Wednesday 15 June 2022

HAKIKAT PEMBELAJARAN KELAS RANGKAP

0 comments

 

MODUL 1

HAKIKAT PEMBELAJARAN KELAS RANGKAP



BAB 1

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

 

Di Indonesia yang mempunyai wilayah yang luas dan terdiri dari ribuan pulau, tak dapat dihindari adanya permasalahan penyebaran dan permasalahan perbedaan. Begitu juga dalam sistem pendidikan kita. Misalnya dalam penyebaran guru SD, sistem pendidikan kita belum mampu menyebarkan guru SD secara merata ke segala penjuru wilayah di tanah air. Akibatnya masih terjadi kekurangan guru SD secara lokal dimana-mana, termasuk di Papua masih mengalami masalah kekurangan guru SD sekitar 4000 orang.

Dalam masalah perbedaan kualitas hasil belajar, pada umumnya murid SD di kota-kota besar jauh lebih baik dibandingkan dengan mereka yang berada di daerah terutama di daerah yang terpencil. Akibatnya kekurangan guru mungkin saja akan menambah adanya perbedaan ini.

Namun demikian, mengajar dengan merangkap kelas bukan berarti merupakan penyebab terjadinya kurang baiknya kualitas hasil belajar mungkin hal ini dikarenakan kita belum menemukan teknik yang tepat untuk melakukan Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR). Dalam pembahasan ini, Anda akan kami ajak untuk memahami hakikat PKR, oleh karena itu Anda tidak lagi mempunyai anggapan bahwa PKR merupakan suatu masalah yang sulit untuk diatasi. Namun


 justru       pada    Anda   mendapatkan   bahwa adalah tantangan dan kenyataan tersebut harus Anda hadapi

Disamping itu PKR, bukan saja sekedar kenyataan yang harus dihadapi oleh guru, tetapi PKR juga mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh guru yang tidak mengajar dikelas rangkap.

 

B.     Rumusan Masalah

 

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahannya yaitu :

1.      Apa yang dimaksud dengan hakikat pembelajaran ?

2.      Mengapa pembelajaran kelas rangkap diperlukan ?

3.      Apa tujuan, fungsi, dan manfaat PKR ?

 

 

C.    Tujuan Penulisan Makalah

 

1.      Menjelaskan hakikat kelas rangkap (PKR)

2.      Mengetahui perlunya pembelajaran kelas rangkap (PKR)

3.      Menjelaskan tujuan, fungsi dan manfaat PKR

4.      Menjelaskan prinsip-prinsip yang mendasari PKR

5.      Menjelaskan Gambaran PKR yang ideal

BAB II

PEMBAHASAN

Kegiatan Belajar 1

Hakikat Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR)

A.    Hakikat Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR)

Pembelajaran kelas rangkap merupakan model pembelajarang dengan mencampur beberapa siswa yang terdiri dari dua atau tiga tingkatan kelas dalam satu kelas dan pembelajaran diberikan oleh satu guru saja untuk beberapa waktu. Pembelajaran kelas rangkap sangat menekankan dua hal utama, yaitu kelas digabung secara terintegrasi dan pembelajaran terpusat pada siswa sehingga guru tidak perlu berlari-lari antara dua ruang kelas untuk mengajar dua tingkatan kelas yang berbeda dengan program yang berbeda.

Namun murid dari dua kelas bekerja secara sendiri-sendiri di ruangan yang sama, masingmasing duduk di sisi ruang kelas yang berlainan dan diajarkan program yang berbeda oleh satu guru. Pembelajaran Kelas Rangkap adalah suatu bentuk pembelajaran yang mensyaratkan seorang guru mengajar dalam satu ruangan kelas atau lebih, dalam saat yang sama, dan menghadapi dua atau lebih tingkat kelas yang berbeda (IG.AK.Wardhani, 1998).

Pembelajaran kelas rangkap (PKR) adalah suatu bentuk pembelajaran yang


mempersyaratkan seorang guru mengajar dalam satu ruang kelas atau lebih, dalam saat yang sama, dan menghadapi dua atau lebih tingkat kelas yang berbeda. PKR juga mengandung makna, seorang guru mengajar dalam satu ruang kelas atau lebih dan menghadapi murid-murid dengan kemampuan belajar yang berbeda-beda.

B.     Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR) diperlukan

Ada beberapa alasan penting yang menyebabkan perlunya pembelajaran kelas rangkap dilaksanakan yaitu :

1.      Alasan Geografis

Lokasi pembelajaran yang sulit dijangkau, terbatasnya sarana transportasi, dan pemukiman penduduk yang jaraknya berjauhan, serta adanya ragam mata pencaharian penduduk misalnya berladang, mencari ikan bahkan menebang kayu atau mencari sesuatu hal ini dapat mendorong penggunaan PKR.

2.      Alasan Demografis

Mengajar murid dengan jumlah yang kecil, atau murid yang tinggal dipemukiman yang jarang penduduknya, maka PKR merupakan pendekatan yang tepat dan praktis.

3.      Kekurangan Guru

Meskipun jumlah guru secara keseluruhan bisa dikatakan cukup, namun pada kenyataannya masih ada keluhan kekurangan guru, terutama di daerah-daerah terpencil. Apalagi bila secara geografis daerah tersebut sulit dijangkau, maka akan membuat guru takut ditugaskan didaerah itu. Rendahnya minat guru untuk mengadu nasib didaerah terpencil, juga di sebabkan beberapa faktor. Misalnya mahalnya harga keperluan sehari-hari, sulitnya alat transportasi, gaji yang lambat, bahkan terbatas peluang untuk mendapatkan pengembangan karirnya. Oleh karena itu untuk menjadi guru di daerah seperti itu perlu adanya keikhlasan dan penuh sukacita, dan kesiapan mental dari guru tersebut.

4.      Keterbatasan Ruang Kelas

Di daerah yang muridnya sangat sedikit, tidak memerlukan ruang kelas lebih banyak. Tetapi, di daerah lain meskipun sudah mempunyai ruang kelas sesuai dengan jumlah tingkatan kelas, masih belum cukup karena jumlah rombongan belajar lebih besar. Maka dari itu diperlukan PKR.

5.      Kehadiran Guru

Kehadiran guru, bukan saja dialami oleh sekolah di daerah terpencil, di kota besar pun juga mengalaminya. Seperti di Jakarta, musibah banjir dapat menghambat kehadiran guru untuk melaksanakan tugasnya. Guru yang tidak kena musibah harus mengajar kelas yang tidak ada gurunya. Belum lagi alasan lain misalnya sakit, cuti, atau ada kegiatan berkaitan meningkatkan professional dan kualifikasi guru.

