Wednesday 8 June 2022

TEORI BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN IPA DI SD

0 comments

 

TEORI BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN IPA DI SD 



1.    KEGIATAN BELAJAR 1 (TEORI PIAGIET DALAM PEMBELAJARAN IPA DI SD)

 

A.     TEORI PIAGIET

Teori Jean Piaget menyatakan bahwa kemampuan intelektual anak berkembang secara bertingkat atau bertahap yaitu sensori motor (0-2 tahun), pra operasional (2-7 tahun), operasional konkret (7-11 tahun), dan operasional (>11 tahun). Teori ini merekomendasikan perlunya mengamati tingkatan perkembangan mental dan intelektual anak sebelum suatu bahan pelajaran diberikan. Perkembangan mental atau kognisi anak terdiri dari empat tahapan.

1.  Tahap sensori motor

Ada tiga kemampuan penting yang dicapai anak pada masa sensori motor ini yaitu:

 

1.  Kemampuan mengontrol secara internal, yaitu terbentuknya kontrol dari dalam pikirannya terhadap dunia nyata. Dengan kata lain, sampai dengan usia dua tahun anak mengalami pergantian persepsi dari motor murni ke arah gambaran yang berupa simbol (lambang).

2.  Perkembangan konsep kenyataan. Pada akhir tahap ini anak akan menyadari bahwa dunia ini ada dan tetap ada, sehingga anak akan mengetahui bahwa suatu benda itu ada.

3.  Perkembangan pengertian beberapa sebab dan akibat.

 

2.  Tahap pre-operasional

 

Tahapan ini merupakan tahapan yang amat menakjubkan. Dimulai dari anak yang baru bisa mengatakan satu dua patah kata hingga menjadi anak yang dapat menyusun suatu kalimat. Selain itu terjadi perkembangan mental yang luar biasa pula. Tahapan ini disebut sebagai tahapan pre-operasional karena anak tidak akan memiliki kemampuan berpikir yang operasional sampai anak mencapai usia tujuh tahun dan kadang-kadang disebut sebagai tahapan intuisi. Dikatakan demikian karena pada tahapan ini intuisi yang dipengaruhi oleh persepsi dan egosentrisme berperan sangat penting dalam cara berpikir anak.

 

Pada usia ini anak belum mengerti bahwa bejana yang pendek dan lebar memiliki lebih banyak cairan dibanding dengan sebuah botol kecil dan tinggi. Piaget menyebutkan hal ini sebagai konservasi volume cairan. Anda dapat mencobakan permainan berikut dengan dua anak yang berbeda usia pada tahapan ini.

 


 

Sumber Eiser dan Eiser 1993)

 

 

 

3.  Tahap Konkret Operasional

Tahapan ini berawal pada anak usia 6 atau 7 tahun dan berakhir padausia 11 tahun. Usia-usia ini merupakan usia di mana anak menempuh pelajaran di SD. Tahap sebelumnya merupakan tahap pre-operasional, seperti

telah dikatakan di atas, bukan karena ketidakmampuan anak untuk berpikir, tetapi disebabkan oleh cara berpikir mereka yang masih terbatas. Keterbatasan-keterbatasannya telah dijelaskan di atas, di mana keterbatasan tersebut disebabkan oleh kepercayaan anak akan persepsi, intuisi, dan egosentrismenya daripada alasan atau sebab-sebabnya. Pada tahapan ini telah terjadi perubahan-perubahan walaupun masih ada juga keterbatasannya. Perubahan yang sangat penting dan mendasar adalah perubahan dari pemikiran yang kurang logis ke pemikiran yang lebih logis.

 

Hal ini ditandai dengan adanya ketentuan-ketentuan atau aturan yang telah diikuti. Operasi yang mendasari pemikirannya berdasarkan pada yang konkret atau nyata; dapat dilihat, diraba, atau dirasa, dari suatu benda atau kejadian, sehingga tahapan ini disebut sebagai tahap konkret operasional. Tidak seperti pada anak usia pre-operasional, anak konkret operasional sudah dapat melakukan apa yang Piaget sebut sebagai konservasi

4.   Tahap formal operasional

Anak usia sekitar sebelas tahun memasuki tahap formal operasional. Tahap ini berakhir pada usia 14 atau 15 tahun sebelum memasuki masa dewasa. Tahap ini dikatakan sebagai tahap akhir dari perkembangan struktur berpikir. Anak usia ini telah dapat secara penuh melakukan operasi secara logis tetapi masih mempunyai pengalaman yang terbatas. Mereka sekarang dapat berhubungan dengan masalah-masalah yang bersifat hipotesis dan cara berpikir mereka mungkin telah termasuk suatu set yang formal dari ketentuan-ketentuan yang logis. Mereka dapat secara mental dan sistematik meneliti faktor-faktor yang beragam.

