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 agar tidak lagi terjadi kecelakaan seperti pada Pemilu Pilpres dan Pileg 2019?

Jawab: Banyaknya penyelenggara pemilu, dan tugas KPU di tingkat desa. Kedua, menjadi tantangan bagi KPU untuk menyiapkan seluruh perangkatnya menjadi lebih baik. Seperti halnya kemarin, ternyata beerapa perangkat yang usianya rentan dan mempunyai penyakit sehingga berpengaruh kepada beban kerja dan beban stres. Kedepannya, pemilu yang simpel, sistem yang simpel, proses yang simpel, diperlukan agar tidak ada lagi korban karena tidak bleh pesta demokrasi itu emnjadi petaka demokrasi.

 

4)    Apa alasan bapak jika menurut Fraksi partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak setuju akan pelaksaan Pilkada Serentak 2024?

Jawab: Ada dua alasan, yang pertama secara filosofis pelaksanaan pilkada 2024 itu mnghilangkan kesempatan rakyat untuk berfikir secara proporsional, kerena waktunya barengan dengan pillpres, sehingga boleh jadi adanya bias ketika memilih pemimpin. Kedua, secara teknis pelaksanaan berpeluang adanya komplikasi dilapangan seperti contoh pemilu kemarin, pileg dan pilpres disatukan, menyebabkan korban

 

 

Transkip Wawancara Skripsi

Pendapat Fraksi Partai Demokrat

Dalam Pilkada Serentak 2024

 

Informan II

 

Nama                   : H. Zulfikar Hamonangan, S.H

Jabatan                 : Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat

Hari/Tanggal       : Rabu, 28 Juli 2021

Waktu                  : Pukul 14.00 WIB - Selesai

Tempat       : Rumah Kediaman Pak H. Zulfikar

1)    Menurut bapak sebagai anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, bagaimana pendapat mengenai pilkada serentak 2024?

Jawab: menurut saya itu belum masuk akal karena nuasanya lebih kepada nuasa politik nasional bagaimana supaya 2022 ketika masa berakhirnya pimpinan daerah dapat di isi oleh PLT yang diturunkan dari pusat sehingga penguatan daripada jaringan kekuatan kelompok tertentu bisa lebih dominan. Pengalaman itu di ambil ketika pilkada 2020 banyak sekali pimpinan daerah yang berhasil menang dari partai Demokrat banyak kader-kader partai Demokrat yang berhasil menjadi pimpinan daerah yang di usung oleh partai Demokrat, kegagalan kita hanya 10% oleh dari semua calon itu 90% berhasil menjadi pimpinan daerah kalo ini tercipta di tahun 2022 dan kita punya kader berhasil disaat elektabilitas dan favoritas partai demokrat lagi bagus-bagusnya saat ini itu menjadi sesuatu ancaman bagi kepentingan nasional untuk pemimpin saat ini walaupun secara politik beliau sudah tidak mungkin lagi bisa maju di 2024 tapi secara kepentingan elit-elit tertentu memungkinkan hal itu terjadi analisa itu pasti sudah melakui kajian di tahun 2020 , 2020 kita mengusung banyak pimpinan daerah dari partai demokrat berhasil menjadi gubernur, wakil gubernur, walikota, bupati dari partai demokrat pertanyaannya kalau 2017 Anies berlawanan dengan AHY lalu 2024 baru diadakan pilkada, 2022 anis tidak lagi berlawanan dengan AHY karena AHY tidak ada lagi ada target untuk maju di Pilgub bisa saja Anis di rekomendasi oleh partai demokrat, karena demokrat di DKI punya 10 kursi sarat kereta politik di DKI itu maju 2022 itu sebetulnya hanya membutuhkan 22 kursi di DKI jadi kalau sisanya hanya 12 kursi (separo) itu mungkin bisa diambil oleh wakilnya jadi ini ancaman besar karena Anis ini biar bagaimana saat ini tidak punya catatan negatif dan masayarakat senang dengan gaya kepempinan anis yang di DKI yang tidak terlalu otoriter dan dia bisa memimpin dengan gaya seorang guru atau dosen dan dia bisa menenangkan situasi DKI yang betul-betul menjadi barometernya Indonesia, di era Covid-19 seperti sekarang ini kalo Anies bukan gubernurnya bisa rusuh DKI saat ini, berapa banyak yang meninggal di DKI ini karena Covid dan Anis itu orang yang engga pernah bisa diem. Pilkada itu bukan hanya figur orang yang maju dia mengeluarkan uang, di Amerika orang kalau mau menjadi presiden tidak perlu mencari uang sampai 3 triliun karena pasti di fasilitasi oleh negara, jadi titik-titik kampanyenya pun sudah di tentukakan oleh negara dan orangnya itu-itu saja masyarakatnya di undang 1.000 orang calon presidennya si anu calon wakil presidennya si anu dia kampanye di hadapan masyarakat tentang visi misi dia begitiu juga calon yang lain pun berkampanye di hadapan masyarakat yang di undang dan mana yang di sukai oleh masyarakat itu yag di pilih maka ketika Donald Trump berkampanye melawan Joe Bidden, Donald Trump berkampaye tidak percaya terhadap covid sementara Joe Bidden percaya covid, dan Donald Trump tidak punya visi bagaimana cara mematikan Covid di Amerikan supaya tidak berkembang sementara Joe Bidden punya program bagaimana cara memartikan covid di amerika supaya tidak berkembang.

