MODUL 1
HAKIKAT PEMBELAJARAN KELAS RANGKAP
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di Indonesia yang mempunyai wilayah yang luas dan terdiri dari
ribuan pulau, tak dapat dihindari adanya permasalahan penyebaran dan
permasalahan perbedaan. Begitu juga dalam sistem pendidikan kita. Misalnya
dalam penyebaran guru SD, sistem pendidikan kita belum mampu menyebarkan guru
SD secara merata ke segala penjuru wilayah di tanah air. Akibatnya masih
terjadi kekurangan guru SD secara lokal dimana-mana, termasuk di Papua masih
mengalami masalah kekurangan guru SD sekitar 4000 orang.
Dalam
masalah perbedaan kualitas hasil belajar, pada umumnya murid SD di kota-kota
besar jauh lebih baik dibandingkan dengan mereka yang berada di daerah terutama
di daerah yang terpencil. Akibatnya kekurangan guru mungkin saja akan menambah
adanya perbedaan ini.
Namun demikian, mengajar dengan merangkap kelas bukan
berarti merupakan penyebab terjadinya kurang baiknya kualitas hasil belajar
mungkin hal ini dikarenakan kita belum menemukan teknik yang tepat untuk
melakukan Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR). Dalam pembahasan ini, Anda akan
kami ajak untuk memahami hakikat PKR, oleh karena itu Anda tidak lagi mempunyai
anggapan bahwa PKR merupakan suatu masalah yang sulit untuk diatasi. Namun
justru pada
Anda mendapatkan
bahwa adalah
tantangan dan kenyataan tersebut harus Anda hadapi
Disamping itu PKR, bukan saja sekedar kenyataan yang harus dihadapi
oleh guru, tetapi PKR juga mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh guru
yang tidak mengajar dikelas rangkap.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahannya yaitu :
1.
Apa yang dimaksud dengan
hakikat pembelajaran ?
2.
Mengapa pembelajaran
kelas rangkap diperlukan ?
3.
Apa tujuan, fungsi, dan
manfaat PKR ?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
1.
Menjelaskan hakikat kelas rangkap (PKR)
2.
Mengetahui perlunya pembelajaran kelas rangkap (PKR)
3.
Menjelaskan tujuan, fungsi dan manfaat PKR
4.
Menjelaskan prinsip-prinsip yang mendasari PKR
5.
Menjelaskan Gambaran PKR yang ideal
BAB II
PEMBAHASAN
Kegiatan Belajar 1
Hakikat Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR)
A.
Hakikat Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR)
Pembelajaran
kelas rangkap merupakan model pembelajarang dengan mencampur beberapa siswa yang terdiri dari
dua atau tiga tingkatan kelas dalam satu kelas dan pembelajaran diberikan oleh
satu guru saja untuk beberapa waktu. Pembelajaran kelas rangkap sangat
menekankan dua hal utama, yaitu kelas digabung secara terintegrasi dan
pembelajaran terpusat pada siswa sehingga guru tidak perlu berlari-lari antara
dua ruang kelas untuk mengajar dua tingkatan kelas yang berbeda dengan program
yang berbeda.
Namun
murid dari dua kelas bekerja secara sendiri-sendiri di ruangan yang sama,
masingmasing duduk di sisi ruang kelas yang berlainan dan diajarkan program
yang berbeda oleh satu guru. Pembelajaran Kelas Rangkap adalah suatu bentuk
pembelajaran yang mensyaratkan seorang guru mengajar dalam satu ruangan kelas
atau lebih, dalam saat yang sama, dan menghadapi dua atau lebih tingkat kelas
yang berbeda (IG.AK.Wardhani, 1998).
Pembelajaran
kelas rangkap (PKR) adalah suatu bentuk pembelajaran yang
mempersyaratkan seorang
guru mengajar dalam satu ruang kelas atau lebih, dalam saat yang sama, dan
menghadapi dua atau lebih tingkat kelas yang berbeda. PKR juga mengandung
makna, seorang guru mengajar dalam satu ruang kelas atau lebih dan menghadapi
murid-murid dengan kemampuan belajar yang berbeda-beda.
B.
Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR) diperlukan
Ada
beberapa alasan penting yang menyebabkan perlunya pembelajaran kelas rangkap
dilaksanakan yaitu :
1.
Alasan Geografis
Lokasi pembelajaran yang sulit dijangkau, terbatasnya sarana
transportasi, dan pemukiman penduduk yang jaraknya berjauhan, serta adanya
ragam mata pencaharian penduduk misalnya berladang, mencari ikan bahkan
menebang kayu atau mencari sesuatu hal ini dapat mendorong penggunaan PKR.
2.
Alasan Demografis
Mengajar murid dengan jumlah yang kecil, atau murid yang tinggal
dipemukiman yang jarang penduduknya, maka PKR merupakan pendekatan yang tepat
dan praktis.
3.
Kekurangan Guru
Meskipun jumlah guru secara keseluruhan bisa dikatakan cukup, namun
pada kenyataannya masih ada keluhan kekurangan guru, terutama di daerah-daerah
terpencil. Apalagi bila secara geografis daerah tersebut sulit dijangkau, maka
akan membuat guru takut ditugaskan didaerah itu. Rendahnya minat guru untuk
mengadu nasib didaerah terpencil, juga di sebabkan beberapa faktor. Misalnya
mahalnya harga keperluan sehari-hari, sulitnya alat transportasi, gaji yang
lambat, bahkan terbatas peluang untuk mendapatkan pengembangan karirnya. Oleh
karena itu untuk menjadi guru di daerah seperti itu perlu adanya keikhlasan dan
penuh sukacita, dan kesiapan mental dari guru tersebut.
4.
Keterbatasan Ruang Kelas
Di daerah yang muridnya sangat sedikit, tidak memerlukan ruang
kelas lebih banyak. Tetapi, di daerah lain meskipun sudah mempunyai ruang kelas
sesuai dengan jumlah tingkatan kelas, masih belum cukup karena jumlah rombongan
belajar lebih besar. Maka dari itu diperlukan PKR.
5.
Kehadiran Guru
Kehadiran guru,
bukan saja dialami oleh sekolah di daerah terpencil, di kota besar pun juga
mengalaminya. Seperti di Jakarta, musibah banjir dapat menghambat kehadiran
guru untuk melaksanakan tugasnya. Guru yang tidak kena musibah harus mengajar
kelas yang tidak ada gurunya. Belum lagi alasan lain misalnya sakit, cuti, atau
ada kegiatan berkaitan meningkatkan professional dan kualifikasi guru.
Katz (1992),
menegaskan bahwa kelas rangkap dilaksanakan tidak hanya karena alasanalasan
letak gegorafis, kekurangan murid, atau kekurangan tenaga guru, akan tetapi lebih
dari itu adalah bagaimana meningkatkan mutu pendidikan melalui fasilitasi yang
tinggi bagi perkembangan dan potensi siswa. Oleh karena itu dia mengembangkan
tiga jenis kelas rangkap dalam rangka pembelajaran; 1) Combined grades, 2)
continuous progress, 3) mixed age/multiage grouping.
a.
Model Pertama Combine Grades : atau juga dikatakan sebagai combined classess, dimana dalam satu
kelas terdapat lebih dari satu tingkatan kelas anak. Membagi kelas menjadi
beberapa bagian sesuai dengan tuntutan kurikulum untuk beberapa tingkatan atau
hanya dua tingkatan. Tujuan utamanya adalah untuk memaksimalkan kemampuan siswa
dan pemahaman lingkungan juga meningkatkan sikap dan pengalaman dalam
kelompokkelompok umur yang berbeda.
b.