Katz (1992), menegaskan bahwa kelas rangkap dilaksanakan tidak hanya karena alasanalasan letak gegorafis, kekurangan murid, atau kekurangan tenaga guru, akan tetapi lebih dari itu adalah bagaimana meningkatkan mutu pendidikan melalui fasilitasi yang tinggi bagi perkembangan dan potensi siswa. Oleh karena itu dia mengembangkan tiga jenis kelas rangkap dalam rangka pembelajaran; 1) Combined grades, 2) continuous progress, 3) mixed age/multiage grouping.

a.       Model Pertama Combine Grades : atau juga dikatakan sebagai combined classess, dimana dalam satu kelas terdapat lebih dari satu tingkatan kelas anak. Membagi kelas menjadi beberapa bagian sesuai dengan tuntutan kurikulum untuk beberapa tingkatan atau hanya dua tingkatan. Tujuan utamanya adalah untuk memaksimalkan kemampuan siswa dan pemahaman lingkungan juga meningkatkan sikap dan pengalaman dalam kelompokkelompok umur yang berbeda.

b.      Model Kedua Continuous Progress : model ini berupa kelompok anak dengan pencapaian kurikulum yang tinggi dimana proses belajar mengajar melihat keberlanjutan pengalaman dan tingkat perkembangan anak, dalam model ini setiap anak berkesempatan untuk terus berkelanjutan dalam mengikuti setiap tingkatan kelas sesuai dengan lama sekolah, tujuannya adalah setiap anak berkesempatan untuk memperoleh keuntungan dari perbedaan umur dan perbedaan sikap dan kemampuan ketika belajar bersama.

c.       Model Ketiga Mixed Age/Multiage Grouping : dimana proses pembelajaran dan praktek kurikulum memaksimalkan keuntungan dari berinteraksi dan bekerjasama dari beragam umur. Dalam model ini grup dibuat secara fleksibel atau proses re gruping anak dibuat dalam kelompok umur, jenis kelamin, kemampuan, mungkin terjadi satu guru mengajar untuk lebih dari satu tahun. Alasan dengan menggunakan model berbagai tingkatan umur ini multiage grouping ini adalah:

1.      Memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar tanpa rasa takut dan salah.

2.      Siswa disediakan kegiatan dengan berbagai jenis.

3.      Dengan model ini memungkinkan anak dapat belajar tentang aspek sosial, pemahaman tentang diri dan orang lain, kepercayaan diri dan konsep diri, partisipasi anak dalam kelompok, pada akhirnya dapat meningkatkan hubungan sos

4.      Tidak ada titik signifikan antara kelompok umur.

 

C.    Tujuan, Fungsi, dan Manfaat Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR)

Tujuan, fungsi, dan manfaat PKR dapat dikaji dari beberapa aspek berikut :

1.      Quantity dan Equity

Dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada, PKR memungkinkan untuk memenuhi asas Quantity (jumlah) dan Equity (pemerataan). Dengan jumlah guru yang dimiliki dapat memberikan pelayanan pendidikan dan pengajaran yang lebih luas dan mencakup jumlah murid yang lebih besar jumlahnya, disamping itu juga mampu memberikan layanan yang lebih merata.

2.      Ekonomis

PKR memungkinkan pemerintah dapat mengurangi biaya pendidikan. Betapa tidak, dengan seorang guru atau beberapa guru saja proses pembelajaran dapat berlangsung. Dengan demikian juga dengan satu ruang atau beberapa ruang kelas, proses pembelajaran tetap dapat. Jadi secara ekonomis biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah dan msyarakat akan lebih kecil.  Oleh karena itu, dengan jumlah dana pendidikan yang sama, perluasan pelayanan pendidikan dapat diberikan hingga ke daerah yang sulit, dan terpencil sekalipun.

3.      Pedagogis

Strategi ini mampu meningkatkan kemandirian murid, karena seorang guru dalam PKR akan berusaha agar murid aktif dan mandiri.

4.      Keamanan

Dengan pendekatan PKR, pemerintah dapat mendirikan SD di lokasi yang mudah dijangkau oleh anak.  Dengan demikian kekhawatiran orang tua terhadap keselamatan anaknya berkurang. Mengunjungi SD yang jauh dapat menyebabkan anak terlambat masuk sekolah, meningkatnya pengulangan kelas atau putus sekolah. Bahkan mungkin saja terjadi kecelakaan pada saat murid ketika pergi atau pulang sekolah.

 

D.    Prinsip-prinsip Yang Mendasari PKR

Pembelajaran kelas rangkap (PKR) merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang perlu dikuasai oleh guru SD. Sebagai salah satu bentuk pemnelajaran, PKR mengikuti prinsip-prinsip pembeljaran secara umum. Pembelajaran mengandung makna bahwa kegiatan belajar dapat terjadi dengan atau tanpa guru. Misalnya murid dapat belajar dari buku, berdidkusi dengan teman atau mengamati sesuatu.tetapi perlu diingat bahwa dalam pemnelajaran peran guru sangat penting misalnya pada awal, saat kegiatan, atau akhir kegiatan.

Disamping prinsip-prinsip pembelajaran secara umum, PKR mempunyai prinsip khusus sebagai berikut :

1.      Keserempakan Kegiatan Pembelajaran

Dalam PKR, guru menghadapi dua kelas atau lebih pada waktu yang sama. Oleh karena itu, prinsip utama PKR adalah kegiatan pembelajaran terjadi secara bersamaan atau serempak. Kegiatan yang terjadi secara serempak ini tentu harus bermutu dan bermakna, artinya, kegiatan tersebut mempunyai tujuan yang sesuai dengan tuntutan kurikulum/kebutuhan murid dan dikelola secara benar. Dengan demikian, jika ada kegiatan yang dikerjakan murid hanya untuk mengisi "kekosongan", pembelajaran yang demikian itu, bukan PKR yang diharapkan.

2.      Kadar Tunggu Waktu Keaktifan Akademik

Selama PKR berlangsung, murid aktif menghayati pengalaman belajar yang bermakna. PKR tidak memberi toleransi pada banyaknya WKA yang hilang karena guru tidak terampil mengelola kelas. Misalnya, waktu tunggu yang lama, pembentukan kelompok yang lamban, atau pindah kelas yang memakan waktu.

Makin banyak waktu terbuang, maka makin rendah kadar WKA.  Namun perlu diingat, bahwa WKa tinggi tidak selalu berkadar tinggi.  Kualitas dan lama nya kegiatan berlangsung menentukan tinggi rendahnya kadar WKA.

3.      Kontak Psikologis Guru dan Murid

Dalam PKR guru harus selalu berusaha dengan berbagai cara agar semua murid merasa mendapat perhatian dari guru secara terus menerus. Agar mampu melakukan hal ini, guru harus menguasai berbagai teknik. Menhadapi dua kelas atau lebih pada saat bersamaan dan kemudian mampu meyakinkan murid bahwa guru selalu berada bersama mereka, bukan pekrjaan yang mudah. Guru harus mampumelakukan tindak instruksional dan tindakan pengelolaan yang tepat.

Tindakan intruksional adalah tindakan yang langsung berkaitan dengan penyampaian, isi kurikulum, seperti menjelaskan, memberi tugas, atau mengajukan pertanyaan. Tindakan pengelolaan adalah tindakan yang berkaitan dengan penciptaan dan pengembalian kondisi kelas yang optimal, misalnya menunjukkan sikap tanggap dan peka, mengatur tempat duduk, memberi petunjuk yang jelas, menegur murid.

4.      Pemanfaatan Sumber Secara Efisien

Sumber dapat berupa peralatan atau sarana, orang dan waktu. Agar terjadi WKA yang tinggi, semua jenis sumber dapat dimanfaatkan secara efisien, lingkungan, barang bekas dan segala peralatan yang ada di sekolah dapat dimanfaatkan oleh guru PKR. Demikian pula dengan orang dan waktu. Murid yang pandai dapat dimanfaatkan sebagai tutor. Waktu harus dikelola dengan cermat sehingga menghasilkan WKA yang berkadar tinggi.

5.      Kebiasaan Untuk Mandiri

Apabila guru mampu menerpakan keempat prinsip tersebut, maka murid akan terbiasa mandiri, kemampuan murid untuk belajar mandiri akan memungkinkan guru PKR mengelola pembelajaran secara lebih baiksehingga kadar WKA menjadi semakin tinggi.