 

2)    Apakah menurut bapak Pilkada serentak 2024 akan berjalan dengan efektif dan Efisiensi?

Jawab: Berjalan dengan efektif dan efisiennya atau tidak tergantung keadaan kita mau di adakan kapanpun pilkada itu tergantung keadaan kita saat ini, pada tahun 2024 pilkada yang kita lakukan sudah menjadi keputusan artinya suka atau tidak suka kita harus terima keadaan ini ,adapun itu efektif atau tidak kita lihat keadaan pilpres di tahun 2024 karena pilpres dan pileg 2024 menentukan situasi dan kondisi pilkada di tahun 2024 kalau pada saat pilres dan pileg situasinya kurang aman bisa saja pilkada itu di adakan bukan tahun 2024. Jadi kurng efektif jika diadakan pada tahun 2024 misal situasi kondisi masih dalam keadaan covid-19. Dan saya tidak yakin pilkada serentak diadakan 2024 bisa saja diundur juga. Dalam politik itu tidak mungkin ada yang terjadi, semuanya juga akan bisa pasti terjadi.

 

 

 

3)    Apa Harapan Bapak untuk pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 agar tidak lagi terjadi kecelakaan seperti pada Pemilu Pilpres dan Pileg 2019?

Jawab: Harapan saya yang pertama agar pihak kelurahan membantu perhitungan suara dan tinggal kepada pelaksanaan KPU nya saja yang harus di perbaiki sehingga apakah memungkinkan dalam masa covid sampai 2024 covid masih ada dan apakah memungkinkan dalam satu TPS itu ada 300 peserta yang hadir. Yang kedua apakah memungkinkan petugas KPU nya hanya ada di tingkat kecamatan tidak ada di tingkat desa dan tingkat kelurahan kalau menurut saya kondisi yang kemarin adalah terjadi karena adanya perampingan stuktural sehingga mengurangi banyaknya orang yang terlibat untuk pelaksaan KPU nya, jadi petugas KPU dan petugas KPPS nya saja yang perlu di perbaiki strukturalnya yang harus di perbanyak.

 

4)    Apa alasan bapak jika menurut Fraksi Partai Demokrat tidak setuju akan pelaksanaan Pilkada Serentak 2024?

Jawab: Alasannya karena Covid-19, alasan ini akan di pakai 2024 juga, jadi alasannya Covid jadi dengan adanya pilkada 2022 di masa covid akan menimbulkan banyaknya penularan terhadap masyarakat yang membuat gerakan-gerakan perkumpulan-perkumpulan yang akan menyebabkan penularan wabah penyakit. Alasan kedua adalah anggaran kita yang di alokasikan dulu unuk mendanai bantuan korban virus covid dan untuk pencegahan covid 19 dan dana-dana yang di belanjakan untuk membeli vaksi dan sebagainnya serta bantuan-bantuan sosial sehingga pilkada di undur terlebih dahulu karena dananya di pakai untuk kepentingan masyarakat.