 

B.   PENERAPAN TEORI PIAGET DALAM PEMBELAJARAN IPADI SD

 

Dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk menilai sumber ide- idenya akan memberikan kesempatan pada mereka untuk menilai proses pemecahan masalah. Hal ini juga perlu dilakukan di dalam kelas. Sebagai contoh, apabila kelas telah menyelesaikan suatu masalah, sebaiknya guru menanyakan kembali kepada siswa tentang cara mendapatkan jawaban tersebut. Misalnya dengan ‘Bagaimana kita bisa sampai pada jawaban ini?’ dan membantu kelas untuk mengulas kembali tahapan-tahapan yang dilalui hingga menemukan jawaban atau kesimpulan itu. Dengan demikian guru lebih membantu anak dalam proses perkembangan intelektualnya.

 

C.   CONTOH PEMBELAJARAN IPA DI SD BERDASARKAN TEORIPIAGET

 

Berikut akan disampaikan rancangan pembelajaran secara garis besar.

Konsep yang diajarkan       : udara mempunyai sifat-sifat tertentu dan banyak kegunaannya bagi kehidupan manusia

Sub konsep                         : Udara yang bergerak mempunyai tekanan yang lebih rendah Metode yang dipakai                                : eksperimen

Alat dan bahan yang digunakan:

1.    dua bola pingpong (tenis meja);

2.    benang;

3.    kayu, kira-kira 30 cm.

 

Cara kerja:

1.    Ikatlah kedua bola pingpong dengan benang yang ada.

2.    Ikatkan kedua ujung benang secara berdekatan pada kayu yang telahdisediakan, sehingga tampak seperti gambar berikut.

 


 

 

2.  KEGIATAN BELAJAR 2 (MODEL BRUNER DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN IPA DI SD

A.   MODEL BELAJAR BRUNER

 

Bruner menganggap bahwa belajar dan persepsi merupakan suatu kegiatan pengolahan informasi yang menemukan kebutuhan-kebutuhan untuk mengenal dan menjelaskan gejala yang ada di lingkungan kita. Kegiatan ini meliputi pembentukan kategori-kategori (konsep) yang dihasilkan melalui pengabstraksian dari kesamaan kejadian-kejadian dan pengalaman- pengalaman. Suatu konsep merupakan suatu kategori. Dikatakan demikian karena kategori atau konsep merupakan perwakilan benda atau kejadian yang mempunyai persamaan. Misalnya konsep burung; burung adalah suatu kategori yang mewakili binatang yang mempunyai bulu, sayap, dua kaki, dan paruh. Dengan demikian kategori dapat pula dipandang sebagai ketentuan atau hukum. Jadi kategori adalah suatu ketentuan untuk mengelompokkan benda-benda atau kejadian yang sama atau ekuivalen, sebab apabila dua buah objek dimasukkan ke dalam kategori yang sama, implikasinya mereka itu sama, paling tidak kalau dipandang dari beberapa segi.

Sebagai suatu ketentuan, kategori mempunyai spesifikasi karakteristik yang penting dari benda-benda atau kejadian-kejadian yang ada di dalamnya. Spesifikasi tersebut adalah:

1.   Atribut yang harus dimiliki oleh suatu objek. Atribut adalah ciri atau karakteristik yang dimiliki oleh suatu objek.

2.   Cara penentuan atribut-atribut yang ada atau penggabungan,

3.   Pentingnya ragam atribut, ada yang sendiri atau kombinasi dari atribut.

4.   Batas bagi penerimaan nilai (value) dari atribut tersebut. Nilai adalah keragaman yang ada pada suatu atribut.

Contoh penerapan ketentuan-ketentuan di atas terdapat pada halaman 1.24

 

Bruner beranggapan bahwa interaksi kita dengan lingkungan sekeliling kita selalu menggunakan kategori-kategori. Aktivitas-aktivitas seperti persepsi, konseptualisasi, dan pengambilan keputusan, semuanya dapat dijelaskan dari sudut pandang pembentukan dan penggunaan kategori. Pembentukan dan penggunaan kategori ini bukan hanya bermanfaat tetapi juga penting untuk mempelajari dan berinteraksi dengan sekeliling kita. Sebagai contoh; apabila seseorang menemukan makhluk yang bergerak orang itu akan berpikir bahwa benda yang dia lihat itu bukanlah tumbuhan melainkan hewan karena atribut bergerak tidak dimiliki oleh tumbuhan tetapi oleh bewan. Kemudian lebih meningkat lagi, dilihat bahwa hewan tersebut mempunyai kaki empat. Dari kenyataan ini orang tersebut akan berpikir bahwa hewan ini tentu bukan ikan dan bukan burung karena baik ikan maupun burung tidak mempunyai empat kaki; yang mempunyai empat kaki adalah hewan reptil atau mamalia; demikian dan seterusnya, Cara seperti ini berlaku untuk semua objek dan kejadian yang dijumpai.