Kegiatan Belajar 2

Gambaran PKR yang Ideal dan Praktik yang Terjadi di Lapangan

A.    Bagaimanakah Praktik Mengajar Kelas Rangkap Saat ini?

Bacalah dengan cermat cuplikan yang disajikan dalam Kotak 1, yang berasal dari hasil pengamatan di satu SD yang gurunya sedang mengajar kelas rangkap.

Kotak 1

Ibu Irna (bukan nama sebenarnya) mengajar di kelas 3 dan kelas 5. Murid murid Kelas 3 dan Kelas 5 ditempatkan di 2 ruang kelas yang terpisah, tetapi masih bersebelahan. Pelajaran dimulai pukul 08.00. Ibu Irna pertama kali masuk ke kelas 3. Ia mengecek kehadiran murid, dengan menanyakan siapa yang tidak hadir hari ini. Dialog terjadi, ketika Amin (bukan nama sebenarnya) sudah tiga hari berturut-turut tidak masuk sekolah. Tak satu pun murid yang hadir hari itu, yang tahu dengan pasti ke mana Amin atau apa yang terjadi dengan Amin.

Menit-menit berikutnya, Ibu Irna menjelaskan pelajaran Matematika. Sekali-sekali ia bertanya apakah ada yang belum mengerti atau yang ingin bertanya. Kemudian, ia memberikan soal-soal di papan tulis. Murid-murid diminta untuk menjawab soal (secara individual) di bangku belajar mereka.

Setelah itu, Ibu Ima masuk ke kelas 5. Di kelas 5 ia juga mengecek kehadiran murid dengan cara yang tidak berbeda dari apa yang ia lakukan di kelas 3. Bahkan, terjadi dialog agak panjang, ketika Siti (bukan nama sebenarnya) diketahui tidak hadir hari itu. Anin (bukan nama sebenarnya) mengatakan pada Ibu Ima, ia melihat Siti menggendong adiknya yang masih berumur 10 bulan, di dalam perahu bersama ayah dan ibunya. Mereka pergi ke ladang. Ibu Ima bertanya, siapa nama orang tua Siti dan apakah ladang itu jauh dari rumah Siti. Teman Anin yang lainnya juga ikut serta dalam dialog itu.        

 


Ibu Ima membahas pelajaran yang lalu sebentar, kemudian menjelaskan pelajaran bahasa Indonesia untuk hari itu. Sekali-sekali ia berhenti sebentar, untuk bertanya apakah ada yang belum dimengerti. Ketika tidak ada satu pun mengajukan pertanyaan atau komentar, Ibu Ima meneruskan lagi, kemudian memberikan soal soal di papan tulis. Anak-anak diminta mengerjakan soal sendiri-sendiri di bangku belajar mereka.

Kemudian, ia ke kelas 3, menanyakan apakah anak-anak sudah menyelesaikan semua soal-soal dari papan tulis. Ia menyuruh seorang anak ke depan untuk menjawab pertanyaan nomor 1, dan menyuruh anak lainnya. menjawab soal nomor 2, 3, 4, dan seterusnya sampai ke sepuluh soal terjawab semuanya.

Setelah itu ia melemparkan pertanyaan kepada murid, apakah jawaban nomor I betul atau salah, dan seterusnya. Kalau ada jawaban yang salah, Ibu Irna meminta murid lainnya untuk memperbaiki jawaban tersebut. Begitu seterusnya, sampai sepuluh soal terjawab atau diperbaiki jika terdapat kesalahan. Ibu Ima, kemudian bertanya, siapa yang betul semua, salah satu, salah dua dan seterusnya. la menerangkan lagi, dan akhirnya memberikan soal-soal untuk PR. Pelajaran Matematika untuk hari itu selesai. Anak-anak beristirahat.

Ibu Irna kembali lagi ke kelas 5. Apa yang ia lakukan di kelas 5 juga tidak banyak berbeda dengan apa yang ia lakukan di kelas 3.

Setelah Anda baca dengan saksama cuplikan di atas, dapatkah Anda menemukan ciri-ciri mengajar kelas rangkap yang dilakukan Ibu Ima? Apakah ada kelemahan yang Anda temukan, dan mengapa? Bagus. Nah sekarang mari Anda simak komentar berikut ini.

Ibu Irna sebenarnya tidak melakukan pembelajaran kelas rangkap. Apa yang ia lakukan lebih cocok bila disebut pengajaran bergilir; ia mondar-mandir dari kelas yang satu ke kelas yang lain. Kegiatan belajar-mengajar tidak berlangsung secara serempak. Ibu Irna melakukan pengajaran duplikasi; apa yang ia lakukan di kelas 5 hampir sama dengan apa yang ia lakukan di kelas 3. Bedanya hanya dalam materi atau substansi; tidak dalam pendekatan atau strategi.

Ibu Irna juga cenderung (tanpa ia sadari) melakukan pemubaziran (pemborosan) waktu. Pemubaziran waktu itu, antara lain tampak ketika ia melakukan absensi atau mengecek kehadiran murid. Terlebih-lebih lagi ketika terjadi dialog yang berkepanjangan; mengapa Amin dan Siti mangkir. Belum lagi jika diperhitungkan waktu yang hilang karena peristiwa mondar-mandir. Pemubaziran waktu terbesar adalah ketika murid kelas 5 menunggu, sementara Ibu Ima memulai pelajaran di kelas 3. Murid tak tahu apa yang akan dikerjakan; lambat laun murid kehilangan semangat belajar, dan sangat boleh jadi akan mengundang perbuatan indisipliner. Kadar WKA yang tinggi tidak akan tercapai dengan cara ini.

Pengajaran berlangsung seragam, dalam waktu yang sama dan untuk semua murid. Langkah-langkah mengajar pun berlangsung sederhana: menerangkan - memberikan soal di papan tulis mengerjakan soal-menyuruh murid maju ke papan tulis. Oleh karena itu pula, proses pengajaran terkesan dan terasa monoton

Walaupun murid-murid ditugaskan mengerjakan soal-soal di bangku masing masing, dan beberapa di antaranya disuruh maju ke papan tulis, namun proses pembelajaran, seperti yang diperagakan di kelas Ibu Ima itu, masih jauh dari prinsip belajar aktif. Selain interaksi guru dan murid hanya terbatas pada waktu guru mengecek: "apakah ada yang masih belum mengerti?" atau "siapa yang betul?" hampir tidak ada lagi kontak psikologis antara guru dan murid. Pertanyaan seperti ini tidak banyak artinya untuk mendorong anak aktif. Pertanyaan yang dilontarkan ke seluruh kelas atau biasa juga disebut pertanyaan publik tidak berguna untuk mengetahui kesulitan murid secara perorangan. Lebih-lebih lagi, hampir tidak dijumpai interaksi yang aktif dan langsung di antara sesama murid.

Pemberian balikan, khususnya balikan yang dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan murid amat terbatas. Ini terjadi karena guru hampir tidak mempunyai waktu untuk memonitor dan mengawasi murid secara individual. Tidak terlihat adanya upaya dari Ibu Ima mengelilingi kelas dan mendatangi murid yang sedang mengerjakan soal. Lemahnya balikan untuk perbaikan akan menyebabkan lemahnya pula penguasaan murid terhadap bahan yang baru saja diberikan. Akibat selanjutnya, akan menyulitkan mereka untuk menguasai bahan pelajaran berikutnya. Mereka tidak mempunyai pengetahuan awal yang memadai sebagai tempat berpijak untuk mencapai bahan pelajaran yang lebih tinggi.

