Wednesday 8 June 2022

DEFINISI KESULITAN BELAJAR

0 comments

 

MAKALAH

PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

KEGIATAN BELAJAR 1

 



Definisi, Penyebab, dan Jenis-jenis kesulitan Belajar


A. DEFINISI KESULITAN BELAJAR

 

Istilah yang digunakan untuk menyebut Anak Berkesulitan Belajar (ABB) cukup beragam. Keragaman istilah ini disebabkan oleh sudut pandang ahli yang berbeda-beda. Kelompok ahli bidang medis menyebutnya dengan istilah brain injured, dan minimal brain dysfunction, kelompok ahli psikolinguistik menggunakan istilah language disorders, dan selanjutnya dalam bidang pendidikan ada yang menyebutnya dengan istilah educationally handicaped. Namun, istilah umum yang sering digunakan oleh para ahli pendidikan adalah learning disabilities (Donald, 1967:1) yang diartikan sebagai "Kesulitan Belajar". Oleh karena sifat kelainannya yang spesifik, kelompok anak yang mengalami kesulitan belajar ini, disebut Specific Learning Disabilities, yaitu kesulitan belajar khusus (Painting, 1983: Kirk, 1989).

 

Dalam dunia pendidikan digunakan istilah educationally handicapped karena anak- anak ini mengalami kesulitan dalam mengikuti proses pendidikan, sehingga mereka memerlukan layanan pendidikan secara khusus (special need education) sesuai dengan bentuk dan derajat kesulitannya (Hallahan dan Kauffman, 1991). Layanan pendidikan khusus yang dimaksud tidak hanya berkaitan dengan kesulitan yang dihadapinya, tetapi juga dalam strategi atau pendekatan bantuannya.

 

Istilah yang digunakan oleh para medis adalah brain injured, minimal brain dysfunction, dengan alasan bahwa dari hasil deteksi secara medis anak anak berkesulitan belajar mengalami penyimpangan dalam perkembangan otaknya yang diakibatkan oleh adanya masalah pada saat persalinan atau memang sejak dalam kandungan mengalami penyimpangan. Penyimpangan

 

PENGANTAR PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

 

Perkembangan otak bukan merupakan kelainan struktural, akan tetapi penyimpangan merupakan gangguan fungsional (Dikot. Y., 1992:6). Sementara itu para ahli bahasa menyebutnya dengan istilah language de serders karena anak-anak berkesulitan belajar mengalami gangguan dalam berbahasa. Gangguan bahasa yang dimaksud meliputi berbahasa ekspresif yaitu kemampuan mengemukakan ide atau pesan secara lisan, dan berbahasa reseptif yaitu kemampuan menangkap ide atau pesan orang lain yang disampaikan secara lisan

 

Adapun pengertian tentang anak berkesulitan belajar khusus. sebagaimana dijelaskan oleh Canadian Association for Children and Adults with Learning Disabilities (1981) adalah mereka yang tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolah meskipun tingkat kecerdasannya termasuk rata-rata, sedikit di atas rata-rata, atau sedikit di bawah rata-rata, dan apabila kecerdasannya lebih rendah dari kondisi tersebut bukan lagi termasuk learning disabilities. Keadaan ini terjadi sebagai akibat disfungsi minimal otak (DMO), yaitu karena adanya penyimpangan dalam perkembangan otak yang minimal. dapat berwujud dalam berbagai kombinasi gangguan seperti: gangguan persepsi, pembentukan konsep, bahasa.


ingatan, gangguan perhatian atau gangguan motorik. Keadaan ini tidak disebabkan oleh gangguan primer pada penglihatan, pendengaran, gangguan motorik, gangguan emosional, retardasi mental, atau akibat lingkungan (Wright, dkk., 1985)

 

Public Law (Hallahan dan Kauffman, 1991: 126) menjelaskan tentang "Specific Learning Disabilities" sebagai gangguan pada satu proses psikologis dasar, terlihat di dalam penggunaan bahasa lisan dan tulis dengan wujud seperti ketidaksempurnaan mendengarkan, memikirkan, membicarakan, membacakan, menuliskan, mengucapkan atau melakukan penghitungan matematis. Di dalam istilah kesulitan belajar tercakup kondisi- kondisi hambatan persepsi, cedera otak, disfungsi minimal otak, disleksia, dan aphasi perkembangan. Istilah ini tidak mencakup anak yang kesulitan belajar yang diakibatkan hambatan visual, pendengaran, tunagrahita, gangguan fisik, gangguan emosi, lingkungan, budaya, ekonomi yang kurang menguntungkan, atau hal yang diakibatkan faktor dari diri luar anak.

 

The National Joint Committee for Learning Disabilities (NICLD) mengemukakan bahwa kesulitan belajar adalah istilah umum yang digunakan untuk kelompok gangguan yang heterogen yang berupa kesulitan nyata dalam salah satu atau lebih dalam mendengarkan, mengucapkan, membaca,

 

menulis, berpikir dan kemampuan matematika. Gangguan ini terdapat di dalam diri seseorang yang disebabkan adanya disfungsi minimal pada sistem saraf di otak Anak yang mengalami kesulitan belajar mungkin dapat mengalami hambatan lain (misalnya berkesulitan belajar vang diakibatkan perbedaan budaya, ketidaksempurnaan pengajaran, atau faktor-faktor lain yang datang dari luar dari anak), kesulitan belajar yang dimaksud di sini terjadi bukan akibat langsung dari kondisi atau pengaruh faktor-faktor tersebut

 

Merperhatikan pandangan dari berbagai ahli. pengertian anak berkesulitan belajar khusus tersebut tergambar bahwa sumber penyebabnya yaitu pada *disfungsi sistem persarafan di pusat". Kondisi "disfungsi" menunjukkan adanya ketidakberfungsian dari sistem persarafan di otak sehingga tidak berperan sebagaimana mestinya. Gangguan yang terjadi pada aspek organis, atau proses psikologis dasar ini berupa gangguan berbahasa, pengucapan, membaca, menulis ekspresif dan berhitung dan gangguan ini tidak bersifat permanen, apabila sedini mungkin memperoleh layanan yang

 

Berdasarkan gambaran di atas. Anda dapat membuat batasan yang lebih sederhana sebagai berikut "Anak berkesulitan belajar adalah anak yang mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademiknya, yang disebabkan oleh adanya ketidakberfungsian sistem persarafan yang minimal di otak, atau gangguan dalam psikologis dasar, sehingga mengakibatkan terhambatnya dalam melaksanakan tugas-tugas akademik dan berdampak terhadap prestasi belajar rendah. Untuk mengembangkan potensinya secara optimal mereka memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus".

 

B.  KLASIFIKASI KESULITAN BELAJAR

 

Kesulitan belajar merupakan kelompok kesulitan yang heterogen, sehingga sulit untuk diklasifikasikan secara spesifik. Namun demikian, pengklasifikasian itu diperlukan dalam menentukan strategi pembelajaran yang sesuai. Kirk dan Gallagher (1989:187)


menjelaskan bahwa kesulitan belajar dibedakan dalam dua kategori besar, yaitu: (1) kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan (developmental learning disabilities) dan (2) kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities).