Model Kedua Continuous Progress : model ini berupa kelompok anak dengan pencapaian kurikulum yang
tinggi dimana proses belajar mengajar melihat keberlanjutan pengalaman dan
tingkat perkembangan anak, dalam model ini setiap anak berkesempatan untuk
terus berkelanjutan dalam mengikuti setiap tingkatan kelas sesuai dengan lama
sekolah, tujuannya adalah setiap anak berkesempatan untuk memperoleh keuntungan
dari perbedaan umur dan perbedaan sikap dan kemampuan ketika belajar bersama.
c.
Model Ketiga Mixed Age/Multiage Grouping : dimana proses pembelajaran dan praktek kurikulum memaksimalkan
keuntungan dari berinteraksi dan bekerjasama dari beragam umur. Dalam model ini
grup dibuat secara fleksibel atau proses re gruping anak dibuat dalam kelompok
umur, jenis kelamin, kemampuan, mungkin terjadi satu guru mengajar untuk lebih
dari satu tahun. Alasan dengan menggunakan model berbagai tingkatan umur ini
multiage grouping ini adalah:
1.
Memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar tanpa rasa takut
dan salah.
2.
Siswa disediakan kegiatan dengan berbagai jenis.
3.
Dengan model ini memungkinkan anak dapat belajar tentang aspek
sosial, pemahaman tentang diri dan orang lain, kepercayaan diri dan konsep
diri, partisipasi anak dalam kelompok, pada akhirnya dapat meningkatkan
hubungan sos
4.
Tidak ada titik signifikan antara kelompok umur.
C.
Tujuan, Fungsi, dan Manfaat Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR)
Tujuan,
fungsi, dan manfaat PKR dapat dikaji dari beberapa aspek berikut :
1.
Quantity dan Equity
Dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada, PKR memungkinkan untuk
memenuhi asas Quantity (jumlah) dan Equity (pemerataan). Dengan jumlah guru
yang dimiliki dapat memberikan pelayanan pendidikan dan pengajaran yang lebih
luas dan mencakup jumlah murid yang lebih besar jumlahnya, disamping itu juga
mampu memberikan layanan yang lebih merata.
2.
Ekonomis
PKR memungkinkan pemerintah dapat mengurangi biaya pendidikan.
Betapa tidak, dengan seorang guru atau beberapa guru saja proses pembelajaran
dapat berlangsung. Dengan demikian juga dengan satu ruang atau beberapa ruang
kelas, proses pembelajaran tetap dapat. Jadi secara ekonomis biaya pendidikan yang
ditanggung oleh pemerintah dan msyarakat akan lebih kecil. Oleh karena itu, dengan jumlah dana pendidikan
yang sama, perluasan pelayanan pendidikan dapat diberikan hingga ke daerah yang
sulit, dan terpencil sekalipun.
3.
Pedagogis
Strategi ini mampu meningkatkan kemandirian murid, karena seorang
guru dalam PKR akan berusaha agar murid aktif dan mandiri.
4.
Keamanan
Dengan pendekatan PKR, pemerintah dapat mendirikan SD di lokasi
yang mudah dijangkau oleh anak. Dengan
demikian kekhawatiran orang tua terhadap keselamatan anaknya berkurang. Mengunjungi
SD yang jauh dapat menyebabkan anak terlambat masuk sekolah, meningkatnya
pengulangan kelas atau putus sekolah. Bahkan mungkin saja terjadi kecelakaan
pada saat murid ketika pergi atau pulang sekolah.
D.
Prinsip-prinsip Yang Mendasari PKR
Pembelajaran
kelas rangkap (PKR) merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang perlu
dikuasai oleh guru SD. Sebagai salah satu bentuk pemnelajaran, PKR mengikuti
prinsip-prinsip pembeljaran secara umum. Pembelajaran mengandung makna bahwa
kegiatan belajar dapat terjadi dengan atau tanpa guru. Misalnya murid dapat
belajar dari buku, berdidkusi dengan teman atau mengamati sesuatu.tetapi perlu
diingat bahwa dalam pemnelajaran peran guru sangat penting misalnya pada awal,
saat kegiatan, atau akhir kegiatan.
Disamping
prinsip-prinsip pembelajaran secara umum, PKR mempunyai prinsip khusus sebagai
berikut :
1.
Keserempakan Kegiatan Pembelajaran
Dalam PKR, guru
menghadapi dua kelas atau lebih pada waktu yang sama. Oleh karena itu, prinsip
utama PKR adalah kegiatan pembelajaran terjadi secara bersamaan atau serempak.
Kegiatan yang terjadi secara serempak ini tentu harus bermutu dan bermakna,
artinya, kegiatan tersebut mempunyai tujuan yang sesuai dengan tuntutan
kurikulum/kebutuhan murid dan dikelola secara benar. Dengan demikian, jika ada
kegiatan yang dikerjakan murid hanya untuk mengisi "kekosongan",
pembelajaran yang demikian itu, bukan PKR yang diharapkan.
2.
Kadar Tunggu Waktu Keaktifan Akademik
Selama PKR
berlangsung, murid aktif menghayati pengalaman belajar yang bermakna. PKR tidak
memberi toleransi pada banyaknya WKA yang hilang karena guru tidak terampil
mengelola kelas. Misalnya, waktu tunggu yang lama, pembentukan kelompok yang
lamban, atau pindah kelas yang memakan waktu.
Makin banyak
waktu terbuang, maka makin rendah kadar WKA.
Namun perlu diingat, bahwa WKa tinggi tidak selalu berkadar tinggi. Kualitas dan lama nya kegiatan berlangsung
menentukan tinggi rendahnya kadar WKA.
3.
Kontak Psikologis Guru dan Murid
Dalam PKR guru
harus selalu berusaha dengan berbagai cara agar semua murid merasa mendapat
perhatian dari guru secara terus menerus. Agar mampu melakukan hal ini, guru
harus menguasai berbagai teknik. Menhadapi dua kelas atau lebih pada saat
bersamaan dan kemudian mampu meyakinkan murid bahwa guru selalu berada bersama
mereka, bukan pekrjaan yang mudah. Guru harus mampumelakukan tindak
instruksional dan tindakan pengelolaan yang tepat.
Tindakan
intruksional adalah tindakan yang langsung berkaitan dengan penyampaian, isi
kurikulum, seperti menjelaskan, memberi tugas, atau mengajukan pertanyaan.
Tindakan pengelolaan adalah tindakan yang berkaitan dengan penciptaan dan
pengembalian kondisi kelas yang optimal, misalnya menunjukkan sikap tanggap dan
peka, mengatur tempat duduk, memberi petunjuk yang jelas, menegur murid.
4.
Pemanfaatan Sumber Secara Efisien
Sumber dapat
berupa peralatan atau sarana, orang dan waktu. Agar terjadi WKA yang tinggi,
semua jenis sumber dapat dimanfaatkan secara efisien, lingkungan, barang bekas
dan segala peralatan yang ada di sekolah dapat dimanfaatkan oleh guru PKR.
Demikian pula dengan orang dan waktu. Murid yang pandai dapat dimanfaatkan
sebagai tutor. Waktu harus dikelola dengan cermat sehingga menghasilkan WKA
yang berkadar tinggi.
5.
Kebiasaan Untuk Mandiri
Apabila guru mampu menerpakan
keempat prinsip tersebut, maka murid akan terbiasa mandiri, kemampuan murid
untuk belajar mandiri akan memungkinkan guru PKR mengelola pembelajaran secara
lebih baiksehingga kadar WKA menjadi semakin tinggi.
Kegiatan Belajar 2
Gambaran PKR yang Ideal dan Praktik yang Terjadi di Lapangan
A.
Bagaimanakah Praktik Mengajar Kelas Rangkap Saat ini?
Bacalah dengan
cermat cuplikan yang disajikan dalam Kotak 1, yang berasal dari hasil
pengamatan di satu SD yang gurunya sedang mengajar kelas rangkap.