Lebih lanjut Bruner mengatakan bahwa pengkategorisasian mempunyai beberapa keuntungan, antara lain mengurangi kompleksitas dari benda atau kejadian di sekitar kita Kategorisasi mengurangi keharusan untuk selalu belajar. Pengkategorisasian juga memberikan arahan dan tujuan terhadap aktivitas kita, dan memberikan kesempatan kepada kita untuk menghubungkan objek dengan kelas dari kejadian alam. Hal ini akan menurunkan jumlah ciri- ciri khusus dan meningkatnya ciri-ciri yang lebih umum (general). Dalam hal ini Bruner menyebutnya sebagai koding. Kalau diumpamakan mental kita merupakan suatu filing system (sistem pengarsipan) di dalam suatu almari yang di dalamnya terdapat banyak map.

Menurut Eisler dan Eisler (1993) Bruner merupakn salah satu ahli psikolog yang paling berhasil dalam menerapkan arsip-arsip yang dikembangkan oleh Piaget. Teori Bruner tentang cara seorang anak memperoleh dan memproses informasi baru sejajar dengan apa yang Piaget kemukakan. Yaitu anak tumbuh melalui tahapan-tahapan yang berbeda.

Ada tiga tahap penampilan mental yaitu tahap penampilan mental enaktif, tahap ikonik, dan tahap simbolik. Tahap penampilan enaktif sejajar dengan tahap sensori motor pada Piaget. Pada tahap ikonik, penampilan mental anak sangat dipengaruhi oleh persepsinya. Ketika mekanisme control dari dirinya berkembang, anak tersebut telah masuk ke tahap penampilan simbolik. Inti dari tahap penamilan simbolik adalah pengembangan keterampilan berbahasa dan kemampuan untuk mengartikan dunia luar dengan kata-kata dan idenya.

Berdasarkan teori yang dikemukakan, Bruner menyusun suatu model belajar yang disebut sebagai model belajar penemuan (discovery learning). Bruner beranggapan bahwa model belajar penemuan sesuai dengan hakikat manusia yang mempunyai sifat selalu ingin mencari ilmu pengetahuan secara aktif. Dalam model belajar penemuan siswa dituntut untuk mengelola dan melakukan penemuan sehingga menemukan konsep atau teori tersebut.

Pengetahuan yang diperoleh melalui belajar penemuan mempunyai kelebihan-kelebihan, seperti pengetahuan yang diperolehbakan bertahan lama. Sampai ada istilah popular yaitu siapa yang mengerjakan maka dia yang mengerti dan mengingatnya. Sebagai contoh tertera pada halaman 1.26 paragraf paling terakhir.

Model penemuan ini juga dapat mengubah motivasi belajar pencarian pujian dari luar (motivasi luar) ke kepuasan batin (motivasi dari dalam diri). Model belajar penemuan membekali siswa dengan prosedur yang pratis untuk memecahkan masalah.

B.   PENERAPAN MODEL BRUNER PADA PEMBELAJARAN IPA di SD

 

Dikatakan di atas bahwa Bruner mengemukakan model belajar yang disebut model belajar penemuan. Sesuai dengan teori belajar penemuan, tujuan pembelajaran penemuan ini bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan saja melainkan untuk memberikan motivasi kepada siswa, melatih kemampuan berpikir intelektual, dan merangsang keingintahuan siswa.

Dalam proses pembelajaran di kelas menurut Bruner bukan untuk menghasilkan perpustakaan hidup, melainkan untuk melatih siswa berfikir secara kritis untuk dirinya serta berpartisipasi secara aktif dalam proses mendapatkan pengetahuan. Satu ciri utama dari proses pembelajaran penemuan ini adalah keterlibatan guru yang jauh lebih sedikit dibandingkan

 

dengan metode pembelajaran lainnya. Tapi bukan berarti guru tidak membimbing siswa, maka dari itu Bruner memberikan tiga ciri pemebelajaran penemuan, yaitu :

1.      Keterlibatan siswa dalam proses belajar.

2.      Peran guru adalah sebagai seorang penunjuk (guide) dan pengarah bagi siswanya yang mencari informasi. Jadi guru bukan sebagai penyampai informasi.