 

Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan, mencakup gangguan perhatian, ingatan, motorik, persepsi, berbahasa, dan berpikir. Sedangkan kesulitan belajar akademik mencakup kesulitan belajar membaca menulis, dan berhubung atau matematika

 

Kesulitan belajar perkembangan dapat mempengaruhi proses penerimaan, menginterpretasikan dan merespon sumulus dan lingkungan Dengan demikian masalah sering terjadi dalam proses penerimaan informasi tetapi tidak selalu dihubungkan dengan masalah prestasi akademik sebagai contoh, ada beberapa anak yang mengalami gangguan perceptual motor tidak mampu menulis akan tetapi ada juga anak yang tidak mampu menulis tapi bukan diakibatkan oleh adanya gangguan pada persepsi motoriknya melainkan diakibatkan karena kurang latihan atau memang kecerdasannya berada di bawah rata-rata atau tunagrahita Jadı, memiliki masalah yang sama yaitu tidak dapat menulis dengan penyebab vang berbeda. Oleh karena penyebabnya berbeda maka strategi pendekatan pembelajarannya pun akan berbeda pula. Sebagai contoh, bagi anak berkesulitan belajar yang dimaksud di sini, sebelum anak dapat belajar menulis, ia harus memiliki keterampilan atau kemampuan tertentu (sebagai prasyarat) seperti koordinasi mata tangan, mengingat dan kemampuan mengurutkan. Sedangkan untuk belajar membaca, anak membutuhkan kemampuan membedakan stimulus visual dan auditori, mengingat, asosiasi, dan mengonsentrasikan perhatiannya.

 

Kesulitan belajar akademik merupakan suatu kondisi yang secara signifikan menghambat proses belajar membaca, menulis, dan operasi berhitung. Kesulitan tersebut tampak ketika anak sudah masuk sekolah dan prestasinya di bawah potensi yang dimilikinya. Rendahnya prestasi tersebut bukan disebabkan oleh keterbatasan mental (tunagrahita), gangguan emosi yang serius, atau gangguan sensori seperti pendengaran dan penglihatan, atau keterasingan dari lingkungan, akan tetapi prestasi rendah itu karena adanya suatu ketidakmampuan tertentu yang diakibatkan oleh karena adanya gangguan pada sistem persarafan minimal di otak,

 

Oleh karena modul ini merupakan pengantar pendidikan anak berkebutuhan khusus, maka materi kesulitan belajar ini tidak dibahas secara keseluruhan, tetapi akan lebih ditekankan pada kesulitan belajar akademik, yang lebih dekat kaitannya dengan pekerjaan yang akan dihadapi oleh Anda.

 

C.  PENYEBAB KESULITAN BELAJAR

 

Para ahli mempunyai pandangan yang berbeda mengenai faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kesulitan belajar (learning disabilities),

Namun, secara tegas dikemukakan oleh Roos (1970), Siegel dan Gold (1982), serta Painting (1983), bahwa kesulitan belajar khusus disebabkan oleh disfungsi sistem sarat yang disebabkan oleh: (1) cedera otak pada masa perkembangan otak. (2) ketidakseimbangan zat-zat kimiawi di dalam otak, (3) gangguan perkembangan sarat, dan

(4) kelambatan proses perkembangan individu.

Ahli lain, yaitu Hallahan dan kauttman (1901: 127-128) mengemukakan tiga faktor penyebab kesulitan belajar, yaitu (1) organis biologis. (2) genetik, dan (3) lingkungan

 

1.  Faktor Organis Biologis

 

Banyak ahli yang meyakini bahwa timbulnya kesulitan belajar khusus pada anak disebabkan oleh adanya disfungsi dari sistem saraf pusat. Bukti adanya gangguan dari sistem saraf pusat terlihat dari studi yang dilakukan oleh E. Roy John, dan kawan-kawan (1989) dengan menganalisis hasil electro encephalogram (EEG) dan ditemukan adanya kelainan pada gelombang otak. Demikian pula penelitian dari Hynd dan Semrud-Clikeman (1989) yang menggunakan computerized tomographie scans (CT Scans) ditemukan adanya gangguan saraf pada anak yang mengalami kesulitan belajar khusus

 

2.  Faktor Genetis

 

Munculnya anak-anak berkesulitan belajar khusus, dapat disebabkan oleh faktor genetis atau keturunan sebagaimana dikemukakan oleh Finucci dan Child, (1983) serta Owen, Adams, Forrest, Stoltz dan Fisher (1971). Sementara itu, dari hasil penelitian Olson, Wise, Conners, Rack, dan Fulker (1989), ditemukan bahwa pada anak-anak yang kembar identik (kembar siam) banyak yang mengalami kesulitan membaca,

 

3.  Faktor Lingkungan

 

Anak berkesulitan belajar yang disebabkan oleh faktor lingkungan sangat sulit untuk didokumentasikan. Meskipun demikian sering dijumpai adanya masalah dalam belajar yang disebabkan oleh faktor lingkungan seperti guru-guru yang tidak mempersiapkan program pengajarannya dengan baik atau kondisi keluar yang tidak menunjang. Dengan demikian, lingkungan yang menyebabkan timbulnya kesulitan belajar pada anak, bukanlah bersifat primer (utama), tetapi lebih banyak bersifat sekunder. Hal tersebut tidak masuk kategori anak yang disebut berkesulitan belajar yang dimaksud dalam modul ini, akan tetapi dapat memperberat kesulitan yang dialami anak berkesulitan belajar.

 

Dari hasil penelitian para ahli diagnostik, ditemukan empat faktor yang dapat memperberat gangguan dalam belajar. Keempat faktor ini sering ditemukan pada anak yang mengalami kesulitan dalam belajar (Kirk Gallagher, 1989:197). Adapun keempat faktor tersebut adalah sebagai berikut.

 

a.  Kondisi fisik

 

Kondisi fisik, meliputi gangguan visual, gangguan pendengaran, gangguan keseimbangan dan orientasi ruang, body image yang rendah, hiperaktif, serta kurang gizi.

 

b.  Faktor lingkungan

 

Lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah yang kurang menguntungkan bagi anak, akan menghambat perkembangan sosial, psikologis, dan pencapaian prestasi akademis. Pengalaman yang mengguncangkan jiwa, perasaan tertekan dalam keluarga, dan kesalahan dalam mengajar juga dapat memperberat kemajuan belajar. Kecuali faktor


lingkungan yang tidak menguntungkan ini mengakibatkan adanya gangguan konsentrasi, memori, dan proses berpikir.

 

c. Faktor Motivasi dan afeksi

 

Kedua faktor ini dapat memperberat anak yang mengalami berkesulitan belajar. Anak yang selalu gagal pada satu mata pelajaran atau beberapa mata pelajaran cenderung menjadi tidak percaya diri, mengabaikan tugas, dan rendah diri. Sikap ini akan mengurangi motivasi belajar dan muncul perasaan-perasaan negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan sekolah. Kegagalan ini dapat membentuk pribadi anak menjadi seorang pelajar yang pasif (tak berdaya).

 

d.  Kondisi Psikologis

 

Kondisi psikologis anak berkesulitan belajar terganggu sebagai akibat dari gangguan perhatian, persepsi visual, persepsi pendengaran, persepsi motorik, ketidakmampuan berpikirdan keterlambatan dalam kemampuan berbahasa. Gangguan-gangguan tersebut mengakibatkan adanya gangguan psikologis seperti: frustrasi, kurang percaya diri, drop out, kurang motivasi untuk belajar dan hal-hal negatif lainnya.

 

Perbedaan antara faktor penyebab (faktor primer) dan faktor yang memperberat (faktor sekunder) merupakan hal yang mendasar dalam melakukan intervensi (pembelajaran). Dalam pelaksanaannya harus dilakukan asesmen atau pengamatan secara cermat dari berbagai aspek sehingga dapat memilah mana yang merupakan faktor primer dan mana yang merupakan faktor sekunder.

 

 

KEGIATAN BELAJAR 2

 

Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar

 

 

A. KARAKTERISTIK ANAK BERKESULITAN BELAJAR SECARA UMUM

 

Menurut Clement yang dikutip oleh Hallahan dan Kauffman (1991:133) terdapat sepuluh gejala yang sering dijumpai pada anak berkesulitan belajar, yaitu: (1) hiperaktif, (2) gangguan persepsi motorik, (3) emosi yang labil, (4) kurang koordinasi, (5) gangguan perhatian, (6) impulsif, (7) gangguan memori dan berpikir, (8) kesulitan pada akademik khusus (membaca, matematika, dan menulis), (9) gangguan dalam berbicara dan mendengarkan, dan (10) hasil electroencephalogram (EEG) tidak teratur serta tanda neurologis yang tidak jelas.