Kotak 1
Ibu Irna (bukan
nama sebenarnya) mengajar di kelas 3 dan kelas 5. Murid murid Kelas 3 dan Kelas
5 ditempatkan di 2 ruang kelas yang terpisah, tetapi masih bersebelahan.
Pelajaran dimulai pukul 08.00. Ibu Irna pertama kali masuk ke kelas 3. Ia
mengecek kehadiran murid, dengan menanyakan siapa yang tidak hadir hari ini.
Dialog terjadi, ketika Amin (bukan nama sebenarnya) sudah tiga hari
berturut-turut tidak masuk sekolah. Tak satu pun murid yang hadir hari itu,
yang tahu dengan pasti ke mana Amin atau apa yang terjadi dengan Amin.
Menit-menit
berikutnya, Ibu Irna menjelaskan pelajaran Matematika. Sekali-sekali ia
bertanya apakah ada yang belum mengerti atau yang ingin bertanya. Kemudian, ia
memberikan soal-soal di papan tulis. Murid-murid diminta untuk menjawab soal
(secara individual) di bangku belajar mereka.
Setelah itu,
Ibu Ima masuk ke kelas 5. Di kelas 5 ia juga mengecek kehadiran murid dengan
cara yang tidak berbeda dari apa yang ia lakukan di kelas 3. Bahkan, terjadi
dialog agak panjang, ketika Siti (bukan nama sebenarnya) diketahui tidak hadir
hari itu. Anin (bukan nama sebenarnya) mengatakan pada Ibu Ima, ia melihat Siti
menggendong adiknya yang masih berumur 10 bulan, di dalam perahu bersama ayah
dan ibunya. Mereka pergi ke ladang. Ibu Ima bertanya, siapa nama orang tua Siti
dan apakah ladang itu jauh dari rumah Siti. Teman Anin yang lainnya juga ikut
serta dalam dialog itu.
Ibu Ima
membahas pelajaran yang lalu sebentar, kemudian menjelaskan pelajaran bahasa
Indonesia untuk hari itu. Sekali-sekali ia berhenti sebentar, untuk bertanya
apakah ada yang belum dimengerti. Ketika tidak ada satu pun mengajukan
pertanyaan atau komentar, Ibu Ima meneruskan lagi, kemudian memberikan soal
soal di papan tulis. Anak-anak diminta mengerjakan soal sendiri-sendiri di
bangku belajar mereka.
Kemudian, ia ke
kelas 3, menanyakan apakah anak-anak sudah menyelesaikan semua soal-soal dari
papan tulis. Ia menyuruh seorang anak ke depan untuk menjawab pertanyaan nomor
1, dan menyuruh anak lainnya. menjawab soal nomor 2, 3, 4, dan seterusnya
sampai ke sepuluh soal terjawab semuanya.
Setelah itu ia
melemparkan pertanyaan kepada murid, apakah jawaban nomor I betul atau salah,
dan seterusnya. Kalau ada jawaban yang salah, Ibu Irna meminta murid lainnya
untuk memperbaiki jawaban tersebut. Begitu seterusnya, sampai sepuluh soal
terjawab atau diperbaiki jika terdapat kesalahan. Ibu Ima, kemudian bertanya,
siapa yang betul semua, salah satu, salah dua dan seterusnya. la menerangkan
lagi, dan akhirnya memberikan soal-soal untuk PR. Pelajaran Matematika untuk
hari itu selesai. Anak-anak beristirahat.
Ibu Irna kembali lagi ke kelas 5. Apa yang ia lakukan di kelas 5
juga tidak banyak berbeda dengan apa yang ia lakukan di kelas 3.
Setelah Anda
baca dengan saksama cuplikan di atas, dapatkah Anda menemukan ciri-ciri
mengajar kelas rangkap yang dilakukan Ibu Ima? Apakah ada kelemahan yang Anda
temukan, dan mengapa? Bagus. Nah sekarang mari Anda simak komentar berikut ini.
Ibu Irna
sebenarnya tidak melakukan pembelajaran kelas rangkap. Apa yang ia lakukan
lebih cocok bila disebut pengajaran bergilir; ia mondar-mandir dari kelas yang
satu ke kelas yang lain. Kegiatan belajar-mengajar tidak berlangsung secara
serempak. Ibu Irna melakukan pengajaran duplikasi; apa yang ia lakukan di kelas
5 hampir sama dengan apa yang ia lakukan di kelas 3. Bedanya hanya dalam materi
atau substansi; tidak dalam pendekatan atau strategi.
Ibu Irna juga
cenderung (tanpa ia sadari) melakukan pemubaziran (pemborosan) waktu.
Pemubaziran waktu itu, antara lain tampak ketika ia melakukan absensi atau
mengecek kehadiran murid. Terlebih-lebih lagi ketika terjadi dialog yang
berkepanjangan; mengapa Amin dan Siti mangkir. Belum lagi jika diperhitungkan
waktu yang hilang karena peristiwa mondar-mandir. Pemubaziran waktu terbesar
adalah ketika murid kelas 5 menunggu, sementara Ibu Ima memulai pelajaran di
kelas 3. Murid tak tahu apa yang akan dikerjakan; lambat laun murid kehilangan
semangat belajar, dan sangat boleh jadi akan mengundang perbuatan indisipliner.
Kadar WKA yang tinggi tidak akan tercapai dengan cara ini.
Pengajaran
berlangsung seragam, dalam waktu yang sama dan untuk semua murid.
Langkah-langkah mengajar pun berlangsung sederhana: menerangkan - memberikan
soal di papan tulis mengerjakan soal-menyuruh murid maju ke papan tulis. Oleh
karena itu pula, proses pengajaran terkesan dan terasa monoton
Walaupun
murid-murid ditugaskan mengerjakan soal-soal di bangku masing masing, dan
beberapa di antaranya disuruh maju ke papan tulis, namun proses pembelajaran, seperti
yang diperagakan di kelas Ibu Ima itu, masih jauh dari prinsip belajar aktif.
Selain interaksi guru dan murid hanya terbatas pada waktu guru mengecek:
"apakah ada yang masih belum mengerti?" atau "siapa yang
betul?" hampir tidak ada lagi kontak psikologis antara guru dan murid.
Pertanyaan seperti ini tidak banyak artinya untuk mendorong anak aktif.
Pertanyaan yang dilontarkan ke seluruh kelas atau biasa juga disebut pertanyaan
publik tidak berguna untuk mengetahui kesulitan murid secara perorangan. Lebih-lebih
lagi, hampir tidak dijumpai interaksi yang aktif dan langsung di antara sesama
murid.
Pemberian
balikan, khususnya balikan yang dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan murid
amat terbatas. Ini terjadi karena guru hampir tidak mempunyai waktu untuk
memonitor dan mengawasi murid secara individual. Tidak terlihat adanya upaya
dari Ibu Ima mengelilingi kelas dan mendatangi murid yang sedang mengerjakan
soal. Lemahnya balikan untuk perbaikan akan menyebabkan lemahnya pula
penguasaan murid terhadap bahan yang baru saja diberikan. Akibat selanjutnya,
akan menyulitkan mereka untuk menguasai bahan pelajaran berikutnya. Mereka
tidak mempunyai pengetahuan awal yang memadai sebagai tempat berpijak untuk
mencapai bahan pelajaran yang lebih tinggi.
Format pembelajaran
hampir sepenuhnya berorientasi pada guru. Tidak sekalipun muncul proses
pembelajaran yang berlangsung dalam kelompok kecil. Begitu pula secara
berpasangan di mana murid yang lebih pintar membantu murid yang ketinggalan.