3.      Umumnya dalam proses pembelajaran digunakan barang-barang nyata.

 

Ada dua macam model pembelajaran penemuan, yaitu model pembelajaran penemuan murni dan model pembelajaran penemuan terarah.

-          Model pembelajaran penemuan murni merupakan model pembelajaran penemuan tanpa adanya petunjuk atau arahan. Guru tidak memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh siswa. Bagi guru yang menerapkan pembelajaran penemuan ini harus toleran terhadap kebisingan, karena setiap siswa akan berdiskusi dan mencoba berbagai hal.

-          Model pembelajaran penemuan terarah sedikit berbeda dari pembelajaran penemuan murni. Guru sedikit lebih banyak berperan disbanding dengan pembelajaran penemuan murni. Disini ada kemungkinan guru mengingibkan seluruh siswa melakukan kegiatan yang hampir sama.

 

 

Yang perlu diingat adalah banyaknya bantuan dan bimbingan yang diberikan guru kepada siswanya tidak membatasi kebebasan siswa untuk melakukan penemuan sendiri. Tidak sedikit guru yang masih ragu untuk menerapkan pembelajaran penemuan di kelasnya. Salah satu penyebabnya adalah adanya kekhawatiran akan kelas yang tidak kondusif. Untuk mengatasi hal tersebut ada beberapa saran dari guru yang sudah berpengalaman dalam menerapkan pembelajaran penemuan, yaitu :

1.      Membagi siswa di dalam kelas menjadi beberapa grup.

2.      Berikan tugas kepada setiap grup dengan menunjuk satu siswa dalam kelompok untuk mejadi ketua dan siswa lain menjadi penanggung jawab masing-masing tugas.

3.      Bicarakan secara klasikal terlebih dahulu tanggung jawab masing-masing petugas di dalam grupnya.

4.      Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan aturan yang akan digunakan dalam kelas atau grupnya.

5.      Berikan arahan terhadap aktivitas yang akan dilakukan sebelum alat dan bahan diberikan kepada siswa.

6.      Hanya penanggung jawab material yang boleh mengambilkan material yang dipakai.

7.      Guru berkeliling mendekati setiap grup secara bergantian untuk memberikan bantuan yang diperlukan.

8.      Jika guru ingin memindahkan siswa dari dan ke suatu grup, lakukan sedikit demi sedikit. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kebisingan dan keributan.

 

C.   CONTOH PEMBELAJARAN IPA di SD BERDASARKAN MODEL BRUNER

 

Berikut dua contoh pembelajaran IPA di kelas III dan kelas IV berdasarkan teori Bruner. Kedua contoh ini merupakan garis besar pembelajaran, jadi dapat dikembangkan lebih rinci.

1.      Kelas                       III

Tujuan Umum : Siswa mengenali bagian-bagian tumbuhan dan mampu mengelompokkan tumbuhan berdasarkan ciri-ciri dan kegunaannya dengan pengamatan dan penafsiran.

Topik                     : Tumbuhan mempunyai bagian-bagian tertentu

 

 

Cara pelaksanaan

a.       Ambillah satu tanaman yang lengkap, terdiri dari akar, batang, daun, dan bunga.

b.      Berilah kesempatan kepada siswa untuk mengamati, kemudian berilah pertanyaan seperti berikut : Menurut kalian, bagaiaman akar dapat berfungsi pada tumbuhan?

c.       Terima seluruh idea tau tanggapan siswa. Berilah kesempatan kepada siswa untuk mengajukan dan menguji idenya sendiri.

d.      Berilah pertanyaan lain untuk menanyakan bagian tumbuhan yang lainnya.

2.      Kelas                       IV

Tujuan Umum       :  Siswa memahami susunan, sifat dan kegunaan udara dengan melakukan percobaan dan menafsirkan informasi.

Topik                     : Udara dioerlukan bagi pembakaran.

Alat dan bahan      : a. gelas kecil

b.  gelas besar

c.  toples kira-kira berukuran 2 liter

d.  lilin pendek 3 buah

e.  korek api

 

 

Cara pelaksanaan

1.      Sebelum memperbolehkan siswa untuk melakukan percobaan, berilah pertanyaan seperti:

a.    Apa yang akan terjadi apabila lilin yang menyala ditutup dengan gelas?

b.   Bagaimana kemungkinan yang akan terjadi apabila tiga lilin yang menyala ditutup dengan penutup yang berbeda besarnya?

2.      Berilah kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan idenya (sebagai hipotesis) dan kemudian mengujinya melalui percobaan.