 

Hallahan menjelaskan bahwa tidak semua gejala selalu ditemukan pada anak yang mengalami kesulitan belajar, adakalanya hanya beberapa ciri yang tampak. Selanjutnya para peneliti mengelompokkan kesepuluh ciri tersebut dengan menggabungkan hal-hal yang dianggap sejenis. Adapun pengelompokannya adalah sebagai berikut.

 

1.  Masalah Persepsi dan Koordinasi

Hallahan (1975) mengemukakan bahwa beberapa anak berkesulitan belajar menunjukkan gangguan dalam persepsi penglihatan dan pendengaran. Masalah ini tidak sama dengan masalah ketajaman penglihatan dan ketajaman pendengaran, seperti yang dialami oleh seorang tunanetra atau tunarungu. Sebagai contoh, anak yang mengalami gangguan persepsi visual, tidak dapat membedakan huruf atau kata-kata yang bentuknya mirip, seperti huruf "d" dengan "b" atau membedakan kata "sabit" dengan "sakit".

Kemudian anak yang mengalami masalah persepsi pendengaran mengalami kesulitan untuk mendengarkan kata yang bunyinya hampir sama, seperti kata “kopi" dengan “topi”.

Di samping mengalami masalah dalam persepsi, pada anak berkesulitan belajar ada yang mengalami masalah dalam koordinasi motorik, yaitu gangguan keterampilan motorik halus seperti gangguan dalam menulis dan keterampilan motorik kasar seperti tidak dapat melompat dan menendang bola secara tepat.

 

2.  Gangguan dalam Perhatian dan Hiperaktif

 

Sebagian anak yang berkesulitan belajar mengalami kesulitan untuk memusatkan perhatian dan mengalami hiperaktif. Meskipun terdapat anak yang mengalami masalah dalam perhatian dan hiperaktif tanpa disertai kesulitan belajar, munculnya kesulitan belajar sangat tinggi di antara anak yang mengalami masalah perhatian dan hiperaktif.

 

Para ahli menekankan bahwa dalam hal ini masalahnya bukan pada kelebihan geraknya akan tetapi yang lebih mendasar adalah masalah sulitnya berkonsentrasi. Walaupun anak banyak melakukan gerakan dalam batas-batas tertentu gerakannya lebih terarah, belum tentu disebut hiperaktif. Anak yang hiperaktif banyak bergerak, akan tetapi tidak mengarah dan tidak bisa tenang dalam waktu yang ditetapkan, seperti menyelesaikan pekerjaan dalam waktu 2–3 menit. Di samping itu, anak yang hiperaktif sulit untuk melakukan kontak mata dan sulit untuk mengonsentrasikan perhatiannya. Tampaknya segala stimulus yang ada di dekatnya diresponnya tanpa ada seleksi. Sebagai contoh, apabila anak diberi tugas untuk melakukan sesuatu, ia tidak dapat menuntaskan pekerjaannya karena perhatiannya segera beralih pada objek lainnya.

 

3.  Mengalami Gangguan dalam Masalah Mengingat dan Berpikir

a.  Masalah mengingat

 

1)    Anak berkesulitan belajar kurang mampu menggunakan strategi untuk mengingat sesuatu. Contoh: kepada beberapa anak diperlihatkan suatu daftar kata untuk diingat. Anak pada umumnya secara spontan dapat mengategorikan kata-kata tersebut agar mudah diingat, sedangkan anak berkesulitan belajar tidak mampu melakukan strategi tersebut.

 

Kemudian anak yang mengalami masalah persepsi pendengaran mengalami kesulitan untuk mendengarkan kata yang bunyinya hampir sama, seperti kata “kopi" dengan “topi”.

 

Di samping mengalami masalah dalam persepsi, pada anak berkesulitan belajar ada yang mengalami masalah dalam koordinasi motorik, yaitu gangguan keterampilan motorik halus seperti gangguan dalam menulis dan keterampilan motorik kasar seperti tidak dapat melompat dan menendang bola secara tepat.

2)  Anak berkesulitan belajar mendapat kesulitan untuk mengingat materi secara verbal. Hal ini terjadi karena mereka mempunyai masalah dalam pemahaman bunyi bahasa, sehingga sulit memaknai kata atau kalimat. Apabila anak salah menangkap bunyi bahasa, maka akan menimbulkan kesalahan dalam memaknai kata tersebut. Misalnya anak sulit membedakan bunyi huruf “k” dan “t”, sehingga kata “kopi” kedengarannya seperti “topi”. Dengan demikian ia mengalami kesalahpahaman dalam memaknai kata tersebut.

 

b.  Masalah berpikir

Berpikir meliputi kemampuan untuk memecahkan masalah sampai kepada pembentukan konsep atau pengertian. Anak berkesulitan belajar mengalami kelemahan dalam masalah tersebut. Contoh: bagaimana menentukan strategi untuk menemukan kembali barang yang hilang. Contoh lain adalah bagaimana mengungkapkan kembali suatu cerita yang telah dibacanya. Anak yang berkesulitan belajar tidak mampu untuk menemukan strategi yang diperlukan untuk kepentingan itu.

 

4.  Kurang Mampu Menyesuaikan Diri

 

Anak berkesulitan belajar menunjukkan gejala kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pada umumnya, anak yang mengalami kesulitan belajar sering mengalami kegagalan sesuai dengan tingkat kesulitannya. Dampak dari kegagalan tersebut yaitu anak menjadi kurang percaya diri, merasa cemas, dan takut melakukan kesalahan yang akan menjadi bahan cemoohan teman-temannya, sehingga ia menjadi raguragu dalam berinteraksi dengan lingkungannya atau ia mengasingkan diri.

 

5.  Menunjukkan Gejala sebagai Siswa yang Tidak Aktif

 

Anak berkesulitan belajar kurang mampu melakukan strategi untuk memecahkan masalah akademis secara spontan. Hal ini terjadi karena mereka sering mengalami kegagalan. Contohnya, anak berkesulitan belajar tidak berani menjawab pertanyaan guru atau menjawab soal di papan tulis secara spontan.

 

6.  Pencapaian Hasil Belajar yang Rendah

 

Sebagian anak berkesulitan belajar memiliki ketidakmampuan dalam berbagai bidang akademik, misalnya dalam membaca, pengucapan, tulisan, berhitung, dan sebagian anak lagi hanya pada satu atau dua aspek saja.

 

B.  KARAKTERISTIK KHUSUS ANAK BERKESULITAN MEMBACA

 

Pada uraian berikut ini dibahas mengenai kesulitan khusus dalam membaca berdasarkan hasil-hasil penelitian sebagai berikut.

 

1.  Gangguan Membaca Lisan

 

Lovitt (1989:198) mengemukakan bahwa Loper melakukan dua eksperimen untuk meneliti kemampuan anak berkesulitan belajar dengan cara memprediksi dan mengevaluasi keterampilan mengucapkan kata-kata. Eksperimen pertama dilakukan pada anak-anak berkesulitan belajar dan anak-anak yang bukan berkesulitan belajar usia sekolah dasar,

 

 

apakah mereka dapat mengucapkan kata secara benar dengan berbagai variasi pengucapan atau tidak. Beberapa kata dikelompokkan dari kata yang mudah diucapkan, sampai pada nada tinggi, nada rendah, dan kata yang sulit diucapkan. Hasilnya menunjukkan bahwa dari variasi nada tidak menunjukkan adanya perbedaan yang berarti antara dua kelompok anak tersebut. Akan tetapi, anak-anak berkesulitan belajar tertentu kurang percaya diri pada kemampuannya untuk mengucapkan kata-kata pada daftar kata yang mudah diucapkan.