Format pembelajaran hampir sepenuhnya berorientasi pada guru. Tidak sekalipun muncul proses pembelajaran yang berlangsung dalam kelompok kecil. Begitu pula secara berpasangan di mana murid yang lebih pintar membantu murid yang ketinggalan. Mungkin tak pernah terlintas dalam benak Ibu Ira, bahwa murid kelas 5 dapat membantu murid kelas 3. Absennya unsur belajar melalui kerjasama (cooperative learning) merupakan salah satu kelemahan dari praktik perangkapan kelas. Padahal melalui cooperative learning, kemandirian dan kreativitas anak dapat berkembang. Yang tak kurang pentingnya adalah guru mendapatkan partner (mitra kerja); pembelajaran melalui kerja sama akan melahirkan tidak hanya murid yang pandai belajar, tetapi juga murid yang pandai mengajar. Kekuatan PKR, jika dilaksanakan dengan baik, akan melahirkan kondisi yang memungkinkan murid belajar tentang bagaimana cara belajar: "learning how to learn". Dengan demikian, guru belum mampu memanfaatkan sumber secara efisien.

Dalam keadaan yang normal jika seorang guru mengajar banyak (baik dari segi waktu dan materi pelajaran) maka muridnya juga belajar banyak. Sebaliknya, jika guru mengajar sedikit maka muridnya juga belajar sedikit. Pelaksanaan mengajar kelas rangkap yang banyak terjadi di daerah terpencil adalah keadaan normal yang kedua, mengajar sedikit dan sudah dapat diperkirakan, muridnya juga akan belajar lebih sedikit lagi.

Untuk membandingkan dengan praktik yang pertama, cobalah Anda baca kesan berikut ini yang diperoleh dalam kunjungan ke salah satu sekolah dasar di desa terpencil yang juga berada di Kalimantan Tengah. Ketika itu saya bersama seorang Konsultan Bank Dunia. Kebetulan saat istirahat. Kami berdua menghampiri sekelompok murid; ternyata murid kelas 5. Kami sodorkan sebuah buku, dan meminta salah satu di antara mereka untuk membac Kami cukup terperanjat karena ia tidak dapat membaca dengan baik sebagaimana mestinya murid kelas 5. Kami coba lagi, dan coba lagi sampai dapat mendengarkan 5 anak bagaimana kemampuan baca mereka. Kesimpulan kami… "parah". Dan ini pula yang semakin mendorong kami untuk masuk ke kelas, mengamati bagaimana guru mengajar. Kotak 2 berisikan cuplikan dari hasil pengamatan kami.

Kotak 2

Bapak Ajung (bukan nama sebenarnya) memulai pengajarannya di kelas 4: "Anak-anak, hari ini kita mempelajari IPS. Keluarkan buku catatan kalian". Kemudian, Pak Ajung mulai menyalin salah satu bahan pelajaran tentang IPS. Sementara ia menulis di papan tulis, Pak Ajung mengingatkan anak supaya mereka juga mulai menyalin.

Pak Ajung sedikitnya memerlukan waktu 15 menit. Kemudian, ia mengingatkan lagi pada murid kelas 4 agar menyalin yang rapi sampai selesai. Setelah itu, Pak Ajung ke kelas 5 untuk memulai pelajaran IPA (sudah tentu terulur 15 menit bagi murid kelas 5).

la juga meminta anak-anak untuk menyalin bahan IPA dari papan tulis. Kegiatan salin-menyalin, seperti di kelas 4 juga berlangsung tak kurang dari 15 menit. Kemudian, ia kembali ke kelas 4. la bertanya apakah murid sudah selesai menyalin. Dari pengamatan kami, masih ada sejumlah anak yang belum selesai menyalin. Kami juga mengamati, umumnya tulisan mereka tidak termasuk jelek. Diantaranya bahkan menurut kami bagus sekali.

Tak lama kemudian jam pelajaran pertama selesai. Pak Ajung menghampiri kami. Seperti ia dapat menangkap apa yang kami pikirkan, Pak Ajung mulai pembicaraan dengan mengatakan: "Saya meminta murid-murid menyalin karena tidak ada buku. Yang saya punyai pun adalah buku yang lama.... Sekolah ini juga tidak punya alat peraga, apalagi alat IPA".

Tak lama kemudian jam pelajaran pertama selesai. Pak Ajung menghampiri kami. Seperti ia dapat menangkap apa yang kami pikirkan, Pak Ajung mulai pembicaraan dengan mengatakan: "Saya meminta murid-murid menyalin karena tidak ada buku. Yang saya punyai pun adalah buku yang lama.... Sekolah ini juga tidak punya alat peraga, apalagi alat IPA".

Dapatkah Anda menemukan jawaban tentang keterperanjatan kami, mengapa murid-murid walaupun sudah berada di kelas 5, belum lancar membaca? Silakan simak dan susun jawaban Anda secara tertulis. Bagus.

Dugaan kami, kebiasaan menyalin (yang mungkin sudah berlangsung lama sejak di kelas-kelas yang lebih rendah) mengurangi, bahkan sudah cenderung menghilangkan kesempatan membaca. Waktu yang khusus dipakai untuk melatih anak membaca sangat kurang. Apalagi, ada kesan bahwa Pak Ajung percaya ketiadaan buku harus diatasi dengan menyalin. la tidak pernah memikirkan alternatif lainnya. Misalnya, meminta murid-murid yang bagus tulisannya sebagai PR, dan keesokan harinya membagi bagikan kepada murid lainnya. Kemudian, meminta mereka membaca keras secaral bergilir dan/atau membaca dalam hati.

Bagaimanakah dengan tulisan mereka yang bagus dan bahkan ada yang sangat bagus? Apakah mereka juga tidak dapat membaca tulisan mereka sendiri? Ternyata. ada juga yang tidak dapat membacanya dengan baik. Mengapa? Dapatkah Anda menduganya? Bagus.

Tampaknya, menyalin tulisan guru dari papan tulis tak ubahnya menggambar. Bagi murid yang berbakat menggambar, tidak ada kesulitan untuk mencontoh (lebih tepat menggambar) huruf-huruf yang ada di papan tulis. Maka, jadilah tulisan (lebih tepat lukisan) yang seindah tulisan Pak Ajung. Namun, mereka hanya menatapnya sebagai lukisan, bukan bahan bacaan. Kegiatan kami lanjutkan dengan observasi kelas dan sekolah. Hasil pengamatan ini dapat Anda simak dari Kotak 3.

Kotak 3

Ada 2 ruang kelas yang kosong. Tidak dipakai lagi. Tadinya karena tidak ada lagi murid-murid yang memerlukannya; lambat laun karena dibiarkan tidak terurus, akhirnya rusak. Ruang kelas yang dipakai pun cukup memprihatinkan.

Di sudut belakang ada setumpuk bangku dan kursi yang tidak terpakai dan dalam keadaan rusak. Pajangan di dinding kelas hanya ada beberapa; itu pun sudah kusam, mungkin karena terlalu lama berada di dinding itu. Tidak satu pun pajangan itu yang berasal dari karya murid. Ketika saya tanyakan pada murid di samping saya, apakah Pak Ajung pernah membicarakan pajangan dinding ketika menerangkan pelajaran, jawaban mereka tidak pernah". Kecuali meja guru dan beberapa deret bangku murid, terdapat sebuah lemari. Itu pun sudah reyot; pintunya tidak dapat dikunci. Di dalamnya kami temui buku yang tidak tersusun dan hampir seluruhnya buku yang sudah lama. Kecuali, ada seikat buku yang tampak masih baru. Ketika kami tanyakan, Pak Ajung mengatakan itu kiriman dari Kancam setahun yang lalu. "Mengapa tidak dipakai?". Menurut Pak Ajung, agar tidak cepat rusak. "Maklum anak-anak di sini belum bisa menjaga buku", begitulah alasan Pak Ajung.