Mungkin tak pernah terlintas dalam benak Ibu Ira, bahwa murid kelas 5 dapat
membantu murid kelas 3. Absennya unsur belajar melalui kerjasama (cooperative
learning) merupakan salah satu kelemahan dari praktik perangkapan kelas.
Padahal melalui cooperative learning, kemandirian dan kreativitas anak dapat
berkembang. Yang tak kurang pentingnya adalah guru mendapatkan partner (mitra
kerja); pembelajaran melalui kerja sama akan melahirkan tidak hanya murid yang
pandai belajar, tetapi juga murid yang pandai mengajar. Kekuatan PKR, jika dilaksanakan
dengan baik, akan melahirkan kondisi yang memungkinkan murid belajar tentang
bagaimana cara belajar: "learning how to learn". Dengan demikian,
guru belum mampu memanfaatkan sumber secara efisien.
Dalam keadaan
yang normal jika seorang guru mengajar banyak (baik dari segi waktu dan materi
pelajaran) maka muridnya juga belajar banyak. Sebaliknya, jika guru mengajar
sedikit maka muridnya juga belajar sedikit. Pelaksanaan mengajar kelas rangkap
yang banyak terjadi di daerah terpencil adalah keadaan normal yang kedua,
mengajar sedikit dan sudah dapat diperkirakan, muridnya juga akan belajar lebih
sedikit lagi.
Untuk
membandingkan dengan praktik yang pertama, cobalah Anda baca kesan berikut ini
yang diperoleh dalam kunjungan ke salah satu sekolah dasar di desa terpencil
yang juga berada di Kalimantan Tengah. Ketika itu saya bersama seorang
Konsultan Bank Dunia. Kebetulan saat istirahat. Kami berdua menghampiri
sekelompok murid; ternyata murid kelas 5. Kami sodorkan sebuah buku, dan
meminta salah satu di antara mereka untuk membac Kami cukup terperanjat karena
ia tidak dapat membaca dengan baik sebagaimana mestinya murid kelas 5. Kami
coba lagi, dan coba lagi sampai dapat mendengarkan 5 anak bagaimana kemampuan baca
mereka. Kesimpulan kami… "parah". Dan ini pula yang semakin mendorong
kami untuk masuk ke kelas, mengamati bagaimana guru mengajar. Kotak 2 berisikan
cuplikan dari hasil pengamatan kami.
Kotak 2
Bapak Ajung
(bukan nama sebenarnya) memulai pengajarannya di kelas 4: "Anak-anak, hari
ini kita mempelajari IPS. Keluarkan buku catatan kalian". Kemudian, Pak
Ajung mulai menyalin salah satu bahan pelajaran tentang IPS. Sementara ia
menulis di papan tulis, Pak Ajung mengingatkan anak supaya mereka juga mulai
menyalin.
Pak Ajung sedikitnya memerlukan waktu 15 menit. Kemudian, ia
mengingatkan lagi pada murid kelas 4 agar menyalin yang rapi sampai selesai.
Setelah itu, Pak Ajung ke kelas 5 untuk memulai pelajaran IPA (sudah tentu
terulur 15 menit bagi murid kelas 5).
la juga meminta
anak-anak untuk menyalin bahan IPA dari papan tulis. Kegiatan salin-menyalin,
seperti di kelas 4 juga berlangsung tak kurang dari 15 menit. Kemudian, ia
kembali ke kelas 4. la bertanya apakah murid sudah selesai menyalin. Dari
pengamatan kami, masih ada sejumlah anak yang belum selesai menyalin. Kami juga
mengamati, umumnya tulisan mereka tidak termasuk jelek. Diantaranya bahkan
menurut kami bagus sekali.
Tak lama kemudian jam pelajaran pertama selesai. Pak Ajung
menghampiri kami. Seperti ia dapat menangkap apa yang kami pikirkan, Pak Ajung
mulai pembicaraan dengan mengatakan: "Saya meminta murid-murid menyalin
karena tidak ada buku. Yang saya punyai pun adalah buku yang lama.... Sekolah
ini juga tidak punya alat peraga, apalagi alat IPA".
Tak lama
kemudian jam pelajaran pertama selesai. Pak Ajung menghampiri kami. Seperti ia
dapat menangkap apa yang kami pikirkan, Pak Ajung mulai pembicaraan dengan
mengatakan: "Saya meminta murid-murid menyalin karena tidak ada buku. Yang
saya punyai pun adalah buku yang lama.... Sekolah ini juga tidak punya alat
peraga, apalagi alat IPA".
Dapatkah Anda
menemukan jawaban tentang keterperanjatan kami, mengapa murid-murid walaupun
sudah berada di kelas 5, belum lancar membaca? Silakan simak dan susun jawaban
Anda secara tertulis. Bagus.
Dugaan kami,
kebiasaan menyalin (yang mungkin sudah berlangsung lama sejak di kelas-kelas
yang lebih rendah) mengurangi, bahkan sudah cenderung menghilangkan kesempatan
membaca. Waktu yang khusus dipakai untuk melatih anak membaca sangat kurang.
Apalagi, ada kesan bahwa Pak Ajung percaya ketiadaan buku harus diatasi dengan
menyalin. la tidak pernah memikirkan alternatif lainnya. Misalnya, meminta
murid-murid yang bagus tulisannya sebagai PR, dan keesokan harinya membagi
bagikan kepada murid lainnya. Kemudian, meminta mereka membaca keras secaral
bergilir dan/atau membaca dalam hati.
Bagaimanakah
dengan tulisan mereka yang bagus dan bahkan ada yang sangat bagus? Apakah
mereka juga tidak dapat membaca tulisan mereka sendiri? Ternyata. ada juga yang
tidak dapat membacanya dengan baik. Mengapa? Dapatkah Anda menduganya? Bagus.
Tampaknya, menyalin tulisan guru dari papan tulis tak ubahnya
menggambar. Bagi murid yang berbakat menggambar, tidak ada kesulitan untuk
mencontoh (lebih tepat menggambar) huruf-huruf yang ada di papan tulis. Maka,
jadilah tulisan (lebih tepat lukisan) yang seindah tulisan Pak Ajung. Namun,
mereka hanya menatapnya sebagai lukisan, bukan bahan bacaan. Kegiatan kami
lanjutkan dengan observasi kelas dan sekolah. Hasil pengamatan ini dapat Anda
simak dari Kotak 3.
Kotak 3
Ada 2 ruang
kelas yang kosong. Tidak dipakai lagi. Tadinya karena tidak ada lagi
murid-murid yang memerlukannya; lambat laun karena dibiarkan tidak terurus,
akhirnya rusak. Ruang kelas yang dipakai pun cukup memprihatinkan.
Di sudut belakang ada setumpuk bangku dan kursi yang tidak terpakai
dan dalam keadaan rusak. Pajangan di dinding kelas hanya ada beberapa; itu pun
sudah kusam, mungkin karena terlalu lama berada di dinding itu. Tidak satu pun
pajangan itu yang berasal dari karya murid. Ketika saya tanyakan pada murid di
samping saya, apakah Pak Ajung pernah membicarakan pajangan dinding ketika
menerangkan pelajaran, jawaban mereka tidak pernah". Kecuali meja guru dan
beberapa deret bangku murid, terdapat sebuah lemari. Itu pun sudah reyot;
pintunya tidak dapat dikunci. Di dalamnya kami temui buku yang tidak tersusun dan
hampir seluruhnya buku yang sudah lama. Kecuali, ada seikat buku yang tampak
masih baru. Ketika kami tanyakan, Pak Ajung mengatakan itu kiriman dari Kancam
setahun yang lalu. "Mengapa tidak dipakai?". Menurut Pak Ajung, agar
tidak cepat rusak. "Maklum anak-anak di sini belum bisa menjaga
buku", begitulah alasan Pak Ajung.