 

Pada eksperimen kedua, siswa-siswa diminta untuk memprediksikan tampilan kata- kata yang tidak punya arti dari tes membaca di mana butirbutir pertanyaannya disusun berdasarkan tingkat kesulitan. Setelah itu mereka diberi tugas untuk membaca kata-kata, dengan urutan kegiatan sebagai berikut. Daftar kata-kata disusun untuk setiap peserta. Daftar itu meliputi rentangan kata yang mudah sekali sampai yang paling sukar. Hasilnya menunjukkan bahwa anak yang tidak berkesulitan belajar dalam keterampilan pengucapannya menunjukkan perbedaan di antara kedua kelompok itu terutama pada level melaksanakan tugas-tugas tertentu.

 

Berbeda dengan anak yang bukan berkesulitan belajar, anak yang berkesulitan belajar kurang mampu membedakan kata-kata yang berbeda secara ortografis. Akan tetapi, jika daftar kata tersebut tulisannya disamakan dan diklasifikasikan menurut tingkat kesulitannya, ternyata tidak ada perbedaan di antara kelompok tersebut dalam hal ketepatan membaca.

 

2.  Gangguan Ingatan Jangka Pendek

 

Ingatan jangka pendek merupakan sesuatu hal yang diperlukan untuk memahami isi bacaan. Anak yang mengalami kesulitan membaca mengalami kesulitan merekam huruf yaitu mengeja huruf secara teratur.

 

Baddeley (Lovitt, 1989:199) menjelaskan bahwa dengan ingatan jangka pendek yang stabil, seseorang dapat menguasai huruf secara stabil. Dengan demikian kemampuan untuk membentuk kode fonologi yang stabil dalam ingatan jangka pendek berkaitan dengan kecakapan memahami isi bacaan. Hasil tersebut sejalan dengan hipotesis bahwa pembaca yang terampil tampaknya lebih banyak menyimpan kata-kata dalam bentuk fonologis dalam memori jangka pendek. Hal itu ditampakkan dalam kemampuan membentuk fonologi secara cepat, yang membawa keuntungan tambahan untuk membantu mengingat bunyi-bunyi huruf. Keuntungan kedua tampaknya memberikan tanda-tanda yang lebih stabil, yang membantu pembaca memahami informasi di dalam ingatan jangka pendek. Ketidakmampuan menghubungkan huruf dengan bunyi huruf secara cepat akan menghalangi pemahaman dan penyimpanan informasi dalam ingatan jangka pendek.

 

Pada anak berkesulitan membaca, proses perekaman fonologi dalam ingatan jangka pendek tidak dapat berlangsung secara sempurna. Beberapa pembaca berkesulitan belajar cenderung mengalami kekurangan dalam menghafal dan dalam strategi mengingat yang dapat memberi kemudahan dalam membaca.

 

 

3.  Gangguan Pemahaman

Selain kesulitan dalam kemampuan menyusun kata ke dalam kalimat, ada sejumlah bukti bahwa anak yang kesulitan membaca kurang mahir dalam menggunakan strategi dalam menulis teks. Kesulitan itu berhubungan dengan strategi kognitif yang berbeda.

 

Anak-anak berkesulitan membaca menampakkan kelemahan dalam pemahaman dan pendekatan melalui teks akan membuat anak menjadi lebih pasif (Bransford, Stein, dan Vye, 1982). Selanjutnya mereka kurang efisien dalam strategi membaca sepintas (Garner dan Reis, 1981). Pada anak berkesulitan membaca, perbedaan strategi di dalam pemahaman teks dapat disebabkan oleh kekurangan dalam penguasaan bahasa. (Downing, 1980).

 

Anak berkesulitan membaca mengalami kekurangan atau ketidakmampuan menemukan teknik-teknik untuk memahami teks (bacaan). Hal ini diakibatkan oleh ketidakmampuan menghubungkan kata dalam kalimat dan kelemahan dalam melakukan strategi, serta menunjukkan kekurangan dalam memahami apa yang didengar. Beberapa peneliti seperti Smiley, Oakley, Worthen, Campione, dan Brown (1977), menemukan bahwa pemahaman pendengaran pada anak-anak yang mengalami kesulitan membaca mengalami gangguan. Hasil penelitian tersebut mendukung hipotesis bahwa ada hubungan yang erat antara pemahaman melalui pendengaran dengan keterampilan membaca.

 

C.  KARAKTERISTIK KHUSUS ANAK BERKESULITAN MENULIS

 

Lovitt (1989:225) mengemukakan bahwa pelajaran menulis meliputi menulis dengan tangan, mengeja, dan menulis ekspresif. Oleh karena itu, dalam membahas karakteristik khusus mengenai anak berkesulitan menulis ini mengacu pada pendapat tersebut.

 

1.  Menulis dengan Tangan

 

Menulis dengan tangan disebut juga menulis permulaan. Lovitt (1989:237) mengemukakan bahwa anak berkesulitan belajar memiliki berbagai masalah dalam menulis tangan, seperti: 1) menulis dengan lambat; 2) salah dalam menulis huruf dan angka; 3) tulisannya terlalu miring; 4) jarak tulisannya terlalu rapat; 5) kesulitan mengikuti garis lurus;

6) tulisan tidak terbaca; 7) tekanan pensil yang terlalu kuat atau terlalu lemah; serta 8) tulisan yang berbayang. Sedangkan Lerner (1985:402) mengemukakan bahwa kemampuan menulis dipengaruhi oleh faktor motorik, perilaku, persepsi, memori, kemampuan melaksanakan cross modal, penggunaan tangan yang dominan, serta kemampuan memahami instruksi. Karakteristik gangguan menulis permulaan sebagai akibat perkembangan motorik yang belum matang atau mengalami gangguan, antara lain: tulisannya tidak jelas, terputus-putus, atau tidak mengikuti garis. Akibat dari gangguan perilaku seperti hiperaktif atau perhatian yang mudah teralihkan, dapat menyebabkan kegiatan menulisnya terhambat. Gangguan dalam persepsi visual menyebabkan anak sulit membedakan huruf, seperti d dengan b, h dengan n, dsb. Sedangkan gangguan persepsi auditoris dapat menyebabkan anak kesulitan dalam menuliskan kata-kata yang diucapkan guru atau orang lain. Gangguan memori visual menyebabkan anak kesulitan untuk mengingat huruf atau kata, sedangkan gangguan memori auditoris menyebabkan anak sulit menulis kata-kata yang baru saja diucapkan guru atau orang lain. Gangguan melaksanakan cross modal (menyangkut kemampuan mentransfer dan mengorganisasikan fungsi visual ke

motorik) menyebabkan gangguan koordinasi mata dan tangan sehingga tulisannya menjadi tidak jelas, terputusputus, atau tidak mengikuti garis lurus. Kemudian anak yang kidal tulisannya sering terbalik-balik. Sedangkan gangguan memahami instruksi dapat menyebabkan anak keliru dalam menulis kata-kata yang sesuai perintah guru.

 

2.  Mengeja

 

Pada hakikatnya mengeja adalah memproduksi urutan huruf secara benar dari suatu kata, baik dalam bentuk ucapan maupun tulisan. Perbedaan urutan huruf akan menghasilkan kata yang berbeda makna atau mungkin tidak bermakna. Kesulitan mengeja terjadi apabila anak tidak memiliki memori yang baik tentang huruf-huruf, baik memori visual maupun memori auditif. Kesulitan mengeja dalam bentuk tulisan ditandai dengan adanya:

a.  penambahan huruf yang tidak diperlukan (Bandung-bandunga);

b.   penghilangan huruf (Bandung-badung); muncul pola-pola bicara dialektis (Bandung- embandung);

d.  muncul penggantian huruf seperti kesalahan ucapan (roti-wroti);

e.  memutar balikkan huruf dalam kata seperti ibu ditulis ubi;

f.  memutar balikkan penempatan konsonan atau vokal dalam kata, seperti berjalan ditulis bejrlan;

g.  memutar balikkan suku kata dalam kata seperti laba ditulis bala;

h.  kombinasi dari kesalahan-kesalahan di atas.