Terlintaskah pada pikiran Anda, betapa hampanya suasana kelas dan sekolah Pak Ajung? Entah berapa lagi kelas dan sekolah yang suasananya seperti ini. Dengan suasana hampa seperti ini, muncul pertanyaan berikut dalam diri kita.

1.      Terdorongkah murid untuk bekerja?

2.      Akan bertahankah murid sampai lulus?

3.      Berapa banyakkah yang dapat dipelajari murid?

4.      Bukankah suasana ini yang menyebabkan terjadinya pengulangan kelas dan putus sekolah yang masih cukup tinggi?

5.      Mengapa Pak Ajung tampaknya begitu pasrah?

6.      Apa sebenarnya yang menyebabkan Pak Ajung tak bersedia menggunakan buku bacaan yang dikirim oleh Kancam Depdikbud?

Dapat Anda bayangkan, bertahun-tahun para murid (dan Pak Ajung juga tentu saja), hidup dalam suasana kelas dan sekolah seperti itu. Tidak ada kehidupan kelas yang menggairahkan, tidak hanya bagi murid, tetapi juga bagi gurunya.

Mengajar kelas rangkap, bukanlah keadaan yang amat pantas dituding sebagai penyebab, Ketidakmampuan guru, ditambah (lagi) enggannya guru untuk mengeluarkan keringat, itulah yang menjadi penyebab utama. Terlebih-lebih lagi matinya hasrat guru untuk mencari inspirasi agar ia dapat menghasilkan sesuatu yang terbaik bagi anak didiknya, amat pantas kita persoalkan. Bukankah Thomas Alpa Edison, suatu kali pernah berujar bahwa 90% sukses penemuannya karena unsur preparation (keringat) dan 10% lagi karena unsur inspiration (inspirasi)?

Kita, acap kali tidak mau capai, sebaliknya kita lebih sering cepat capai (walaupun baru bergera sedikit). Kita juga tidak gemar berinspirasi, sebaliknya kita lebih gemar bermimpi. Nah, itulah gambaran singkat tentang bagaimana praktik mengajar kelas rangkap, pada umumnya di kelas kita. Dan itu pulalah yang ingin kita ubah dan perbaiki. Dalam uraian berikut, Anda akan melihat lebih jeli, perbedaan yang mendasar antara praktik mengajar kelas rangkap saat ini dengan apa yang kita harapkan, yaitu pembelajaran kelas rangkap yang telah dikembangkan oleh para ahli dan yang telah dipraktikkan di sejumlah negara.

 

B.     Gambaran PKR  yang Ideal (yang Diinginkan)

Berikut ini dapat Anda kaji sebuah ilustrasi tentang PKR yang dilaksanakan di salah satu kelas. Ilustrasi ini bukanlah mengenai praktik PKR yang terbaik. Namun, paling tidak dapat menggambarkan unsur-unsur penting dalam PKR sehingga Anda dapat menemukan perbedaannya dari praktik mengajar kelas rangkap yang sudah Anda kaji di atas.

Kotak 4 a

Mungkin tidak banyak yang tahu jika di pulau Jawa, apalagi di Bogor yang tidak jauh dari pusat pemerintahan RI masih dijumpai sekolah yang kekurangan guru. Mengajar kelas rangkap, tentu saja tidak dapat dihindarkan. Itulah yang terjadi dengan Pak Ade (bukan nama sebenarnya).

Pak Ade mengajar di kelas 5 dan kelas 6. Murid dari dua tingkat kelas yang berbeda ini diajar dalam satu ruang kelas dan dalam waktu yang bersamaan. Pada saat pengamatan, sedang berlangsung pelajaran Matematika untuk kelas 5 dan pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas 6. Murid kelas 5 berada di jajaran sebelah kanan, sedangkan murid kelas 6 berada di jajaran sebelah kiri. Baik murid kelas 5 maupun kelas 6 duduk dalam formasi kelompok kecil yang terdiri dari 3-5 orang murid. Di depan ada dua papan tulis.

Pak Ade memulai pelajarannya dengan mengucapkan selamat pagi. Dengan air muka yang cerah, dan sunggingan senyum yang simpatik ia berkata ke seluruh kelas. "Bapak ingin tahu pengalamanmu hari ini. Coba ingat apa yang baru saja kalian alami dalam perjalanan dari rumah ke sekolah tadi pagi." la berhenti sejenak, memberikan kesempatan pada anak untuk berpikir.

"Sofyan, coba ceritakan pengalamanmu". Sofyan menceritakan, ia hampir terjatuh karena kakinya terpeleset. Ia harus melompati batu-batu yang ada di sungai, setiap kali ia akan pergi dan pulang dari sekolah. Kemudian, Pak Ade juga menanyai Emma; Erna menceritakan ia harus melewati pematang sawah setiap kali akan ke sekolah. Pak Ade juga meminta yang lainnya untuk menceritakan pengalaman yang menarik.

Pak Ade kemudian memanggil ketua-ketua kelompok murid kelas 5 dan 6 ke depan kelas. Mereka diberikan wacana (bahan bacaan) dan meminta agar wacana itu di baca di kelompok masing-masing, secara berpasangan: dua orang murid bergiliran membaca. Apa yang harus dilakukan di dalam kelompok, telah ditulis oleh Pak Ade di papan tulis. Murid-murid diminta membaca petunjuk di papan tulis itu, dan dipersilakan bertanya jika ada yang belum jelas. Sementara murid membaca, Pak Ade datang memantau semua kelompok; ia mencocokkan jumlah yang hadir dengan daftar murid. Ia juga membagikan lembar tugas, dan sekali-sekali mengecek apakah ada kesulitan yang dihadapi murid. Selama kurang lebih 20 menit, murid-murid terlibat dalam kerja berpasangan. Tuti dan Cici. misalnya sedang mengerjakan sebuah soal matematika. Sekali-sekali mereka tampak, seperti berdebat, untuk mendiskusikan mana jawaban yang benar.

Lili, mengacungkan tangannya; guru mendekat. Ia dan Estu sudah selesai dengan tugas Bahasa Indonesia. Pak Ade menugaskan Lilik membantu pasangan Adi-Budi yang sedang mengerjakan soal matematika. Estu membantu pasangan Adnan-Jazir yang belum menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia.

*) Wacana itu bercerita tentang upaya penduduk membuat sebuah jembatan dari bambu secara gotong royong. Berapa jumlah bambu, tali, berapa lama waktu penyelesaian dengan sekian banyak pekerja, berapa ketinggian jembatan jika air naik sekian sentimeter, berapa biaya yang diperlukan, berapa persen sumbangan masyarakat setempat, dan sebagainya adalah bagian yang sengaja dimasukkan untuk materi matematika. Apa arti: musyawarah, mewakili, rumpun, curah hujan, dan sebagainya adalah bagian yang sengaja dimasukkan untuk materi Bahasa Indonesia.

Pak Ade memberikan batas waktu yang berbeda bagi murid kelas 5 dan kelas 6 dalam menyelesaikan tugas mereka. Sementara kelompok murid kelas 5 belum seluruhnya menyelesaikan tugas mereka, Pak Ade membicarakan tugas-tugas murid kelas 6. "Erni, ada kata-kata yang belum kamu mengerti". Erni mengatakan belum paham betul apa makna semangat gotong-royong. Pak Ade meminta Anto menjelaskannya. Begitulah seterusnya sehingga sebagian besar murid kelas 6 mendapatkan giliran, entah itu bertanya atau mencoba memberikan jawaban. Setelah itu, Pak Ade menjelaskan kembali bagian yang belum sepenuhnya dikuasai anak, memberikan ringkasan penting, dan PR. Pelajaran berikutnya adalah IPA untuk kelas 6. Murid-murid diminta membaca buku IPA secara bergiliran.