Terlintaskah
pada pikiran Anda, betapa hampanya suasana kelas dan sekolah Pak Ajung? Entah
berapa lagi kelas dan sekolah yang suasananya seperti ini. Dengan suasana hampa
seperti ini, muncul pertanyaan berikut dalam diri kita.
1.
Terdorongkah murid untuk bekerja?
2.
Akan bertahankah murid sampai lulus?
3.
Berapa banyakkah yang dapat dipelajari murid?
4.
Bukankah suasana ini yang menyebabkan terjadinya pengulangan kelas
dan putus sekolah yang masih cukup tinggi?
5.
Mengapa Pak Ajung tampaknya begitu pasrah?
6.
Apa sebenarnya yang menyebabkan Pak Ajung tak bersedia menggunakan
buku bacaan yang dikirim oleh Kancam Depdikbud?
Dapat Anda
bayangkan, bertahun-tahun para murid (dan Pak Ajung juga tentu saja), hidup
dalam suasana kelas dan sekolah seperti itu. Tidak ada kehidupan kelas yang
menggairahkan, tidak hanya bagi murid, tetapi juga bagi gurunya.
Mengajar kelas
rangkap, bukanlah keadaan yang amat pantas dituding sebagai penyebab,
Ketidakmampuan guru, ditambah (lagi) enggannya guru untuk mengeluarkan
keringat, itulah yang menjadi penyebab utama. Terlebih-lebih lagi matinya
hasrat guru untuk mencari inspirasi agar ia dapat menghasilkan sesuatu yang
terbaik bagi anak didiknya, amat pantas kita persoalkan. Bukankah Thomas Alpa
Edison, suatu kali pernah berujar bahwa 90% sukses penemuannya karena unsur
preparation (keringat) dan 10% lagi karena unsur inspiration (inspirasi)?
Kita, acap kali
tidak mau capai, sebaliknya kita lebih sering cepat capai (walaupun baru
bergera sedikit). Kita juga tidak gemar berinspirasi, sebaliknya kita lebih
gemar bermimpi. Nah, itulah gambaran singkat tentang bagaimana praktik mengajar
kelas rangkap, pada umumnya di kelas kita. Dan itu pulalah yang ingin kita ubah
dan perbaiki. Dalam uraian berikut, Anda akan melihat lebih jeli, perbedaan
yang mendasar antara praktik mengajar kelas rangkap saat ini dengan apa yang
kita harapkan, yaitu pembelajaran kelas rangkap yang telah dikembangkan oleh
para ahli dan yang telah dipraktikkan di sejumlah negara.
B.
Gambaran PKR yang Ideal
(yang Diinginkan)
Berikut ini
dapat Anda kaji sebuah ilustrasi tentang PKR yang dilaksanakan di salah satu
kelas. Ilustrasi ini bukanlah mengenai praktik PKR yang terbaik. Namun, paling
tidak dapat menggambarkan unsur-unsur penting dalam PKR sehingga Anda dapat
menemukan perbedaannya dari praktik mengajar kelas rangkap yang sudah Anda kaji
di atas.
Kotak 4 a
Mungkin tidak banyak
yang tahu jika di pulau Jawa, apalagi di Bogor yang tidak jauh dari pusat
pemerintahan RI masih dijumpai sekolah yang kekurangan guru. Mengajar kelas
rangkap, tentu saja tidak dapat dihindarkan. Itulah yang terjadi dengan Pak Ade
(bukan nama sebenarnya).
Pak Ade
mengajar di kelas 5 dan kelas 6. Murid dari dua tingkat kelas yang berbeda ini
diajar dalam satu ruang kelas dan dalam waktu yang bersamaan. Pada saat
pengamatan, sedang berlangsung pelajaran Matematika untuk kelas 5 dan pelajaran
Bahasa Indonesia untuk kelas 6. Murid kelas 5 berada di jajaran sebelah kanan,
sedangkan murid kelas 6 berada di jajaran sebelah kiri. Baik murid kelas 5
maupun kelas 6 duduk dalam formasi kelompok kecil yang terdiri dari 3-5
orang murid. Di depan ada dua papan tulis.
Pak Ade memulai
pelajarannya dengan mengucapkan selamat pagi. Dengan air muka yang cerah, dan
sunggingan senyum yang simpatik ia berkata ke seluruh kelas. "Bapak ingin
tahu pengalamanmu hari ini. Coba ingat apa yang baru saja kalian alami dalam
perjalanan dari rumah ke sekolah tadi pagi." la berhenti sejenak,
memberikan kesempatan pada anak untuk berpikir.
"Sofyan,
coba ceritakan pengalamanmu". Sofyan menceritakan, ia hampir terjatuh
karena kakinya terpeleset. Ia harus melompati batu-batu yang ada di sungai,
setiap kali ia akan pergi dan pulang dari sekolah. Kemudian, Pak Ade juga
menanyai Emma; Erna menceritakan ia harus melewati pematang sawah setiap kali
akan ke sekolah. Pak Ade juga meminta yang lainnya untuk menceritakan
pengalaman yang menarik.
Pak Ade
kemudian memanggil ketua-ketua kelompok murid kelas 5 dan 6 ke depan kelas.
Mereka diberikan wacana (bahan bacaan) dan meminta agar wacana itu di baca di
kelompok masing-masing, secara berpasangan: dua orang murid bergiliran membaca.
Apa yang harus dilakukan di dalam kelompok, telah ditulis oleh Pak Ade di papan
tulis. Murid-murid diminta membaca petunjuk di papan tulis itu, dan
dipersilakan bertanya jika ada yang belum jelas. Sementara murid membaca, Pak
Ade datang memantau semua kelompok; ia mencocokkan jumlah yang hadir dengan
daftar murid. Ia juga membagikan lembar tugas, dan sekali-sekali mengecek
apakah ada kesulitan yang dihadapi murid. Selama kurang lebih 20 menit,
murid-murid terlibat dalam kerja berpasangan. Tuti dan Cici. misalnya sedang mengerjakan
sebuah soal matematika. Sekali-sekali mereka tampak, seperti berdebat, untuk
mendiskusikan mana jawaban yang benar.
Lili,
mengacungkan tangannya; guru mendekat. Ia dan Estu sudah selesai dengan tugas
Bahasa Indonesia. Pak Ade menugaskan Lilik membantu pasangan Adi-Budi yang
sedang mengerjakan soal matematika. Estu membantu pasangan Adnan-Jazir yang
belum menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia.
*) Wacana itu
bercerita tentang upaya penduduk membuat sebuah jembatan dari bambu secara
gotong royong. Berapa jumlah bambu, tali, berapa lama waktu penyelesaian dengan sekian banyak pekerja, berapa ketinggian
jembatan jika air naik sekian sentimeter, berapa biaya yang diperlukan, berapa
persen sumbangan masyarakat setempat, dan sebagainya adalah bagian yang sengaja
dimasukkan untuk materi matematika. Apa arti: musyawarah, mewakili, rumpun,
curah hujan, dan sebagainya adalah bagian yang sengaja dimasukkan untuk materi
Bahasa Indonesia.
Pak Ade
memberikan batas waktu yang berbeda bagi murid kelas 5 dan kelas 6 dalam
menyelesaikan tugas mereka. Sementara kelompok murid kelas 5 belum seluruhnya
menyelesaikan tugas mereka, Pak Ade membicarakan tugas-tugas murid kelas 6.
"Erni, ada kata-kata yang belum kamu mengerti". Erni mengatakan belum
paham betul apa makna semangat gotong-royong. Pak Ade meminta Anto
menjelaskannya. Begitulah seterusnya sehingga sebagian besar murid kelas 6 mendapatkan
giliran, entah itu bertanya atau mencoba memberikan jawaban. Setelah itu, Pak
Ade menjelaskan kembali bagian yang belum sepenuhnya dikuasai anak, memberikan
ringkasan penting, dan PR. Pelajaran berikutnya adalah IPA untuk kelas 6.