 

3.  Menulis Ekspresif

 

Menulis ekspresif adalah mengungkapkan pikiran dan perasaan melalui tulisan yang dapat dipahami oleh para pembaca yang sebahasa. Anak yang mengalami kesulitan dalam menulis ekspresif, ditandai dengan kurang terampilnya mengungkapkan pikiran dan perasaan melalui tulisan, baik ditinjau dari segi panjang karangan, keindahan tulisan, penulisan ejaan, penggunaan tata bahasa, maupun dari segi ideasi (antara lain menyangkut substansi dan keterpahaman tulisan).

 

4.  Karakteristik Khusus Anak Berkesulitan Matematika/Berhitung

 

Anak berkesulitan belajar matematika/berhitung, memiliki masalah dalam memahami istilah matematika dasar atau belajar operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, serta simbol-simbol dalam matematika. Anak yang mengalami kesulitan tersebut, antara lain menunjukkan karakteristik sebagai berikut.

 

1.  Kesulitan mengenal dan memahami simbol seperti +, -, X, :, >,<,), dsb.

2.  Kesulitan mengoperasikan hitungan/bilangan.

3.  Sering salah membilang secara urut.

4.    Ketidaksesuaian dalam menghitung benda secara berurutan sambil menyebutkan bilangannya. Misalnya anak telah mengucapkan “empat”, tetapi tangannya menunjuk pada benda urutan ke tiga, atau sebaliknya, tangannya menunjuk benda urutan ke enam, namun anak baru mengucapkan bilangan ”lima”.

 

5.  Sering salah membedakan angka, seperti angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya.

6.  Sulit membedakan bangun-bangun geometri.

 

Di samping karakteristik di atas, Bley & Thornton (Lovitt, 1989:287) mengemukakan sebelas kategori perilaku utama pada anak yang mengalami kesulitan belajar matematika. Setiap kategori adalah contoh dari bagaimana suatu masalah bisa dicatat sebagai salah satu kekurangan visual atau pendengaran. Namun, karakteristik tersebut tidak terdapat pada semua anak berkesulitan belajar dan sebaliknya beberapa di antaranya mungkin terdapat pada anak yang tidak berkesulitan belajar. Kesebelas kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.1.

 

1.  Keterkaitan Kegagalan

 

Kemampuan dalam matematika, sudah tentu berhubungan dengan kemampuan membaca. Siswa berkesulitan membaca akan memiliki masalah dalam matematika, terutama dalam soal cerita. Demikian juga masalah dalam menulis permulaan atau kesulitan dalam menggambar bentuk sederhana, dapat berdampak negatif terhadap kemampuan matematika. Kemampuan matematika juga rendah, apabila siswa memiliki kesulitan memahami konsep seperti konsep waktu, ruang, arah, dan jumlah. Dengan demikian, keberhasilan atau kegagalan siswa dalam matematika sangat berkaitan dengan kemampuannya dalam bidang lain.

 

2.  Kegagalan Pembelajaran

 

Sebagian besar anak berkesulitan belajar menerima layanan pembelajarannya di ruang khusus. Namun, sering kali guru tidak siap untuk memberikan pembelajaran kepada siswa tentang perhitungan sederhana. Berkaitan dengan hal tersebut, Cawley mengidentifikasi empat tipe kegagalan dalam pembelajaran.

 

a.   Pembelajaran merupakan ketidaktepatan atau keterbatasan dalam mengembangkan keterampilan berpikir.

b.  Siswa harus melewati satu keterampilan menuju keterampilan lainnya, sebelum mencapai tingkat mampu.

c.  Kadang-kadang guru membetulkan konsep anak terlalu cepat, ketika mereka seharusnya membantu siswa dalam matematika..

d.  Asesmen terhadap kemampuan siswa tidak lengkap, sedangkan kemampuan siswa harus dianalisis (dipelajari) dari pada dinilai.

 

3.  Kegagalan Individu

 

Di antara karakteristik siswa yang dipercaya telah berkontribusi terhadap kegagalan dalam aspek matematika adalah kekurangan perhatian dan masalah dalam menuliskan atau membaca tanda (encoding), memori, atau pengorganisasian.

 

KEGIATAN BELAJAR 3

Intervensi Anak Berkesulitan Belajar

A. INTERVENSI TERHADAP ANAK BERKESULITAN MEMBACA

 

Uraian tentang intervensi terhadap siswa berl tan mei ca akan membahas tentang: tipe (bentuk) kesulitan membaca, asesmen kemampuan membaca, prosedur intervensi kesulitan membaca, dan pendekatan, serta teknik dalam intervensi kesulitan membaca.

 

1.  Tipe (Bentuk) Kesulitan Membaca

Secara umum, M. Monroe (dalam Permanarian, 1992:7) membagi kesulitan membaca menjadi delapan bagian, yaitu sebagai berikut.

a.  Kurang mengenal huruf.

b.  Bingung urutan letak huruf. Contoh: "a-na" dibaca "a-an".

c. Menambah suara yang tidak ada. Contoh: "saya" dibaca "sayah".

d.  Menghilangkan huruf yang ada

 

Contoh: "sudah" dibaca "udah", "ekspor" dibaca "espor", dan sebagainya.

e.  Mengganti kata. Contoh: "itu" dibaca "ini". e.

f. Mengulang kata

Contoh: "Ali pergi ke Jakarta" dibaca "Ali A..A.. Ali pergi ke Jakarta".

g.  Menambahkan kata yang tidak ada dalam bacaan.

 

Contoh: "Ini rumah Didi" dibaca "Ini rumah si Didi". h. Menghilangkan kata yang ada dalam bacaan.

 

Contoh: "Ini rumah si Mamat" dibaca "Ini rumah Mamat".

 

Hasil pengamatan di lapangan terhadap beberapa kasus (siswa kelas empat SD), ditemukan berbagai tipe gangguan dalam membaca, yaitu sebagai berikut.

 

a.  Menghilangkan huruf

 

Contoh: “Hujan lebat disertai angin kencang menimpa desa keluarga Ani”. dibaca ”Hujan lebat disertai angin kencang mempa desa keluarga Ani”.

 

b.  Menghilangkan kata

 

c.   Contoh: “Tahun 1942, negara kita dijajah Jepang”. dibaca “Tahun 1942 kita dijajah Jepang“. Kata negara tidak terbaca. Menambah huruf

 

Contoh: “saya“ dibaca “sayah”; “sebelum” dibaca “sebelumnya”; dan “pendaratan” dibaca “pendaratannya” d. Penggantian huruf dan kata

 

Contoh : “Ada apa kamu datang?” dibaca “Ada-ada kamu patang?” “Sampaikan salamku” dibaca “sampikan salahku” “Supaya lalu lintas aman dan tertib, sepanjang jalan dipasang rambu lalu lintas”, dibaca “Supaya lalu lintas aman dan damai sepanjang jalan dipasang rambu lalu lintas”. Kurang memperhatikan tanda baca e.

Tanda baca berupa tanda titik (.), koma (,), dan tanda tanya (?) sering diabaikan, sehingga intonasi kalimat tidak dapat dirasakan. Penghentian sementara dalam membaca dilakukan melalui pemindahan baris yang dibacanya. Anak akan berhenti membaca dengan intonasi yang benar apabila dalam pemindahan baris, kalimatnya selesai atau titik (.). f. Pemahaman isi bacaan

 

Anak sering kali tidak dapat menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan isi bacaan. Hal ini diakibatkan oleh kesalahan-kesalahan yang dia lakukan (seperti contoh yang telah disebutkan di atas), mempersulit pemahaman isi bacaan.

 

Di samping itu dalam menjawab pertanyaan, kata kunci dari setiap jenis pertanyaan belum dipahami dengan baik. Kata kunci tersebut antara lain siapa, di mana, kapan, dan mengapa. Pertanyaan dengan kata kunci siapa berkaitan dengan nama orang; di mana berkaitan dengan tempat; kapan berkaitan dengan saat terjadinya, dan mengapa berkaitan dengan sebab

 

akibat. Hal tersebut tidak dipahami benar oleh anak, sehingga ia tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik.