Pak Ade kemudian menghadapi murid kelas 5. Ia menugaskan Eman (dari Kelompok 1) untuk menjawab soal matematika nomor 1, Andi (Kelompok 2) untuk soal nomor 2, Tating (Kelompok 3) untuk soal nomor 3, dan seterusnya, sampai semua kelompok mendapatkan giliran. Kelompok yang lain diminta mencocokkan jawaban. Jika ada perbedaan, Pak Ade membahas mana jawaban yang betul dan mengapa itu betul atau salah. Begitulah seterusnya sehingga seluruh murid kelas 5 ikut aktif dalam pembahasan tersebut.

Beberapa menit sebelum jam pelajaran matematika berakhir, Pak Ade tak lupa memberikan PR.

 


Kotak 4 b

Ibu Neneng bernasib sama dengan Pak Ade; bertugas mengajar rangkap di kelas 2 dan kelas 4. Pengaturan kelas, bangku, meja, dan pengelompokan murid tak banyak berbeda dengan apa yang dilakukan Pak Ade. Bedanya, kelas Ibu Neneng tampil agak khusus karena kreativitasnya. Ia memanfaatkan sudut ruang kelas sebagai sudut sumber belajar. Jumlah murid kedua kelasnya hanya 25 orang. Di sudut kiri belakang ia hampari dengan tikar pandan. Ada rak buku yang berisikan beberapa buku pelajaran dan buku bacaan. Ada pula guntingan koran, beberapa balok kayu, dan sejumlah mainan. Saya lihat juga ada kertas kosong. daun kering dan alat pewarna. Semuanya tampak bukan barang baru.

Di sudut kanan belakang juga hampir serupa penataannya. Hanya tampak lebih mengesankan sebagai sudut IPA karena ada botol-botol kecil, tabung, kupu kupu yang telah diawetkan, tanaman-tanaman yang di tanam dalam pot yang terbuat dari bambu atau balok kayu yang dilubangi, dan lain-lain.

Bu Neneng mulai pelajaran dengan ucapan selamat pagi. Apakah ada ayah, ibu atau anggota keluarga lainnya yang kurang sehat hari ini. Angkat tangan kamu sebelum berbicara. Ada sejumlah anak yang mengangkat tangan. Ibu Neneng memberikan kesempatan pada mereka untuk menyampaikan berita keluarga. Kemudian, Ibu Neneng juga meminta murid untuk mengatakan pelajaran apa yang paling menarik kemarin.

Ia, kemudian menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh murid kelas 2 dan kelas 4. Anak kelas 2 diminta ke sudut sumber belajar sebelah kiri. Di sana ada tabung bambu. Anak-anak merogoh tabung itu dengan muka ceria, sedikit ribut tapi tertib. Kemudian secara bergilir mereka mengeluarkan selembar kertas kecil bergulung. Saya lihat, seorang murid dengan serius membuka gulungan kertas itu. Setengah berteriak ia mengatakan "Cihuy, aku kebagian menggambar orang membajak". "Asyiik, aku kebagian menyusun balok mirip robot", kata temannya di sebelah. "Aku juga, kata murid di depannya. "Kalau begitu kita menyusun balok berdua dong". "Iya, ya." "Hehehe, aku ke bagian membaca tentang nenek sihir, serem deh", kata yang lainnya.

Tak berapa lama kemudian masing-masing terlibat dengan tugasnya masing-masing; ada yang sendiri-sendiri, ada yang berpasangan, tergantung pada apa yang tercantum dalam kertas berlipat itu.

Sementara itu, Ibu Neneng menerangkan pelajaran pada murid kelas 4, tentang ikan gabus. Di mana ikan ini hidup, bagaimana bernapas dan berkembang biak, bagaimana cara ikan ini mempertahankan hidupnya jika air tempat ia hidup kering-kerontang. Ibu Neneng juga menambahkan bagaimana memasak ikan gabus yang paling enak (seorang anak nyeletuk, "jadi lapar ee"). Salah seorang murid disuruh Ibu Neneng ke depan kelas; ia diminta menceritakan bagaimana cara menangkap ikan gabus. Murid itu menyebutkan pancing, tangguk, serampang. "Apalagi?", kata Ibu Neneng. "Ada yang tahu?". "Bubu, kata salah seorang murid yang duduk di barisan belakang. "Bagus. Nah sekarang kalian menggambar bubu. Ibu akan menilai gambar kalian. Tiga gambar yang terbaik akan kita pajangkan di dinding kelas. Ibu beri waktu 15 menit".

Anak-anak segera larut menggambar. Ibu Neneng mengunjungi murid kelas 2 yang juga masih terlibat dengan tugas masing-masing. Ia memantau apa yang dikerjakan murid, memberikan komentar dan pujian. "Anak-anak, kembali ke bangku kalian masing-masing". Ibu Neneng menerangkan pelajaran matematika. Kemudian, ia memberikan soal-soal di papan tulis. Murid diminta mengerjakannya sendiri-sendiri..

Setelah itu, ia memantau pekerjaan anak kelas 4 dan mengumpulkannya. Ia meminta murid kelas 4 ke sudut kanan kelas. Ia menerangkan bahasa Indonesia tentang awalan dan akhiran, kalimat aktif dan pasif. Kemudian, ia menyuruh anak kembali ke bangku dan meminta murid kelas 4 (secara berpasangan) membuat karangan singkat paling banyak enam kalimat; sebanyak mungkin menggunakan kata yang berawalan dan berakhiran, serta kalimat pasif. "Pasangan yang duluan selesai, pertama, kedua, dan ketiga dan mendapatkan nilai tambahan satu setengah. Pasangan yang selesai diminta menyerahkan pekerjaan mereka di meja guru. Mereka diminta kembali ke sudut kanan belakang, dan segera mengambil gulungan kertas yang telah disediakan guru di tabung bambu.

Ibu Neneng kembali ke murid kelas 2, memantau pekerjaan murid satu persatu; membantu murid yang menghadapi kesulitan. Pada saat ia membantu murid, tampak Ibu Neneng tidak berbicara terlalu keras; cukup hanya didengar oleh murid yang sedang dibantunya. Ibu Neneng menerangkan dan memberikan balikan, khususnya untuk soal-soal yang umumnya sulit dijawab murid kelas 2. Setelah itu ia memberikan PR matematika.

Sementara itu, satu dua pasangan ada yang selesai dan mereka mendatangi sudut kanan kelas. Mereka mengambil sebuah gulungan kertas dari tabung bambu, Mereka tampak tersenyum, rupanya tugas ekstra bagi pasangan yang selesai lebih dahulu. Ada soal matematika, ada pula soal IPA dan IPS. Sebelum jam pelajaran untuk kelas 4 berakhir, Ibu Neneng berpesan agar hari Senin minggu depan (hari ini Sabtu), anak-anak membawa ke sekolah jenis tanaman perdu dan tanaman lainnya yang mereka anggap berbunga indah. "Kita akan memperindah halaman sekolah kita dan melengkapi sudut sumber belajar kita".

Ibu Neneng juga berjanji akan mendatangkan Pak Isar ke kelas ini, salah seorang yang pandai membuat bermacam-macam jenis bubu. Pak Isar akan menunjukkan dan melatih murid kelas 4 bagaimana membuat bubu sederhana. "Keterampilan membuat bubu ini akan berguna bagi kalian".