Murid-murid diminta membaca buku IPA secara bergiliran.
Pak Ade
kemudian menghadapi murid kelas 5. Ia menugaskan Eman (dari Kelompok 1) untuk
menjawab soal matematika nomor 1, Andi (Kelompok 2) untuk soal nomor 2, Tating
(Kelompok 3) untuk soal nomor 3, dan seterusnya, sampai semua kelompok
mendapatkan giliran. Kelompok yang lain diminta mencocokkan jawaban. Jika ada
perbedaan, Pak Ade membahas mana jawaban yang betul dan mengapa itu betul atau
salah. Begitulah seterusnya sehingga seluruh murid kelas 5 ikut aktif dalam
pembahasan tersebut.
Beberapa menit sebelum jam pelajaran matematika berakhir, Pak Ade
tak lupa memberikan PR.
Kotak 4 b
Ibu Neneng
bernasib sama dengan Pak Ade; bertugas mengajar rangkap di kelas 2 dan kelas 4.
Pengaturan kelas, bangku, meja, dan pengelompokan murid tak banyak berbeda
dengan apa yang dilakukan Pak Ade. Bedanya, kelas Ibu Neneng tampil agak khusus
karena kreativitasnya. Ia memanfaatkan sudut ruang kelas sebagai sudut sumber
belajar. Jumlah murid kedua kelasnya hanya 25 orang. Di sudut kiri belakang ia
hampari dengan tikar pandan. Ada rak buku yang berisikan beberapa buku
pelajaran dan buku bacaan. Ada pula guntingan koran, beberapa balok kayu, dan
sejumlah mainan. Saya lihat juga ada kertas kosong. daun kering dan alat pewarna.
Semuanya tampak bukan barang baru.
Di sudut kanan
belakang juga hampir serupa penataannya. Hanya tampak lebih mengesankan sebagai
sudut IPA karena ada botol-botol kecil, tabung, kupu kupu yang telah diawetkan,
tanaman-tanaman yang di tanam dalam pot yang terbuat dari bambu atau balok kayu
yang dilubangi, dan lain-lain.
Bu Neneng mulai
pelajaran dengan ucapan selamat pagi. Apakah ada ayah, ibu atau anggota
keluarga lainnya yang kurang sehat hari ini. Angkat tangan kamu sebelum
berbicara. Ada sejumlah anak yang mengangkat tangan. Ibu Neneng memberikan
kesempatan pada mereka untuk menyampaikan berita keluarga. Kemudian, Ibu Neneng
juga meminta murid untuk mengatakan pelajaran apa yang paling menarik kemarin.
Ia, kemudian
menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh murid kelas 2 dan kelas 4. Anak kelas
2 diminta ke sudut sumber belajar sebelah kiri. Di sana ada tabung bambu.
Anak-anak merogoh tabung itu dengan muka ceria, sedikit ribut tapi tertib.
Kemudian secara bergilir mereka mengeluarkan selembar kertas kecil bergulung.
Saya lihat, seorang murid dengan serius membuka gulungan kertas itu. Setengah
berteriak ia mengatakan "Cihuy, aku kebagian menggambar orang
membajak". "Asyiik, aku kebagian menyusun balok mirip robot",
kata temannya di sebelah. "Aku juga, kata murid di depannya. "Kalau
begitu kita menyusun balok berdua dong". "Iya, ya."
"Hehehe, aku ke bagian membaca tentang nenek sihir, serem deh", kata
yang lainnya.
Tak berapa lama
kemudian masing-masing terlibat dengan tugasnya masing-masing; ada yang
sendiri-sendiri, ada yang berpasangan, tergantung pada apa yang tercantum dalam
kertas berlipat itu.
Sementara itu,
Ibu Neneng menerangkan pelajaran pada murid kelas 4, tentang ikan gabus. Di
mana ikan ini hidup, bagaimana bernapas dan berkembang biak, bagaimana cara
ikan ini mempertahankan hidupnya jika air tempat ia hidup kering-kerontang. Ibu
Neneng juga menambahkan bagaimana memasak ikan gabus yang paling enak (seorang
anak nyeletuk, "jadi lapar ee"). Salah seorang murid disuruh Ibu
Neneng ke depan kelas; ia diminta menceritakan bagaimana cara menangkap ikan
gabus. Murid itu menyebutkan pancing, tangguk, serampang. "Apalagi?",
kata Ibu Neneng. "Ada yang tahu?". "Bubu, kata salah seorang
murid yang duduk di barisan belakang. "Bagus. Nah sekarang kalian
menggambar bubu. Ibu akan menilai gambar kalian. Tiga gambar yang terbaik akan
kita pajangkan di dinding kelas. Ibu beri waktu 15 menit".
Anak-anak segera larut menggambar. Ibu Neneng mengunjungi murid
kelas 2 yang juga masih terlibat dengan tugas masing-masing. Ia memantau apa
yang dikerjakan murid, memberikan komentar dan pujian. "Anak-anak, kembali
ke bangku kalian masing-masing". Ibu Neneng menerangkan pelajaran
matematika. Kemudian, ia memberikan soal-soal di papan tulis. Murid diminta
mengerjakannya sendiri-sendiri..
Setelah itu, ia
memantau pekerjaan anak kelas 4 dan mengumpulkannya. Ia meminta murid kelas 4
ke sudut kanan kelas. Ia menerangkan bahasa Indonesia tentang awalan dan
akhiran, kalimat aktif dan pasif. Kemudian, ia menyuruh anak kembali ke bangku
dan meminta murid kelas 4 (secara berpasangan) membuat karangan singkat paling
banyak enam kalimat; sebanyak mungkin menggunakan kata yang berawalan dan
berakhiran, serta kalimat pasif. "Pasangan yang duluan selesai, pertama,
kedua, dan ketiga dan mendapatkan nilai tambahan satu setengah. Pasangan yang
selesai diminta menyerahkan pekerjaan mereka di meja guru. Mereka diminta kembali
ke sudut kanan belakang, dan segera mengambil gulungan kertas yang telah
disediakan guru di tabung bambu.
Ibu Neneng
kembali ke murid kelas 2, memantau pekerjaan murid satu persatu; membantu murid
yang menghadapi kesulitan. Pada saat ia membantu murid, tampak Ibu Neneng tidak
berbicara terlalu keras; cukup hanya didengar oleh murid yang sedang
dibantunya. Ibu Neneng menerangkan dan memberikan balikan, khususnya untuk
soal-soal yang umumnya sulit dijawab murid kelas 2. Setelah itu ia memberikan
PR matematika.
Sementara itu,
satu dua pasangan ada yang selesai dan mereka mendatangi sudut kanan kelas.
Mereka mengambil sebuah gulungan kertas dari tabung bambu, Mereka tampak
tersenyum, rupanya tugas ekstra bagi pasangan yang selesai lebih dahulu. Ada
soal matematika, ada pula soal IPA dan IPS. Sebelum jam pelajaran untuk kelas 4
berakhir, Ibu Neneng berpesan agar hari Senin minggu depan (hari ini Sabtu),
anak-anak membawa ke sekolah jenis tanaman perdu dan tanaman lainnya yang
mereka anggap berbunga indah. "Kita akan memperindah halaman sekolah kita
dan melengkapi sudut sumber belajar kita".
Ibu Neneng juga
berjanji akan mendatangkan Pak Isar ke kelas ini, salah seorang yang pandai
membuat bermacam-macam jenis bubu. Pak Isar akan menunjukkan dan melatih murid
kelas 4 bagaimana membuat bubu sederhana. "Keterampilan membuat bubu ini
akan berguna bagi kalian".