 

2.  Asesmen Kemampuan Membaca

 

Asesmen kemampuan membaca bertujuan untuk: (a) menentukan pengelompokan anak secara tepat untuk pengajaran, (b) menunjukkan secara tepat kebutuhan belajar anak secara spesifik, (c) menilai kekuatan dan kelemahan dari program pengajaran, (d) mengakses perkembangan membaca seseorang, dan (e) pertanggungjawaban kepada orang tua/masyarakat.

 

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, ada dua bentuk asesmen yang dapat digunakan, yaitu asesmen formal dan informal. Asesmen secara formal dilakukan dengan tes-tes standar (sudah dibakukan), sedangkan asesmen informal tidak menggunakan norma sebagai alat untuk menafsirkan kualitas dan performance siswa. Keterampilan anak dinilai semata-mata didasarkan kepada kriteria yang ditetapkan terlebih dahulu.

 

Asesmen formal

 

Tes yang dipergunakan untuk melakukan asesmen secara formal, meliputi: tes survei, tes diagnostik, dan tes prestasi. 1) Tes Survei

 

Tes survei diberikan untuk mengukur kemampuan kelompok; cara ini digunakan untuk mengukur kemampuan secara umum dalam bidang tertentu dan bukan untuk mengukur sesuatu tentang kemampuan individual. Tes survei kebanyakan digunakan pada permulaan ajaran untuk mengidentifikasi siswa yang memiliki masalah-masalah secara global, seperti analisis kata, perbendaharaan kata, dan pemahaman. Teknik ini tidak dapat digunakan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan khusus yang dialami anak.

 

2)  Tes Diagnostik

Tes diagnostik menghasilkan informasi yang lebih tepat. Secara ideal tes diagnostik tidak hanya menyajikan kelemahan-kelemahan individu secara spesifik, tetapi juga memberi tahu apa yang harus dilakukan untuk membantu memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut. Tes seperti ini mengasesmen sub-sub keterampilan yang luas seperti identifikasi huruf, bunyi huruf, analisis struktur, pemahaman tentang kata, kombinasi bunyi dan pemahaman isi bacaan.

 

Salah satu tes diagnostik adalah Woodcock Reading Mastery Test (Woodcock, 1973). Seri tes ini dikembangkan untuk anak taman kanak-kanak sampai sekolah dasar kelas enam. Tes ini didesain untuk digunakan secara individual, yang terdiri dari 5 sub tes secara berurutan dari yang mudah sampai ke yang sulit. Kelima sub tes tersebut adalah sebagai berikut.

 

a)  Pengenalan Huruf

 

Sub tes ini mengukur kemampuan menyebut huruf dalam alfabet. Kepada anak diperlihatkan 5 - 10 huruf dalam kartu kemudian anak disuruh menyebutkan nama-nama huruf tersebut. Pada akhir kelas empat, siswa seyogianya sudah dapat menyebutkan seluruh huruf dalam alfabet secara sempurna.

 

b)  Pengenalan Kata

 

Sub tes ini terdiri dari 150 kata yang ditulis dalam kartu, setiap kartu berisi 10 kata. Rentangan kesulitan mulai dari kata-kata yang mudah seperti kata: bola, topi, dan berakhir dengan kata-kata yang sulit diucapkan ataupun sulit dimengerti seperti: kualitas, psikologi, dan sebagainya. Tugas anak adalah menyebutkan kata-kata tersebut.

 

c) Menganalisis Kata

 

Sub tes ini mengukur kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengucapkan kata-kata yang tidak mempunyai arti dengan menerapkan bunyi huruf dan menganalisis struktur bunyi huruf. Tes ini terdiri dari 50 item dan setiap kartu berisi 10 item meliputi konsonan dan vokal. Contoh: Kepada anak diperlihatkan kata “bele” (tidak mempunyai arti). Anak tersebut ditugaskan untuk mengucapkan bunyi-bunyi huruf tersebut dalam kesatuan kata.

 

d)  Pemahaman Kata

 

Sub tes ini mengukur pengetahuan arti kata dalam bentuk analogi. Setiap analogi terdiri dari satu pasang kata. Sebagai contoh: kata yang pertama berhubungan dengan kata yang kedua, dan siswa harus mengisi kata yang kedua setelah penguji mengucapkan kata yang pertama. dingin, matahari.....

 

misalnya; salju

 

Untuk kelas-kelas rendah soalnya dibacakan oleh penguji dan untuk kelas lebih tinggi soal dibaca oleh siswa sendiri secara

 

perlahan, kemudian melengkapi analoginya dengan ucapan yang keras.

e)  Pemahaman bagian bacaan

 

Sub tes ini terdiri dari 85 bagian untuk mengukur kemampuan memahami bacaan, menganalisis kata, dan keterampilan mengartikan kata. Pada setiap bagian ada kata-kata yang hilang, dan siswa bertugas untuk mengisi bagian yang hilang itu. Tes ini merupakan tes baku, namun Anda dapat membuat sendiri tes seperti ini (sebagai asesmen informal) dengan menggunakan teknik cloze procedure.

 

3)  Tes hasil belajar

 

Tes hasil belajar dalam membaca sering digunakan pada akhir tahun ajaran untuk mengukur apakah siswa telah menguasai keterampilanketerampilan tertentu dalam membaca.

 

Asesmen informal

 

Asesmen informal yang dapat Anda pergunakan, antara lain sebagai berikut. 1) Informal Reading Inventories (IRI)

 

Kebanyakan IRI dibuat oleh guru dengan menggunakan bahan-bahan yang biasa diajarkan di kelas. Keuntungan dari tes ini adalah berhubungan secara langsung dengan kurikulum. Tahapan tes ini adalah sebagai berikut.

 

(a)  Siswa diminta untuk membaca satu set daftar kata.

 

(b)    Siswa mulai membaca suatu wacana yang terdiri dari beberapa bagian, yang keseluruhan kata dalam wacana tersebut berkaitan dengan daftar kata yang telah dibaca siswa.

 

(c)    Setelah setiap bagian dibaca, siswa harus menjawab pertanyaan yang bersifat pemahaman.

 

(d)  Kemampuan membaca lisan dan kesesuaian dalam menjawab pertanyaan pemahaman ditentukan dengan kesuksesan pada 95% untuk ketepatan pengucapan kata dan 75% untuk pertanyaan pemahaman. Namun, proses tersebut masih bisa dilanjutkan hingga mencapai kriteria ketidaktergantungan dalam membaca, yaitu 99% untuk ketepatan pengucapan kata dan 95% untuk pertanyaan pemahaman. Sedangkan jangkauan dengan kriteria frustrasi atau ketidakberhasilan dalam membaca, adalah apabila jangkauannya kurang dari 90% untuk ketepatan kata dan 50% untuk pertanyaan pemahaman. (e) Membaca dalam hati dan lisan dilakukan berganti-ganti dari

 

satu bagian ke bagian berikutnya.

 

Membaca daftar kata dan wacana (tahap a dan b), dilakukan baik secara lisan maupun dalam hati. Demikian juga pertanyaan diberikan secara lisan dan tertulis. Bentuk asesmen seperti ini dikembangkan oleh Goodman (1973), yang menyarankan bahwa kualitas dari kesalahan membaca siswa dapat ditentukan dengan mempertanyakan di mana batas

kesalahan dari pemahaman pembaca terhadap suatu bacaan. Melakukan kesalahan merupakan hal yang sangat serius, karena dengan melakukan kesalahan tersebut dapat mengakibatkan kesalahan arti yang dibaca. Apabila sudah ditemukan 25 kesalahan, maka analisis kesalahan siswa dapat dilakukan.