 


Nah, dengan menyimak apa yang dilakukan oleh Pak Ade dan Ibu Neneng bersama muridnya Anda tentu sudah mendapatkan gambaran yang memadai bagaimana praktik PKR yang semestinya walaupun masih belum yang terbaik. Bagaimana komentar Anda? Dapatkah Anda menemukan satu persatu perbedaannya dengan praktik mengajar kelas rangkap yang sering terjadi? Bagus. Mari kita bahas bersama, apa sesungguhnya yang menjadikan kelas Pak Ade dan Ibu Neneng lebih baik daripada kelas-kelas rangkap yang Anda baca terdahulu.

Pertama, suasana kelas hidup; murid tampak ceria. Di awal pelajaran, Pak Ade dan Ibu Neneng bertanya, akan tetapi hampir sama sekali tidak berkaitan dengan pelajaran hari itu. Anak yang kurang pintar atau bahkan juga pemalu akan mampu menjawabnya. Pertanyaan pembuka seperti ini dimaksudkan untuk menyiapkan mental anak untuk pelajaran hari itu. Tak ubahnya lari-lari kecil, sebagai upaya pemanasan, sebelum melakukan olahraga inti.

Bandingkan dengan kelas Ibu Irna atau Pak Ajung (Ilustrasi dalam Kotak 1 dan 2). Tidak tampak ada kesan kegiatan pemanasan yang dapat memicu minat anak sehingga dapat dikatakan pendekatan yang digunakan adalah tembak langsung.

Kedua, proses pembelajaran betul-betul berlangsung serempak, lebih-lebih karena murid-murid dari tingkat kelas yang berbeda duduk bersama dalam satu ruang. Dengan demikian proses pembelajaran dapat berlangsung secara serempak. Gangguan yang muncul karena guru menangani dua kelas yang berbeda ternyata tidak terlalu serius. Pada saat Ibu Neneng menerangkan pelajaran di kelas 4 misalnya, murid kelas 2 berada di sudut sumber belajar sehingga suara Ibu Neneng tidak mengganggu konsentrasi murid kelas 2. PKR dengan kegiatan belajar serempak berhasil memanfaatkan waktu secara efisien. Pemubaziran waktu karena guru mondar-mandir, seperti yang sering terjadi tidak tampak.

Ketiga, guru memanfaatkan ruang kelas yang ada dengan menciptakan sudut sumber belajar (walaupun masih amat sederhana). Sudut sumber belajar sesungguhnya memberi peluang bagi murid, tanpa pengawasan langsung dari guru, untuk mempraktikkan konsep belajar menemukan sendiri dan konsep pemecahan masalah. Di kelas Ibu Irna atau Pak Ajung sebenarnya bukan tidak ada ruang yang dapat dimanfaatkan. Mitos bahwa mengajar adalah menghadapi murid dari depan kelas itulah yang membatasi ruang inisiatif mereka.

Keempat, murid aktif, di sinilah sebenarnya CBSA yang kita inginkan. Murid tidak hanya aktif secara individual, tetapi juga secara berpasangan. Bahkan mereka yang dianggap mampu (selesai tugasnya lebih dulu) diminta membantu murid lainnya sebagai tutor; baik yang sama tingkat kelasnya (tutor sebaya) maupun yang lebih rendah (tutor kakak). Konsep belajar aktif memang timbul-tenggelam dalam khazanah pembelajaran kita. Silang pendapat, pro dan kontra, semakin menjadi-jadi jika menyangkut praktiknya. CBSA menjadi tidak populer lagi, sebenarnya bukan karena konsepnya, melainkan karena praktiknya yang salah kaprah. Dengan cara ini, guru juga mencoba memanfaatkan sumber secara efisien.

Banyak guru merasa sudah mempraktikkan konsep murid aktif hanya dengan meningkatkan frekuensi tanya-jawab. Lebih parah lagi, ada juga yang merasa puas karena murid-muridnya berlomba-lomba mengacungkan tangan sambil (berteriak) mengatakan: "Saya Bu... saya Bu). Atau serempak menjawab "Pangeran Dipone... gorooooo" (sehingga guru yang mengajar di sebelah juga harus berteriak-teriak agar tidak ditelan oleh jawaban serempak yang membahana itu).

Kelima, selain menonjolkan asas kooperatif, guru juga menyelipkan asas kompetitif (persaingan) yang sehat. Coba Anda baca kembali ketika Ibu Neneng menugaskan murid kelas 4 menggambar bubu. la mengatakan: "Tiga gambar terbaik akan kita pajangkan di dinding kelas". Atau ketika ia menugaskan murid membuat karangan singkat, yaitu "Pasangan yang lebih dulu selesai akan mendapatkan nilai tambahan satu setengah".

Suasana kooperatif-kompetitif seperti ini, hampir tak pernah dijumpai di dalam praktik perangkapan kelas di lapangan.

Keenam, belajar dengan pendekatan PKR yang benar itu menyenangkan. Sebaliknya, belajar dalam kelas Ibu Irna atau Pak Ajung dapat membosankan. Belajar sambil bermain, main sambil belajar, dapat diperagakan, khususnya bagi murid di kelas-kelas rendah. Coba Anda ingat kembali, bagaimana murid kelas 2 secara spontan mengungkapkan kegembiraan dengan mengatakan Cihuuy... atau asyiiik..... Mengadu nasib, rupanya juga suatu insting yang sudah hadir pada anak kecil. Alangkah gembiranya mereka ketika mengundi apa gerangan tugas yang tercantum dalam kertast bergulung itu.

Ketujuh, adanya perhatian khusus bagi anak yang lambat dan cepat. Pada anak yang lambat, misalnya tampak ketika Ibu Neneng melakukan monitoring dan supervisi terhadap murid satu per satu. Ia berhenti cukup lama ketika ia menjumpai ada anak yang menghadapi kesulitan dalam mengerjakan soal matematika, Ibu Neneng, kemudian memberikan bantuan sampai anak itu mengerti. Kepada anak yang cepat, Ibu Neneng memberikan tugas ekstra. Tabung bambu itu ibarat Bank Kegiatan Ekstra. Murid atau kelompok cepat diminta menarik segulung kertas. Di kertas itu tertera tugas ekstra mereka; ada yang mengenai matematika, IPA, IPS, PMP atau Bahasa Indonesia. Dengan demikian, proses pembelajaran terus bergulir. Dalam praktik merangkap kelas di lapangan, motto the ball keeps rolling bola terus bergulir tidak diindahkan betul. Guru seolah-olah percaya bahwa ia telah membuat semua murid mengerti, dan mencapai tujuan instruksional yang sama pula. Guru ini telah terperangkap ke dalam mitos keseragaman.

Sebaliknya, guru sangat berkewajiban untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan murid-muridnya. Yang kuat membantu yang lemah, tetapi yang lemah juga tidak boleh menghambat perkembangan yang kuat. Tiap orang diperbolehkan berkembang sesuai dengan kondisi dan kemampuannya masing-masing.

Kedelapan, guru PKR percaya bahwa sumber belajar tidak hanya diperoleh dari sumber resmi, seperti dari kantor Depdiknas atau Pemerintah Daerah. Ibu Neneng misalnya, menaruh kepercayaan pada anak untuk melengkapi sumber belajar yang berasal dari lingkungan sekolah dan rumah mereka. Jika upaya seperti ini dilakukan secara teratur maka manfaat ganda pun akan diperoleh. Tidak hanya hasanah sudut belajar yang bertambah lengkap, tetapi juga dapat memupuk tanggung jawab anak dan rasa memiliki terhadap kelas dan sekolah mereka. Lebih jauh, semangat untuk memperkuat keterkaitan (linkages) antara sekolah dan lingkungan kehidupan anak, lambat laun akan menjadi kenyataan. Dalam praktik di lapangan, prinsip seperti diuraikan di atas, sulit muncul. Hal ini, sekali lagi ada karena kungkungan mitos; bahwa melengkapi kelas dan sekolah dengan bahan dan alat pelajaran itu sudah merupakan kewajiban Depdiknas atau Dinas Pendidikan. Singkatnya, semangat kemandirian sangat dituntut bagi guru PKR.