3.      Setelah selesai melakukan percobaan, berilah pertanyaan seperti:

a.    Apakah hasil percobaan sesuai dengan perkiraan semula?

b.   Mengapa diperlukan waktu yang bersamaan saat menutup ketiga lilin?

 

Gambar bisa dilihat pada gambar 1.7 halaman 1.31

 

 

3.  KEGIATAN BELAJAR 3 (Teori Belajar Gagne dan Penerapannya dalam Pembelajaran IPA SD)

 

Menurut Gagne, belajar merupakan suatu proses yang memungkinkan seseorang untuk mengubah tingkah lakunya cukup cepat, dan perubahan tersebut bersifat relatif tetap, sehingga perubahan yang serupa tidak perlu terjadi berulang kali setiap menghadapi situasi yang baru.

 

Sebagai contoh : Siswa kelas IV SD yang bernama Harun yang memahami proses fotosintesis pada daun setelah mendapat penjelasan berulang dari guru dan dapat menjelaskan kembali dengan mandiri setelah kenaikan kelas yang lebih tinggi.

Information Processing Model (Model Pemrosesan Informasi)

 

Model ini dikemukakan oleh Gagne bertitik tolak dari suatu analogi antara manusia dan komputer. Proses belajar dianggap sebagai transformasi input menjadi output seperti yang lazim terlihat pada sebuah komputer. Model ini dapat dilihat pada modul 1.37 bagan gambar

1.8 . Model yang digambarkan dalam gambar 1.8 tersebut menunjukkan bagaimana aliran informasi dari input yang bergerak ke output serta menunjukkan bagaimana pengendalian internal dari aliran informasi oleh kontrol utama (exeutive control) dan harapan-harapan (expectancies). Excecutive control terdiri atas strategi-strategi kognitif, dan expectancies mengaktifkan dan memodifikasi aliran informasi.

Berdasarkan uraian pada modul 1.38 terkait bagan gambar 1.8 dapat disimpulkan bahwa model belajar mencakup dua aspek, yaitu aspek tentang aliran informasi dan aspek pengontrolan aliran informasi. Cara belajar sangat dipengaruhi oleh proses-proses yang dimulai dalam kedua struktur pengontrolan itu.

Level dan Hasil Belajar Menurut Gagne

 

A.   LEVEL BELAJAR MENURUT ROBERT M.GAGNE

 

Menurut Gagne, tingkatan atau level belajar dimulai dari yang sederhana ke yang lebih kompleks. Tahapan atau level belajar menurut Gangne dapat dilihat pada tabel di modul 1.39

1.40. Level belajar tersebut antara lain :

 

1.   Level 1

Tanda-tanda belajar (tanpa ada bantuan tindakan terhadap emosi, ketakutan, kesenangan, dan lain-lain.

2.   Level 2

Stimulus-Response (S-R) / Bantuan belajar.

3.   Level 3

Merangkai (chaining) / menggabungkan bersama tingkah laku S-R sederhana untuk membentuk tahap-tahap tindakan individu.

4.   Level 4

Verbal Chaining (menamai benda, menggunakan sifat untuk menamai benda).

5.   Level 5

Beragam perbedaan belajar (menempatkan objek dan kejadian dengan satu atau lebih sifat- sifat umum dalam satu set).

6.   Level 6

Konsep belajar (mengidentifikasi objek dan kejadian yang kelihatannya berbeda dari khasnya).

7.   Level 7

Prinsip belajar (mengkombinasikan konsep-konsep yang telah dimiliki).

8.   Level 8

Problem solving.

 

 

B.   HASIL-HASIL BELAJAR MENURUT GAGNE

 

Gagne memberikan lima macam hasil belajar, tiga yang pertama bersifat kognitif, yang keempat bersifat afektif, dan yang kelima bersifat psikomotorik. Adapun Taksonomi Gagne tentang hasil-hasil belajar meliputi :

1.   Informasi verbal (verbal information).

Ialah informasi yang diperoleh dari kata yang diucapkan seseorang dari membaca, dari radio, televisi, computer, dan sebagainya. Informasi ini meliputi nama-nama, fakta-fakta, prinsip- prinsip, dan generalisasi-generalisasi. Informasi tertuju pada apa yang ingin diketahui.

2.   Keterampilan-keterampilan intelektual (intellectual skills).

Keterampilan intelektual terungkap dari pertanyaan yang dimulai dengan istilah bagaimana. Untuk membuktikan seorang siswa telah memiliki keterampilan intelektual dalam pembelajaran yaitu :

·      Diskriminasi (discrimination).

·      Konsep-konsep konkret (concrete concepts).

·      Konsep-konsep terdefinisi (defined concepts).

·      Aturan-aturan (rules).