 

 

 

 

 

 



[1] Firdaus Ayu Palestina, “Analisis Penataan Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan Umum Ditinjau Dari Fiqh Siyasah Dusturiyah Dan Sadd Al-Dzari’ah, (Tesis Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2019) h. 1.

 

[2] Handoyo Hestu Cipto, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Cet. Ke-1 (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya, 2003), h. 99.

[3] Heru Nugroho, Demokrasi Dan Demokratisasi: sebuah kerangka konseptual untuk memahami dinamika sosial-politik di Indonesia, Jurnal Pemikiran Sosiologi, Vol.1 No.1, (2012), h. 2

 

[4]  Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cet ke-4 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010),  h. 461.

 

[5] Pangi Syarwi Chaniago, Evaluasi Pilkada Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015, Indonesian Political Science Review, Vol.1 No.2, (2016), h. 197.

[6] Cucu Sutrisno, Partisipasi Warga Negara dalam Pilkada, (Universitas Muhammadiyah Ponorogo: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan Vol. 2  No. 2, 2017), h. 36.

[7] https://news.detik.com/berita/d-5494081/mendagri-di-2016-tak-ada-fraksi-tolak-pilkada-digelarserentak-2024.  Diakses Pada Tanggal 31 Maret 2021 Pukul 12.08 WIB

 

[10] Pejabat Definitif adalah pegawai yang menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, dan Administrasi yang telah secara resmi dilantik dan diambil sumpah jabatan untuk menduduki jabatan negeri.

 

[13] Angga Natalia, Peran Partai Politik Dalam Mensukseskan Pilkada Serentak Di Indonesia Tahun 2015, Jurnal TAPIS, Vol. 11, No.1, Januari-Juni 2015.

 

[14] Siti Witianti dan Hendra, “Peran Ketua Umum Partai Politik Dalam Pencalonan Kepala Daerah pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak Di Indonesia”, Jurnal Wacana Politik, Vol. 4, No. 1, Maret 2019, h. 55.

 

[15] Hendri Putra Faridana, “Persepsi Mahasiswa Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam Uin Antasari Terhadap Pelaksanaan Pilkada Serentak”, (Skripsi UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI, Banjarmasin, 2017), h. v.

 

[16] Egi Prayogi, “Sistem Pemilihan Kepala Daerah Perspektif Fiqih Siyasah (Studi Pasal 24 Undang-Undnag No 32 Tahun 2004”, (Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005), h. iv

 

[17] Firdaus Ayu Palestina, “Analisis Penataan Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan Umum Ditinjau Dari Fiqh Siyasah Dusturiyah Dan Sadd Al-Dzari’ah”, (Tesis Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2019), h. v

 

[18] Soerjono Soekanto, 1994. Pengantar Penelitian Hukum, (Universitas Indonesia Press, Jakarta), h.13.

 

[19] Burhan Bugin, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Cet. III. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 82.

 

[20] Usman dan Abdi, Metode Penelitian Sosial dan Ekonomi: Teori dan Aplikasi, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 6

 

[21] Usman dan Abdi, Metode Penelitian Sosial dan Ekonomi, h. 11.

 

[22] Lisa Harrison, Metodologi Penelitian Politik, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 126.

[23] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), h.49.

[24] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), Cet Ke-1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015), h.1

 

[25] Di Indonesia, hal ini juga diatur melalui Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, bahwa jaminan konstitusional dimaksud tegas ditentukan dalam pasal 2E ayat (3) UUD 1945 yang menyarakan, "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."

 

[26] GJ Wollhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Djakarta: Timun Mas NV, 1955), h.54.

 

[27] Muhammad Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik  Di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), h.19-20.

[28] Kalung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h.60

 

[29]  Kamus Besar Bahasa Indonesia

 

[30] Maurice Duverger, Partai Politik dan Kelompok-Kelompok Penekan, Judul Asli: Party Politics and Pressure Groups A Cornparatfue Introduction, Penerjemah: Laila Hasyim, (Yogyakarta: Bina Aksara, 1984), h.4.