Nah, dengan
menyimak apa yang dilakukan oleh Pak Ade dan Ibu Neneng bersama muridnya Anda
tentu sudah mendapatkan gambaran yang memadai bagaimana praktik PKR yang semestinya
walaupun masih belum yang terbaik. Bagaimana komentar Anda? Dapatkah Anda
menemukan satu persatu perbedaannya dengan praktik mengajar kelas rangkap yang
sering terjadi? Bagus. Mari kita bahas bersama, apa sesungguhnya yang
menjadikan kelas Pak Ade dan Ibu Neneng lebih baik daripada kelas-kelas rangkap
yang Anda baca terdahulu.
Pertama,
suasana kelas hidup; murid tampak ceria. Di awal pelajaran, Pak Ade dan Ibu
Neneng bertanya, akan tetapi hampir sama sekali tidak berkaitan dengan
pelajaran hari itu. Anak yang kurang pintar atau bahkan juga pemalu akan mampu
menjawabnya. Pertanyaan pembuka seperti ini dimaksudkan untuk menyiapkan mental
anak untuk pelajaran hari itu. Tak ubahnya lari-lari kecil, sebagai upaya
pemanasan, sebelum melakukan olahraga inti.
Bandingkan
dengan kelas Ibu Irna atau Pak Ajung (Ilustrasi dalam Kotak 1 dan 2). Tidak
tampak ada kesan kegiatan pemanasan yang dapat memicu minat anak sehingga dapat
dikatakan pendekatan yang digunakan adalah tembak langsung.
Kedua, proses
pembelajaran betul-betul berlangsung serempak, lebih-lebih karena murid-murid
dari tingkat kelas yang berbeda duduk bersama dalam satu ruang. Dengan demikian
proses pembelajaran dapat berlangsung secara serempak. Gangguan yang muncul
karena guru menangani dua kelas yang berbeda ternyata tidak terlalu serius.
Pada saat Ibu Neneng menerangkan pelajaran di kelas 4 misalnya, murid kelas 2
berada di sudut sumber belajar sehingga suara Ibu Neneng tidak mengganggu
konsentrasi murid kelas 2. PKR dengan kegiatan belajar serempak berhasil
memanfaatkan waktu secara efisien. Pemubaziran waktu karena guru mondar-mandir,
seperti yang sering terjadi tidak tampak.
Ketiga, guru
memanfaatkan ruang kelas yang ada dengan menciptakan sudut sumber belajar
(walaupun masih amat sederhana). Sudut sumber belajar sesungguhnya memberi
peluang bagi murid, tanpa pengawasan langsung dari guru, untuk mempraktikkan
konsep belajar menemukan sendiri dan konsep pemecahan masalah. Di kelas Ibu
Irna atau Pak Ajung sebenarnya bukan tidak ada ruang yang dapat dimanfaatkan.
Mitos bahwa mengajar adalah menghadapi murid dari depan kelas itulah yang
membatasi ruang inisiatif mereka.
Keempat, murid
aktif, di sinilah sebenarnya CBSA yang kita inginkan. Murid tidak hanya aktif
secara individual, tetapi juga secara berpasangan. Bahkan mereka yang dianggap
mampu (selesai tugasnya lebih dulu) diminta membantu murid lainnya sebagai
tutor; baik yang sama tingkat kelasnya (tutor sebaya) maupun yang lebih rendah
(tutor kakak). Konsep belajar aktif memang timbul-tenggelam dalam khazanah
pembelajaran kita. Silang pendapat, pro dan kontra, semakin menjadi-jadi jika
menyangkut praktiknya. CBSA menjadi tidak populer lagi, sebenarnya bukan karena
konsepnya, melainkan karena praktiknya yang salah kaprah. Dengan cara ini, guru
juga mencoba memanfaatkan sumber secara efisien.
Banyak guru
merasa sudah mempraktikkan konsep murid aktif hanya dengan meningkatkan
frekuensi tanya-jawab. Lebih parah lagi, ada juga yang merasa puas karena
murid-muridnya berlomba-lomba mengacungkan tangan sambil (berteriak)
mengatakan: "Saya Bu... saya Bu). Atau serempak menjawab "Pangeran
Dipone... gorooooo" (sehingga guru yang mengajar di sebelah juga harus
berteriak-teriak agar tidak ditelan oleh jawaban serempak yang membahana itu).
Kelima, selain
menonjolkan asas kooperatif, guru juga menyelipkan asas kompetitif (persaingan)
yang sehat. Coba Anda baca kembali ketika Ibu Neneng menugaskan murid kelas 4
menggambar bubu. la mengatakan: "Tiga gambar terbaik akan kita pajangkan
di dinding kelas". Atau ketika ia menugaskan murid membuat karangan
singkat, yaitu "Pasangan yang lebih dulu selesai akan mendapatkan nilai
tambahan satu setengah".
Suasana
kooperatif-kompetitif seperti ini, hampir tak pernah dijumpai di dalam praktik
perangkapan kelas di lapangan.
Keenam, belajar
dengan pendekatan PKR yang benar itu menyenangkan. Sebaliknya, belajar dalam
kelas Ibu Irna atau Pak Ajung dapat membosankan. Belajar sambil bermain, main
sambil belajar, dapat diperagakan, khususnya bagi murid di kelas-kelas rendah.
Coba Anda ingat kembali, bagaimana murid kelas 2 secara spontan mengungkapkan
kegembiraan dengan mengatakan Cihuuy... atau asyiiik..... Mengadu nasib,
rupanya juga suatu insting yang sudah hadir pada anak kecil. Alangkah
gembiranya mereka ketika mengundi apa gerangan tugas yang tercantum dalam
kertast bergulung itu.
Ketujuh, adanya
perhatian khusus bagi anak yang lambat dan cepat. Pada anak yang lambat,
misalnya tampak ketika Ibu Neneng melakukan monitoring dan supervisi terhadap
murid satu per satu. Ia berhenti cukup lama ketika ia menjumpai ada anak yang
menghadapi kesulitan dalam mengerjakan soal matematika, Ibu Neneng, kemudian
memberikan bantuan sampai anak itu mengerti. Kepada anak yang cepat, Ibu Neneng
memberikan tugas ekstra. Tabung bambu itu ibarat Bank Kegiatan Ekstra. Murid
atau kelompok cepat diminta menarik segulung kertas. Di kertas itu tertera
tugas ekstra mereka; ada yang mengenai matematika, IPA, IPS, PMP atau Bahasa
Indonesia. Dengan demikian, proses pembelajaran terus bergulir. Dalam praktik
merangkap kelas di lapangan, motto the ball keeps rolling bola terus bergulir
tidak diindahkan betul. Guru seolah-olah percaya bahwa ia telah membuat semua
murid mengerti, dan mencapai tujuan instruksional yang sama pula. Guru ini
telah terperangkap ke dalam mitos keseragaman.
Sebaliknya,
guru sangat berkewajiban untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan
murid-muridnya. Yang kuat membantu yang lemah, tetapi yang lemah juga tidak
boleh menghambat perkembangan yang kuat. Tiap orang diperbolehkan berkembang
sesuai dengan kondisi dan kemampuannya masing-masing.
Kedelapan, guru
PKR percaya bahwa sumber belajar tidak hanya diperoleh dari sumber resmi,
seperti dari kantor Depdiknas atau Pemerintah Daerah. Ibu Neneng misalnya,
menaruh kepercayaan pada anak untuk melengkapi sumber belajar yang berasal dari
lingkungan sekolah dan rumah mereka. Jika upaya seperti ini dilakukan secara
teratur maka manfaat ganda pun akan diperoleh. Tidak hanya hasanah sudut
belajar yang bertambah lengkap, tetapi juga dapat memupuk tanggung jawab anak
dan rasa memiliki terhadap kelas dan sekolah mereka. Lebih jauh, semangat untuk
memperkuat keterkaitan (linkages) antara sekolah dan lingkungan kehidupan anak,
lambat laun akan menjadi kenyataan. Dalam praktik di lapangan, prinsip seperti
diuraikan di atas, sulit muncul. Hal ini, sekali lagi ada karena kungkungan
mitos; bahwa melengkapi kelas dan sekolah dengan bahan dan alat pelajaran itu
sudah merupakan kewajiban Depdiknas atau Dinas Pendidikan. Singkatnya, semangat
kemandirian sangat dituntut bagi guru PKR.