3.     Strategi-strategi kognitif (cognitive strategies).

Adalah kemampuan-kemampuan internal yang terorganisasi. Strategi ini berupa pengendalian tingkah laku pelajar itu sendiri dalam mengendalikan lingkungannya. Peserta didik memikirkan apa yang telah dipelajarinya dan memecahkan masalah secara kreatif.

4.   Sikap-sikap (attitudes).

Sikap merupakan pembawaan yang dapat dipelajari dan dapat mempengaruhi tingkah laku kita terhadap benda-benda, kejadian-kejadian atau makhluk hidup. Sekelompok sikap yang penting ialah sikap terhadap orang lain / sikap sosial.

5.   Keterampilan-keterampilan (motor skills).

Keterampilan yang disebut keterampilan motorik yang mencakup kegiatan fisik dan kegiatan keterampilan intelektual. Misalnya menggunakan alat peraga sebagai media pembelajaran.

C.   Menerapkan Teori Gagne dalam Mengajarkan IPA di SD

 

Model mengajar menurut Gagne meliputi delapan langkah, yang sering disebut kejadian- kejadian instruksional (instructional events), meliputi :

a)        Mengaktifkan motivasi (activating motivation)

Expectany dapat dianggap sebagai motivasi khusus dari pelajar untuk mencapai tujuan belajar. Expectancy dapat mengaktifkan motif-motif belajar siswa misalnya motif untuk ingin tahu (curiosity), motif untuk menyelidiki dan motif untuk mencapainya.

b)       Memberi tahu pelajar tentang tujuan-tujuan belajar (Instructional information)

Menurut Gagne, guru sebaiknya memberi tahu siswa secara komprehensif tentang tujuan instruksional khusus yang akan dicapainya setelah suatu pelajaran telah selesai diajarkan/dipelajari. Dengan mengetahui model belajar Gagne, diharapkan guru mempunyai dasar yang kuat bagaimana TPK (Tujuan Pembelajaran Khusus) atau indikator itu dirumuskan agar dapat mempengaruhi seluruh aliran informasi.

c)        Mengarahkan perhatian (directing attention)

Gagne mengemukakan ada dua bentuk perhatian. Yang pertama berfungsi untuk membuat siswa siap menerima stimuli atau rangsangan belajar. Yang kedua disebut persepsi selektif yaitu seleksi atau pemilihan stimulant yang sesuai.

d)       Merangsang ingatan (stimulating recall)

Menurut Gagne, bagian yang paling kritis dalam proses belajar yaitu pemberian kode pada informasi yang berasal dari memori jangka pendek yang disimpan dalam memori jangka panjang.

e)        Menyediakan bimbingan belajar

Diperlukan adanya bimbingan langsung untuk pemberian kode pada informasi untuk memperlancar masuknya informasi ke memori jangka panjang, baik secara verbal maupun nonverbal.

f)        Meningkatkan retensi (enchancing retention)

Yaitu upaya yang dilakukan agar materi yang dipelajari dapat bertahan dalam memori jangka panjang. Upaya bisa dilakukan dengan cara mengulang materi yang sama secara terus-menerus.

g)       Membantu transfer belajar

Tujuan transfer belajar ialah menerapkan apa yang telah dipelajari pada situasi yang baru. Penerapan ini dapat dilakukan melalui tugas pemecahan masalah dan diskusi kelompok. Guru dapat membantu transfer belajar kepada para siswa.

h)       Memperlihatkan/perbuatan dan memberikan umpan balik

Hasil belajar perlu diperlihatkan melalui suatu cara agar guru dan siswa dapat mengetahui apakah tujuan belajar telah tercapai. Sebaiknya guru memberikan kesempatan sedini mungkin pada siswa untuk memperlihatkan hasil belajar mereka sebagai umpan balik dengan cara memberikan tes atau mengamati tingkah laku siswa (student’s performance). Umpan balik, bila sifatnya positif, merupakan pertanda bahwa siswa telah mencapai tujuan belajar, dengan demikian harapan (expectancies) yang muncul pada permulaan tindakan belajar adalah terpenuhi. Dalam hal ini umpan balik dapat menghasilkan penguatan (reinformencement) pada siswa yang belajar.

4.  KEGIATAN BELAJAR 4 (TEORI AUSUBEL DALAM PEMBELAJARAN IPA DI SD)

 

Sebelum membahas apa yang dengan belajar oleh Ausubel, ada baiknya Anda mempelajar beberapa teori belajar. Ada beberapa teori belajar yang akan dib sepintas sebagai bahan perbandingan. Teori belajar tersebut meliputi: 1) belajar hanya menerima saja (reception learning), 2) belajar penemuan ( discovery learning), 3) belajar hapalan (rote learning), 4) dan belajar bermakna (meaningful learning).