 

Anda dapat menyusun sendiri tes ini, yaitu dengan menyusun daftar kata, kemudian membuat suatu wacana dengan menggunakan katakata yang ada dalam daftar kata tersebut. Selanjutnya ikuti tahapan tes yang sudah dijelaskan di atas.

 

2) Cloze procedure

 

Teknik ini dikembangkan oleh Taylor (1983), adapun langkahlangkahnya adalah sebagai berikut:

 

(a)  Pilih sebuah wacana yang terdiri dari 250-500 kata (sumber lain menyebutkan antara 100-250).

 

(b)  Hilangkan kata-kata pada setiap kata yang kelima.

 

(c) Pada kata yang hilang diberi garis panjang.

 

(d)  Jangan menghilangkan kata-kata dari kalimat yang pertama dan terakhir.

 

(e)  Siswa diminta untuk membaca paragraf itu dan menebak kata apa yang harus diisi pada titik-titik itu.

 

(f)  Hitunglah jumlah kata-kata yang benar, kemudian buat persentase dari kata yang diisi dengan benar itu. Keuntungan cloze procedure, sebagai berikut.

 

(a)  Dapat mengukur proses membaca.

 

(b)  Mensyaratkan level pikir tinggi dari pada pertanyaan yang bersifat biasa.

 

kemampuannya. Farr dan Roser dalam Lovitt (1989:205) mengemukakan empat cara untuk memperoleh informasi tentang minat baca, yaitu: observasi, inventori minat, wawancara dengan anak, dan wawancara dengan orang tua. Para pengamat hendaknya memperoleh gambaran tentang tingkah laku dan sifat-sifat anak untuk menentukan kapan sebaiknya observasi terhadap kegiatan membaca dilakukan.

 

Dalam melakukan observasi, terlebih dahulu Anda harus mempertanyakan dalam pikiran Anda antara lain tentang: bagaimana sikap siswa terhadap membaca, apakah siswa memiliki minat membaca secara khusus, apakah siswa memperoleh kemajuan dalam membaca, apakah siswa memiliki semangat dalam membaca, kelebihan dan kelemahan apa yang ditunjukkan siswa dalam membaca, apakah anak membaca lisan dengan kata demi kata atau dengan lancar, kesalahan apa yang dilakukan siswa secara konsisten, serta apakah siswa menunjukkan perhatian yang berharga terhadap arti dan makna (Mercer & Mercer, 1989:346).

Inventori minat merupakan suatu bentuk asesmen dengan mengemukakan pernyataan- pernyataan yang berhubungan dengan kegiatan membaca. Anak diminta untuk memilih pernyataan-pernyataan yang sesuai dengan minatnya. Selanjutnya dilakukan pencatatan tentang minat anak tersebut.

 

Demikian juga wawancara dapat dilakukan terhadap orang tua maupun anak itu sendiri untuk memperoleh informasi tentang minat dan kebiasaan anak dalam membaca.

 

3.  Prosedur Intervensi Kesulitan Membaca

 

Intervensi terhadap siswa yang berkesulitan membaca dilakukan melalui tahapan berikut.

Identifikasi masalah a.

Identifikasi masalah dilakukan dengan mencari, menandai, dan menemukan tipe-tipe kesulitan membaca. Untuk mengidentifikasi masalah ini Anda dapat melakukan asesmen kemudian menganalisisnya. Jenis asesmen yang digunakan dapat berupa asesmen formal maupun informal, sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dalam melakukan tahapan ini, Anda juga dapat mengacu pada delapan tipe-tipe kesulitan membaca yang dikemukakan oleh M. Monroe dengan mengamati perilaku membaca siswa.

 

 

b. Diagnosis

 

Langkah ini dimaksudkan untuk menemukan sebab-sebab kesulitan membaca pada diri siswa. Tahapan ini memiliki peran yang penting karena untuk menentukan program layanan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan anak.

 

Penyusunan program layanan

 

Program layanan intervensi dalam belajar membaca dibedakan atas program delivery dan kurikuler. Program delivery merupakan layanan bantuan belajar membaca yang dilakukan dengan mendatangkan guru ahli dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus untuk mengintervensi kesulitan membaca, menata kelas sehingga dapat merangsang anak untuk belajar membaca atau mengirim siswa yang memiliki kesulitan untuk memperoleh layanan bimbingan membaca. Sedangkan program kurikuler, dilakukan dengan memberikan pengajaran remedi (remedial teaching) pada siswa-siswa yang berkesulitan membaca.

 

d. Evaluasi

 

Kegiatan evaluasi ditujukan pada dua sasaran, yaitu hasil dan proses bantuan. Keberhasilan layanan bantuan belajar membaca terlihat dari berkurangnya kesulitan atau kesalahan dalam membaca dan memahami bacaan. Sedangkan penilaian proses dimaksudkan untuk menganalisis pelaksanaan bantuan mulai dari tahap perencanaan, penyusunan program, sampai pada kegiatan layanan bantuan. Melalui penilaian proses akan dapat dideteksi kelemahan-kelemahan ataupun hal-hal yang menunjang kegiatan layanan bantuan. Dari

 

hasil penilaian tersebut, guru dapat menyusun program baru berdasarkan pada permasalahan kesulitan membaca yang belum terselesaikan dengan tuntas.

 

4.  Pendekatan dan Teknik dalam Intervensi Kesulitan Membaca

 

Siswa yang mengalami kesulitan membaca memiliki bentuk dan tingkat kesulitan yang beragam. Oleh karena itu, model-model pendekatan yang dipergunakan untuk mengintervensi kesulitan membaca bervariasi pula. Carnine & Silbert dalam Mercer & Mercer (1989:366) mengemukakan dua pendekatan pokok dalam mengajar membaca permulaan. Kedua pendekatan tersebut adalah, pendekatan dengan penekanan pada lambang atau yang menekankan pada bunyi huruf dan pendekatan dengan penekanan pada makna, atau yang menekankan pada penggunaan kata. Teknik yang diklasifikasikan ke dalam pendekatan dengan penekanan pada lambangantara lain adalah teknik Gillingham dan Stilman serta teknik fernald berikut ini.

 

Teknik Gillingham dan Stillman

 

Gillingham dan Stillman berpendapat bahwa siswa yang mengalami hambatan bahasa secara khusus, hanya dapat belajar membaca secara baik jika metode yang dipilih sesuai dengan perkembangan fungsi bahasa yang digunakan

 

Teknik ini dimulai dari sebuah cerita yang mengikuti perkembangan komunikasi mulai dari bahasa lisan sampai ke penulisan alfabet. Sejalan dengan cerita tadi instruktur menjelaskan kepada siswa bahwa kesulitan yang dialami tidak bersifat unik, artinya dialami oleh semua orang. Setelah pendahuluan diberikan, latihan diberikan secara berurutan mulai dari mengenalkan huruf dan bunyinya, menyambungkan bunyi huruf menjadi kata dan berakhir dengan membaca kalimat dan cerita.

 

1)  Mengenal huruf

 

Siswa diberikan pelajaran tentang bunyi yang berwujud huruf, lalu menyambungkan huruf- huruf tersebut menjadi kata. Rumpun kata diajarkan melalui asosiasi yang melibatkan proses visual dan kinestetik. Guru menunjukkan huruf dan mengucapkannya, siswa mengulangnya. Proses ini digunakan untuk bunyi yang berwujud huruf. Untuk mengajarkan pola huruf guru menulis dan menjelaskan pola-pola huruf, siswa menelusuri garis-garis huruf, meniru huruf, menulis huruf dari ingatan, dan menulis huruf tanpa melihat apa yang ditulisnya. Beberapa petunjuk pelaksanaan adalah sebagai berikut.

 

a)  Huruf diperkenalkan melalui kata lembaga, misalnya huruf "b" dalam kata "bola".