 

[31] Kamus Besar Bahasa Indonesia

 

[32] Firmanzah, Mengelola Partai Politik, (Jakarta: Yayasan pustaka obor Indonesia, 2011), h.49.

 

[33] Selain partai politik, infrastruktur politik terdiri dari organisasi kemasyarakatan, kelompok kepentingan, kelompok penekan, kelompok tokoh masyarakat, dan media (pers).

 

[34] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.403

[35] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.404

 

[36] Ali Safa’at Muchamad,  Pembubaran Partai Politik Pengaturan Dan Praktik Pembubaran Partai Politik Dalam Pergulatan Republik,( Jakarta: Rajawali pers, 2011), h.4-5

 

[37] Lihat Undang-Undang No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik

[38] Lihat Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

 

[39] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), h.15

 

[40] Lihat Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

 

[41] Firmanzah, Mengelola Partai Politik, h.70

 

[42] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.405

 

[43] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.406

 

[44] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.407

 

[45] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.408

 

[46] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.409

 

[47] Ramlan Surbakti, Memahami IImu Politik, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007), h.113.

[48] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), h.4-5

 

[49] Kita jangan sampai disesatkan oleh istilah "partai" pada masa awal-awal ini. Hal ini kaiena pada masa ini partai dalam arti yang sesungguhnya belum ada. Kata partai digunakan untuk menggambarkan faksi-faksi dalam republik-republik masa ialu, pasukan-pasukan yang terbentuk di sekitar condottiei pada masa Renesans Itali, klub Jclub tempat berkumpulnya anggota dewan-dewan revolusi, komite-komite yang mempersiapkan pemilihan umum dalam monarki konstitusional, dan organisasiorganisasi sosial yang membentuk opini publik dalam negara demokrasi modern. Penggunaan kata yang sama ini dapat dibenarkan karena semua lembaga tersebut berpiran memenangkan kekuasaan politik dan menerapkannya

[50] Ichlasul Amal, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996), h.1

 

[51] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), h.6

 

[52] Ramlan Surbakti, Memahami IImu Politik, h.145.

[53] Ramlan Surbakti, Memahami IImu Politik, h.146.

[54] Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), h.7

[55] https://kpud-medankota.go.id/sejarah-pemilu/  Diakses pada Tanggal 25 Juni 2021 Pukul 19.24 WIB

[56] https://www.kpu.go.id/page/read/4/visi-dan-misi Diakses pada Tanggal 25 Juni 2021 Pukul 19.32 WIB

 

[57] Prayudi, Ahmad  Budiman & Aryojati Ardipandanto, Dinamika PolitikPilkada Serentak, (Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia, 2017), h.2

 

[58] Sudirman, Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial), (FISIP Universitas Tadulako; Jurnal Academica Vol. 04 No. 01 Februari Tahun 2012), h.743

[59] Sudirman, Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial), h.744

 

[60] Bungasan Hutapea, Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia, (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional; Jurnal Rechtsvinding Volume 4 Nomor 1 April Tahun 2015), h.4-5

 

[61] Joseph Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h.26-27

 

[62] Suharizal, Pemilukada : Regulasi, dinamika dan konsep mendatang, (Jakarta; Rajawali Pers, 2012), h.15

 

[63] Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah

 

[64] Lihat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri

 

[65] Suharizal, Pemilukada : Regulasi, dinamika dan konsep mendatang, h.16

 

[66] Sudirman, Dinamika Politik Lokal Dalam Social  Capital (Modal Sosial), h.750

 

[67] Bungasan Hutapea, Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia,  h.6

[68] Sudirman, Dinamika Politik Lokal Dalam Social  Capital (Modal Sosial), h.751-753

 

[69] Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Jakarta: 20 April 2002.