Jika kita kaji ke-4 model belajar yang akan kita bahas, maka kita bermakna . mencoba untuk melihat persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan tiap-tiap model belajar tadi. Misalnya, perbedaan antara belajar penerima dan belaiar penemuan tidaklah sulit untuk dipahami. Dalam hal penerimaan, isi utama dari apa yang akan dipelajari, disajikan pada sisw dalam bentuk final. Siswa sama sekali tidak menemukan sesuatu. Siswa hanya diminta untuk menerima pelajaran yang disajikan padanya dan menggunakannya di kemudian hari. Sedangkan sifat utama dari belaja penemuan ialah bahwa materi utama yang akan dipelajari tidak diberikan tetapi harus ditemukan oleh menggunakannya.

Sebenarnya ada empat macam belajar dengan dua dimensi yang terpisah, Dimensi yang pertama berhubungan dengan cara informasi (materi pelajaran itu disajikan pada siswa, melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi ked ialah menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif meliputi fakta-fakta konsep-konsep dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa.

Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada pelajar baik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final, maupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau selur informasi itu. Dalam tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan (berupa konsep-konsep, prinsip, dan sebagainya) yang telah dimilikinya. Ini disebut belajar bermakna.

Akan tetapi siswa itu dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada pada struktur kognitifnya. Hal ini disebut belajar hapalan.

Kedua dimensi, yaitu penerimaan/penemuan dan hapalan/bermakna tidak menunjukkan dikotomi sederhana, melainkan merupakan suatu kontinum Kontinum mendatar dari kiri ke kanan memperlihatkan berkurangnya belajar penerimaan dan bertambahnya belajar penemuan. Sedangkan arah kontinum vertikal yaitu dari bawah ke atas, menunjukkan berkurangnya belajar hapalan dan bertambahnya belajar bermakna.

Ausubel menyatakan bahwa banyak ahli pendidikan menyamakan belajar penerimaan dengan belajar hapalan, sebab mereka berpendapat bahwa belajar bermakna hanya terjadi bila

 

si pelajar menemukan sendiri pengetahuan. Pada pembahasan berikutnya, Anda akan diajak untuk lebih memfokuskan diri pada konsep belajar.

 

A.   BELAJAR BERMAKNA

Ausubel adalah seorang ahli psikologi kognitif. Inti dari teori belajar adalah belajar bermakna. Bagi Ausubel belajar bermakna merupakan sa proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat pada struktur kognitif seseorang. Seperti telah kita ketahui bahw informasi yang baru kita terima akan disimpan di daerah tertentu dalam otak Banyak sel otak yang terlibat dalam penyimpanan pengetahuan tersebut.

Peristiwa psikologi belajar bermakna menyangkut asimilasi informas baru ke dalam pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitif seseorang Jadi dalam belajar bermakna, informasi baru diasimilasikan pada subsumer. subsumer relevan yang telah ada dalam struktur kognitif seseorang. Sebaga hasil belajar menyebabkan pertumbuhan dan modifikasi subsumer- subsumer yang telah ada.

Sebagai contoh Pada anak-anak, pembentukan konsep merupakan proses utama untuk memperoleh konsep. Pembentukan konsep adalah semacam belajar penemuan yang menyangkut baik pembentukan hipotesis dan pengujian hipotesis, maupun pembentukan generalisasi-generalisasi dari hal-hal yang khusus. Misalnya dengan berkali-kali dihadapkan pada kucing, burung, ikan atau pada kursi, meja, maka lambat laun anak-anak akan menemukan kriteria bagi konsep kucing, burung, ikan, kursi, atau meja.

 

 

B.   MENERAPKAN TEORI AUSUBEL DALAM PENGAJARAN IPA SD

 

Ausubel dalam bukunya Educational Psychology: A Cognitive View, menyatakan bahwa faktor yang paling penting yang mempengaruhi belajar ialah apa yang telah diketahui siswa. Pernyataan Ausubel inilah yang menjadi inti teori belajarnya, yaitu belajar bermakna.

Belajar secara verbal diajarkan melalui pengajaran langsung seperti ceramah dan sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Penelitian tentang cara mengajar yang efektif yang baru saja dilakukan mengindikasikan bahwa jika informasi yang diinginkan dapat masuk ke dalam memori atau ingatan, maka model pengajaran secara langsung adalah cara yang terbaik. Belajar secara verbal atau langsung adalah lebih efektif untuk diberikan di kelas kelas bawah

yaitu kelas I sampai dengan kelas III, sedangkan untuk kelas atas yaitu mulai kelas IV sampai dengan kelas VI, maka pengajaran secara verbal keefektifannya akan semakin berkurang.