Kesembilan,
prinsip perangkapan tidak hanya diterjemahkan dalam bentuk mengajar dua tingkat
kelas atau lebih dalam satu ruang kelas atau lebih dan dalam waktu yang
bersamaan (simultan). Prinsip perangkapan terutama diterjemahkan dalam bentuk
mengajarkan dua bidang studi atau lebih dalam satu wacana atau topik. Inilah
yang disebut pengajaran terpadu (integrated). Pak Ade, misalnya menggunakan
satu topik (bahan bacaan) mengenai membangun jembatan untuk dua bidang studi,
yaitu Bahasa Indonesia dan Matematika.
Ibu Neneng,
menggunakan pelajaran Matematika untuk meningkatkan kreativitas anak, khususnya
dalam mengembangkan aspek psikomotorik; anak-anak ditugaskan membentuk,
menyusun atau menggambar sesuatu. Ibu Neneng juga menggunakan pelajaran
Matematika untuk membangun keterampilan kerja sama (sesuatu yang erat
hubungannya dengan bidang studi PMP). Prinsip keterpaduan seperti ini, agaknya
tidak banyak diterjemahkan dalam praktik mengajar kelas rangkap di lapangan.
Kesepuluh, Ibu Neneng juga mampu melepaskan diri dari mitos bahwa yang mampu
mengajar adalah guru. Guru bukanlah manusia yang harus serba tahu. Guru yang
baik tidak hanya tahu persis bagaimana mengajarkan yang ia ketahui. Guru yang
baik adalah juga yang tahu persis apa yang ia tidak ketahui. Ibu Neneng tahu
persis keterampilan membuat bubu bagi anak-anak desa itu penting. Namun, Ibu
Neneng juga tahu persis bahwa ia tidak tahu menunjukkan pada anak bagaimana
membuat bubu. Yang Ibu Neneng ketahui adalah ada penduduk desa yang ia kenal,
yang dapat diajak bekerja sama untuk mengajarkan keterampilan tersebut. Jadi,
prinsip ke sepuluh adalah pemanfaatan sumber daya yang ada di desa, termasuk
penduduk setempat untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran, Di dalam
praktik di lapangan hal ini sulit terjadi karena adanya mitos bahwa yang layak
mengajar di kelas adalah yang berstatus dan berijazah guru.
Nah, rasanya
dengan sepuluh ciri tersebut Anda telah dapat membedakan antara PKR yang ideal
dengan praktik yang terjadi di lapangan.
Setelah Anda
membaca pembahasan bagaimana Pak Ado dan Ibu Neneng mengajar di kelas rangkap,
dapatkah Anda meringkaskan apa peranan seorang guru PKR? Coba simak sari pati
yang dapat ambil dari uraian kita sebelumnya.
1.
Sebagai perancang kurikulum. Anda mungkin segera akan mengira bahwa
hal ini mengada-ada. Bukankah, menurut Anda bahwa pada umumnya kurikulum itu
sudah baku dan menjadi urusan pemerintah pusat meskipun sekarang sudah
diberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)? Mengapa seorang
canguru PKR harus menjadi perancang kurikulum? Perlu Anda ketahui, menjadi
perancang kurikulum tidak berarti menyimpang dari kurikulum yang berlaku, pa
apalagi untuk membuat yang baru. Dari pengalaman Anda mengajar di daerah
terpencil yang serba sulit dan serba kurang. Anda tahu bahwa tidak semua butir
yang dicantumkan dalam kurikulum itu mungkin dilaksanakan dengan memadai di
kelas Anda. Sering kali juga untuk mengajarkannya secara berurutan pun
mengalami kesulitan. Nah, oleh karena itu, guru PKR harus memilih butir atau
bagian kurikulum yang memerlukan penekanan. Atas dasar ini ia memutuskan konsep
dan fakta yang akan diajarkannya dan mengurutkan kembali tujuan instruksional
yang akan dicapainya, berdasarkan tingkat/kelas yang akan diajarkannya.
2.
Sebagai Administrator. Seorang guru harus merencanakan dan mengatur
kelasnya dan jadwal pelajarannya dengan satu maksud utama. Yaitu, agar dapat
mencapai hasil yang maksimal. Tugas ini hanya dapat dicapai jika guru PKR mampu
melibatkan murid secara aktif, tidak hanya aktif belajar, tetapi juga aktif
membantu guru mengajar teman-temannya yang tertinggal. Tidak hanya sampai di
situ. Guru PKR juga harus mampu memanfaatkan segenap sumber daya yang ada di
desa, termasuk penduduk setempat untuk membantu berlangsungnya proses
pembelajaran dan pencapaian tujuan pendidikan dan pengajaran. Nah, untuk
memanfaatkan sumber daya seperti itu maka guru PKR juga harus mampu berlaku
sebagai juru runding atau negosiator.
3.
Sebagai sumber informasi yang kreatif. Dengan fasilitas yang
minimal guru PKR harus kreatif. Ia juga harus menempatkan dirinya sebagai
manusia sumber; tidak hanya sebagai sumber informasi, tetapi juga berperan
untuk memecahkan keadaan serba kurang dan seadanya. Ia harus memberikan arahan
agar murid-muridnya memberikan perhatian yang maksimum; agar mereka tidak
membuang-buang waktu dan tenaga; agar setiap anak terlibat dalam segala macam
kegiatan belajar Guru PKR senantiasa berusaha untuk mengaitkan mata pelajaran
yang diajarkannya dengan kegiatan yang lazim dilakukan anak dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Kaitan itu pun harus disesuaikan dengan lingkungan
kehidupan mereka.
4.
Sebagaimana guru pada umumnya, seorang guru PKR harus senantiasa
berusaha untuk meningkatkan kompetensinya dan meningkatkan gaya mengajarnya.
Walaupun kesempatan untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan lanjutan, bagi
sejumlah guru di daerah terpencil, bak pungguk merindukan bulan, namun jika
niat profesional seperti itu senantiasa dipelihara maka pepatah orang-orang tua
kita masih tetap berlaku: "di mana ada kemauan, di situ ada jalan".
Yang penting adalah "semangat". Kalau semangat kita "bisa"
maka kita akan berusaha agar betul-betul bisa. Sebaliknya, jika semangat kita
"tidak mungkin" maka hampir dapat dipastikan itu betul tidak mungkin.
5.
Sebagai agen pembawa perubahan. Guru berperanan sebagai pengayom,
tak ubahnya sebagai seorang ustad atau pastor bagi muridnya. Guru juga mewakili
misi moral dan nilai dari masyarakat tempat ia bertugas; ia bertugas
menyampaikan misi ini kepada muridnya. Ia harus berusaha keras untuk
mendatangkan perubahan yang positif terhadap sikap dan perilaku anggota
masyarakat melalui proses pembelajaran di sekolah dan melalui interaksi dengan
anggota masyarakat setempat. Jadi, seorang guru tidak boleh hidup menyendiri.
Ia adalah wakil rakyat, bukan dalam arti politis, tetapi dalam arti yang
sesungguhnya; yaitu mencari, mendatangkan, dan mengajarkan perubahan yang
berguna bagi anak didik, orang tua, dan masyarakat.
0 comments:
Post a Comment