 

b)  Menggunakan kartu latihan untuk mengenalkan setiap huruf. c) Siswa membedakan vokal dan konsonan dengan mengucapkannya dan mengasosiasikan dengan kartu latihan yang diwarnai. Misalnya warna biru untuk konsonan dan merah untuk vokal.

 

d) Huruf-huruf pertama yang diperkenalkan hendaknya yang menimbulkan bunyi yang jelas dan menggambarkan pola-pola yang jelas.

 

2)  Merangkai huruf menjadi kata

Setelah siswa menguasai sepuluh huruf, huruf-huruf itu disambungkan menjadi kata. Dalam latihan ini siswa melihat beberapa kartu latihan huruf dan menyambungkan bunyi-bunyinya sehingga menjadi kata. Kata-kata ini dicetak pada kartu berwarna dan ditempelkan pada papan kata. Apabila siswa sudah memiliki sejumlah kata dalam lemari kata, diadakan latihan kebalikannya yaitu siswa diminta menguraikan kata-kata menjadi unsur bunyi. Pada saat itu juga siswa menulis kata-kata sambil menyebutkan tiap-tiap huruf yang ditulis. Anda dapat membandingkan cara ini dengan metode SAS yang mungkin sudah sering Anda gunakan.

 

3)  Membaca kalimat dan cerita

 

Latihan membaca kalimat dan cerita dapat dimulai setelah siswa dapat membaca dan menulis kata yang lebih dari tiga huruf. Cerita pertama yang dibaca dan ditulis hendaknya sederhana tetapi struktur katanya tepat. Cerita ini dibaca dalam hati, lalu dibaca keras di depan guru.

 

b. Teknik fernald

 

Teknik ini terdiri dari empat tahapan berikut. Tahap satu

Pada tahap ini siswa memilih kata-kata yang dipelajari, tiap kata dituliskan dengan krayon pada kertas dengan tulisan miring. Siswa menelusuri kata dengan jari dan membunyikan tiap bagian kata sesuai dengan perjalanan selusur. Penelusuran diulangi berkali-kali sampai siswa dapat menulis kata pada secarik kertas lain tanpa melihat contoh. Kata yang telah dipelajari dimasukkan ke dalam file sesuai dengan alfabetnya. Setelah mempelajari beberapa kata diharapkan siswa menyadari bahwa dirinya dapat membaca dan menulis. Pada saat itu diperkenalkan cara menulis cerita. Siswa mempelajari kosakata baru untuk menyampaikan jalannya cerita. Sebelum cerita dapat ditulis oleh siswa, ia harus mempelajari kembali kata demi kata dengan teknik selusur. Sesudah belajar kata dan menuliskan cerita, kemudian siswa membaca cerita dan menyimpan kata pada file kata.

 

Tahap dua

 

Siswa masuk tahap ini jika sudah terbukti tidak memerlukan selusur lagi. Kata yang dipelajari berasal dari kata-kata yang tidak dikenal yang telah ditulis oleh siswa. Siswa mempelajari kata-kata cukup dengan melihat dan mengatakannya berkali-kali. Proses ini berlangsung sampai siswa dapat menuliskan kata dari ingatan.

 

Tahap tiga

 

Pada tahap ini siswa mempelajari kata dengan melihat dan mengucapkannya. Mereka boleh membaca kata yang mereka kehendaki. Apabila menemukan kata yang belum mereka ketahui, siswa hendaknya diberi tahu. Pada tahap ini siswa mempelajarinya langsung dari buku bacaan. Kata-kata baru tidak perlu lagi ditulis pada kartu. Siswa melihat kata-kata tercetak, kemudian mengucapkannya berkali-kali dan mengingatnya lalu menuliskannya.

Tahap empat

 

Siswa diharapkan mengenal kembali kata-kata baru dan memahaminya setiap kali kata itu muncul. Kata-kata dapat dipelajari dari konteks atau dari keseluruhan kata atau bagian- bagian dari kata. Siswa diminta menuliskan kata yang sulit baginya sebagai latihan. Pada fase ini siswa didorong sampai kepada satu paragraf untuk memperjelas makna dari kata- kata yang belum dikenal sebelum mulai membaca.

 

Fernald tidak menghendaki penjelasan kata ketika membaca, baik oleh guru maupun siswa. Ia menghendaki agar kata-kata baru ditemukan sendiri oleh anak.

 

Pendekatan Gillingham dan Fernald memang sama, tetapi memiliki perbedaan. Gillingham menekankan huruf demi huruf, sedangkan Fernald tidak menganjurkan seperti itu, melainkan siswa memilih kata untuk dipelajari dengan memanfaatkan alat dria. Silakan Anda memilih teknik mana yang akan digunakan sesuai dengan kondisi siswa yang dihadapi.

 

C. Pendekatan untuk membantu siswa dalam membaca pemahaman

 

Pendekatan yang dapat digunakan dalam membantu siswa membaca pemahaman adalah pendekatan dengan penekanan pada makna (meaningemphasis approach). Pendekatan ini dimulai dengan kata yang sering dihadapkan kepada siswa, dengan asumsi bahwa kata yang sering ditemukan oleh siswa, akan dikenal oleh siswa sehingga ia mudah mempelajarinya. Mercer & Mercer (1989:366) mengemukakan dua pendekatan yang diklasifikasikan ke dalam pendekatan penekanan makna, yaitu pendekatan pengalaman berbahasa (language experience approach) dan pendekatan membaca yang diindividualisasikan (individualized reading approach).

 

Pendekatan pengalaman berbahasa, mengintegrasikan perkembangan keterampilan membaca dengan kemampuan mendengar, berbicara, dan keterampilan menulis. Dalam pendekatan ini, apa yang dipikirkan dan diucapkan anak merupakan suatu materi. Pengalaman anak dalam bermain sangat berperan dalam menentukan materi bacaannya. Melalui pendekatan ini, anak mendiktekan suatu cerita kepada Anda; kemudian Anda mencatat cerita tersebut. Catatan tersebut menjadi dasar bagi anak dalam membaca permulaan. Selanjutnya anak membaca tulisan dari pikirannya sendiri.

 

Pendekatan membaca yang diindividualisasikan merupakan suatu pendekatan yang memperhatikan adanya perbedaan secara individual. Dalam pendekatan ini, setiap anak memilih sendiri materi membacanya menurut minat dan kemampuannya, serta kemajuannya sesuai dengan kecepatannya sendiri. Oleh karena itu, sangat penting bagi Anda untuk menyediakan koleksi buku yang banyak dengan berbagai tingkatan membaca. Setelah anak memilih materi membacanya, ia membaca dan membuat catatan sesuai dengan kemajuannya. Anda dapat mengajarkan pengenalan kata dan keterampilan pemahaman sesuai dengan kebutuhan tiap-tiap siswa. Anda dan siswa dapat bertemu satu atau dua kali seminggu dan Anda dapat memberi tugas pada siswa untuk membaca keras, dan mendiskusikan materi bacaannya. Anda dapat mencatat kesalahan siswa dalam membaca serta mengecek perbendaharaan kata siswa dan pemahaman arti kata.

Dengan berbagai pendekatan yang sudah dijelaskan di atas, diharapkan Anda dapat menerapkannya dalam upaya memberikan pengajaran remedi terhadap anak berkesulitan belajar, khususnya dalam bidang membaca.

 

B. INTERVENSI TERHADAP ANAK BERKESULITAN MENULIS

 

Dalam uraian ini akan dibahas tentang intervensi bagi anak-anak yang mengalami kesulitan belajar menulis, khususnya menulis dengan tangan atau menulis permulaan, mengeja, dan menulis ekspresif. Adapun pembahasannya meliputi: tipe-tipe kesulitan menulis, asesmen, diagnostik, dan remediasi.

 

1. Tipe-tipe Kesulitan Menulis

 

Ada berbagai tipe/bentuk kesulitan menulis, di antaranya sebagai berikut. Kesalahan dalam menuliskan bentuk huruf, seperti dalam Tabel 8.1 berikut ini. a

0 comments:

Post a Comment