David P. Ausubel menyebutkan bahwa pengajaran secara verbal adalah lebih efisien dari segi waktu yang diperlukan untuk menyajikan pelajaran dan menjanjikan bahwa pebelajar dapat mempelajari materi pelajaran dalam jumlah yang lebih banyak Pengajaran secara verbal biasanya digunakan pada pengajaran secara tradisional. Misalnya guru kelas II SD menyuruh siswa untuk melengkapi lembar kerja yang berisikan kata-kata baru dengan dibantu oleh kamus untuk mencari definisi dari kata-kata baru tersebut dan kemudian menuliskan ke dalam lembar kerja. Contoh yang lainnya, guru kelas III, menugaskan siswa siswanya untuk membaca satu bab dari sebuah buku IPA dan kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam buku yang dibacanya. Beberapa contoh yang disebutkan di atas dapat dianggap sebagai belajar secara verbal.

 

C.   DIFERENSIASI PROGRESIF DAN REKONSOLIASI  INTEGRATIF

Seperti apa yang telah kita bahas tadi disebutkan bahwa Faktor yang paling penting yang mempengaruhi belajar adalah apa yang telah diketahui siswa. Pernyataan inilah yang menjadi inti dari teori belajar Ausubel agar terjadi belajar bermakna maka konsep baru atau pengetahuan baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Dalam mengaitkan konsep-konsep ini dikemukakan 2 prinsip oleh Ausubel yaitu prinsip diferensiasi progresif (progressive differentiation) dan prinsip rekonsiliasi integratif (integrative reconciliation).

Dalam suatu seri pelajaran hendaknya siswa diperkenalkan terlebih dahulu pada konsep- konsep yang paling umum sesudah itu materi pelajaran disusun secara berangsur-angsur menjadi konsep-konsep yang lebih khusus. Dengan perkataan lain model belajar menurut Ausubel pada umumnya berlangsung dari yang umum ke yang khusus. Dalam hal ini guru dalam mengajar terlebih dahulu mengajarkan konsep-konsep umum kemudian secara perlahan-lahan menuju pada konsep-konsep yang lebih sederhana. Contoh penyusunan konsep seperti ini disebut diferensiasi progresif yang merupakan salah satu dari sekian banyak macam urutan belajar.

Prinsip kedua yang dikemukakan oleh Ausubel ialah prinsip rekonsiliasi integratif atau penyesuaian integratif. Menurut prinsip ini dalam mengajarkan konsep-konsep, atau gagasan- gagasan perlu diintegrasikan dan disesuaikan dengan konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya. Dengan kata lain guru hendaknya mampu menunjukkan kepada siswa bagaimana konsep konsep dan prinsip-prinsip itu saling berkaitan.

Peta konsep memperlihatkan bagaimana konsep-konsep saling dikaitkan. Untuk menyusun suatu peta konsep diperlukan konsep-konsep atau kejadian kejadian dan kata penghubung. Bila dua konsep dihubungkan oleh satu atau lebih kata penghubung maka terjadilah suatu preposisi. Dalam bentuknya yang paling sederhana suatu peta konsep adalah dua konsep yang dihubungkan oleh satu kata penghubung membentuk suatu preposisi. Misalnya, tumbuhan itu hijau merupakan suatu peta konsep yang sederhana sekali, yang terdiri dari konsep tumbuhan dan hijau, dihubungkan oleh kata itu.

Belajar bermakna lebih mudah berlangsung bila konsep-konsep baru dikaitkan pada konsep yang lebih umum, maka peta konsep biasanya disusun secara hierarki. Ini berarti bahwa konsep yang lebih umum berada pada puncak dan semakin ke bawah konsep-konsep diurutkan menjadi lebih khusus. Sebagai contoh dapat Anda lihat di bawah ini, di mana air adalah sebagai konsep yang paling umum dan diletakkan di puncak skema. Air diperlukan oleh makhluk hidup. Makhluk hidup dikelompokkan menjadi manusia, hewan, dan tumbuhan. Contoh manusia misalnya Amir. Contoh hewan misalnya ayam, kucing. Contoh tumbuhan padi, kacang.

Menurut wujudnya, air dibedakan menjadi padat, cair, dan gas. Wujud padat misalnya salju, es. Wujud cair yaitu air, wujud gas yaitu uap.

DAFTAR PUSTAKA

 

Sapriati, Amalia. (2021). Pembelajaran IPA di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.

0 comments:

Post a Comment