 

[70] Titin Yuniartin, Identitas Politik Partai Keadilan Sejahtera, (Institut Agama Islam Darussalam Ciamis: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 12 No. 2, Juli - Desember  Tahun 2018), h.261

 

[71] Muslihudin, Model Pesantren Kader; Relasi Ideologis PP Husnul Khotimah dengan PKS,serta Artikulasinya dalam  Kegiatan  Kepesantrenan, (IAIN Syekh  Nurjati Cirebon: Jurnal Holistik Vol. 14 No. 01 Tahun 2013), h.9-10

[72] Titin Yuniartin, Identitas Politik Partai Keadilan Sejahtera, h.264-265

 

[73] Yakin, Ayang Utriza, Islam Moderat dan Isu-Isu Kontemporer Demokrasi, Pluralisme, Kebebasan Beragama, non Muslim, Poligami, dan Jihad, (Jakarta: Kencana, 2016), h.226

[74] http://www.demokrat.or.id/sejarah/ Diakses pada Tanggal 25 Juni 2021 Pukul 08.22 WIB

[75] https://www.demokrat.or.id/visi-misi/ Diakses pada Tanggal 25 Juni 2021 Pukul 08.47

[76] Lihat Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 1 Ayat (2)

 

[77] Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, (Yogyakarta : Liberty, 1989),  h.37.

 

[78] Arief Hidayat, Bernegara Itu Tidak Mudah (Dalam Perspektif Politik dan Hukum), (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2010), h. 32

 

[79] Harry S Nugraha, “Gagasan Amandemen Ulang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Jurnal Lex Renaissance, Vol. 3, No. 1, (2018), h. 61.

 

[80] Ida Budhiati, “Quo Vadis Demokrasi Prosedural dan Pemilu: Sebuah Refleksi Teoritis” Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol. 42, No. 2, (2013, h. 268.

 

[81] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi 1, Cetakan 6, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014),  h. 17

 

[82] W. Melfa, “Penataan Hukum Menuju Hukum Ideal Dalam Pengaturan Pemilukada”,  Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol. 42, (No. 2), 2013, h. 211.

 

[85] Achmad Arifulloh, “Pelaksanaan Pilkada Serentak Yang Demokratis, Damai Dan Bermartabat,” Jurnal  Pembaharuan  Hukum,  Volume II,  No. 2, (Mei - Agustus 2015), h.302.

 

[86]  https://www.merdeka.com/politik/pro-kontra-ruu-pemilu-dicabut-dari-prolegnas-2021.html. Diakses pada tanggal 20 September 2021 pukul 20:11 WIB.

 

[87] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Konsyinasi (Konsinyering) adalah berkumpulnya sejumlah petugas di suatu tempat untuk menggarap pekerjaan secara intensif serta tidak dibenarkan meninggalkan tempat kerja selama kegiatan berlangsung.

[88] https://news.detik.com/berita/d-5594089/4-hal-tentang-jadwal-resmi-pemilu-2024/2, diakses pada Tanggal 18 september 2021 Pukul 14:00 WIB

 

[90] Lihat UU No.16 Tahun 2016 pasal 201 ayat (7) Pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, Bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada anggal dn bulan yang sama pada tahun 2027.

 

[93] Zulfikar Hamonangan, Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Interview Pribadi, Rumah Kediaman Zulfikar, 28 Juli 2021.

 

[94] Mardani Ali Sera, Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Interview Pribadi, Via Zoom Meeting, 07 September 2021.

 

[95] Coattail Effect adalah istilah yang merujuk pada suatu tindakan yang menimbulkan pengaruh pada tindakan lain (pengaruh ikutan). Dalam terjemahan bebas diartikan sebagai efek kibasan buntut jas. Calon pemimpin yang diusung memiliki efek buntut jas terhadap elektabilitas suara pada partai pengusung nantinya.

 

[96] Mardani Ali Sera, Anggota DPR RI Fraksi PKS, Interview Pribadi, Via Zoom Meeting, 07 September 2021.

[97] Zulfikar Hamonangan, Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Interview Pribadi, Rumah Kediaman Zulfikar, 28 Juli 2021.

 

[99] Mardani Ali Sera, Anggota DPR RI Fraksi PKS, Interview Pribadi, Via Zoom Meeting, 07 September 2021.

[100] Zulfikar Hamonangan, Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Interview Pribadi, Rumah Kediaman Zulfikar, 28 Juli 2021.

0 comments:

Post a Comment