Kesembilan, prinsip perangkapan tidak hanya diterjemahkan dalam bentuk mengajar dua tingkat kelas atau lebih dalam satu ruang kelas atau lebih dan dalam waktu yang bersamaan (simultan). Prinsip perangkapan terutama diterjemahkan dalam bentuk mengajarkan dua bidang studi atau lebih dalam satu wacana atau topik. Inilah yang disebut pengajaran terpadu (integrated). Pak Ade, misalnya menggunakan satu topik (bahan bacaan) mengenai membangun jembatan untuk dua bidang studi, yaitu Bahasa Indonesia dan Matematika.

Ibu Neneng, menggunakan pelajaran Matematika untuk meningkatkan kreativitas anak, khususnya dalam mengembangkan aspek psikomotorik; anak-anak ditugaskan membentuk, menyusun atau menggambar sesuatu. Ibu Neneng juga menggunakan pelajaran Matematika untuk membangun keterampilan kerja sama (sesuatu yang erat hubungannya dengan bidang studi PMP). Prinsip keterpaduan seperti ini, agaknya tidak banyak diterjemahkan dalam praktik mengajar kelas rangkap di lapangan. Kesepuluh, Ibu Neneng juga mampu melepaskan diri dari mitos bahwa yang mampu mengajar adalah guru. Guru bukanlah manusia yang harus serba tahu. Guru yang baik tidak hanya tahu persis bagaimana mengajarkan yang ia ketahui. Guru yang baik adalah juga yang tahu persis apa yang ia tidak ketahui. Ibu Neneng tahu persis keterampilan membuat bubu bagi anak-anak desa itu penting. Namun, Ibu Neneng juga tahu persis bahwa ia tidak tahu menunjukkan pada anak bagaimana membuat bubu. Yang Ibu Neneng ketahui adalah ada penduduk desa yang ia kenal, yang dapat diajak bekerja sama untuk mengajarkan keterampilan tersebut. Jadi, prinsip ke sepuluh adalah pemanfaatan sumber daya yang ada di desa, termasuk penduduk setempat untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran, Di dalam praktik di lapangan hal ini sulit terjadi karena adanya mitos bahwa yang layak mengajar di kelas adalah yang berstatus dan berijazah guru.

Nah, rasanya dengan sepuluh ciri tersebut Anda telah dapat membedakan antara PKR yang ideal dengan praktik yang terjadi di lapangan.

Setelah Anda membaca pembahasan bagaimana Pak Ado dan Ibu Neneng mengajar di kelas rangkap, dapatkah Anda meringkaskan apa peranan seorang guru PKR? Coba simak sari pati yang dapat ambil dari uraian kita sebelumnya.

1.      Sebagai perancang kurikulum. Anda mungkin segera akan mengira bahwa hal ini mengada-ada. Bukankah, menurut Anda bahwa pada umumnya kurikulum itu sudah baku dan menjadi urusan pemerintah pusat meskipun sekarang sudah diberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)? Mengapa seorang canguru PKR harus menjadi perancang kurikulum? Perlu Anda ketahui, menjadi perancang kurikulum tidak berarti menyimpang dari kurikulum yang berlaku, pa apalagi untuk membuat yang baru. Dari pengalaman Anda mengajar di daerah terpencil yang serba sulit dan serba kurang. Anda tahu bahwa tidak semua butir yang dicantumkan dalam kurikulum itu mungkin dilaksanakan dengan memadai di kelas Anda. Sering kali juga untuk mengajarkannya secara berurutan pun mengalami kesulitan. Nah, oleh karena itu, guru PKR harus memilih butir atau bagian kurikulum yang memerlukan penekanan. Atas dasar ini ia memutuskan konsep dan fakta yang akan diajarkannya dan mengurutkan kembali tujuan instruksional yang akan dicapainya, berdasarkan tingkat/kelas yang akan diajarkannya.

2.      Sebagai Administrator. Seorang guru harus merencanakan dan mengatur kelasnya dan jadwal pelajarannya dengan satu maksud utama. Yaitu, agar dapat mencapai hasil yang maksimal. Tugas ini hanya dapat dicapai jika guru PKR mampu melibatkan murid secara aktif, tidak hanya aktif belajar, tetapi juga aktif membantu guru mengajar teman-temannya yang tertinggal. Tidak hanya sampai di situ. Guru PKR juga harus mampu memanfaatkan segenap sumber daya yang ada di desa, termasuk penduduk setempat untuk membantu berlangsungnya proses pembelajaran dan pencapaian tujuan pendidikan dan pengajaran. Nah, untuk memanfaatkan sumber daya seperti itu maka guru PKR juga harus mampu berlaku sebagai juru runding atau negosiator.

3.      Sebagai sumber informasi yang kreatif. Dengan fasilitas yang minimal guru PKR harus kreatif. Ia juga harus menempatkan dirinya sebagai manusia sumber; tidak hanya sebagai sumber informasi, tetapi juga berperan untuk memecahkan keadaan serba kurang dan seadanya. Ia harus memberikan arahan agar murid-muridnya memberikan perhatian yang maksimum; agar mereka tidak membuang-buang waktu dan tenaga; agar setiap anak terlibat dalam segala macam kegiatan belajar Guru PKR senantiasa berusaha untuk mengaitkan mata pelajaran yang diajarkannya dengan kegiatan yang lazim dilakukan anak dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kaitan itu pun harus disesuaikan dengan lingkungan kehidupan mereka.

4.      Sebagaimana guru pada umumnya, seorang guru PKR harus senantiasa berusaha untuk meningkatkan kompetensinya dan meningkatkan gaya mengajarnya. Walaupun kesempatan untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan lanjutan, bagi sejumlah guru di daerah terpencil, bak pungguk merindukan bulan, namun jika niat profesional seperti itu senantiasa dipelihara maka pepatah orang-orang tua kita masih tetap berlaku: "di mana ada kemauan, di situ ada jalan". Yang penting adalah "semangat". Kalau semangat kita "bisa" maka kita akan berusaha agar betul-betul bisa. Sebaliknya, jika semangat kita "tidak mungkin" maka hampir dapat dipastikan itu betul tidak mungkin.

5.      Sebagai agen pembawa perubahan. Guru berperanan sebagai pengayom, tak ubahnya sebagai seorang ustad atau pastor bagi muridnya. Guru juga mewakili misi moral dan nilai dari masyarakat tempat ia bertugas; ia bertugas menyampaikan misi ini kepada muridnya. Ia harus berusaha keras untuk mendatangkan perubahan yang positif terhadap sikap dan perilaku anggota masyarakat melalui proses pembelajaran di sekolah dan melalui interaksi dengan anggota masyarakat setempat. Jadi, seorang guru tidak boleh hidup menyendiri. Ia adalah wakil rakyat, bukan dalam arti politis, tetapi dalam arti yang sesungguhnya; yaitu mencari, mendatangkan, dan mengajarkan perubahan yang berguna bagi anak didik, orang tua, dan masyarakat.

 

0 comments:

Post a Comment